Berebut “Benar”

Tidak ada satu individu pun yang dapat terlepas dari sebuah relasi di masyarakat. Sependiam apapun individu tersebut, sekutu buku apapun dia, pasti akan memiliki sebuah relasi. Ntah itu dalam sebuah komunitas kecil maupun besar. Bentuk relasi ini pun semakin berkembang seiring kemajuan teknologi informasi yang menghadirkan relasi dunia maya. Bahkan relasi dunia maya lebih mendominasi, karena tidak perlu saling bertatap muka atau mengenal, relasi ini terlihat seperti tanpa beban. Orang lebih berani dan responsif dalam bereaksi. 
 Secara alamiah, sebuah relasi selalu berhadapan dengan interaksi yang akan memunculkan sebuah pilihan harus berpihak pada siapa atau justru bertahan pada keberpihakan terhadap diri sendiri. Dan, ukuran memilih posisi sebelah mana sangat bergantung pada “anggapan’ kebenaran yang dimiliki masing-masing individu. Pada tahap inilah biasanya, konflik akan mulai muncul. Dari yang paling sederhana, yaitu perbedaan pandangan akan sebuah kebenaran, hingga berakibat pada permusuhan. Bukan karena pertarungan benar-salah, lebih sering karena mempertahankan kebenaran masing-masing.
Lalu pertanyaannya, apa mungkin kebenaran itu bersifat jamak bukan tunggal? Ilustrasi Amartya Sen, peraih nobel, berikut mungkin bisa membantu menjelaskan fenomena ini. Sen dengan sangat sederhana menggambarkan bagaimana kebenaran tersebut bersifat plural, bukan monolistik. Bagaimana konflik bisa terjadi, meski sama-sama benar. Sen bercerita tentang Anne, Bob dan Carla yang bersahabat baik dan saling memahami kondisi masing-masing. Ketiga anak ini mulai menghadapi konflik saat menemukan sebuah seruling. Dan, mereka berdebat siapa yang paling berhak memiliki seruling tersebut berdasarkan kebenaran yang dipahami masing-masing.
Anne berpendapat dialah yang berhak memiliki benda tersebut. Dasar pemikiran Anne adalah karena hanya dia satu-satunya orang yang dapat memainkan seruling. Sehingga seruling tersebut akan lebih bermanfaat daripada diberikan pada Bob atau Carla yang tidak tahu cara menggunakannya.
Sementara Bob adalah anak termiskin diantara mereka bertiga dan tidak memiliki satu pun mainan. Sehingga, Bob berkeras bahwa dialah yang seharusnya mendapatkan seruling tersebut. Bob membangun argumentasi bahwa tanpa seruling tersebut, Anne dan Carla tetap dapat menikmati mainan lain yang banyak mereka miliki. 
Sedangkan Carla merasa paling berhak terhadap seruling tersebut karena dia telah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk membuat seruling tersebut. Dengan demikian, kebenaran akan wujud jika dia yang memiliki seruling tersebut.
Tergambar bahwa ketiga anak memiliki basis argumentasi dan justifikasi yang benar. Anne menggunakan pendekatan utilitarian (sesuatu dilihat dari kebermanfaatannya), Bob, menyorot dari sisi keadilan/egalitarian dan Carla berpegang teguh pada paham libertarian. Yang pasti, ketiga paham tersebut ada dan benar secara keilmuan. Ilustrasi Sen ini menjelaskan bahwa munculnya konflik tidak terbatas pada benar-salah saja, bahkan mungkin lebih karena pertarungan kebenaran antar individu.
Pertanyaan lanjutan yang muncul adalah bagaimana menyikapinya agar terhindar dari konflik? Pemikiran filsuf Jalaluddin Rumi mungkin dapat jadi rujukan. Rumi bilang bahwa kebenaran hakiki itu ibarat sebuah cermin besar dari Tuhan. Lalu jatuh berkeping-keping ke bumi, dan setiap kita mengambil kepingan tersebut, kemudian berteriak bahwa kitalah pemilik kebenaran.

Jadi, setiap individu memang berhak dan harus menyuarakan kebenaran. Namun, kita harus sadar bahwa kebenaran tidak hanya milik kita sendiri. Dan, konflik dapat dihindari dengan tidak berfikir bahwa kitalah yang paling benar. Atau bahkan lebih buruk, bersikukuh menyuarakan pembenaran.   

Me Rame - Lupa

Di tengah keramaian dalam sebuah pusat perbelanjaan menjelang tengah malam, banyak pengunjung yang menggunakan jasa transportasi daring (online) untuk kembali ke rumah atau menuju tempat lain. Ada seorang calon penumpang lelaki, kebetulan dia memesan ojek daring untuk kembali ke tempat tinggalnya, sehingga terjadi percapakan berikut. 

Penumpang
:
“Saya sekarang berada di dekat pintu masuk di pusat perbelanjaan ya mas. Posisi ada dimana ?”
Ojek daring
:
Penumpang
:
“Mas, kalau saya lihat dari posisi motornya di aplikasi,   terlihat cukup dekat dengan posisi saya. Saya nanti ke arah trotoar deh mas, kalau mas agak susah.” Begitu si calon penumpang memberi pesan di aplikasi ojek daring itu.

