Pengguna Commuter Jadi Warga Kelas Dua

 Banyak cerita seputar kereta commuterline. Baik soal perjalanannya, suasana dalam keretanya, sarana dan prasarana pendukung keretanya maupun kereta mana yang harus jalan terlebih dahulu. Cerita ini menarik untuk disampaikan karena masih merupakan misteri yang belum ada jawabannya hingga sekarang. Jika kita menjadi salah satu pegawai dari PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), Ditjen Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan dan PT Kereta Commuter Jakarta (PT KCJ), mungkin akan mengetahui kenapa hal-hal seperti diatas bisa terjadi.

      Banyak perbaikan yang sudah dilakukan saat Pak Jonan saat menjabat sebagai Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia. Banyak kultur menggunakan kereta api yang sudah dirubah oleh beliau. Misal bagaimana para calon penumpang digiring dengan ketentuan dan peraturan yang beliau tetapkan masuk dan keluar dari stasiun di seluruh Jabodetabek dengan tertib. Bagaimana proses pemesanan tiket kereta dimudahkan dengan fasilitas online dan verifikasi calon penumpangnya dengan baik sehingga mengurangi potensi adanya calo yang berkeliaran di sekitar stasiun. Bagaimana jadwal perjalanan kereta api dapat berjalan dengan tepat waktu, nyaman dan aman. Pihak keamanan juga disiapkan hampir di seluruh stasiun di Indonesia.  Bagaimana tingkat ketertiban di dalam stasiun dapat ditingkatkan dengan cara professional, sehingga pihak yang tidak berhak dapat segera lengser dari stasiun. Itulah beberapa perbaikan yang telah dilakukan oleh beliau.

        Disamping itu masih ada kekurangan yang memang belum bisa dijelaskan oleh pihak PT KAI, Ditjen Perkeretaapian, Kemenhub maupun PT. KCJ. Beberapa misalnya masalah perweselan yang masih merupakan momok tersendiri, karena perweselan ini sesuai dengan kondisi saat pengadaannya dulu. Wesel ini ada yang berasal dari Inggris, Belanda dan Jerman. Bayangkan untuk permasalahan wesel aja masih berbeda-beda sejak jaman Hindia Belanda. Sehingga kalau wesel ini macet, jadwal kereta sudah pasti terganggu.

Kemudian ada palang pintu bagi jalur kereta yang masih melewati jalur kendaraan bermotor. Idealnya jalur kereta itu harus sudah diatas jalan raya seperti pada ruas stasiun Cikini hingga Jakarta Kota. Tidak semua palang kereta itu terjaga dengan palang yang sempurna. Untuk wilayah Jabodetabek mungkin lebih baik, tapi bagaimana dengan di luar Jabodetabek? Jadi diri kita yang bisa mengendalikan agar bersabar menunggu sinyal kereta.

Rencana double double track (jalur ganda), dimana pembuatan jalur ganda ini juga sudah lama rencana pembuatannya yaitu sejak renstra 2008 saya pernah mendengar wacana itu. Tapi saya memahami betapa sulit proses pembebasan tanah atau lahan untuk jalur ganda itu. Tujuan jalur ganda ini untuk menghindari adanya saling mengalahkan atau bersinggungan antara kereta api jarak jauh dengan kereta commuterline. Rencana pembukaan jalur ganda ini hingga ke Surabaya. Jalur ganda ini nantinya juga akan memberikan kemudahan akses bagi warga Cikarang untuk menggunakan commuterline.

        Dari permasalahan wesel, palang pintu dan jalur ganda, hal paling banyak memberikan pengaruh terhadap perjalanan kereta commuterline adalah belum tersedianya jalur ganda. Akibatnya banyak perjalanan kereta commuter tertahan dan dikalahkan oleh kereta jarak jauh. Biasanya titik tertahannya kereta commuterline itu di stasiun Manggarai, Jatinegara atau Cipinang dan Cakung untuk wilayah jalur kereta ke wilayah Timur. Karena ada juga kereta lokal juga melewati jalur ini dengan tujuan Cikampek dan Purwakarta. Sedangkan jalur kereta menuju Serpong dan Tangerang juga ada kereta lokalnya, hanya saja saya belum bisa bercerita di sini dan informasinya masih minim. Dampak dari ini, akhirnya kereta jarak jauh dan kereta lokal yang diutamakan.

