Malam beranjak menyepi ketika ditemani hujan yang terlihat sabar dengan rintik-rintiknya. Suara syahdu tetesan airnya membuaiku untuk tetap bermalas-malasan merebahkan punggung di tempat yang biasa aku menghabiskan malam istirahatku. Ini memang waktu yang ideal untuk segera melepaskan segala kepenatan dari hiruk pikuknya beban di sepanjang hari tadi.
Belum juga sempat mengawali petualangan 'hibernasi'-ku malam ini, kudengar rintihan kesakitan dari istriku. Rupanya sakit gigi yang dikeluhkan sejak pagi tadi, mencapai puncak sakitnya di saat orang-orang berangkat ke tempat peraduannya.
Baru kali ini aku tahu betapa sebegitunya orang mengeluh karena sakit gigi. Aku menjadi tidak heran beberapa tahun yang lalu ada seorang teman yang protes keras gara-gara mendengar lagu yang liriknya kurang lebih bermakna "lebih baik sakit gigi daripada sakit hati". Kata temanku itu, "penyanyinya tidak pernah sakit gigi sih, kalau aku ya mending sakit hati daripada sakit gigi". Aku pikir pernyataan temanku ini juga penuh spekulasi, mungkin karena belum merasakan betapa sakitnya kalau lagi sakit hati. Tapi bolehlah, sekali-kali protes terhadap lagu yang tadinya dimaksud untuk menghibur, tapi malah dirasa kontradiktif terhadap yang sedang dirasakan temanku. Wajah protesnya tidak bisa disembunyikan, sambil pegang pipi sebelah kirinya yang keliatan bengkak. Sabar ya friend :D
Malam ini mungkin menjadi malam yang akan dikenang istriku dengan rasa sakitnya yang tak kunjung berujung. Rintihannya cukup mewakili betapa sangat sakitnya yang sedang dirasakan. Aku tidak boleh tidur, harus berbuat sesuatu. Toh suami siaga tidak hanya dimonopoli oleh para istri yang hamil saja. Mendapat perhatian suami adalah hak segala bangsa, termasuk para istri yang sedang sakit gigi.
Tak berlama-lama lagi, aku tawarkan untuk aku bawa ke rumah sakit terdekat, tapi istri tidak mau. Cukup minta dibeliin obat sakit gigi saja untuk mengurangi rasa sakitnya. Segera aku ganti baju, aku ambil kaos sekenanya, warna putih berkerah dan tak lupa pakai jaket untuk melindungi diri dari udara yang tidak terlalu bersahabat karena dingin yang menyengat tulang.
Waktu sudah menjelang tengah malam ditambah hujan rintik, membuat jalanan begitu lengang. Tidak butuh waktu lama untuk sampai pada rumah sakit terdekat. Alhamdulillah tempat parkir juga tidak penuh, memudahkan aku memilih di mana aku memarkir kendaraanku dan segera ke apotek dan beli obat sakit gigi sesuai pesanan istri. Aku tidak boleh lama meninggalkan rumah, khawatir tetangga kiri kanan terbangun gara-gara istri sakit gigi.
Setelah antri beberapa saat, obat pereda nyeri sakit gigi itu sudah siap aku bawa pulang dengan sejuta harapan. Seperti biasa aku siapkan uang parkir, dan sebelum beranjak pergi, aku serahkan uang ke petugas parkir. Tapi anehnya tukang parkir memberi isyarat tidak mau menerima uang parkir tersebut. "Wah baik banget tukang parkirnya, bisa memahami cobaan yang sedang menimpa kami," pikirku. Tapi aku tidak boleh kalah, aku agak memaksa sedikit, "sudah, tidak apa-apa pak, ini ya", sambil aku sodorkan lagi uangnya. Dengan sopan dan hormat diterimalah uangku sambil berkata, "makasih dok..."
Langsung saja aku menyadari kenapa tadi tukang parkir tidak mau menerima pemberianku. Sambil berusaha mencari penyebabnya, aku perhatikan lagi apa yang ada pada diriku. Mungkin karena pakaian yang aku kenakan ditambah kacamata minus yang sudah lama menemani kemanapun aku pergi.
Tuhan Maha Adil, setiap kebaikan yang kita tanam, terkadang tanpa harus menunggu lama, kebaikan yang berikutnya akan dikaruniakan kepada kita. Jadi jangan ragu untuk berbuat baik kepada orang lain, terutama kepada istri dan orang-orang yang kita sayangi. Bersusah payahnya aku memberikan yang terbaik buat istri yang sedang menahan rasa sakitnya, dibayar lunas oleh Tuhan, cita-citaku sejak kecil tercapai : ingin menjadi dokter. Alhamdulillah.