Setelah lama berselang, ternyata ada jawaban pesan dari pengemudi ojek daring

Ojek daring
:
“Iya, saya posisinya dekat pos sekuriti mba. Mba pakai   baju apa? Saya sudah di depan pusat perbelanjaan yang mba maksud.”
Penumpang
:
(Sambil bergumam dalam hati, mba? Gak salah neh? Perasaan di profil ojek daring sudah jelas wajah gue) Mas sekarang posisinya masih dekat pos sekuriti? (tanpa menghiraukan si pengemudi menyebut dirinya “mba”). Saya pakai baju warna abu-abu ya mas, sekarang saya lagi jalan ke arah pos sekuriti. (Apa pula yang dibayangkan di pengemudi dengan warna baju si penumpang)
Ojek daring
:
“Mba sekarang dimana? Sekarang saya juga sudah jalan ke arah dalam menuju pusat perbelanjaan yang mba maksud, tapi kok mba belum kelihatan?”

Masih berpesan-pesanan melalui aplikasi dengan si pengemudi, akhirnya si pengemudi mulai menelpon ke penumpang. Saat bersamaan, si penumpang sudah melihat wajah si pengemudi yang berjalandi profil aplikasi saat berpapasan melintas di trotoar. Ketika saat menerima telpon dari si pengemudi…

Penumpang
:
“Mas Rojak kan ? dari ojek daring?”

Wajah si pengemudi yang terkejut, seakan-akan habis melihat hantu kuntilanak dan berubah 180 derajat bahwa calon penumpangnya ternyata seorang pria. Si pengemudi tak bisa berkata-kata dan bahkan sempat mengucapkan kata “maaf” meski salah sebut saat berpesanan melalui aplikasi. Selain kaget dan tidak menyangka bahwa si penumpangnya adalah lelaki, tingginya si penumpang itu hampir dua kali lipat dari si pengemudi. Dan kemudian si penumpang bertanya sambil mengikuti si pengemudi untuk ambil motornya.

Penumpang
:
“Masih jauh mas parkir motornya?”
Ojek daring
:
(Diam dan tetap berjalan)
Penumpang
:
“Mas, masih jauh? Atau mas lupa ya? Atau gara-gara lihat saya bukan perempuan, masa gagal fokus dan kecewa ya?”
Ojek daring
:
“Iya mas, saya terkejut dan sekarang lupa saya parkir dimana…he…he… (sambil garuk kepala). Saya gak nyangka kalau mba yang saya maksud itu adalah mas (sambil dingat-ingat dimana parkir motornya). Sebentar ya mas, akibat tadi, saya jadi gagal fokus. Nah ini sudah ketemu motornya. Maaf ya agak lama (sekitar 5 menit mencari motornya).”
Penumpang
:
Gakpapa mas, ada helm kan? Ayo kita jalan mas.”