Menurut saya, para pengguna kereta jarak jauh secara umum bukan para pekerja yang mengejar waktu tetapi lebih banyak yang berkunjung, liburan atau dinas dan lainnya. Sehingga keberangkatannya bisa ditunda sekitar 2 atau 3 menit hingga kereta commuterline lewat. Fakta yang sering terjadi adalah terkadang saat tertahan di salah satu stasiun, waktu tunggunya bisa 2 atau 3 kali kereta jarak jauh lewat dahulu. Padahal kalau kereta commuterline  dikasih kesempatan jalan, mungkin sudah sampai di stasiun akhir di Bekasi. Inilah yang saya sebut tidak logis dan pengguna commuterline harus bersabar. Saya juga menangkap isu bahwa ada insentif bagi kepala stasiun yang memperbolehkan kereta jarak jauh lewat terlebih dulu dibanding commuterline. Alasan lain kereta commuterline itu selalu tertahan adalah biaya perjalanannya masih di subsidi pemerintah (padahal kereta lokal juga masih), penumpang kereta jarak jauh membayar lebih mahal (apakah pengguna commuterline bayar mahal akan sama perlakuannya?) atau manajemen kewenangan perkeretaapiannya (PT KAI, Dirjen Perkeretaapian atau PT KCJ). Memang para pengguna commuterline selalu diminta bersabar dan berdoa, karena keselamatan sudah terjamin tetapi kenyamanan dan keterlambatan tidak. Bayar murah kok mau nyaman dan cepat. Ini jadi tidak konsisten jika kereta lokal yang dibawah manajemen PT KAI. Kereta lokal ini masih bisa mendahului commuterline dengan status masih disubsidi, dibawah PT KAI dan previllege lainnya.

Kami para pengguna kereta commuterline berharap agar jalur ganda sudah dapat difungsikan dan digunakan agar pengguna commuterline tidak menjadi warga kelas dua. Selain itu peran kereta lokal juga akan dihapus dan para penggunanya akan beralih ke commuterline juga. Jika penggunaan jalur ganda sudah berfungsi, commuterline merupakan primadona bagi penduduk sekitar Jabodetabek yang akan berpergian keliling kota.


***

Tulisan ini dapat juga dilihat pada laman : https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/2017/06/pengguna-commuter-jadi-warga-kelas-dua.html 

Perguruan Tinggi dan Ambisi Orang Tua

Proses seleksi masuk perguruan tinggi pasca SMA sebetulnya siklus rutin yang akan kita jumpai setiap tahun, tapi selalu saja ada drama-drama yang mengharukan, ada kegembiraan dan ada juga kesedihan.

Suasana dramatisnya mirip-mirip pada final sepakbola level eropa atau dunia semisal liga champion atau piala dunia. Di akhir laganya selalu menyisakan dua pihak yang keharuannya sangat kontras. Meski sebagian dari dua pihak itu memiliki cara mengekspresikan yang kadang terlihat sama, katakanlah dengan menangis, tentu memiliki latar belakang emosional yang sangat berbeda. Para pendukungnyapun tak kalah seru dalam menyikapi hasil akhir laga fenomenal tersebut.

Sedramatis apapun itu, proses seleksi masuk perguruan tinggi dan final laga sepakbola yang sangat terkenal itu tentu harus dipahami sebagai sesuatu yang berbeda, minimal dalam konteks pendekatan filosofis. Final liga champion adalah hasil akhir, sementara proses seleksi masuk perguruan tinggi hanyalah titik awal dari sebuah perjalanan menempa kematangan dan kedewasaan yang sangat panjang.
Oleh karena itu, drama pasca pengumuman hasil seleksi perguruan tinggi mesti disikapi dengan kadar yang secukupnya, karena ketidakberhasilan lolos dalam seleksi ini bukanlah akhir dari segalanya.

Setidaknya ada tiga hal yang membuat proses seleksi ini menjadi begitu menguras emosional kita. Pertama, terlalu terburu-buru memaknai kesuksesan pada proses dini ini. Memang tidak salah apabila ketika lolos pada seleksi ini memberi harapan yang memadai untuk menggapai kesuksesan, tetapi ketika pada kondisi sebaliknya, tentu tidaklah bijak apabila ini kemudian kita sebut sebagai pertanda kegagalan kehidupan kita.

Kedua, keinginan anak-anak kita yang sangat tinggi. Hasil seleksi yang baru diketahui kemarin, tentu memberi efek yang ekstrim dari mulai kegembiraan sampai pada titik kesedihan pada skala tertinggi bahkan bisa jadi mengalami kekecewaan yang sangat dan frustasi. Di kalangan anak-anak, proses seleksi di samping sebagai sarana memilih perguruan tinggi terbaik untuk mencapai cita-citanya, bisa juga sebagai ajang adu gengsi, meski pada kenyataannya tidak selalu pilihan-pilihan itu bisa diadupadankan.

