Perjalanan dengan roda empat ternyata membawa pengalaman
yang membekas buat saya. Karena cuma duduk manis, kali ya. Saya jadi sering
membatin dan memikirkan pemandangan yang saya lihat sepanjang perjalanan,
terutama dari sisi perkembangan pembangunan infrastruktur, kegiatan
perdagangan, atau sekedar produk yang jadi komoditas khas. Kadang takjub,
kadang miris.
Seperti perjalanan kali itu, ketika memenuhi undangan pernikahan
di tiga tempat: Legok di Kabupaten Tangerang, Ciledug di kota Tangerang, dan di
lingkungan rumah sendiri, Pondok Aren – Tangerang Selatan. Karena cuaca
terlihat tidak menentu, kadang terang tapi tiba-tiba gelap, kami memutuskan
mengendarai Fazan, kendaraan roda empat sejuta umat di zamannya, 2012.
Waww … kami melewati rute saya latihan stir mobil di
bilangan perumahan elit Bintaro Jaya. Bak jalan protokol pusat
Jakarta tempo dulu, jalannya terbilang lebaaar untuk satu arah. Di kanan kiri
jalan mulai bertumbuhan gedung-gedung bertingkat, semacam rumah sakit, tempat
makan cepat saji, pom bensin, kantor bank swasta terkemuka, toko buku, penjual
mobil, daan lain-lain tempat memanjakan diri,
mata, lidah, atau sekedar hobi. Tak jarang, perempatan jalan dibuat tidak
sebidang. Ada jembatan layang yang menghubungkan salah satu sisinya. Jalannya
sudah teramat sangat ramai oleh pengguna kendaraan baik roda empat maupun dua,
dibandingkan saya belajar dulu. Sungguh, berbanding terbalik dengan kemampuan
stir mobil saya yang justru mengalami kemunduruan (#gapenting).
Contoh tata kelola kawasan yang salah bisa dilihat di jalan
Mandar Raya, tepat di depan PKN STAN. Di awal pembangunan real estat ini,
wilayah tersebut oleh Pengembang diperuntukkan sebagai kawasan rumah tinggal.
Setelah jalannya menjadi akses utama menuju Ibukota Negara dan begitu ramainya,
penghuni aslinya ga betah kali ya, atau memanfaatkan peluang? Kawasan ini
berubah fungsi menjadi wilayah komersil. Rumah-rumah tinggal berubah menjadi
salon kecantikan, mini market, toko kue, butik, rumah makan. Dengan lahan parkir
yang minim, jadilah banyak kendaraan roda empat ‘luber’ sampai ke badan jalan.
Macet, tak terhindarkan. Mungkin, orang bisa seenaknya saja ya, merubah tempat
tinggal menjadi tempat usaha? Kalau pun macet karena pelanggan tak punya lahan
cukup untuk parkir, itu bukan masalah pengusaha. Siapa suruh ambil rute jalan
itu, kan?
Bisa jadi pengembang menyadari dampak kekeliruan tata letak
peruntukkan rumah tinggal itu. Pada proses pengembangan kawasan hunian elit
selanjutnya, dibuat kluster-kluster yang letaknya tidak bertepatan dengan ruas jalan
utama. Di sepanjang jalan utama, sudah disiapkan untuk kawasan usaha, sehingga bangunannya
dilengkapi juga dengan lahan parkir yang lebih memadai.
Apa berhenti sampai Bintaro Jaya? Ternyata jalan lebar dan
mulus itu teruuus membentang menghubungkan titik-titik yang bahkan saya fikir
terlalu jauh kalau lihat di google maps.
Setelah melewati Alam Sutera, BSD, ternyata ada yang namanya Gading Serpong,
teruuus, sampai Cisauk. Lahan-lahan hunian yang masih kosong ditanami rumput
hijau, atau bahkan ditumbuhi pohon-pohon yang teduh. Alat-alat berat terlihat
sibuk keruk sana, timbun sini. Memamerkan harmonisasi proses pembangunan dan
hasilnya.