Cerita ini dapat juga dibaca pada link berikut 

Jika Bulan Bisa Bicara

           Terkadang ada hal di dunia ini yang tak dapat kita mengerti sama sekali. Ada hal yang tak dapat diterima secara langsung oleh logika. Bukan karena bodoh ataupun tak mampu bermain logika dengan cermat, akan tetapi karena memang akal fikiran atau logika kita memang diciptakan dengan penuh keterbatasan sehingga tak bisa sampai pada titik yang diinginkan untuk dapat mencermati apa yang sesungguhnya terjadi.
            Aku tak mengerti sama sekali dengan jalan takdir Tuhan. Apa sebenarnya yang diinginkanNya dariku. Namun, dengan semua keterbatasan yang ada, aku hanyalah manusia biasa yang tak mampu berbuat apa-apa. Yang hanya bisa menuruti saja semua kemauan Tuhan. Sampai pada akhirnya aku harus menelan pil kekecewaan yang teramat pahit. Yah mau bagaimana lagi yang terjadi itulah yang terbaik untukku.
            Sore itu, sepulang sekolah aku sedang makan siang. Tiba-tiba saja Mama menghampiriku dan menyodorkankan secarik kertas. setelah aku lihat ternyata isinya sebuah nomor handphone. Aku tanya, “Mama ini nomor telepon siapa?”.  Mama bilang itu nomor telepon anaknya Bu Shindy. Perlu diketahui, Bu Shindy itu teman arisan Mama. Mama meminta tolong padaku untuk mengirim pesan singkat pada Bu Shindy lewat nomor handphone anaknya, yang isinya Mama tidak bisa datang arisan besok karena sedang tidak sehat, ya memang aku lihat Mama sedang flu berat. Setelah makan ku ambil handphone  lalu ku kirim sebuah pesan singkat seperti pesan Mama tadi “Assalamualaikum, Bu Shindy ini saya Bu Ani maaf sepertinya saya tidak bisa datang arisan besok saya sedang kurang sehat, trims”, kurang lebih isi pesannya seperti itu lalu aku kirim ke nomor yang tadi Mama kasih, tak berapa lama handphone ku berbunyi ada pesan masuk rupanya seseorang membalas pesanku tadi lalu kubaca pesannya “Wa’alaikum salam, nanti saya sampaikan pesannya sama Mama maaf ini nomor siapa ya setahu saya nomor Bu Ani bukan ini?”.  upz aku lupa memberitahu kalau ini nomor aku “Oh iya  maaf ini Purnama anaknya Bu Ani, Mama lagi ga ada pulsa jadi pakai nomor aku”, sesingkat-singkatnya aku balas pesannya lagi pula aku fikir buat apa juga dijawab panjang lebar toh kami tidak kenal satu sama lain, aku kira tak akan dibalas lagi pesanku ternyata dugaanku salah seseorang disana membalas pesanku “Ohh Purnama ya saya Bulan anaknya Bu Shindy salam kenal ya”, “Oh iya salam kenal juga” singkat padat dan jelas pikirku mudah-mudahan saja dia tidak membalas lagi. Sepuluh menit berlalu kupandangi handphoneku dan ternyata kali ini dia tidak membalasnya syukurlah.
            Keesokan harinya pulang sekolah sesampainya aku di rumah handphone ku berbunyi lagi, aku lihat satu pesan masuk setelah ku buka ternyata pesan dari Bulan. mau apalagi ini orang, gerutuku akupun membaca pesannya “Selamat sore Purnama ,maaf mengganggu langit begitu cerahnya Purnama bersinar dengan gagahnya dan Bulan pun terang dengan cahaya sang Purnama.  Menjadi temanmu adalah indah”, tersipu malu aku membaca pesannya. Kalimat terakhir ‘menjadi temanmu adalah indah’ menunjukan kalau Bulan ingin berteman denganku, baiklah kali ini aku welcome dengan niat baiknya. Entah bagaimana awal dan tengahnya kami menjadi sangat akrab, di luar dugaanku ternyata Bulan sangat pandai sekali. selain dia baik dan gampang akrab dengan orang yang baru dikenalnya, ternyata pengetahuannya juga luas, dia banyak membantuku dalam mengerjakan tugas sekolahku. dia juga penasehat yang baik berdiskusi dengannya sungguh sangat menyenangkan. Tapi ada satu keanehan setiap kali aku menelepon dia tak pernah diangkat, jika aku meminta dia untuk meneleponku dia selalu saja mencari-cari alasan untuk tidak meneleponku. Aku bertanya pada Mama tentang sikap dia yang seperti itu. Dan wow sungguh tidak pernah ku duga, Mama bilang kalau Bulan itu seorang tuna wicara, itu artinya dia tidak dapat bicara. Oh God!! andaikan aku tahu dari awal, tidak akan aku bersikap seperti itu padanya. Ttapi Mama bilang Bulan itu anaknya baik tidak seperti anak yang lain, maka dari itu Mama merespon baik ketika aku bilang berteman dengan Bulan. Tak kusangka malam itu Bulan mengirim pesan singkat yang isinya mengajakku bertemu besok di masjid dekat rumahnya, dia bilang ingin menjelaskan sesuatu padaku. aku menebak sepertinya dia akan menjelaskan kalau dia seorang tuna wicara. apapun itu yang pasti tak sabar aku menunggu esok tiba. Sesuai janjinya keesokan harinya aku datang lebih awal, aku menunggu dia di teras masjid, aku lihat jam dinding menunjukan pukul 14.00 WIB. sudah tiga puluh menit berlalu, dia berjanji akan datang pukul 13.30 WIB.”sepertinya macet.” Pikirku.  Tapi setelah dua jam berlalu aku tunggu-tunggu Bulan tak kunjung datang. kecewa sekali aku hari ini, sampai malampun Bulan tak ada, nomor handphonenya tak dapat dihubungi. Tapi sekitar pukul sepuluh malam, telepon rumahku berbunyi. Mama mengangkatnya dan ternyata dari Mamanya Bulan. Shock sekali aku mendengar kabarnya. Mamanya Bulan bilang Bulan kecelakaan siang tadi, motornya ditabrak bus ugal-ugalan dan Bulan tewas, oh God sedih sekali aku mengapa aku harus bertemu dengannya dalam keadaan dia tak bernyawa, tangisku mengiringi kepergiannya akupun ikut mengantarkannya ke pemakaman, setelah proses pemakaman selesai semua orang berdoa dan menaburkan bunga diatas pusaranya, sebelum aku pergi meninggalkan kuburannya dalam hati aku berkata menjadi temanmu adalah indah Bulan andai Bulan bisa bicara takkan dia bersusah payah menemuiku sehingga harus kehilangan nyawanya.

Konflik Pengelolaan Transfer Daerah : Principal-Agent Approach

Bicara tentang principal-agent problem akan terbayang hubungan yang terjadi di sektor swasta seperti relasi antara majikan dan pekerja atau pemilik perusahaan dengan para profesional pengelola perusahaan. Dimana pemilik perusahaan bertindak sebagai principal, sedangkan manajer sebagai agent. Pemilik mempercayakan kepada manajer untuk menjalankan usahanya. Pemilik menggaji sang manajer dengan layak untuk satu tujuan, yakni memaksimalkan laba perusahaan. Masalahnya pemilik tidak dapat memonitor prilaku atau tindakan sang manajer sehari-hari. Dia mengukur kinerja manajer hanya berdasarkan laba yang diperoleh perusahaan. Padahal perolehan laba tidak serta merta terjadi karena kinerja dari manajer. Bisa saja hal tersebut disebabkan oleh faktor lain seperti kondisi pasar atau perekonomian yang memang mendukung sehingga tanpa upaya maksimal sang manajer, perusahaan tetap akan untung (Grossmann dan  Hart, 1983).

