Hujan Hari Ini

Berbulan-bulan kami menunggu kehadiranmu.. 
atau malah sudah hitungan tahun? 
entah lah.. yang pasti lama... 
sudah kami persiapkan segalanya menyambutmu.. 
berhias diri agar layak menemuimu... 
coba kuselipkan ruang-ruang baru untuk peraduanmu... 

Tiba-tiba hari ini dirimu hadir mendahului fajar... 
atau mungkin sudah hadir saat mata kami masih terpejam? 
sungguh kejutan yang tak terkirakan... 
di kala harapan kami mulai tergerus kenyataan.. 
engkau tiba..dan masih sama.. menyejukkan... 

Tapi semua ternyata tak berbeda... 
meskipun kami sudah bersiap dan berusaha sigap... 
suka cita akan datangmu tetap meluap-luap menutup jalanan.. 
ruang-ruang baru yang kami siapkan masih tak mampu membuatmu nyaman... 
basah... tapi bisa menghapus gelisah...

Bahagia dan syukur kami panjatkan... 
tak lupa lantunan doa serta menyelipkan secercah keinginan... 
Karena kehadiranmu adalah rezeki yang seiring dengan kemakbulan...
Bukan kata kami... itu sabda manusia terbaik sepanjang zaman.. 
Semoga engkau berkenan kembali hadir esok hari.. 
Supaya dunia kembali dapat karunia...
Dan kami dikunjungi kembali waktu diijabah doa..

Perhatian, Rani

sebuah cerita yang kudengar dari dosen pendidikan agama saat kuliah dulu.

Ada satu keluarga yang harmonis, terdiri atas seorang ayah, ibu, dan seorang anak perempuan (sebut saja Rani) yang beranjak dewasa  dan sudah saatnya belajar berpijar. Mereka hidup rukun penuh kebahagiaan. Terutama karena Rani, anak remaja satu-satunya itu tumbuh sebagai remaja yang cerdas, cantik, ceria, taat beribadah, serta sangat menyayangi, menghormati dan berbakti kepada kedua orang tuanya. (Mungkin jika divisualisasikan sosok Rani ini seperti Dr. Shindy Kurnia Putri, ngayal).

Namun, pada suatu saat, perangai sang anak mulai berubah drastis. Ia menjadi pemurung dan mulai berani membantah kedua orang tuanya.

Suatu hari, ketika sang ibu seperti biasa mengajak Rani untuk ikut menghadiri pengajian, Rani berkata dengan nada sinis. "Tak perlu ibu suruh-suruh, toh ibu hanya pura-pura saja kan?" hardiknya.
Mendengar kata-kata itu, sang ibu terhenyak. Ia  kaget karena baru kali ini kata-kata seperti itu terucap dari bibir manis anaknya. Terlebih ia berani melontarkansindiran dengan kata-kata tajam. Ibu muda tersebut terguncang hebat dan menangis seraya berkata, "Ya ampun Nak, Kenapa kau berbicara seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi?".

Tanpa sepatah kata pun, Rani menyodorkan secarik kertas kepada Ibunya, kemudian ia menagis sambil masuk ke dalam kamarnya.

Melalui secarik kertas yg diberikan Rani itu, ibunya  mengetahui dan mengingat kembali kesalahan masa lalunya.
Rani ternyata menemukan surat nikah orang tuanya. Di sana tertera denagn jelas tanggal pernikahan orang tuanya, yaitu 9 Juni 1995, sedangkan Rani tahu persis bahwa ia lahir pada tanggal 13 Oktober 1995.

Pelarian

Dari tempat aku duduk, melalui jendela setengah kusam ini, kulihat mobil-mobil terparkir rapi dibawah sana, orang-orang terlihat kecil berjalan di koridor merah.. Diseberang tempat aku duduk ini, terlihat Gedung Menara Era, Allson dan Dhanapala berdiri tegak, angkuh mencoba menggapai awan.. Pikiranku melayang.. Sementara pembicara yang duduk di depan sana terlalu berisik, ngoceh terus entah membicarakan apa.. aku penat, sumpek dan ingin lari...

Ataukah kubuka saja jendela ini, mencoba lari dari keadaan sekaligus mencoba belajar terbang..?
pastilah burung-burung itu akan menertawaiku, mereka pasti akan secepatnya bergosip, "eh, ada manusia tak punya sayap, mencoba belajar terbang.." mereka pasti akan tertawa lebar melihat aku yang pasti terjatuh dari lantai 9.. Bahkan dengan semangatnya mereka akan mengabarkan kabar ini pada angin, pucuk-pucuk cemara dan lampu indah di taman kota.. Aku akan jadi berita bukan hanya di koran dan televisi tapi juga gosipan kupu-kupu pada bunga, ranting kayu pada daun, angin pada gedung-gedung tinggi atau bahkan obrolan Monas pada Stasiun Gambir..

