"ih kamu ih... mama capek nyari-nyari kamu ga ketemu.. jangan keliling-keliling terus dong"
"jangan gitu atuh.. mamah ga suka deh.. nanti kalau kamu ilang gimana"
"dedek.. dedek.. sini jangan berdiri di tengah jalan, nanti ketabrak orang"
"Eh.. itu.. ada temennya.. tapi temennya ga nangis tuh... pinter... adek jgn nangis yah"
Suara-suara itu lalu lalang melintasi telinga kanan dan kiri. Terdengarnya tak jelas, banyak distorsi karena semuanya masuk secara bersamaan. Namun frekuensinya sama, nyaring dengan desibel tinggi. Bising memang tapi bukan salah mereka, salah saya memilih berada di sana.
Kerongkongan masih terlarang dari kucuran air, pun dengan asupan makanan, sedangkan mentari tetap setia membagi-bagikan sinar panasnya. Periode dibelenggunya setan ini sudah mendekati akhir yang seharusnya ditandai dengan ramainya orang ke masjid di saat malam. Di Indonesia, tanda itu ada tambahan, pasar dengan segala turunannya juga ikut menjadi ramai, bahkan di sepanjang hari.
Aku, yang masih terdaftar sebagai warga negara Indonesia juga terpaksa andil membuktikan kesahihan tambahan pertanda menjelang satu Syawal. Salah satu sudut pasar di wilayah Jakarta Barat menjadi pilihan. Istri dan anak sebagai pelanggan utama tak lupa ikut serta. Berjalan pelan menyusuri barisan pakaian berbagai ragam. Seperti orang menyeberang, senantiasa tengok kanan kiri untuk mencari yang mencuri perhatian.
Entah bagaimana ceritanya, di tengah kebisingan, kami terpisah oleh sapuan lautan manusia yang ombaknya bergerak ke segala arah. Anakku aman dalam gendongan ibunya, sedangkan aku mencoba mencari keberadaan mereka. Tumpukan baju menambah kesulitan pencarian, belum lagi seliweran manusia yang tak ada yang tahu kapan berhentinya.
Langkah terus melaju namun yang dicari belum juga ketemu. Ketika kaki terus berjalan, tiba-tiba pandangan tercekat pada sosok bapak yang tak lagi muda. Beliau dengan wajah datar sedang memandangi gaun untuk anak kecil yang tergantung. Sesekali nampak dia menggaruk kepala yang dihiasi sedikit rambut putih. Alam bawah sadar mengajakku bergerak mendekatinya meskipun tak tahu mau apa. Ketika jarak kami hanya terpaut sekitar dua meter, mulut Bapak itu mengeluarkan suara
"kalau untuk usia sepuluh bulan.. segini muat ga ya?"
Aku bertanya-tanya pada siapa dia bicara, tak ada orang di samping dan belakangnya. Sepertinya juga bukan berujar padaku.
"hmmh.. kayanya cukup deh Pak.. ini sampai usia satu tahun...tapi tergantung anaknya seberapa juga sih Pak"
Terlihat wajah yang familiar melongok sambil bergeser dari balik persembunyiannya. Ia menengadah memperhatikan gaun pilihan bapak tadi, sambil terus menggendong anak mungil yang mengoceh dengan kosakata yang belum jelas terdengarnya. Akhirnya pencarianku berakhir.
Meskipun kini kami kembali bertiga, tapi kedua mata tetap lekat ke sosok Bapak seorang diri tadi. Air mukanya masih saja datar, bajunya juga sudah sedikit kusam. Kulihat di tangannya sudah tergenggam gaun anak kecil yang ditanyakan tadi. Aku masih penasaran, dia membeli untuk anak atau untuk cucunya. Tapi tak mungkin aku tanyakan kepadanya.
Perburuannya tampaknya belum usai. Beberapa kali beliau memandangi beberapa model baju untuk anak-anak berkelamin perempuan. Wajahnya tetap datar, tidak menampakkan tanda-tanda kebahagiaan. Pikiran burukku berkata bahwa Bapak ini sebenarnya terpaksa membelikan baju baru untuk lebaran. Atau mungkin beliau kebingungan harus membeli baju model apa. Bisa juga beliau memikirkan label harga yang tak bisa dibilang murah. Ah, kenapa saya jadi berpikir macam-macam, mungkin memang raut muka Bapak itu begitu adanya.