Ketiga, ambisi orang tua yang melebihi kemampuan dan bahkan kemauan anaknya. Atas dasar pengalaman yang diperoleh selama ini, kebanyakan orang tua mengarahkan atau paling tidak memberi masukan pada proses pemilihan jenjang pendidikan yang paling krusial ini. Pada proses pengarahan ini tidak jarang pula para orang tua 'menitipkan' sesuatu yang sedikit banyak dipengaruhi ambisinya. Ketidakmampuan orang tua membuat titik keseimbangan (tawazun) antara pengarahan karena latar belakang pengalaman-pengalaman yang berharga selama ini atau karena ambisi-ambisi yang tersembunyi, kemudian dipadukan dengan minat dan kemampuan anaknya, akan menjadi beban yang tidak ringan. Bahkan apabila hasilnya kemudian mengecewakan, beban ini bisa berakibat trauma yang berkepanjangan.

Hari pengumuman bukanlah hari penentuan seseorang akan sukses atau sebaliknya. Menerima kenyataan pahit pada fase ini tentu tidak mudah, dan ini harus dibersamai dengan upaya rekonsiliasi mental yang harus dilakukan secara cepat dan terukur.

Pada hari diketahui hasil jerih payah belajar dan selalu terlantunkannya do'a-do'a, tentu bukan waktu untuk menghakimi dan mengumbar segala kesalahan. Pada saat krusial ini, justru orang tua harusnya berperan menjadi penampung yang sangat luas sebanyak apapun kekecewaan yang akan dirasakan oleh anaknya menerima kenyataan yang tidak selalu sesuai harapannya.

Orang tua harus menjadi pendingin bagi jiwa-jiwa yang kecewa, menjadi penghangat bagi jiwa-jiwa yang lunglai tak bersemangat, menjadi pembesar bagi jiwa-jiwa yang mengkerut kecil. Orang tua juga harus bersedia menjadi terminal yang nyaman bagi jiwa-jiwa yang membutuhkan tempat istirahat sementara waktu.

Kepada anak-anak yang sedang membutuhkan segalanya mengumpulkan kembali semangat dan gairahnya, orang tua perlu melebarkan tangannya, melapangkan dadanya dan menyampaikan hakikat ambisi yang sebaik-baik ambisi orang tua kepada anaknya. Peluk dan kemudian berbisiklah, "Anakku, kamu jadi anak shaleh, itu sudah lebih dari cukup bagi ayah dan ibu..."

Mosaik Mimpi


Senja di padang rumput savana
Kotak telepon umum
Di dalamnya aku, sendiri
Mendengarkan suara ayah dan ibu

Malam terang bulan
Aku dan teman-teman
Berlarian di antara atap perumahan
Melompat, terbang ... bagai pegas di tenda sirkus

Pagi di pedesaan
Mentari lembut menembus kaca jendela
Memenuhi sudut ruangan kecil ini
Kududuk di atas dipan, tercium aroma sisa air hujan
Dan rumput dan bunga yang masih basah

Siang benderang di tepi pantai
Pasir putih sejauh mata memandang
Nyiur melambai, angin bertiup
Aneka kerang indah ditinggalkan penghuninya
Kulekatkan telinga kepadanya
Terdengar deru angin dan dasar samudera

Hempaskan saja ke udara..


"nduk... jadi perempuan itu harus banyak bersabar. Berani mengalah.."
"Emang perempuan doang Bu? Laki laki kan juga harus menghormati perempuan.."
"Iya.."
"Ibu kenapa sih, bisa sabar banget sama ayah yg galak begitu? Sukanya maksa.."
Ibu hanya tersenyum, seperti biasa..ia mengatur nafas sebelum berbicara. Wajahnya yang cantik tak lekang oleh usia. Hatinya yang lembut tak kabur oleh umur.
"Kalau ibu boleh bercerita..tentang masa lalu.."
"Gimana Bu maksudnya? Tentang ayah?"
Ibu membetulkan posisi duduknya. Menatapku lekat..melipat tangan di atas meja makan di hadapan kami. Seakan akan ia ingin mengatakan sesuatu yang teramat penting.
"Dulu... ibu tidak menikah dengan ayahmu karena cinta."
Aku memberhentikan kunyahanku sebentar. Menanti apa yang akan ibu sampaikan berikutnya.
"Ayahmu..adalah pegawai negeri yang ngekos di samping rumah eyangmu, orang tua ibu."
Wajah ibu bertambah serius. Aku jadi salah tingkah melihat ibu begitu. Namun cerita ini memang membuatku sangat penasaran. Nyaris ingin kubilang pada ibu, ayo bu cepat cerita..aku tidak sabar menanti.
"Suatu hari kami kedatangan tamu. Yang ternyata adalah ayahmu.
Ia pemuda yg tegas dan lurus. Tak pernah kami melihatnya pergi kecuali ke tiga tempat: kantor, masjid, dan warteg.
Ia.. datang di suatu sore..menemui eyang kakungmu.
Ternyata..ia ingin melamar ibu."
"Lalu eyang pasti nyuruh ibu biar mau kan?"
"Iya, nduk.. singkatnya ya begitu..sayang Khan..pemuda baik baik..pandai..pns pula..siapa orang tua saat itu yg akan menolaknya.."
Aku kembali mengunyah. Kue lemper buatan ibu enak sekali. Hampir saja aku makan tiga kalau perutku masih terasa lapang. Ya ampun ..
"Ibu lalu mau saja, nduk.. namanya nurut sama orang tua.."
Aku mengangguk angguk. Kepenuhan lemper campur teh manis di mulut.
"Kami lalu menikah..tak lama setelah itu.
Di awal awal pernikahan...ibu kaget sekali.."