Dan pembicara itu masih dengan semangatnya berteriak-teriak mengatakan sesuatu yang bahkan aku sendiri sangat tidak ingin mendengarnya... Aku menggerutu, "Huh.. benar-benar semena-mena orang ini.. seenaknya mengganggu kuping orang lain...". Klek.. Ku coba buka jendela, gak bisa.. jendela ini terkunci.. Huft.. untunglah terkunci.. takut juga aku belajar terbang dari jendela gedung lantai 9...

Hmm.. sekilas terlintas dalam benakku, satu tempat yang bisa untuk sementara menyelamatkanku, TOILET... hmmm, bisa jadi toilet untuk saat ini adalah tempat yang lebih indah dari ruangan ini.. sambil aku berdoa dalam hati semoga BAU di sana tidak memperkosa hidungku.. Aku pun melangkah ke toilet, dan benar.. toilet ini ternyata terlihat lebih indah dari ruangan tadi, lebih nyaman, baunya juga harum.. Harum..??? Emang ada..??? ya, kenapa tidak? emang dikira gak ada apa, toilet yang baunya harum..?? banyak lagi.. weekkk...!!! kataku dalam hati ngobrol sendiri... dan yang paling penting, suara orang yang semena-mena mengganggu kupingku tadi tidak sampai ke toilet ini... toilet ini sepi, tidak berisik.. damai rasanya...

Hmm.. jadi betah di toilet ini.. berdiri diam sekaligus berdiam diri di sudut toilet, dan sibuk membuat komentar di FB ataupun BBM-an dengan teman-teman.. 10 menit dalam kesunyian, tiba-tiba masuk salah satu peserta sosialisasi.. hahaha.. aku inget banget nih orang.. duduk dideretan kursi baris ke-4 di depanku... aku inget banget.. karena dari tempatku duduk diruangan tadi kalau aku melemparkan pandangan ke depan, dengan atau tanpa perhatian sekalipun, pastilah akan tertumbuk pada sesuatu yang menyilaukan.. ya pantulan sinar lampu diruangan dapat terlihat jelas pada kepala orang ini... hehehe...

Orang ini, yang aku gak tau namanya dan juga sama sekali tidak punya niat ingin tau namanya, begitu masuk toilet, langsung menuju kotak putih yang menempel di dinding ruangan toilet, kotak yang dimaksudkan untuk menampung keperluan orang banyak, keperluan yang tidak bisa diwakilkan tentunya, kotak yang walaupun aku yakini berharga mahal tetapi hanya digunakan untuk menampung campuran senyawa air, urea, garam dan amoniak... Sambil berdiri menghadap kotak, orang ini menoleh ke arahku.. Huh...!!! ngapain noleh-noleh dulu..?? jangan berprasangka aneh-aneh ya..? aku disini bukan untuk ngintip cowok pipis... gak sudi tau..!! apalagi ngintip cowok kayak kamu, sangat gak sudi...!!! Kau bayar pun aku ogah...!!!

Aku di sini, berdiri di sudut ruangan toilet ini, hanya untuk mencari tempat pelarian dari sumpeknya ruangan sosialisasi.. tempat ini, ruangan toilet ini, masih lebih baik dari ruangan sosialisasi ber AC tadi, meskipun karena itu, kamu, hai orang yang berkepala menyilaukan, jadi berprasangka ke aku.. aku gak peduli.. asal kau tidak menggangguku, aku gak peduli.. bahkan kalaupun kau pipis miring sambil mengangkat kaki satu pun aku gak peduli...atau pipis tanpa buka celana aku juga gak peduli, lebih gak peduli malah.. toh itu celanamu.. bukan celanaku...

Meskipun mataku ke arah Blackberry yang aku pegang, tapi dari jangakuan pandangan yang masuk dalam retina mataku, kau dan kepalamu yang menyilaukan itu masih terlihat.. dan samar-samar terlihat gerakan tanganmu menurunkan resleting celana... sreet... kau alihkan pandanganmu dari menatapku kearah bawah, hmm.. mungkin kau ingin memastikan sudah dalam posisi yang tepat atau belum.. 