Larut ke dalam perburuan kami sendiri, perhatianku lepas dari Bapak tadi. Sudah tidak sempat terlintas segala asumsi tentang si Bapak. Semua terhalang oleh pertanyaan semacam "bagus yang ini apa yang ini ya?" "kira-kira ini muat ga ya?" "mendingan yang ini apa yang ini?" "harga segini mahal ga ya?" "yang ini lucu kan ya?"
Antrian pembeli yang sudah cukup panjang membuatku geleng-geleng kepala. Terbayang lamanya waktu saat membayar nanti. Hingga pandanganku kembali terhenti pada sosok Bapak tadi. Ternyata beliau sudah antri menuju kasir. Aku lihat sudah ditenteng dua potong baju anak perempuan. Saat beliau berbalik selesai dari membayar, yang kulihat masih sama. Ekspresinya masih datar, senyumnya tidak tersungging, langkahnya juga masih perlahan. Tidak menampakkan kepuasan berhasil membelikan baju lebaran. Perlahan dia melangkah gontai menjauh hilang menembus keramaian.
Budaya baju baru lebaran memang bukan hal baru. Pernah aku bertanya kepada entah siapa, katanya itu pengejawantahan anjuran Nabi Muhammad menyambut idul fitri. Meskipun setelah ditelisik, anjuran yang ada hanya memerintahkan mengenakan pakaian yang terbaik. Pemaknaan terbaik ini mungkin memang beragam. Bisa dari yang sudah ada dipilih yang paling bagus. Bisa juga dengan membeli yang baru agar mutlak baju itu jadi yang paling bagus yang dipunya.
Yang paling penting adalah tidak berlebihan dan memaksakan diri. Dua hal itu bisa menggeser makna dari pengagungan menyambut hari yang fitri menjadi sombong diri atau malah penderitaan demi nafsu sehari.
"jangan gitu atuh.. mamah ga suka deh.. nanti kalau kamu ilang gimana"
"dedek.. dedek.. sini jangan berdiri di tengah jalan, nanti ketabrak orang"
"Eh.. itu.. ada temennya.. tapi temennya ga nangis tuh... pinter... adek jgn nangis yah"
Suara-suara itu lalu lalang melintasi telinga kanan dan kiri. Terdengarnya tak jelas, banyak distorsi karena semuanya masuk secara bersamaan. Namun frekuensinya sama, nyaring dengan desibel tinggi. Bising memang tapi bukan salah mereka, salah saya memilih berada di sana.
Kerongkongan masih terlarang dari kucuran air, pun dengan asupan makanan, sedangkan mentari tetap setia membagi-bagikan sinar panasnya. Periode dibelenggunya setan ini sudah mendekati akhir yang seharusnya ditandai dengan ramainya orang ke masjid di saat malam. Di Indonesia, tanda itu ada tambahan, pasar dengan segala turunannya juga ikut menjadi ramai, bahkan di sepanjang hari.
Aku, yang masih terdaftar sebagai warga negara Indonesia juga terpaksa andil membuktikan kesahihan tambahan pertanda menjelang satu Syawal. Salah satu sudut pasar di wilayah Jakarta Barat menjadi pilihan. Istri dan anak sebagai pelanggan utama tak lupa ikut serta. Berjalan pelan menyusuri barisan pakaian berbagai ragam. Seperti orang menyeberang, senantiasa tengok kanan kiri untuk mencari yang mencuri perhatian.
Entah bagaimana ceritanya, di tengah kebisingan, kami terpisah oleh sapuan lautan manusia yang ombaknya bergerak ke segala arah. Anakku aman dalam gendongan ibunya, sedangkan aku mencoba mencari keberadaan mereka. Tumpukan baju menambah kesulitan pencarian, belum lagi seliweran manusia yang tak ada yang tahu kapan berhentinya.