"Hah? Kenapa Bu kenapa?"

"Ayahmu orgnya disiplin sekali..kadang kalau ibu ada salah salah ia tegur..ibu Ndak biasa dg bahasanya yg tegas nduk.."
"Trus ibu marah sama ayah karena diomelin terus dong?"
Ibuku menggeleng kecil. Ada kerut kerut di mata bulatnya, kerut yang natural hadir mengiringi perjuangannya di tiap tahun usia.
"Ibu hanya diam dan sesekali ibu menangis .."
"Ayaaah...."
"Tapi itu hanya di awal awal nduk...
Setelah itu..ibu belajar.."
"Belajar apa Bu?"
"Untuk mengikhlaskan semuanya..termasuk sifat ayahmu yang tegas sekali itu.
Ibu kuatkan diri ibu untuk melapangkan hati ibu, ibu berusaha terus bersabar dan mengalah.."
"Hhaaa?? Duh muncrat sedikit lempernya.." ujarku agak malu
"Lama lama ibu biasa begitu, nduk..
Menikah itu harus ada yg mengalah...harus bersabar dengan pasangan..
Dan itu bukan berarti kalah."
"Kenapa ibu ga blg sama ayah kalo ayah galak dan harus berubah?"
Wanita cantik di depanku hanya menggeleng lagi.
"Ndak.. ibu Ndak mau ayah merasa ia tidak sempurna di mata ibu.
Ibu banyak mendapat kelebihannya, nduk..kurang sedikit darinya Ndak masalah lagi.."
"Pantes ibu ga pernah berantem sama ayah.."
"Ndak begitu..ya pernah berantem..tapi hanya ribut kecil lalu baikan. Ibu Ndak mau menyimpan amarah lama lama..ibu hembuskan saja ke udara. Ibu lepaskan bersama doa.. Lalu hati ibu plong kembali."
"Hahahaha....kaya kentut Bu.."
"Hush...anak wedok kok ngomong kentut.."
Tanpa sadar tanganku mengambil lemper keempat..

Tak Ingin Kaya (Bagian-1)

Pagi itu jalanan sudah mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan. Meskipun lebarnya hanya pas untuk dua mobil simpangan dalam posisi yang sangat mepet, jalanan Kampung Rawa jadi favorit para pengendara yang ingin mencari jalur alternatif menuju jalur utama. Di salah satu pertigaan, terdapat pos ronda yang kini juga terpampang papan kecil bertuliskan "Sedia Ojek Offline". Dulunya jumlah tukang ojek yang mangkal di situ cukup banyak. Jika skuadnya lengkap bisa hingga delapan orang yang nongkrong menunggu penumpang. Namun seiring perkembangan ojek online yang menjamur parah dewasa ini,  jumlahnya berkurang signifikan. Tiap harinya paling banyak hanya tampak tiga pengojek saja yang mangkal. Sebagian besar yang lain sudah beralih menjadi tukang ojek berseragam yang mengandalkan telepon pintar dalam berburu penumpang.

Dari segelintir tukang ojek pangkalan yang tersisa itu, ada sosok pria yang dari rambut putihnya sudah tak bisa membohongi lagi berapa usianya. Namanya Pak Parmin, asli Jawa namun terakhir kali pulang ke kampungnya kira-kira saat Pak SBY terpilih jadi Presiden pada periode pertama. Istrinya sebaya dan menjadi tukang setrika di laundry kiloan tak jauh dari rumahnya. Anak-anaknya ada dua orang yang semuanya tinggal di Jawa bersama mertua.

Jam tangan telah menunjukkan pukul 7.10. Seperti biasanya, aku berjalan menyusuri gang dari kontrakan menuju pertigaan tempat Pak Parmin mangkal. Tampak Pak Parmin sedang menyeruput segelas kecil kopi hitam di pos pangkalan. Rambut putihnya yang sudah menipis tetap terjaga klimis karena jam segini biasanya beliau memang baru mulai beroperasi.

"Assalamualaikuum Pak Parmin, mari berangkat pak" sapaku sambil tersenyum.

Ya, tiap pagi di hari kerja Pak Parmin layaknya supir pribadiku. Aku sudah jadi langganannya untuk berangkat kerja sejak ngontrak di daerah situ. Tanpa aku bilang, Pak Parmin sudah tahu harus mengantarku kemana.