Oh, pelarianku yang terganggu...


*catatan pada 28 Februari 2012

Sodara Ketemu Gede

Neng kenal  mba Yayun, Tirta, dan mas Akmal saat wawancara beasiswa di gedung A Bank Indonesia. Dia heran dengan kepribadian ketiga orang ini yang ramah dan langsung ‘nyetel’ ngobrol ngalor ngidul seputar materi tes matematika dan wawancara saat itu. Padahal, banyak orang yang baru kita kenal harus ditanya berkali-kali untuk memulai percakapan. Pertemuan selanjutnya, dan menandai dimulainya persaudaraan mereka, di pesawat JL726 tujuan Jakarta-Tokyo, 8 Juli 2009.

“Lu udah tahu bahasa Jepang yang harus diucapin setelah selesai makan?” tanya Tirta.

“Hah?? Emang bakalan penting kita pake kalo di sana? Gue cuma tahu arigatou,” Neng jadi takjub dengan kesiapan orang satu ini.

“Lho … kalo ke Negara orang, kita harus tahu tata krama yang berlaku di sana. Sehabis makan, bilang ke koki nya,’gochisyoo samadeshita,’ mereka akan respek banget.” Well … oke, oke, Neng pun terbata-bata bagai merapal ‘mantra’ gochisyoo samadeshita … berkali-kali.

Mereka kemudian bergabung dengan 40 penerima beasiswa lain dari berbagai Negara di Asia menuju International University of Japan di pelosok provinsi Niigata. Di sana mereka dikarantina selama 3 bulan untuk belajar bahasa Inggris dan pengenalan teori ekonomi. Di tempat ini pula proses keeratan mereka mengalami ‘kontraksi’ … halahh … alias cobaan-cobaan ketika lebih banyak ketidaksepakatan atau sepakat untuk tidak sepakat. Susah yaa?? Tapi itu yang bikin berkesan. Contohnya ini.

Perdebatan pertama mereka terjadi di dapur bersama kampus. Sayangnya, mereka tidak sedang berdebat mengenai kebijakan rencana pengurangan subsidi bbm atau self buyback Emiten di pasar modal Indonesia. Mereka saat itu sedang berdebat sengit tentang bagaimana bertahan hidup secara koloni. Hahaha …

Patungan dengan mengiur kah? Masing-masing menyumbang bahan mentah kah? Atau beli saja kah? Akhirnya, diputuskan mencoba untuk patungan dengan porsi minimalis terlebih dahulu. Karena, dalam penentuan menu apa yang akan dimasak kembali terjadi argumentasi. Sayurnya oke, tapi yang satu usul lauk daging, yang lain lebih suka ikan, malah ada yang usul dia sumbang masakan bekal dari Indonesia saja, tidak usah patungan uang. Neng sendiri? Kenapa menu saja harus menguras waktu, fikiran dan tenaga? Makan itu kan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Jadi, seharusnya sepanjang makanan itu bisa menunjang energi untuk hidup, yaa tidak perlu berpusing-pusing atau ngotot. Kongsi ini berjalan dua hari, selanjutnya masing-masing bertahan hidup dengan cara sendiri-sendiri.

Untungnya, mereka saling mendukung secara akademis. Kalo Tirta dan Mba Yayun berbagi ilmu matematika dan ekonomi, Neng bisa berbagi tentang menautkan ide ketika menulis esay, dan mas Akmal paling jago membuat momen hidup lebih meriah dengan social life skill-nya yang mumpuni: main tenis, billiard, bulutangkis, sepedaan, bahkan jalan kaki akibat tertinggal shuttle bus.

Yang paling mengherankan adalah, ketika mas Akmal ngotot berterima kasih ke Neng karena math exam pertamanya dapat 96, wowww. “Wahhh, untung kamu ngajarin cara menghitung maximizing profit ini, Neng. Thank you banget, lhoo.”  Neng bingung, karena merasa hanya berdiskusi intens dengan mas Akmal tentang tema yang harus lebih fokus untuk tugas writing bahasa Inggris,”Kita kan hanya belajar kohesivitas bikin essay, mas?” Neng coba mengingatkan. Dia sendiri hanya dapat 68, he he he …

Sesekali mereka buat acara makan bareng atau barbeque bersama senior Indonesia yang kebetulan tidak ‘mudik’ saat liburan musim panas itu. Lalu, mencoba menikmati hidup dengan berpetualang mengunjungi sahabat Jepang di Ojiya, kota kecil lain di Niigata, dengan kereta lokal. Segala perang argumentasi yang berujung guyon dan tawa pelepas stres, diskusi kelompok, masak, jalan-jalan, dan olahraga bersama, sungguh jadi hiburan yang menenteramkan saat kita berada dalam keterasingan dan pertama kali menjalani hidup jauuuuh dari keluarga.

