Pasar Kaget berbeda dengan pasar tradisional dan pasti juga berbeda dengan pasar malam. Jika ditilik melalui “paman gugel”, ada beberapa pengertian seperti di laman ini https://id.wiktionary.org/wiki/pasar_kaget bahwa pengertian pasar kaget adalah pasar sesaat yang terjadi ketika terdapat sebuah keramaian atau perayaan. Pengertian yang sama di laman http://www.deskripsi.com/p/pasar-kaget Mungkin siapapun bisa mencari arti lain dari pasar kaget ini.
Sebenarnya bukan hal yang khusus saya ingin menceritakan mengenai pasar kaget ini. Tapi ada keperluan lain untuk anak-anak yang senang mendengarkan suara dari gawainya melalui earphone (kalau bahasa anak-anak saya bilangnya “kuping-kuping” karena alat itu mencantol di kuping makanya disebut seperti itu). Nah perjalanan ke pasar kaget ini merupakan yang kedua kali karena pembelian pertama cukup memuaskan dari sisi kualitas dan kekuatan karena sering terjatuh dan dijual dengan harga Rp10.000,-. Cukup murah bukan ? Sehingga ketidaksengajaan ini memberikan inspirasi bagi saya untuk menceritakan mengenai pasar kaget.
Pengalaman ke pasar kaget pernah saya jalani juga saat penempatan di Majene. Pasar kaget di Majene ini ada setiap hari Rabu malam setiap minggu kecuali merupakan hari libur nasional, maka tidak ada pasar kaget. Suasana kota yang cukup sepi dan tidak ada aktivitas sejak jam 20.00, menjadikan pasar kaget dan pasar malam menjadi obat rindu atas keramaian dan hiruk pikuk hiburan. Bahkan saat kami masih di Bekasi, adanya pasar malampun tidak kami datangi, namun berbeda di Majene, hampir setiap hari, kami datangi pasar malam yang beroperasi selama 2 minggu dan berada di stadion sepak bola setempat. Suasana, waktu, jumlah pengunjung, hiruk pikuknya, barang yang dijual dan tujuan ke pasar kaget dan pasar malam cukup berbeda. Itulah pasar kaget dan pasar malam di Majene.
Suasana pasar kaget di Bekasi ramai dan penuh sesak. Padahal Iedul Fitri masih beberapa hari. Pasar kaget menjelang Iedul Fitri ini pun lebih ramai dibanding hari biasa. Pasar kaget ini juga hanya ada pada Selasa malam dan letaknya di sebuah gang yang hanya cukup satu mobil untuk bisa lewat. Sebenarnya menjadi sebuah anomali meskipun banyak mal-mal tumbuh bak jamur di musim hujan, tetapi masih ada pasar kaget yang cukup ramai dan penuh sesak juga. Pasar kaget ini menjual berbagai kebutuhan yang hampir sama di mal-mal kecuali mobil. Namun kalau soal kualitas jangan dibandingkan dengan barang-barang yang dijual di mal-mal. Barang-barang yang dijual seperti pakaian, perlengkapan shalat, peralatan dapur, perkakas, perlengkapan gawai, peralatan listrik, perlengkapan kosmetik, makanan dan minuman dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya.
Sesampainya kami di pasar kaget, terdengar suara ramai anak-anak bermain kejar-kejaran. Ada juga celoteh antara anak dan ibunya, diantara tawaran para penjual di pasar kaget itu.
“Silahkan dipilih … dipilih … yang murah … yang bergaya …” begitulah salah seorang penjual pakaian yang “kekinian” yang menjajakan dagangannya kepada pembeli.
Kemudian juga terdengar nasihat seorang ibu kepada anak remajanya,
“Nak, kita gak perlu ke mal ya, kan pakaian disini cukup bagus – bagus dan mengikuti trend kekinian. Kan ayahmu belum ada uang untuk pergi ke mal, lagi pula kalau kita ke mal, pengeluarannya menjadi lebih banyak dibanding kita belanja di tempat ini.” Begitulah terdengar samar-samar suara si ibu kepada anaknya.