"Waalaikumussalam masbro... siap.. satu seruput dulu ya" jawab Pak Parmin sambil gelas kopi masih menempel di ujung bibirnya.

Setelah satu seruputan kopi, diletakkannya gelas yang masih terisi kira-kira sepertiganya. Bergegas distater motor keluaran awal tahun 2000 kesayangan Pak Parmin dengan mengengkol pakai kaki karena stater tangannya sudah tak lagi berfungsi. Setelah beberapa kali dicoba akhirnya hidup juga mesin motor yang sudah terdengar agak batuk-batuk itu.

"Sudah siap masbro.. naek...! " kata Pak Parmin dengan semangat

Segera aku naek ke jok belakang dan menepuk pundak Pak Parmin, "Berangkaatt.. Pak.. "

Motor yang sudah masuk ketegori tua ini mulai melaju menyusuri jalanan. Asap putih menyembur dari knalpot jika kita melongok ke belakang. Maklum, mungkin sudah lama Pak Parmin tidak mengantar motornya ke bengkel untuk sekedar tes kesehatan. Lajunyapun tak bisa digeber kencang, hanya maksimal 60 km/jam.

"Ibu gimana Pak, sehat? " aku membuka pembicaraan di atas motor

"Alhamdulillah mas sehat, ya kan tiap hari olah raga. Angkat-angkat setrikaan kan sama kaya angkat barbel mas, jadi uda kaya fitnes" jawabnya dengan bercanda.

Pak Parmin ini memang suka sekali bercanda. Makanya, tiap menumpang ojeknya selalu kusempatkan ngobrol dengannya. Bisa jadi hiburan sebelum stres bekerja.

"Mas Evan sendiri gimana, kapan nikah? tetangga saya yang pengangguran aja uda nikah, masa Mas Evan yang tiap bulan gajian ga laku-laku? " Pak Parmin melancarkan pertanyaan balik yang tiap hari diulang-ulang.

"Hahaha... belum nemu yang cocok Pak, nanti kalau uda jodoh kan nemu-nemu sendiri" jawabku berdiplomasi.

"Alaah, jangan terlalu pilih-pilih mas, nanti keburu tua kaya motor saya" Pak Parmin menimpali.

"Hahaha... siap pak!" jawabku sembari menghibur diri

"Kemarin sore pas saya pulang kerja kok tumben Pak Parmin ga kelihatan di pos?" aku coba mengalihkan fokus pembicaraan.

"Oh iya mas, kemarin abis dzuhur saya pulang mas, maag saya kambuh, perut saya serasa diiris-iris... tapi untung bukan hati saya yang teriris-iris" jawab Pak Parmin tetap dengan sedikit bercanda

"Haha.. Pak Parmin bisa aja, jangan nyindir penyakit saya dong Pak. Terus sekarang udah sembuh Pak?"

"Sudah mas, tinggal kasih obat warung juga reda, uda biasa mas. Cuma sekarang lebih sering kumatnya, telat sarapan sebentar aja uda protes perut saya uda kaya orang zaman sekarang, gampang protes" Pak Parmin terdengar sedikit curhat.

"Wah, makanya Pak jangan telat sarapan, kalau sering kumat gitu kan repot, jadi ga bisa narik"

"Haha.. maunya sih gitu, tapi gimana lagi, pagi-pagi ibu ga sempat bikin sarapan karena sudah harus berangkat ke tempat londri, uang juga sudah habis buat makan kemarin, belum dapat penumpang juga, paling-paling ya cuma sisa buat beli kopi di warung deket pos situ"

"Penumpang pertama saya dan kadang satu-satunya dalam satu hari kan ya Mas Evan ini, jadi ya bisa beli sarapannya setelah nganter mas Evan paling cepet." Pak Parmin melanjutkan ceritanya.

"Oh, yaudah Pak nanti sarapan dulu aja bareng saya di deket-deket kantor, saya juga belum sarapan ini" aku mencoba mengajak Pak Parmin, meskipun aku tahu Pak Parmin akan menolaknya karena bukan pertama kalinya aku menawarkan untuk sarapan bareng dan selalu saja ditolaknya.

"Ah, ga usah repot-repot mas, gampang nanti saya beli indomie di warung deket pos aja sepulang nganter Mas Evan, tenang perut saya masih aman kok, maag saya masih belum bangun, hehee"

"Oh, sip kalau gitu Pak, yang penting perutnya keisi"

"Jadi kemarin rugi dong Pak cuma narik sebentar?" aku coba menanyakan

"Yaah, rugi gak rugi sih mas, kemarin untungnya uda dapet dua penumpang, Mas Evan pas pagi, terus agak siangan Kong Naim minta anter ke rumah cucunya, abis itu pulang deh"

"Biasanya juga sehari cuma tiga sampe empat penumpang mas kalau lagi beruntung kalau lagi sepi ya bisa cuma satu penumpang meski mangkal sampe sore, jadinya kalau dibilang rugi ya ga juga sebenernya" Pak Parmin nampak masih mensyukuri nasibnya kemarin.