Penerapan pendekatan ini dalam sektor publik dilakukan untuk melihat pengaruh faktor non-ekonomi dari federal grants pada prilaku pemerintahan lokal (Chubb, 1985). Studi Chubb bertujuan untuk menunjukkan bahwa berbagai outcomes berbeda yang dihasilkan oleh sistem federal dapat dispesifikasikan dan dianalisis secara kuantitatif. Dengan menggunakan ekonometrika sebagai alat uji dengan menganalisis kinerja dua program utama federal grants pada 50 negara bagian di Amerika selama kurun waktu 1965-1979.  Chubb menganggap Kongres dan Presiden sebagai principal yang menyediakan alokasi kepada negara bagian dan pemerintah lokal untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu.

Sementara bertindak sebagai agent adalah federal grants agencies yang bertanggungjawab dalam distribusi anggaran, menyusun regulasi dan aturan terkait penggunaan dana tersebut. Permasalahan disini adalah birokrasi yang ditunjuk sebagai agen memiliki kepentingan yang berbeda dengan para anggota senat dan presiden. Agen berkepentingan untuk memberikan pelayanan maksimal kepada mitra kerjanya, dalam hal ini negara bagian dan pemerintah lokal. Sementara para politisi berkepentingan untuk menjaga tingkat keterpilihannya di daerah.

Di sisi lain, kinerja dari agen juga sulit diukur karena sangat bergantung kepada prilaku daerah penerima alokasi anggaran. Dan sering terjadi birokrasi lebih mengenal daerah daripada anggota kongres dan presiden. Sehingga jika tidak dilakukan monitoring dan pengawasan yang efektif maka meningkatkan potensi penggunaan anggaran yang salah sasaran. Bahkan cenderung berdasarkan keinginan masing-masing negara bagian atau pemerintah lokal. Namun, kendalanya untuk melakukan monitoring dan pengawasan dibutuhkan biaya yang sangat besar. Hal ini karena luasnya wilayah dan banyaknya jumlah daerah yang harus dikunjungi.

Penelitian lain dalam penerapan principal-agent problem sektor publik dilakukan untuk menganalisis desentralisasi fiskal dan dana perimbangan pada multiregional model of endogenous growth ( Ogawa dan Yakita, 2009). Studi diarahkan untuk melihat karakteristik dari hubungan antara pertumbuhan dan desentralisasi fiskal. Kemudian menunjukkan secara teori tingkat optimal dari desentralisasi fiskal bagi maksimisasi pertumbuhan.

Model yang dibangun memiliki asumsi bahwa terdapat dua tingkatan pemerintahan dengan tujuan yang berbeda. Pemerintah lokal ingin memaksimalkan utilitas dari penduduk di wilayahnya. Sementara pemerintah pusat menerapkan perimbangan keuangan untuk menutup celah kapasitas fiskal antar daerah dan pada tingkat pertumbuhan.

Ogawa dan Yakita menyimpulkan bahwa preferensi tarif pajak yang dipilih oleh pemerintah daerah secara positif berdampak pada besaran desentralisasi fiskal, yaitu mendorong pemerintah lokal untuk menaikkan tarif pajak pendapatan. Dengan sudut pandang berbeda, hal ini memberi makna bahwa dana perimbangan yang besar membuat daerah tidak berkeinginan untuk meningkatkan  sumber pendapatan asli daerahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa transfer daerah menciptakan disinsentif efek.

Selain itu, Ogawa dan Yakita juga menemukan bahwa perimbangan fiskal yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak memberi pengaruh terhadap percepatan konvergensi pertumbuhan antar daerah. Hasil ini terlihat kontra-intuisi , karena peneliti berfikir bahwa transfer dari pemerintah pusat akan menjadi stimulus bagi pengentasan disparitas antar daerah. Lebih lanjut kedua peneliti ini berpendapat bahwa tingkat desentralisasi fiskal yang optimal diarahkan untuk mencapai tujuan pemerintah pusat. Namun, pilihan yang diambil pemerintah pusat justru berlebihan dari ekspektasi daerah.

Lalu bagaimana dengan sistem perimbangan keuangan pusat-daerah di Indonesia? Apakah konsep desentralisasi fiskal yang berlangsung saat ini identik dengan konsep fiscal federalism yang diterapkan negara-negara maju? Sebelum sampai pada analisa komparasi tersebut, perbandingan filosofis dari kedua konsep ini, dibutuhkan pemahaman perbedaan filosofis kedua konsep tersebut serta kondisi antar daerah yang ada secara utuh . Agar para perumus kebijakan tidak terjebak pada tren copy-paste atau sekedar melakukan adopsi tanpa memperhatikan perbedaan mendasar dari masing-masing konsep dimaksud. Penting untuk dipahami bahwa terdapat tiga tingkatan pemerintahan, pusat, propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dengan jumlah yang sangat banyak dan sangat bervariasi kondisinya. Hingga 2013 terdapat 33 Propinsi dengan 497 Kabupaten/Kota (BPS, 2013). Pemerintahan tersebut tersebar dalam rentang geografi yang begitu luas dengan kekayaan dan keunikan budaya masing-masing.