Langkah terus melaju namun yang dicari belum juga ketemu. Ketika kaki terus berjalan, tiba-tiba pandangan tercekat pada sosok bapak yang tak lagi muda. Beliau dengan wajah datar sedang memandangi gaun untuk anak kecil yang tergantung. Sesekali nampak dia menggaruk kepala yang dihiasi sedikit rambut putih. Alam bawah sadar mengajakku bergerak mendekatinya meskipun tak tahu mau apa. Ketika jarak kami hanya terpaut sekitar dua meter, mulut Bapak itu mengeluarkan suara
"kalau untuk usia sepuluh bulan.. segini muat ga ya?"
Aku bertanya-tanya pada siapa dia bicara, tak ada orang di samping dan belakangnya. Sepertinya juga bukan berujar padaku.
"hmmh.. kayanya cukup deh Pak.. ini sampai usia satu tahun...tapi tergantung anaknya seberapa juga sih Pak"
Terlihat wajah yang familiar melongok sambil bergeser dari balik persembunyiannya. Ia menengadah memperhatikan gaun pilihan bapak tadi, sambil terus menggendong anak mungil yang mengoceh dengan kosakata yang belum jelas terdengarnya. Akhirnya pencarianku berakhir.
Meskipun kini kami kembali bertiga, tapi kedua mata tetap lekat ke sosok Bapak seorang diri tadi. Air mukanya masih saja datar, bajunya juga sudah sedikit kusam. Kulihat di tangannya sudah tergenggam gaun anak kecil yang ditanyakan tadi. Aku masih penasaran, dia membeli untuk anak atau untuk cucunya. Tapi tak mungkin aku tanyakan kepadanya.
Perburuannya tampaknya belum usai. Beberapa kali beliau memandangi beberapa model baju untuk anak-anak berkelamin perempuan. Wajahnya tetap datar, tidak menampakkan tanda-tanda kebahagiaan. Pikiran burukku berkata bahwa Bapak ini sebenarnya terpaksa membelikan baju baru untuk lebaran. Atau mungkin beliau kebingungan harus membeli baju model apa. Bisa juga beliau memikirkan label harga yang tak bisa dibilang murah. Ah, kenapa saya jadi berpikir macam-macam, mungkin memang raut muka Bapak itu begitu adanya.
Larut ke dalam perburuan kami sendiri, perhatianku lepas dari Bapak tadi. Sudah tidak sempat terlintas segala asumsi tentang si Bapak. Semua terhalang oleh pertanyaan semacam "bagus yang ini apa yang ini ya?" "kira-kira ini muat ga ya?" "mendingan yang ini apa yang ini?" "harga segini mahal ga ya?" "yang ini lucu kan ya?"
Antrian pembeli yang sudah cukup panjang membuatku geleng-geleng kepala. Terbayang lamanya waktu saat membayar nanti. Hingga pandanganku kembali terhenti pada sosok Bapak tadi. Ternyata beliau sudah antri menuju kasir. Aku lihat sudah ditenteng dua potong baju anak perempuan. Saat beliau berbalik selesai dari membayar, yang kulihat masih sama. Ekspresinya masih datar, senyumnya tidak tersungging, langkahnya juga masih perlahan. Tidak menampakkan kepuasan berhasil membelikan baju lebaran. Perlahan dia melangkah gontai menjauh hilang menembus keramaian.
Budaya baju baru lebaran memang bukan hal baru. Pernah aku bertanya kepada entah siapa, katanya itu pengejawantahan anjuran Nabi Muhammad menyambut idul fitri. Meskipun setelah ditelisik, anjuran yang ada hanya memerintahkan mengenakan pakaian yang terbaik. Pemaknaan terbaik ini mungkin memang beragam. Bisa dari yang sudah ada dipilih yang paling bagus. Bisa juga dengan membeli yang baru agar mutlak baju itu jadi yang paling bagus yang dipunya.
Yang paling penting adalah tidak berlebihan dan memaksakan diri. Dua hal itu bisa menggeser makna dari pengagungan menyambut hari yang fitri menjadi sombong diri atau malah penderitaan demi nafsu sehari.