Baru-baru ini kita mendapati
harga garam yang semakin melambung yang berimbas pada keluhan semua pihak yang
merupakan konsumen garam, dari mulai kalangan industri sampai ibu-ibu rumah
tangga. Sebenarnya permasalahan garam ini merupakan merupakan masalah klasik
karena selalu terjadi dan pasti akan terus terjadi. Akhirnya banyak pihak yang
mengeluh bagaimana mungkin negara maritime yang 2/3 wilayahnya lautan tapi
mengalami krisis garam.
Pemerintah pun menangani masalah
ini dengan metode business as usual yaitu menggenjot produksi garam dalam
negeri yang menurut saya sudah berada di tingkat jenuh. Usaha ini pun pada
akhirnya kembali lagi pada masalah klasik yaitu tehnik produksi yang masih
tradisional, kondisi cuaca yang terlalu basah dan luas lahan yang tidak pernah
bertambah (bahkan berkurang).
Memang benar teknologi yang digunakan
untuk memproduksi garam adalah dengan menggeringkan air laut didalam tambak
garam. Teknologi ini merupakan hal yang lumrah dilakukan di negara-negara yang
memiliki wilayah laut yang luas sekaligus juga memiliki kelemahan sebagaimana
disebut sebelumnya.
Selain dengan tehnik pengeringan
laut di tambak garam, ada metode lagi yang digunakan untuk memproduksi garam
yaitu dengan cara menambangnya di dalam bumi. Tetapi hal ini hanya bisa
dilakukan oleh negara-negara yang wilayahnya merupakan wilayah yang dahulunya
adalah lautan purba. Sehingga endapan garam yang terakumulasi di perut bumi
merupakan endapan sisa-sisa dari lautan purba tersebut. Indonesia tidak
memiliki berkah ini sehingga tidak mungkin untuk melakukan penambangan garam di
Indonesia seperti yang dilakukan di Australia, Canada, USA dan beberapa negara
Eropa Tengah dan Asia Barat.
Tapi ada satu teknologi yang dapat
digunakan dan belum pernah dicoba untuk industri garam walaupun teknologi ini
sudah lumrah digunakan untuk industri yang lain. Untuk menggunakan tenologi ini
dibutuhkan industrialisasi dua komoditas yaitu air bersih dan garam. Teknologi
ini disebut Vacuum Evaporation.
Teknologi vacuum evaporation ini
menggunakan metode pemanasan air di dalam ruang hampa. Sesuai dengan hukum
termodinamika maka titik didih air akan turun berbanding lurus dengan tekanan
didalam ruangan. Teknologi ini memiliki beberapa kelebihan yaitu
1)
Tidak tergantung cuaca karena proses dilakukan
di dalam tabung vakum yang tertutup rapat. Dalam proses vakum ini semakin
rendah tekanan yang diberikan, semakin rendah titik didih air. Bahkan air dapat
menguap pada suhu 00 celcius tergantung tekanan di ruang vacuumnya.
Hal ini dapat menyebabkan peningkatan produksi karena produk jadi dapat dipanen
setiap hari bahkan setiap jam.
2)
Teknologi ini tidak memerlukan lahan yang luas bahkan
dapat menggunakan lahan yang sudah ada. Hal ini karena air laut di olah di
dalam tabung tertutup berukuran 1 M3. Sebagai ilustrasi lihat saja
toren air yang berukuran 1000 liter. Luas lahan yang digunakan untuk membuat
tower toren tersebut itulah kira-kira luas lahan yang diperlukan untuk 1 unit
evaporator berkapasitas 1000 liter.
Bagaimana dengan jumlah produksi
garamnya? Hal ini tergantung dengan tingkat salinitas air laut. Salinitas air
laut di Indonesia adalah sekitar 3,3% per 1000. Artinya setiap 1 liter air laut
terdapat kandungan garam 33 gram. Jadi kalau 1 unit evaporator berkapasitas
1000 liter diisi penuh dengan air laut, berarti ada kandungan garam seberat 33
Kg disitu. Jika di asumsikan 1 unit evaporator dapat menguapkan air sampai
habis dalam waktu 1 jam, maka dalam 12 jam terdapat 396 kg garam. Dengan asumsi
bahwa produksi berjalan setiap hari, maka dalam setahun 1 unit evaporator akan
menghasilkan 142,6 ton garam. Jika sebuah pabrik memiliki 1000 unit evaporator
produksi akan mencapai 142.560 ton per tahun.
Sekedar informasi, produksi PT
Garam tahun 2015 adalah 340.000 ton itu pun dengan lahan 5.340 hektar. Dengan
asumsi 1 evaporator memakan lahan seluas 2,25 M2, maka 1000
evaporator hanya butuh lahan seluas 22.500 M2 atau 0,225 Hektar.
Bayangkan hanya dengan lahan 1 hektar saja bisa memproduksi sampai 1/3 dari
produksi PT Garam tahun 2015.
Tetapi teknologi ini memiliki
kekurangan yaitu membutuhkan energy listrik yang tinggi. Untuk mengolah 1 M3
air laut diperlukan daya sampai 170 KWh. Hal ini tentu saja ditentukan oleh
tehnik vakum yang digunakan sehingga konsumsi listriknya berada di kisaran 50 -
170 KWh/M3. Sehingga jika diasumsikan harga listrik adalah USD10
cent/KWh dan nilai tukar yang digunakan adalah Rp13.400/USD, maka 1 unit
evaporator akan menelan biaya operasional dari listrik saja sekitar Rp984 juta/tahun.