"Hah, paling banyak cuma dapet tiga sampe empat penumpang doang Pak sehari? " tanyaku sedikit terkejut.

Otakku langsung menghitung, asumsi saya paling mahal tarif yang dikenakan Pak Parmin dua puluh ribu karena memang Pak Parmin ga menerima penumpang yang jaraknya jauh mengingat motornya sudah tak lagi perkasa. Dengan asumsi itu, jika laku keras maka Pak Parmin mendapatkan delapan puluh ribu dalam sehari. Itupun masih bisa kurang, jika order Pak Parmin hanya dekat-dekat saja yang berarti tarifnya lebih murah. Dan tentunya bisa makin berkurang kalau jumlah penumpangnya berkurang. Dari penghasilan segitu masih dipotong uang bensin, uang makan, uang ngopi, dan uang beli obat maag kalau sedang kumat. Untungnya, Pak Parmin udah tobat dari menghisap rokok. Masya Allah, berapa uang yang bisa dibawa Pak Parmin ke rumah. Oh iya, uang pulsa juga belum dihitung, karena Pak Parmin juga punya hp seri jadul yang masih poliphonic untuk sarana komunikasinya.

Setelah itu, entah bagaimana, akhirnya terlontar juga pertanyaan yang sudah sekian lama aku tahan-tahan karena sungkan mau menanyakan.

"Kok ga daftar ojek online aja Pak? kan penghasilannya pasti lebih lumayan, penumpangnya juga pasti lebih banyak pak sehari"

"Hahaha... Mas Evan ini menurut catatan saya adalah orang yang ke seribu yang bertanya tentang ini... selamat Mas, Anda dapat payung cantik... hahaha" Pak Parmin menimpali dengan berkelakar.

"Ah, Bapak bercanda aja nih, saya nanya serius ini Pak, kan sekarang ojek online udah menjamur Pak, semua orang sekarang pake ojek online, pasti duitnya lebih banyak tuh Pak" aku makin penasaran.

"Bapak juga udah sering Mas diajakin gabung ojek online, kawan-kawan pangkalan kan sebagian besar udah gabung ojek online juga tuh. Tapi Bapak masih belum kepikiran Mas, modalnya terlalu besar buat Bapak" Pak Parmin mulai menjelaskan.

"Modal? kan ga perlu modal Pak, daftarnya ga bayar setahu saya"

Baru mulai semangat untuk interogasi, ternyata motor Pak Parmin sudah berhenti tepat di pintu gerbang kantorku.

"Sudah sampai nih Mas" Pak Parmin berkata pendek.

Perlahan aku turun dari motor dan melepaskan helm. Kuserahkan helm hitam yang catnya sudah mulai pudar itu ke Pak Parmin, sambil tetap mencoba bertanya.

"Jadi daftar ojek online itu bayar tho Pak? bayar berapa Pak? nanti saya pinjemin deh Pak buat modal Bapak" aku terus nyerocos bertanya.

Aku menawari Pak Parmin pinjaman uang untuk modal karena aku tahu kalau aku memberinya cuma-cuma, Pak Parmin sudah pasti akan menolak. Beliau orang yang anti banget dikasihani orang.

"Udah mas lanjut besok-besok ceritanya, nanti Mas Evan telat, biasanya juga langsung lari ngejar absen, uda tinggal dua menit lagi nih, hehehe" jawab Pak Parmin sembari melihat jam tangannya.

Sebenarnya aku masih ingin mengorek lebih dalam lagi dari Pak Parmin, tapi tak mungkin juga aku memaksanya bercerita sekarang. Aku juga harus masuk kantor dan Pak Parmin harus kembali ke pangkalannya.

Kuserahkan selembar uang dua puluh ribuan sembari mengucapkan salam ke Pak Parmin.
"Ok deh Pak besok-besok kita lanjutkan, saya masuk dulu ya Pak, Pak Parmin hati-hati, Assalamualaikuum..."

"Siap Mas, waalaikumussalam"

Kami pun berpisah ke arah yang berseberangan. Aku memacu langkahku lebih cepat agar tidak terlambat absen dan Pak Parmin juga memacu motor tua nya perlahan meninggalkan kantorku. Di benakku masih tersisa rasa penasaran karena pembicaraan dengan Pak Parmin yang belum tuntas tadi. Tapi perlahan rasa penasaran itu tenggelam di tengah hiruk pikuk kantor yang sudah mulai menggeliat.