Sistem desentralisasi fiskal di Indonesia berbeda dengan konsep fiscal federalism negara-negara lain. Dengan bentuk negara kesatuan, maka otonomi daerah di Indonesia dilakukan untuk mempercepat pemerataan pembangunan di daerah. Sementara pada negara-negara maju penganut fiscal federalism kondisi antar negara bagian dan pemerintah lokal lebih bersifat simetris, sehingga tujuan yang ingin dicapai bukan lagi pemerataan pembangunan tapi lebih kepada harmonisasi fiskal dan minimalisir dampak dari fiscal competition antar daerah.

Dengan demikian fiscal federalism diartikan sebagai pembagian kewenangan dalam memperoleh pendapatan dan tanggungjawab pengeluaran diantara berbagai tingkat pemerintahan. Sedangkan desentralisasi fiskal Indonesia, diarahkan sebagai perimbangan keuangan yang diartikan sebagai sebuah sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentraliasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah.

Lebih jauh, pola kepemimpinan di daerah juga sangat bervariasi dan sangat bergantung pada asal partai politik pemimpinnya dan suara mayoritas partai yang ada di DPRD. Sehingga tidaklah mudah membuat program yang standar dan berlaku sama untuk setiap daerah. Hal ini menjadi potensi konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Bagaimana merumuskan sebuah desain transfer daerah (perimbangan keuangan) yang dapat optimal bagi kedua belah pihak.

Jika melihat fenomena ketokohan pemimpin daerah di beberapa tempat seperti Jakarta, Bogor, Banyuwangi dan Surabaya. Secara nyata berhasil merubah kondisi pelayanan publik di daerahnya menjadi lebih baik, transparan dan mendekati ekspektasi masyarakat. Maka dapat diduga faktor prilaku pemimpin daerah memiliki pengaruh penting dalam pemanfaatan transfer daerah bagi peningkatan pelayanan sektor publik di daerah.

Dengan demikian, prilaku pemimpin daerah dan relasi politik pusat-daerah memiliki peran penting dalam keberhasilan tujuan desentralisasi fiskal. Kedua variabel ini perlu mendapat perhatian pemerintah dalam membangun kebijakan transfer daerah, sehingga tidak hanya fokus pada faktor ekonomi, namun juga memperhitungkan faktor non-ekonomi dalam melakukan evaluasi dan pengukuran keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.

Kombinasi pendekatan ekonomi dan non-ekonomi ini diarahkan mampu menjadi solusi optimal desain dana perimbangan pusat ke daerah. Sehingga diperoleh titik optimum antara kepentingan pemerintah pusat melalui konsep desentralisasi fiskal dan kepentingan daerah dalam mengelola dana perimbangan yang diterima.


Industrialisasi Garam sebagai solusi krisis garam, Mungkinkah?

Baru-baru ini kita mendapati harga garam yang semakin melambung yang berimbas pada keluhan semua pihak yang merupakan konsumen garam, dari mulai kalangan industri sampai ibu-ibu rumah tangga. Sebenarnya permasalahan garam ini merupakan merupakan masalah klasik karena selalu terjadi dan pasti akan terus terjadi. Akhirnya banyak pihak yang mengeluh bagaimana mungkin negara maritime yang 2/3 wilayahnya lautan tapi mengalami krisis garam.

Pemerintah pun menangani masalah ini dengan metode business as usual yaitu menggenjot produksi garam dalam negeri yang menurut saya sudah berada di tingkat jenuh. Usaha ini pun pada akhirnya kembali lagi pada masalah klasik yaitu tehnik produksi yang masih tradisional, kondisi cuaca yang terlalu basah dan luas lahan yang tidak pernah bertambah (bahkan berkurang).

Memang benar teknologi yang digunakan untuk memproduksi garam adalah dengan menggeringkan air laut didalam tambak garam. Teknologi ini merupakan hal yang lumrah dilakukan di negara-negara yang memiliki wilayah laut yang luas sekaligus juga memiliki kelemahan sebagaimana disebut sebelumnya.

Selain dengan tehnik pengeringan laut di tambak garam, ada metode lagi yang digunakan untuk memproduksi garam yaitu dengan cara menambangnya di dalam bumi. Tetapi hal ini hanya bisa dilakukan oleh negara-negara yang wilayahnya merupakan wilayah yang dahulunya adalah lautan purba. Sehingga endapan garam yang terakumulasi di perut bumi merupakan endapan sisa-sisa dari lautan purba tersebut. Indonesia tidak memiliki berkah ini sehingga tidak mungkin untuk melakukan penambangan garam di Indonesia seperti yang dilakukan di Australia, Canada, USA dan beberapa negara Eropa Tengah dan Asia Barat.

Tapi ada satu teknologi yang dapat digunakan dan belum pernah dicoba untuk industri garam walaupun teknologi ini sudah lumrah digunakan untuk industri yang lain. Untuk menggunakan tenologi ini dibutuhkan industrialisasi dua komoditas yaitu air bersih dan garam. Teknologi ini disebut Vacuum Evaporation.