Hal ini menyebabkan industri garam
saja menjadi tidak kompetitif jika menggunakan teknologi vakum ini. Karena jika
kita menggunakan harga garam normal Rp1000/kg, maka revenue dari penjualan
garam dari 1 unit evaporator hanya Rp142,5 juta/tahun. Ya jelas gak ada yang
mau pakai teknologi ini buat industri garam.
Oleh karena itu, industri garam
harus digabungkan dengan industri air bersih, karena memang teknologi vakum
banyak digunakan untuk pengolahan air bersih di luar negeri seperti desalinasi
maupun pengolahan air limbah. Nah, jika dengan menggunakan teknologi yang
dipakai saat ini dalam produksi garam, air laut dibiarkan menguap di alam
bebas. Sedangkan dengan teknologi vakum, air yang menguap dapat dikondensasikan
dan menjadi air bersih yang bisa langsung diminum atau dengan kata lain air
dari hasil distilasi. Jika diasumsikan harga airnya adalah Rp200/liter maka
nilai yang didapat dari penjualan air tersebut per unit evaporator adalah Rp864
milyar/tahun. Sehingga jika diasumsikan sebuah pabrik memiliki 1000 unit
evaporator dan menjual produk utama berupa garam dan air bersih dimana garam
dijual seharga Rp1000/kg dan air Rp200/liter serta mengeluarkan biaya lain-lain
berupa gaji pegawai dan overhead sekitar Rp10 milyar/tahun. Maka profit dari industri
ini bisa mencapai Rp12,6 milyar/tahun dengan lahan tidak sampai 1 hektar.
Ide ini memang sangat radikal
karena terus terang saya belum pernah dengar ada industri garam yang
menggunakan teknologi vakum. Tetapi industri lain yang menggunakan teknologi
vakum sudah ada seperti industri gula, industri pengolahan limbah cair dan industri
pengolahan air bersih di luar negeri ya. Kalau di Indonesia satupun belum ada.
Teknologi ini selain mengunakan lahan yang tidak banyak, juga low maintenance
dan low labor cost dalam artian padat modal bukan padat karya. Industri yang
menggunakan teknologi ini juga akan menimbulkan dampak bagi industri yang sudah
existing yaitu industri garam yang pengolahannya oleh petani garam dan industri
AMDK (air minum dalam kemasan). Dengan kata lain, jika industri ini muncul maka
akan menimbulkan efek disruptif kepada industri lain yang sudah besar dan
mapan.
Terkait dengan efek disruptive,
saya tidak kawatir dengan industri garam karena petani garam dapat menggunakan
tambak mereka untuk melakukan budidaya udang atau ikan yang memiliki nilai
tambah lebih tinggi dari garam. Bahkan mereka dapat lebih fokus untuk di usaha tersebut
tanpa pusing mikirin cuaca. Sedangkan PT Garam malah bisa menggunakan lahannya
untuk industri lain berbasis maritime yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi
seperti budidaya udang, rumput laut dan lain-lain.
Industri AMDK lah yang akan
benar-benar terdampak oleh industri baru ini karena dengan adanya pabrik yang
memiliki 1000 evaporator maka produksi air bersihnya dapat mencapai 4.300 M3
atau 4,3 milyar liter air bersih per tahun. Jika dibandingkan dengan produksi
total AMDK tahun 2015 sebesar 21 milyar liter, maka industri baru ini akan
menjadi musuh baru bagi industri AMDK lain yang sudah mapan. Apalagi jika industri
baru ini malah menjadi pemasok air minum langsung ke konsumen melalui pipa
sehingga bisa langsung minum air dari keran. Di sisi lain, kita juga bisa lihat
tempat dimana air minum tersebut diperoleh, daerahnya menjadi kekurangan air,
penduduk setempat kesulitan mengakses air bersih bahkan daerah yang dulu banyak
lahan pertanian malah jadi alih fungsi karena banyak mata air yang hilang.
Sehingga apabila industri baru ini menyebabkan beberapa pabrik AMDK gulung
tikar setidaknya akan berdampak positif terhadap penduduk yang lingkungannya di
rusak oleh industri AMDK.
Satu lagi yang akan terimbas
adalah para importir garam, karena jika ada 40.000 unit evaporator maka
produksi garam kita menjadi 5,7 juta ton/tahun, cukup untuk memenuhi kebutuhan domestic
bahkan surplus karena kebutuhan domestik kita adalah 4,2 juta ton/tahun dan
hanya butuh 40 hektar lahan dan berkurangnya eksploitasi air tanah. Tetapi,
sekali lagi adanya 40.000 unit evaporator justru akan menciptakan 17,2 miliar
liter air minum sehingga dapat dipastikan pasar AMDK akan semakin terdistorsi
oleh air hasil distilasi. Sehingga dampak lain yang muncul akibat dihajarnya industri
begal garam (baca: importir) dan AMDK yang kemungkinan ada yang akan gulung
tikar, adalah munculnya penganguran, tapi akan dibahas di tulisan yang lain.
Hitungan-hitungan yang saya buat pun merupakan hitungan kasar terutama dari
besaran lahan. Walaupun saya yakin 40 ribu unit evaporator tidak akan memakan
lahan sampai ribuan hektar, mungkin bisa mencapai 100 hektar mengingat
diperlukannya lahan untuk storage dan lain-lain. Tapi yang pasti investasi yang
saya bicarakan untuk industri ini adalah milyaran dan semoga saja tidak
mencapai trilyun.
So, tertarik untuk mencoba usulan
saya?
Tulisan ini juga tayang di http://www.kompasiana.com/aycorn/59833bdba71c8359d822b872/industrialisasi-garam-sebagai-solusi-krisis-garam-mungkinkah
lengkap dengan referensinya