Es Kelapa Muda dari Langit

Beberapa menit menjelang waktu istirahat, telepon yang ada di ruang kerjaku berdering. Ada masalah aplikasi apa lagi nih. Pikirku ketika berjalan mendekat untuk mengangkatnya. Waktu itu satu-satunya alat komunikasi antara pengguna dan tim aplikasi hanya melalui telepon, tidak seperti sekarang yang bisa juga melalui SMS, WA atau layanan online lainnya.

"Yah, ada om Luki ke rumah", kabar yang aku terima dari istriku setelah sebelumnya kami saling berbalas salam.
Aku sudah lama tidak bertemu adikku meski jakarta dan bandung bukan jarak yang jauh untuk saling berkunjung mempererat tali silaturahim.
Tentu ini kabar yang sangat menggembirakan. Memang sejak senin tiga hari yang lalu adikku ada tugas kantor selama lima hari di Bandung, dan pada hari kamis ini sepertinya baru sempat main ke rumah.
Aku segera pulang ke rumah yang kebetulan jarak rumah kontrakan kami tidak jauh dari kantor. Jalan kaki kurang lebih sepuluh menit juga sudah sampai.
Tapi perjalanan pulang kali ini terasa lebih lama dari biasanya. Ah, mungkin hanya karena tak sabar ingin bertemu adikku.


"Maaf, sudah menunggu lama", pintaku sesaat setelah kami berangkulan dalam kehangatan rindu-rindu kami selama ini.
"Mba Alfi lagi jemput Muslimah, Mas," buru-buru Luki memberi informasi ketika tahu aku celingak-celinguk ke setiap ruang di rumah.
Sebetulnya Muslimah, anak sulung kami biasa pulang sendiri. Sekolahnya juga tidak jauh dari rumah. Mungkin khawatir main ke rumah temannya, isteri merasa perlu menjemputnya. Anak-anak juga harus bertemu pamannya.

Di tengah obrolan yang penuh semangat itu, tidak lengkap kalau tidak ada hidangan yang menemani. Segera aku ke penjual bakso Solo yang lokasinya persis di depan rumah. Rumah kontrakan kami bisa dibilang ada di tengah-tengah pasar. Tetangga-tetangga kami adalah para pedagang yang tak pernah sepi dengan segala hingar bingar transaksi dan celotehan iseng khas orang-orang pasar. Seru banget.

"Es kelapa muda dua ya mas, gak pakai lama," kataku sambil melontarkan candaan supaya aku tidak berlama-lama menunggu pesananku. Siang itu udara di Bandung memang sedang panas-panasnya.

Aku segera balik ke rumah untuk melanjutkan obrolan yang sempat terputus tadi. Mas Tarno, si penjual bakso Solo benar-benar memenuhi permintaanku. Es kelapa muda cepat terhidang di meja ruang tamu dan tentunya kami tak sabar untuk menikmatinya. Udara panas dan es kelapa muda memang pasangan yang sangat ideal, memberi efek kesegaran yang berlipat-lipat. Alhamdulillah.

"Assalamu'alaikum", isteriku bersama dua anak kami, Muslimah dan Aminah, menghentikan keseruan obrolan kami. Anak-anak langsung memburu cium tangan dengan pamannya ketika aku sedang asyik menikmati es kelapa muda di gelas yang hampir tak bersisa.
Sementara isteri memalingkan pandangannya ke arahku tanpa menyembunyikan keheranan dan sedikit menahan senyumannya.

"Loh, ayah kan lagi puasa", buru-buru isteri mengingatkanku meski gelas yang dari tadi aku pegang tak ada tanda-tanda masih ada isinya. Aku langsung mengucap istighfar, baru tersadar kalau hari itu memang sedang puasa. Meski tidak rutin, kadang-kadang kami puasa sunnah senin kamis.

Setelah diyakinkan isteri dan adikku, aku tetap melanjutkan puasaku. Hari itu menjadi hari yang berkesan, menjalani puasa paling ringan dalam sejarah.

"Coba kalau tadi sekalian beli bakso ya," selorohku yang kemudian diikuti tawa yang melengkapi kebahagiaan kami.

Lupa tidak selalu berkonotasi negatif. Adakalanya Tuhan memberi rezeki-Nya melalui cara yang unik ini, karena sampai saat ini belum ditemukan metode bagaimana merencanakan kapan dan dimana kita akan lupa.

Diplomasi Kuliner








Malam itu untuk pertama kalinya aku bertatap muka dengan sesama pelajar Indonesia yang akan melanjutkan pendidikan tinggi ke Swedia. Duta Besar di Jakarta secara resmi mengundang semua mahasiswa dan alumni untuk makan malam dan halal bihalal di kediamannya pada tanggal 14 Agustus yang lalu. Seperti kata pepatah "lain padang lain ilalang" atau "tak kenal maka tak sayang", inilah kesempatan pertamaku untuk melihat dan merasakan sendiri suasana interaksi masyarakat Indonesia-Swedia.