Teknologi vacuum evaporation ini menggunakan metode pemanasan air di dalam ruang hampa. Sesuai dengan hukum termodinamika maka titik didih air akan turun berbanding lurus dengan tekanan didalam ruangan. Teknologi ini memiliki beberapa kelebihan yaitu

1)        Tidak tergantung cuaca karena proses dilakukan di dalam tabung vakum yang tertutup rapat. Dalam proses vakum ini semakin rendah tekanan yang diberikan, semakin rendah titik didih air. Bahkan air dapat menguap pada suhu 00 celcius tergantung tekanan di ruang vacuumnya. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan produksi karena produk jadi dapat dipanen setiap hari bahkan setiap jam.

2)        Teknologi ini tidak memerlukan lahan yang luas bahkan dapat menggunakan lahan yang sudah ada. Hal ini karena air laut di olah di dalam tabung tertutup berukuran 1 M3. Sebagai ilustrasi lihat saja toren air yang berukuran 1000 liter. Luas lahan yang digunakan untuk membuat tower toren tersebut itulah kira-kira luas lahan yang diperlukan untuk 1 unit evaporator berkapasitas 1000 liter.

Bagaimana dengan jumlah produksi garamnya? Hal ini tergantung dengan tingkat salinitas air laut. Salinitas air laut di Indonesia adalah sekitar 3,3% per 1000. Artinya setiap 1 liter air laut terdapat kandungan garam 33 gram. Jadi kalau 1 unit evaporator berkapasitas 1000 liter diisi penuh dengan air laut, berarti ada kandungan garam seberat 33 Kg disitu. Jika di asumsikan 1 unit evaporator dapat menguapkan air sampai habis dalam waktu 1 jam, maka dalam 12 jam terdapat 396 kg garam. Dengan asumsi bahwa produksi berjalan setiap hari, maka dalam setahun 1 unit evaporator akan menghasilkan 142,6 ton garam. Jika sebuah pabrik memiliki 1000 unit evaporator produksi akan mencapai 142.560 ton per tahun.

Sekedar informasi, produksi PT Garam tahun 2015 adalah 340.000 ton itu pun dengan lahan 5.340 hektar. Dengan asumsi 1 evaporator memakan lahan seluas 2,25 M2, maka 1000 evaporator hanya butuh lahan seluas 22.500 M2 atau 0,225 Hektar. Bayangkan hanya dengan lahan 1 hektar saja bisa memproduksi sampai 1/3 dari produksi PT Garam tahun 2015.

Tetapi teknologi ini memiliki kekurangan yaitu membutuhkan energy listrik yang tinggi. Untuk mengolah 1 M3 air laut diperlukan daya sampai 170 KWh. Hal ini tentu saja ditentukan oleh tehnik vakum yang digunakan sehingga konsumsi listriknya berada di kisaran 50 - 170 KWh/M3. Sehingga jika diasumsikan harga listrik adalah USD10 cent/KWh dan nilai tukar yang digunakan adalah Rp13.400/USD, maka 1 unit evaporator akan menelan biaya operasional dari listrik saja sekitar Rp984 juta/tahun.

Hal ini menyebabkan industri garam saja menjadi tidak kompetitif jika menggunakan teknologi vakum ini. Karena jika kita menggunakan harga garam normal Rp1000/kg, maka revenue dari penjualan garam dari 1 unit evaporator hanya Rp142,5 juta/tahun. Ya jelas gak ada yang mau pakai teknologi ini buat industri garam.

Oleh karena itu, industri garam harus digabungkan dengan industri air bersih, karena memang teknologi vakum banyak digunakan untuk pengolahan air bersih di luar negeri seperti desalinasi maupun pengolahan air limbah. Nah, jika dengan menggunakan teknologi yang dipakai saat ini dalam produksi garam, air laut dibiarkan menguap di alam bebas. Sedangkan dengan teknologi vakum, air yang menguap dapat dikondensasikan dan menjadi air bersih yang bisa langsung diminum atau dengan kata lain air dari hasil distilasi. Jika diasumsikan harga airnya adalah Rp200/liter maka nilai yang didapat dari penjualan air tersebut per unit evaporator adalah Rp864 milyar/tahun. Sehingga jika diasumsikan sebuah pabrik memiliki 1000 unit evaporator dan menjual produk utama berupa garam dan air bersih dimana garam dijual seharga Rp1000/kg dan air Rp200/liter serta mengeluarkan biaya lain-lain berupa gaji pegawai dan overhead sekitar Rp10 milyar/tahun. Maka profit dari industri ini bisa mencapai Rp12,6 milyar/tahun dengan lahan tidak sampai 1 hektar.