Setelah menguping pembicaraan antara pedagang dan pembeli, kami pun bergegas menuju ke penjual earphone dan setelah mencoba dan suara speaker-nya sudah sesuai harapan, barulah kami bayar Rp30.000,- untuk 3 earphone. Setelah itu kami menjelajah menuju sisi agak ke dalam pasar kaget. Ramainya para pembeli dan penjual yang berjejal seperti sekelompok semut yang sedang mencari makan. Saat melenggang, kami pun mendengar percakapan antara penjual dan pembeli yang lain.
“Berapa harganya ini mas?
“1 lusin cuma Rp10.000,- aja. Garpu juga sama. Ibu mau beli yang mana?”
“Sebentar ya mas, saya hitung dulu uangnya. Ini mas, saya beli 2 lusin, 1 lusin sendok dan garpu ya.
“Baik bu, …terima kasih ya bu.”
Kemudian kami berjalan ke arah dalam, semakin banyak suasana tawar menawar antara pembeli dan pedagang. Pada titik tertentu, saya tak sengaja mendengar juga percakapan yang cukup menggugah hati saya.
“Berapa harga jilbab putih ini?” tanya seorang ibu bersama ketiga anaknya kepada penjual pakaian muslim. Anaknya yang besar seusia anak saya kelas V SD dan adik-adiknya masih kecil.
“Gak mahal bu, cuma Rp40.000 untuk 2 jilbab. Ibu mau beli berapa?”
Ibu tadi masih tertegun dan melihat antara jilbab tadi dan dompetnya hingga berkali-kali dan akhirnya “Mas apa gak bisa kurang? Saya mau ambil 2 jilbab, 1 untuk anak saya yang besar dan 1 lagi untuk saya.”
“Maaf bu, untungnya gak dapet untuk jilbab ini, gimana kalau Rp35.000,-? Ibu bisa ambil dua jilbab. Saya belanjanya agak jauh bu dan gak ketutup modalnya kalau ibu tawar segitu.”
Mendengar ucapan dari pedagang itu, akhirnya si anak yang tertua mendadak bilang, “Mak, saya gak usah dibelikan jilbab dulu kalau uangnya kurang. Lagipula saya kan masih anak-anak dan kalau emak perlu, beli aja untuk emak dulu. Kan Idul Fitri gak harus pake yang baru asalkan bersih dan tidak kotor.”
Terkejutlah si ibu tadi, dalam pikirnya siapa yang mengajarkan ketauladanan kepada anaknya yang besar ini hingga anaknya berpikiran seperti itu, sedangkan dia memang ingin membelikan jilbab untuk anaknya. Akhirnya ibu tadi tidak jadi membeli jilbab karena masih ada jilbab yang masih layak di rumah sepanjang masih bisa dipakai dan anaknya telah mengingatkan bahwa membeli barang itu sesuai dengan kebutuhan (need) bukan keinginan (want).
Itulah sekelumit percakapan yang saya tangkap secara sekilas di pasar kaget malam itu. Jika mendengar beberapa percakapan tadi, rasanya saya perlu banyak bersyukur, karena adanya pasar kaget itu bisa menjawab kebutuhan dan keperluan bagi masyarakat yang berpenghasilan cukup dan pas-pasan. Mungkin geliat seperti pasar kaget, pasar tradisional dan pasar-pasar murah yang sejenis perlu dibiarkan tumbuh sesuai kebutuhan masyarakat dan diberikan ruang untuk tetap bisa tumbuh. Pemerintah hanya mengatur bagaimana aturan main atas pertumbuhan pasar tadi. Memang perputaran uang di pasar kaget ini dan sejenisnya tidak mencapai ratusan milyar seperti transaksi di Indonesia International Motor Show atau pasar senggol seperti di Summarecon Mall Bekasi. Namun adanya pasar kaget yang tersebar di sekitar kota Bekasi akan mengurangi tingkat kejahatan di lingkungan masyarakat. Sekilas saya melihat bahwa banyak masyarakat yang terpinggirkan juga ikut berjualan dan hal ini menjadi trend positf. Saya termasuk orang yang beruntung dan bersyukur karena masih bisa merasakan suasana pasar kaget dan pasar malam tradisional, sehingga saya bisa membeli kebutuhan yang lain di pasar kaget atau pasar sejenis lainnya. Salam sejahtera untuk semua, salam pasar kaget.