Bulan Oktober 2009, mereka berpisah untuk memulai kehidupan akademis di kampus pilihan masing-masing. Mba Yayun tetap di IUJ, kemudian khusyuk belajar dan merawat keluarga yang langsung diboyongnya sebulan setelah tiba di Jepang. Tirta dan mas Akmal kuliah di Universitas Yokohama, untungnya ditempatkan satu dormitory dengan Neng yang kuliah di Tokyo. Dan Neng? Dia merasa tertatih menyelesaikan tugas-tugas dan ujian karena kurikulum yang dipadatkan harus selesai dalam waktu 1 tahun masa kuliah. Kecemasan dan kekhawatiran memahami formula-formula matematika yang bercampur huruf dan angka, sering menutup kemeriahan Roppongi dan futuristiknya Odaiba, distrik tempat dia kuliah dan tinggal, dari pandangan Neng.

Tapi, untungnya dua Saudara barunya itu tetap memantau, memastikan dia baik-baik saja. Biasanya, jam 9 malam setiba dari kampus telepon kamar dormitory nya berbunyi : Kriiing … kriiing, kalau diangkat, terdengar suara mas Akmal dari Lantai 5 tower yang sama bercampur dengan suara sesuatu dimasukkan ke dalam minyak…sreeeenggg .. cessss…klontang.
“Neng, belum makan kan? Yuk, sini aku masak kebanyakan nih. Datang, ya biar ga mubazir.” Lalu Neng pun khusyuk makan sambil sesekali memberi saran atas rencana mas Akmal membawa keluarganya tinggal di Yokohama. “TIEC yang tower family sudah penuh, Neng. Jadi terpaksa cari apatto di Yokohama. Mudah-mudahan istri dan anak-anakku betah.” Minimal, Neng membesarkan hatinya, “Wahh… masak ga betah? Tinggal di luar negeri kan bagaimana pun pengalaman langka.” Undangan makan dari mas Akmal sering menimbulkan rasa haru. Bapak satu ini sungguh-sungguh sekali memasak setiap hari dengan hasil, sepanjang Neng memenuhi undangannya: sayur sawi bumbu tumis cabai, sop dengan bumbu tumis cabai, atau kentang juga dengan rasa tumis cabai.

Kalau bukan undangan makan yang datang, dering telepon kamar dormitory hampir pasti berasal dari tower B tempat Tirta bersemayam. Kriiiing … kriiing … kriiing. Dan setelah Neng jawab, “Hallo??”
“Waduuuhh, Neng baru pulang lo? Berkali-kali gue telepon. Syukur deh ternyata lo masih hidup. Ha ha ha … gue pikir udah loncat lo dari lantai 14. He he he … jangan nekad ya, sist. Kata si Dany elo terlalu serius sihh belajar. Nikmati hidup lah, sekali-kali.” Neng tahu banget dia guyon, serem ya? Tapi Neng justru terbahak-bahak, menghibur diri. Perhatian dan kalimatnya bukan tanpa alasan. Ada kejadian saat Neng tiba-tiba tidak bisa dihubungi, yang akan diceritakan di bagian akhir tulisan ini.

Sebenarnya Neng setuju banget dengan selorohan Tirta tentang menikmati hidup. Di antara perasaan tertekan melalui masa kuliah, Neng bersyukur bisa mengambil keputusan-keputusan spontan di sela tenggat waktu mengumpulkan tugas. Seperti hari Sabtu itu, saat khusyuk menyimpulkan jurnal Eugene F. Fama tentang konsep pasar yang efisien dan hanya satuuuu stasiun lagi menuju kampus, tiba-tiba iphone 3G-nya bergetar…drrrttt. SMS dari mas Akmal, ”Neng, Wahyu sama keluarganya mau main ke Yokohama, jam 7.30 kita kumpul di Shibuya eki. Ikut, yukk”. Waahhh masih jam 7.06!!! Segera saja dia batalkan niat menambah paragraf  policy paper, dan memilih putar balik di stasiun Roppongi menuju Shibuya: Yokohama, here I come. Padahal, dosen pembimbing sudah menunggu kemajuan tugas akhir itu hari Selasa nya… Jadilah dia menikmati suasana pelabuhan Yokohama untuk pertama kali dan mengakhiri petualangan di China town menjelang jadwal kereta terakhir ke Tokyo berangkat.