Ide ini memang sangat radikal karena terus terang saya belum pernah dengar ada industri garam yang menggunakan teknologi vakum. Tetapi industri lain yang menggunakan teknologi vakum sudah ada seperti industri gula, industri pengolahan limbah cair dan industri pengolahan air bersih di luar negeri ya. Kalau di Indonesia satupun belum ada. Teknologi ini selain mengunakan lahan yang tidak banyak, juga low maintenance dan low labor cost dalam artian padat modal bukan padat karya. Industri yang menggunakan teknologi ini juga akan menimbulkan dampak bagi industri yang sudah existing yaitu industri garam yang pengolahannya oleh petani garam dan industri AMDK (air minum dalam kemasan). Dengan kata lain, jika industri ini muncul maka akan menimbulkan efek disruptif kepada industri lain yang sudah besar dan mapan.

Terkait dengan efek disruptive, saya tidak kawatir dengan industri garam karena petani garam dapat menggunakan tambak mereka untuk melakukan budidaya udang atau ikan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dari garam. Bahkan mereka dapat lebih fokus untuk di usaha tersebut tanpa pusing mikirin cuaca. Sedangkan PT Garam malah bisa menggunakan lahannya untuk industri lain berbasis maritime yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi seperti budidaya udang, rumput laut dan lain-lain.

Industri AMDK lah yang akan benar-benar terdampak oleh industri baru ini karena dengan adanya pabrik yang memiliki 1000 evaporator maka produksi air bersihnya dapat mencapai 4.300 M3 atau 4,3 milyar liter air bersih per tahun. Jika dibandingkan dengan produksi total AMDK tahun 2015 sebesar 21 milyar liter, maka industri baru ini akan menjadi musuh baru bagi industri AMDK lain yang sudah mapan. Apalagi jika industri baru ini malah menjadi pemasok air minum langsung ke konsumen melalui pipa sehingga bisa langsung minum air dari keran. Di sisi lain, kita juga bisa lihat tempat dimana air minum tersebut diperoleh, daerahnya menjadi kekurangan air, penduduk setempat kesulitan mengakses air bersih bahkan daerah yang dulu banyak lahan pertanian malah jadi alih fungsi karena banyak mata air yang hilang. Sehingga apabila industri baru ini menyebabkan beberapa pabrik AMDK gulung tikar setidaknya akan berdampak positif terhadap penduduk yang lingkungannya di rusak oleh industri AMDK.  

Satu lagi yang akan terimbas adalah para importir garam, karena jika ada 40.000 unit evaporator maka produksi garam kita menjadi 5,7 juta ton/tahun, cukup untuk memenuhi kebutuhan domestic bahkan surplus karena kebutuhan domestik kita adalah 4,2 juta ton/tahun dan hanya butuh 40 hektar lahan dan berkurangnya eksploitasi air tanah. Tetapi, sekali lagi adanya 40.000 unit evaporator justru akan menciptakan 17,2 miliar liter air minum sehingga dapat dipastikan pasar AMDK akan semakin terdistorsi oleh air hasil distilasi. Sehingga dampak lain yang muncul akibat dihajarnya industri begal garam (baca: importir) dan AMDK yang kemungkinan ada yang akan gulung tikar, adalah munculnya penganguran, tapi akan dibahas di tulisan yang lain. Hitungan-hitungan yang saya buat pun merupakan hitungan kasar terutama dari besaran lahan. Walaupun saya yakin 40 ribu unit evaporator tidak akan memakan lahan sampai ribuan hektar, mungkin bisa mencapai 100 hektar mengingat diperlukannya lahan untuk storage dan lain-lain. Tapi yang pasti investasi yang saya bicarakan untuk industri ini adalah milyaran dan semoga saja tidak mencapai trilyun.

So, tertarik untuk mencoba usulan saya?  

Tulisan ini juga tayang di http://www.kompasiana.com/aycorn/59833bdba71c8359d822b872/industrialisasi-garam-sebagai-solusi-krisis-garam-mungkinkah
lengkap dengan referensinya

Bias dalam Penilaian

Dalam rangka menyambut detik detik akhir penilaian perilaku bagi pegawai di lingkungan Kemenkeu terutama Direktorat Jenderal Anggaran, berikut saya persembahkan rangkuman dari beberapa sumber tentang bias dalam menilai performa pekerja.
Hal ini selain dipicu oleh sedang "hot"nya  penilaian perilaku di e-performance, juga karena saya ingat sedikit soal bias ini saat masih kuliah dulu. Sedikit? Iya.. 😂😂😂

Sebelum masuk ke rangkuman tersebut, baiknya kita lihat dulu arti kata bias. Namun, mohon maaf ya, saya cuma pake sumber sumber yg bisa saya gali secara online. Sebabnya tak lain tak bukan karena dua hal. Pertama, keterbatasan waktu saya. Yang ini iyuh banget ya alasannya. Kedua karena kemalasan saya. Oke, yg ini lebih parah..dan lebih jujur tentunya.

Menurut KBBI.web.id,
bi·as n 1 simpangan; 2 Fis belokan arah dari garis tempuhan karena menembus benda bening yang lain (seperti cahaya yang menembus kaca, bayangan yang berada dalam air);

mem·bi·as v 1 berbelok dari arah (seperti perahu yang dilanggar ombak, hujan yang tertiup angin); 2 Fis berbelok arah dari garis tempuhan karena menembus benda bening yang lain (seperti cahaya yang menembus kaca, bayangan yang berada dalam air); 3 ki menyimpang (tentang nilai, ukuran) dari yang sebenarnya;

mem·bi·as·kan v menyimpangkan (membelokkan) arah;

pem·bi·as·an n 1 proses, cara, perbuatan membiaskan; 2penyimpangan (pembelokan): berkas cahaya yang keluar dari prisma mengalami -

Nah, kalau dari definisi bias dan kawan kawan seperimbuhannya di atas, langsung aja kita simpulkan bahwa bias yang dimaksud di sini adalah "penyimpangan" atau "belok", tapi bukan pembelokkan berkas cahaya ya...
Bias ini sejenis kecenderungan (penyimpangan/pembelokkan) yang mempengaruhi bagaimana atasan menilai pegawai.