Saya
baru tahu, loh yang namanya ICE BSD, ternyata gedungnya
lebih besar dan megah dibandingkan mal terkeren di Bintaro Jaya:
Bxchange (#emot
nyengir). Sampai di Lippo Karawaci, ada bangunan Puskesmas kokoh nan
bersih,
kelihatan sekali wibawanya walau gedungnya tak seberapa besar. Letaknya
tepat sebelum sekolah elit berlogo elang. Di plang namanya, tertulis
“sumbangan R.S
Siloam” atau semacam itu lah. Nahh, rumah sakit itu, kata suami saya,
bekerja
sama dengan BPJS punya rakyat kebanyakan dengan pelayanan premium. Kagum
saya
mendengarnya.
Kluster-kluster yang sudah terisi, dibentengi dengan tembok
dan pintu gerbang. Jangan coba-coba datang kalau belum janjian sama penghuni
rumah. Pengalaman saya bertamu ke salah satu klusternya, satpam penjaga akan
mengetes berkali-kali alamat yang kita tuju. Password nya harus tepat, atau Anda dicurigai. Bukan melas ya,
perumahan ini jelas diperuntukkan buat pegawai yang penghasilannya, minimal
satu setengah kali dari penghasilan PNS Kemenkeu macam saya (#perludisebutgitu?).
Saya jadi mikir, bagaimana pengembang itu mengelola uang ya?
Darimana mereka mendapat uang untuk membangun fasilitas sehebat itu? Jalan yang
mulus dan luas, fasilitas pengisi waktu luang yang kekinian, sekolah, rumah
sakit. Dari hutang? Emisi saham di pasar modal? Cicilan pembeli rumah?
Jadi, buat anda-anda yang mampu membeli rumah di kawasan
elit seperti itu, jangan heran kalau harga rumah yang dijual rasanya setinggi
bintang di langit. Mahalll. Karena, Anda tidak hanya membeli hunian nyaman di
lingkungan nyaman. Tapi, Anda sudah berpartisipasi membangunkan infrastruktur
buat kami, rakyat biasa penghuni Tangerang melalui jalan-jalan luas yang
menghubungkan satu Tangerang yang baru belajar mandiri di Selatan, kota Tangerang
yang sudah mapan di tengah, dan kabupaten Tangerang senior dengan klimaks
pembangunannya di Utara. Sebaliknya, kalau Anda cari rumah di kawasan masuk ‘kampung’
dengan harga menyerempet rumah di kawasan elit tersebut, harusnya difikir-fikir
lagi. Apa kontribusi pengembang terhadap infrastruktur sampai harganya
ikut-ikutan setinggi gunung? Hanya karena pembiayaan lewat bank, atau
pengembang sekedar ingin marjin tinggi, atau pengembang tidak sanggup efisien saat
membangun rumah?
Saya jadi mikir lagi, apa peran Pemerintah Kota dalam
membangun infrastruktur dan tata kota? Menurut kesimpulan saya yang kemungkinan
salah besar, pekerjaan Pemerintah Kota sangat berat. Yang harus ditata adalah kawasan
hunian lama atau pinggir jalan rute lama, yang pemiliknya sudah kadung merasa
sangat memiliki. Tidak tahan membiarkan lahan kosong yang tadinya berfungsi sebagai
serapan air. Membuat bangunan tanpa memikirkan ruang parkir, mengabaikan
pembuatan drainase, bahkan kadang mendirikan tembok pas di sisi jalan. Tiap tahun
Pemkot harus menghabiskan anggaran membuat saluran air, yang kalau sudah selesai setelah
menyebabkan kemacetan amit-amit, ditutup lagi dengan semen permanen oleh
pemilik bangunan di sekitarnya. Jadilah, jalan yang kini sebagian besar dicor
berubah fungsi menjadi sungai atau danau di musim penghujan.
Itulah cerita saya tentang sebuah kawasan yang namanya
berbeda-beda, tapi sepertinya terhubung entah sengaja atau tidak oleh kegiatan
pembangunan pengembang. Luasnya, entah sama atau lebih dari calon kawasan
pemukiman baru yang sekarang sering jadi kontroversi. Kalau orang-orang begitu
paranoid terhadap pembangunan kawasan pemukiman baru terintegrasi itu, saya
justru terpaksa harus mengakui: pengembang telah sangat berperan menata kota
saya jadi lebih rapih dengan konektivitas yang tinggi. Wahh ... tulisan ini semestinya berjudul "Entah" saja.🌾