Itu di luar permintaan menginap dari istri mas Akmal untuk menemani mereka saat, ternyata, kenyamanan menggunakan ojek dan angkot reot di Kemanggisan lebih menggiurkan daripada riwayat hidup ‘pernah tinggal di Luar Negeri’. “Di sini sepi, Neng. Nita belum punya teman. Mau ke mana-mana susah, harus tunggu jadwal bis, jalannya pelaaan. Di Jakarta mah gampang, ke mana-mana tinggal panggil ojek, angkot juga ada setiap saat”. Jadilah dia sulit menolak kalau Nita sudah meminta Neng menemani mereka di akhir pekan. Daibutsu, pantai dan kuil-kuil Yokohama, target wisata dalam rangka menghibur diri. “Tugas kuliah mah ga usah dipikir, Neng. Waktunya kelar, juga kelar sendiri”. He he he … iya, sih … asal dicicil ngerjainnya.

Keluarga barunya ini juga perhatian, luar biasa perhatian. Seperti saat akhir term musim gugur itu, ketika Neng malas hadir di acara BBQ kawan-kawan satu sponsorship beasiswa kampus. Sebenarnya, dia berniat mengerjakan tugas akhir Statistik dan essay Structural Reform dan Public Expenditure sebelum libur akhir tahun yang cuma seminggu tiba. Neng pengen pulang ke Indonesia, ga mau diganggu urusan tugas.

Hanya saja, itu hari Sabtu… gengsi dong kalo ketahuan ke kampus. “Oh my God, don’t you even take a break???” Bisa dicap kerajinan, dia … dan itu cukup memalukan. Maka, dia beralasan ke Ciu Jian (Cici), ketua grup mahasiswa, ”Akmal invited me to come to his apatto in Yokohama.” Hmmm, diundang kan ga berarti kita datang, ya? Jadi… ga bohong-bohong amat. Nahh … si Cici yang satu tower sama Tirta ketemu, dan kebetulan Tirta akan pergi ke Yokohama. “Hi, Tirta. We're going to have BBQ party without Neng. She said Akmal invited her to Yokohama.” Setelah tidak berhasil menghubungi Neng lewat telepon kamar dan hp (kebetulan HP Neng jatuh di kampus), Tirta berbaik sangka Neng sudah berangkat duluan.

Ternyata, di Yokohama dia tidak ada. He he he … mereka panik.,”Lho, kata Cici, Neng ke sini??” Akhirnya, mereka mencoba menghubungi salah satu kawan Indonesia yang tinggal di tower yang sama dengan Neng untuk mencoba mengecek ke kamarnya. Nihil, berkali-kali bel pintu dibunyikan, tidak ada jawaban dari dalam.
Jam 9 malam, tepat Neng membuka pintu kamar dormitory, telepon kamar berbunyi riuh … kriing …kriiing. “Moshi-moshi? Aduuuhhhh Neng san, kemane aje sih luuuuu?” Suara Tirta di seberang terdengar menahan emosi. “Kenape emang, bro? Gue dikejar deadline tugas akhir banyak banget, bro. Kalo ikut BBQ, keburu ide dan mood nya hilang”. “Lu udah bikin panik perkumpulan mahasiswa Indonesia se-Odaiba, tahu engga? HP punya, tapi ga bisa dihubungi.” Neng tahu Tirta lebay. “Maaf-maaf, bro. HP gue belom ketemu, dan belom ada dana buat beli baru. Maaf ya, bro”. Lalu, dia cerita bagaimana kekhawatiran Neng hilang dimulai dan permintaan kepada kawan Indonesia mengecek kamarnya. Well…well.. .terima kasih ya, teman-teman. Untung Neng belum dilaporkan hilang ke KBRI atau kepolisian Jepang.

Begitu lah sekelumit kebersamaan Neng dengan orang yang tadinya asing dan menjadi begitu dekat, bagai Saudara yang baru dipertemukan setelah dewasa (hmm… masih gengsi bilang tua). Kedekatan dan rasa terikat itu yang membuatnya bisa mengimbangi perasaan tertekan dengan rileks sehingga kuliah bisa selesai. Ikatan itu juga yang sering mengingatkan dia untuk selalu menjaga diri dan kehormatan saat jauh dari pengawasan keluarga tercinta. Ikatan yang membuat Neng merasa, keberadaannya dirasakan orang dan saling memberi motivasi itu penting sekali, tidak hanya untuk orang lain, tapi juga untuk semakin menguatkan diri sendiri.