Nah, sekarang izinkan saya bertanya. Ada yang tau paycor ngga? Enggaaa...
Duh, sama dong..
Sekarang saya mau kutip kata kunci yang ada di websitenya paycor nih. (www.paycor.com).
To be fair and objective, a performance evaluation must be based on the employee’s job-related behavior, not on the employee’s personal traits, work situation or other factors unrelated to employee performance.

Untuk adil dan objektif, evaluasi kinerja mesti berdasarkan perilaku yg terkait pekerjaan. Bukan perilaku di kantin berarti..#eh#ups.

Walaupun mungkin kita tidak pernah bisa sepenuhnya objektif (alias subjektif), kita dapat mengusahakan untuk menilai dengan objektif. Saya pun masih subjektif sekalee... kan kalau mau aja.. 😂 kalau engga ya engga bs maksa..
Caranya gimana? Salah satu caranya dengan mengenal bias bias umum yang sering terjadi saat menilai. Apa aja tuh...

1. Excessive leniency
Apa sih ini? Excessive leniency terjadi ketika atasan (sepertinya bisa juga peer dalam konteks DJA) menilai semua pegawai lebih tinggi dari performa aslinya dalam rangka dianggap baik atau agar disukai. Ia juga percaya bahwa dengan review yang baik, pekerja bisa termotivasi untuk lebih baik.
2. Excessive severity
Excessive severity ini semacam kebalikan dari poin pertama tadi. Atasan (atau dalam konteks DJA dapat dikatakan peer juga) cenderung menilai rendah untuk memotivasi pegawai yang kurang performanya atau performanya standar agar meningkatkan kinerjanya. Intinya, pelit nilai gitu kali ya?
3. Similar-to-me bias
Bias yang ketiga ini terjadi saat atasan (atau dalam konteks DJA, bisa juga peer) menilai tinggi untuk mereka yang "mirip"/setipe dengan dirinya, misal sama sama suka nonton konser musik, dll. Bias jenis ini meliputi faktor like and dislike terhadap pegawai tersebut.
4. Opportunity bias
Opportunity bias terjadi saat penilai memberikan credit atau menyalahkan pegawai untuk faktor di luar kendalinya.
5. Halo Effect
The Halo Effect ini terjadi saat atasan menilai pegawai berdasarkan satu kekuatannya yang kemudian mendominasi penilaian terhadap pekerja tersebut. Dengan kata lain, pekerja mendapat nilai more than he/she deserved. Pekerja yang bagus dalam pengetahuan kerja tidak berarti ia juga bagus dalam semua hal seperti produktivitas dll.
6. Horns Effect
The Horns Effect ini semacam kebalikan dari halo effects. Penilaian atas sesuatu kekurangan mendominasi overall performance appraisal. Apabila pegawai kurang di satu hal, kan tidak berarti ia harus diperbaiki di semua hal terkait kerjanya, toh?
7. Contrast bias
Atasan yang terkena bias ini cenderung membandingkan performa pegawai dengan membandingkannya dengan pegawai lain, bukan dengan standar perusahaan. Pegawai berhak dinilai berdasarkan performa individualnya bukan dengan merankingnya dengan pegawai lain.
8. Recency bias
Recency bias ini adalah bias yang terjadi ketika penilaian hanya didasarkan kepada performa terakhirnya sebelum penilaian, misalnya beberapa pekan sebelum penilaian dibanding periode yang seharusnya dalam masa penilaian.
9. Job vs. individual bias
Beberapa pekerjaan/posisi memang lebih vital dalam organisasi dibanding posisi kerja lain. Namun, tidak serta merta pegawai di posisi tersebut lebih baik performanya dari pekerja lain.
10. Length-of-service bias
Bias ini terjadi ketika lamanya masa kerja mempengaruhi penilaian dalam evaluasi kinerja.
11. Stereotyping
Evaluator cenderung mengasumsikan evaluee suatu ciri yang sama terkait grupnya. Misal, pekerja wanita, Hispanik, vegetarian, dll).


When you are able to remove some of the bias from the evaluation process, performance appraisals become much more meaningful for organizational decision-making and compensation adjustments. Selain itu, penilaian yg baik akan memudahkan dalam pengembangan pegawai di masa depan.

Sekarang sih, semua kembali kepada penilai. Tulisan ini sifatnya hanya informasi aja. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

Aamiin.

Referensi
http://www.managementstudyguide.com/performance-appraisal-bias.htm
https://www.paycor.com/resource-center/the-top-10-performance-review-biases
https://personel.ky.gov/DHRA/EPES-TypesRaterBias.pdf