Belum juga sempat mengawali petualangan 'hibernasi'-ku malam ini, kudengar rintihan kesakitan dari istriku. Rupanya sakit gigi yang dikeluhkan sejak pagi tadi, mencapai puncak sakitnya di saat orang-orang berangkat ke tempat peraduannya.
Baru kali ini aku tahu betapa sebegitunya orang mengeluh karena sakit gigi. Aku menjadi tidak heran beberapa tahun yang lalu ada seorang teman yang protes keras gara-gara mendengar lagu yang liriknya kurang lebih bermakna "lebih baik sakit gigi daripada sakit hati". Kata temanku itu, "penyanyinya tidak pernah sakit gigi sih, kalau aku ya mending sakit hati daripada sakit gigi". Aku pikir pernyataan temanku ini juga penuh spekulasi, mungkin karena belum merasakan betapa sakitnya kalau lagi sakit hati. Tapi bolehlah, sekali-kali protes terhadap lagu yang tadinya dimaksud untuk menghibur, tapi malah dirasa kontradiktif terhadap yang sedang dirasakan temanku. Wajah protesnya tidak bisa disembunyikan, sambil pegang pipi sebelah kirinya yang keliatan bengkak. Sabar ya friend :D
Malam ini mungkin menjadi malam yang akan dikenang istriku dengan rasa sakitnya yang tak kunjung berujung. Rintihannya cukup mewakili betapa sangat sakitnya yang sedang dirasakan. Aku tidak boleh tidur, harus berbuat sesuatu. Toh suami siaga tidak hanya dimonopoli oleh para istri yang hamil saja. Mendapat perhatian suami adalah hak segala bangsa, termasuk para istri yang sedang sakit gigi.
Tak berlama-lama lagi, aku tawarkan untuk aku bawa ke rumah sakit terdekat, tapi istri tidak mau. Cukup minta dibeliin obat sakit gigi saja untuk mengurangi rasa sakitnya. Segera aku ganti baju, aku ambil kaos sekenanya, warna putih berkerah dan tak lupa pakai jaket untuk melindungi diri dari udara yang tidak terlalu bersahabat karena dingin yang menyengat tulang.
Waktu sudah menjelang tengah malam ditambah hujan rintik, membuat jalanan begitu lengang. Tidak butuh waktu lama untuk sampai pada rumah sakit terdekat. Alhamdulillah tempat parkir juga tidak penuh, memudahkan aku memilih di mana aku memarkir kendaraanku dan segera ke apotek dan beli obat sakit gigi sesuai pesanan istri. Aku tidak boleh lama meninggalkan rumah, khawatir tetangga kiri kanan terbangun gara-gara istri sakit gigi.
Setelah antri beberapa saat, obat pereda nyeri sakit gigi itu sudah siap aku bawa pulang dengan sejuta harapan. Seperti biasa aku siapkan uang parkir, dan sebelum beranjak pergi, aku serahkan uang ke petugas parkir. Tapi anehnya tukang parkir memberi isyarat tidak mau menerima uang parkir tersebut. "Wah baik banget tukang parkirnya, bisa memahami cobaan yang sedang menimpa kami," pikirku. Tapi aku tidak boleh kalah, aku agak memaksa sedikit, "sudah, tidak apa-apa pak, ini ya", sambil aku sodorkan lagi uangnya. Dengan sopan dan hormat diterimalah uangku sambil berkata, "makasih dok..."
Langsung saja aku menyadari kenapa tadi tukang parkir tidak mau menerima pemberianku. Sambil berusaha mencari penyebabnya, aku perhatikan lagi apa yang ada pada diriku. Mungkin karena pakaian yang aku kenakan ditambah kacamata minus yang sudah lama menemani kemanapun aku pergi.
Tuhan Maha Adil, setiap kebaikan yang kita tanam, terkadang tanpa harus menunggu lama, kebaikan yang berikutnya akan dikaruniakan kepada kita. Jadi jangan ragu untuk berbuat baik kepada orang lain, terutama kepada istri dan orang-orang yang kita sayangi. Bersusah payahnya aku memberikan yang terbaik buat istri yang sedang menahan rasa sakitnya, dibayar lunas oleh Tuhan, cita-citaku sejak kecil tercapai : ingin menjadi dokter. Alhamdulillah.