Benar kata Imam Syafii, merantau bisa memberi kita pemahaman. Bukan hanya ilmu tapi pelajaran hidup dan pengganti atas apa-apa yang kita tinggalkan: saudara & kawan.🌾


Herbal – Daun Afrika

Sudah pernah dengar nama Daun Afrika? Gak banyak yang mengenal manfaat dan faedah dari Daun Afrika. Saya mengenal daun ini (kalau boleh disebut terapi herbal) dari ibu mertua saya yang memang senang mencari sumber herbal dari alam. Adanya kebutuhan inipun karena beliau memang sedang sakit dan beberapa terapinya juga menghindari berbagai macam obat-obatan kimia yang dapat merusak ginjal manusia. Selain daun afrika ini ada juga tanaman binahong dan beetroot (pernah di-post-ing di salah satu grup whatsApp). Jika mencari binahong saat ini cukup susah dan tidak banyak yang menanam jenis tanaman ini. Kalau beetroot  atau buah bit, ibu mertua juga pernah konsumsi, dan khasiatnya cukup manjur. Setelah banyak yang mengetahui manfaat beetroot atau buah bit, akhirnya buah bit ini menjadi komoditas yang cukup mahal di pasaran. Ibu mertua tidak berani konsumsi daun Afrika karena rasanya yang cukup pahit. Memang sesuatu yang pahit itu akan memberikan manfaat cukup banyak khususnya daun Afrika ini.
Namun saya mencoba membahas mengenai daun Afrika ini karena berdasarkan pengalaman saya yang telah menggunakannya sudah hampir 3 tahun lebih. Jika ada yang ingin meminta tanaman ini, saya siap menyiapkan anakannya. Karena tanaman daun Afrika ini sangat mudah di media tanam sepanjang cukup air. Bisa dengan metode dipatahkan/stek kemudian tanam. Metode ini sangat mudah, tinggal menunggu akarnya muncul dan kemudian tinggal tanam. Rekan-rekan bisa browse soal tanaman ini. Saya gak akan bahas manfaatnya karena banyak sekali manfaatnya sehingga saya cukup memberikan informasi berdasarkan pengalaman yang baik dari daun Afrika ini.
      Saya cuma mengingatkan bahwa konsumsi daun Afrika ini sangat dilarang bagi wanita hamil (karena bisa keguguran), wanita sedang menstruasi dan seseorang yang sedang sakit perut. Karena khasiat daun Afrika ini bisa meluruhkan semua sisa makanan yang ada di dinding usus kita. Hal ini sangat baik bagi rekan-rekan yang sering mengalami sembelit. Saya menggunakan daun Afrika ini dengan memetik dan mengunyahnya secara langsung setelah dibersihkan dengan baik. Jika dimasak dengan air dan residu air diminum, manfaatnya sangat berbeda. Jadi bagi yang biasa makan masakan khas Sunda, hal ini akan sangat bermanfaat bagi tubuh secara langsung. Rasanya sangat getir dan tidak enak. Jika pernah konsumsi bunga pepaya, daun pepaya, brotowali, ini lebih getir dari itu semua. Jadi siapkah diri anda untuk sehat dengan daun Afrika?



Cerita ini dapat juga dibaca pada link berikut :

CPNS oh CPNS


Beberapa bulan terakhir ini hingar-bingar berita penerimaan CPNS menjadi trending topic di mana-mana, setelah tiga tahun moratorium penerimaan PNS jutaan orang bersiap-siap menyambutnya (lagi) selayak mana sebuah pesta besar. Calon pesertanya heboh, orang tuanya lebih heboh lagi. Berbagai hal harus dipersiapkan, kantor polisi dan RSU penuh dengan pengantri yang mengurus SKCK dan surat keterangan sehat dan bebas narkoba yang menjadi salah satu prasyarat mendaftar ujian CPNS. Toko bukupun sepertinya turut mendulang rupiah dengan lakunya buku-buku soal persiapan CPNS, bahkan dengar-dengar para pemuka agama dan dukun juga kebanjiran pesanan untuk mendoakan.

Kenapa ingin jadi PNS? Pertanyaan itu berulang kali saya tanyakan kepada ponakan, saudara, atau teman yang bercita-cita ingin jadi PNS. Berbagai jawaban terucap baik yang jujur maupun yang tidak (perasaan saya sih kalo doi ga jujur, moga-moga salah). Ada yang dengan lantang bilang “kalau jadi PNS itu enak, kerjanya sedikit tua dapat pensiun”, ada juga yang malu-malu bilang “disuruh bapak, soalnya bapak pensiunan PNS atau pejabat disalah satu kementerian”. Tapi bukan berarti tidak ada yang menjawab “passion saya disitu, saya pengen bangt tuh kerjaan yg d mana stiap hari nya sy slalu ngomong bhs. inggris secara tatap muka dgn org2 bule2 di bidang ekonomi business gitu2 mas dan kebetulan bokap juga kepala di kanwil pajak hehe so yeah pengen nge-lanjutin gitu mas samuel”, kebetulan yang terakhir ini mendaftar jadi cpns di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Menurut Suhendra dalam artikelnya di www.tirto.id pada tanggal 11 September 2017 lalu “Lowongan sebagai PNS memang selalu menjadi dambaan banyak orang di Indonesia, dengan fasilitas dan jaminan yang tak dimiliki oleh pekerja swasta dan lainnya” dan Kementerian Keuangan menjadi favorit di karenakan memberikan insentif tunjangan kinerja yang cukup mengiurkan. Belum lagi prestise bagi pegawai di Kemenkeu pada umumnya dan DJP serta DJBC pada khususnya (ini menurut para orang tua calon pendaftar loooh).

Kepada saudara terdekat saya suka berkata “ngapain jadi PNS kalo cuman mau cari aman?”, “Anak perempuan nanti kalo penempatannya jauh gimana?”. Ato saya juga suka bilang “PNS ga bisa kaya tau”. Kalau mengutip kata-kata Ibu Sri Mulyani “jika ingin menjadi kaya, jangan menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Dia menyarankan anak muda menjadi pebisnis jika ingin menjadi miliuner”. Buat saya pribadi salah satu cita-cita saya adalah mencapai kebebasan finansial atau bahasa ilmiahnya “kaya” dan selama lebih dari sepuluh tahun mengabdi sebagai PNS hal itu sepertinya sulit dicapai. Jikapun sebagai PNS memiliki sampingan ada kemungkinan (yang paling kecil) akan mengganggu kinerjanya, lebih-lebih akan diperiksa KPK karena dicurigai KKN.

PNS bukan bantalan untuk kepastian hari tua, bukan juga untuk kerjanya sedikit gajinya lumayan. Menjadi PNS artinya harus siap melayani bukan dilayani. Pekerjaannya pun tidak selamanya indah, yang terlihat di layar televisi atau smart phone kamu hanya sebagian saja, yang tidak tersorot kamera dan tidak terposting di facebook lebih banyak lagi. Sudahkah kamu cek berapa kantornya? dimana lokasinya? Apa kerjaannya?

Pikirkan lagi niatmu menjadi PNS dik, dan tentu saja semoga yang terbaik yang berhasil. Salam.

Impossible is a word to be found only in the dictionary of fools -Napoleon Bonaparte

  • Aini Boom. boombastis.com. 8 September 2017. <http://www.boombastis.com/meme-kocak-pns/120548>
  • Suhendra. “Peluang Sempit jadi CPNS 2017.” Tirto.id. 11 September 2017. <https://tirto.id/peluang-sempit-jadi-cpns-2017-cwlg>

Rectoverso

Sebuah kata yang jarang kita dengar
Kalaupun ada yang pernah mendengar, karena memang senang dengan novelnya Dee

Sebuah kata ini ditemukan Dee melalui sebuah kebetulan
Ketika Dee sedang stand in line  di dalam sebuah bank dan ditemukan kata itu

Makna kata ini cukup dalam menurut Dee
Arti kata itu merupakan sebuah gambar yang seolah-olah terpisah,
Padahal gambar itu merupakan satu kesatuan yang utuh

Seperti kisah novel nya Dee
Dee membuat sebanyak 11 lagu dan 11 kisah yang dibuat terpisah
Meskipun dibuat berbeda dan terpisah, dapat dinikmati secara bersamaan

Itulah salah satu buku keluaran Dee
Itu bukan sebuah album tetapi sebuah novel
Dee membuat kisah romantis yang sejalan dengan lagunya

Seperti kehidupan,
Setiap frame kehidupan merupakan bagian yang terpisah dari pelakunya
Namun frame itu akan membentuk kisah yang saling terkait secara utuh bagi pelakunya


Renungan ini dibuat di kala melamun dan senggang


Renungan ini dapat juga dibaca pada link berikut :https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/2017/09/blog-post.html

Pendidikan dan Warna-warninya – Part 2

Saya juga mau berbagi cerita kembali soal pendidikan anak saya pertama, Haya saat mau lulus ke jenjang SMP. Saat ini anaknya sudah sekolah di MAN I Bekasi dan kebetulan anaknya senang ikut kelas CBT-Computer Based Technology. Kekurangan kelas ini memang teman kelasnya itu saja hingga kelas 3. Namun siswa tidak dibebankan homework dan tugas sejenisnya. Kok masih soal pendidikan? Iya saya perlu berbagi karena fakta ini ada di tengah masyarakat wilayah kota di Bekasi. Saya tidak ada referensi untuk kota lain. Selain itu ada cerita menarik soal bagaimana hasil UAN bisa dipermak menjadi lebih bagus agar masuk sekolah favorit di wilayah kota Bekasi.
          Saat si kk menjalani soal kelulusan saat sekolah dasar, kurikulum yang berlaku adalah kurikulum 2013 dimana jenjang pendidikan dasar tidak perlu menjalani semacam ujian akhir nasional (UAN), yang merupakan sudden death bagi beberapa peserta didik. Karena masa depannya hanya ditentukan oleh hasil UAN semata, tidak mempertimbangkan peserta didik sejak kelas 1 hingga 6 sekolah dasar. Selain itu, pendidikan dasar selama 9 tahun itu tidak perlu ada semacam sudden death atau UAN segala, sesuai dengan kurikulum 2013. Pada tahun sebelumnya, tahun 2012, pendidikan dasar masih menggunakan kurikulum 2006 yang mengharuskan ada UAN dan semacamnya. Istilah keren untuk kurikulum 2006 adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan saat itu si kk diuntungkan karena tidak masuk dalam kurikulum 2006, jadi bisa langsung lulus tanpa harus ada UAN.
          Masalah yang terjadi adalah meskipun tidak ada UAN bukan berarti semua sistem jujur dan wajar tanpa hambatan. Faktanya banyak sekolah dasar negeri di wilayah kota Bekasi “bermain” di angka kelulusan peserta didiknya asal ada iming-iming atau imbalan uang, sehingga angka hasil ujian akhir untuk masuk SMP pilihan pun bisa “dikatrol” sepanjang sesuai dengan “kesepakatan”. Alhamdulillah si kk dan kami sebagai orang tua tidak tergoda untuk hal-hal seperti itu. Meskipun si kk Haya tidak masuk SMP Negeri pilihan (SMP Muhammadiyah 28 Kota Bekasi – swasta) hasilnya tetap membawa keberkahan untuk Haya dan masa depannya. Pada awalnya si kk sempet minder karena banyak teman SD nya masuk sekolah negeri.
Makanya, saya ingin bertanya, apakah UU Sisdiknas atau kebijakan pemerintah atas pendidikan menjangkau hal-hal seperti ini? Bagaimana pendidikan itu seharusnya dilaksanakan? Bukankah pendidikan juga mencakup perihal budi pekerti dan kejujuran didalamnya? Sejak dini, anak-anak atau peserta didik diajarkan dari alam sadarnya dibawa ke alam ketidakjujuran. Makanya saya tidak heran kalau bangsa ini tidak berkah karena dalam hal pendidikan saja masih ada unsur ketidakjujuran. Anak-anak peserta didik merasa bangga bisa bersekolah di negeri meski mereka berada di jurang “ketidakjujuran”.
      Pendapat ini merupakan pendapat dan pengalaman pribadi saya. Masih banyak disclaimer di dalamnya. Inilah kiranya pandangan saya tentang pendidikan di Indonesia yang cenderung memberatkan otak bagian kiri atau menyangkut hal-hal hitungan dan matematika. Pendidikan dasar jarang menjangkau hal-hal yang menyangkut kreatifitas (otak kanan). Ini bukan sebuah kesalahan tapi fakta bahwa memang seperti itu pendidikan di Indonesia. Makanya kami selaku orang tua tidak pernah “memaksa” untuk selalu menggunakan otak kiri. Saya cenderung mendukung penggunaan otak kanan yang mendominasi hal-hal yang berbau kreatifitas. Saya berharap rekan-rekan yang memiliki keilmuan yang lebih bisa berpikir ke depan atas fenomena pendidikan di Indonesia seperti ini. Semoga Allah selalu melindungi Indonesia sebagai bangsa yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan dapat digunakan sesuai dengan hati nurani penduduknya.