Kedatanganku disambut oleh petugas keamanan yang sibuk membuat cek list nama-nama undangan di selembar kertas. Dari luar pekarangan, suasana rumah terasa sepi dan steril. Beberapa waktu kemudian aku diantarkan ke teras. Setelah kudorong pintu besar berwarna putih itu, terdengar suara-suara denting gelas, gumaman anak-anak muda yang mengobrol dan tertawa sambil berdiri di dalam kerumunan kecil. Entah kenapa aku seolah seperti lebur ke dalamnya. Suasana ini terasa sedikit aneh, karena semua orang begitu akrab namun banyak juga yang tidak kenal satu sama lain. Kalimat-kalimat yang lazim terdengar olehku adalah, "Hai, namaku XYZ, siapa namamu? Kampus mana? Alumni atau mulai sekolah? Oo ... ini ada teman kita yang satu tujuan dengan kamu. Berangkat kapan? Sudah dapat tempat tinggal?"



Aku hanya menggenggam gelasku erat-erat, sambil tercekat karena aku tahu aku sendirian. Sponsorku bukan Erasmus Mundus, bukan juga Swedish Institute, apalagi belum ada yang namanya LPDP. Bila akhirnya kusebut SPIRIT-pun, aku tidak yakin ada yang bisa langsung paham tanpa perlu tempelan embel-embel WorldBank. Dan aku sedikit kuatir seandainya dianggap 'terlalu tua' untuk kuliah lagi. Kekuatiran yang tidak beralasan karena di sini juga banyak yang usianya jauh di atasku, baik alumni maupun yang mulai kuliah lagi. Semua ada di sini: remaja lulusan SMA, paruh baya pegawai kantoran, mahasiswa S1, S2, S3, ilmuwan, peneliti, pengamat politik, dan engineers.

Di saat aku bersiap untuk mengangkat gelas dan mulai minum, seorang wanita cantik pirang berponi dan bersanggul melintas di belakang punggungku. Ia berdehem-dehem sejenak, mengambil selembar kertas, lalu spontan bergerak ke arah anak tangga yang melingkar di tengah ruangan, melambaikan tangannya mengajak kita semua untuk berkumpul di dekatnya. Mulutku terasa semakin kering dan akupun tidak jadi minum. Bagaimana tidak, inilah duta besar Swedia yang biasanya hanya kulihat di google, wikipedia, atau situs-situs berita.

Jauh dari kesan protokoler, nyonya rumah menyambut semua tamunya dengan ramah dan jenaka tanpa kesan berlebihan. "This is a world record, " ungkapnya menunjukkan kekaguman, 45 orang calon mahasiswa Indonesia yang akan berangkat ke Swedia tahun ini adalah yang terbanyak sepanjang sejarah. Selanjutnya, kalimat-kalimat bernas darinya terasa mengalir seperti air, dan yang paling kuingat adalah, 

"You have a wonderful country, the people, the nature, its resources and the culture. So, if there is any culture you should bring back home from Sweden, it is its culture of innovation," ujarnya sambil tak lupa menyebutkan inovasi-inovasi Swedia yang telah mempemudah kehidupan kita; antara lain, sabuk pengaman, mesin ATM, telepon seluler, kartu chip, mouse komputer, layar monitor, Skype, dan masih banyak lagi.

Pidato pembukaan ini ditutupnya dengan pesan terakhir, "During your study in Sweden, you will repesent Indonesians to the Swedes. Then, when you are finish and going home again, you will represent to Indonesia what is Sweden truly like ... so please do good in everything that you do."

Acara selanjutnya, sambutan dari salah seorang perwakilan Swedish Alumni, lalu diteruskan dengan perkenalan dari masing-masing tamu, kemudian setiap alumni diberikan waktu berbicara beberapa menit untuk membagikan tips atau pengalaman tinggal di Swedia.

Akhirnya tibalah saat yang dinantikan bagi pecinta kuliner sepertiku, yaitu menikmati santap malam masakan tradisional dengan resep asli. Beberapa pinggan cantik tertata di meja oval, dimulai dengan sajian Janssons Temptations a.k.a Janssons Frestelse, yaitu berlapis-lapis kentang panggang, bawang, ikan teri crispy, saus krim, dan keju parmesan. Tersaji di sebelahnya adalah Swedish Meatballs with Lingonberry Jam, yaitu sejenis baso bakar yang gurih berpadu dengan manisnya buah lingonberry. Bagi penggemar daging segar, ada Beef Stew Skåne Style, atau semur daging ala Swedia. Tidak ketinggalan, kebanggaan kuliner Skandinavia: grilled salmon. Ikan panggang nikmat dan kaya omega-3, dengan daging berwarna salem yang begitu harum, lembut, dan mudah sekali lumer di lidah kita.

Kalau saja aku tidak malu dengan isi piringku yang terlanjur ramai, mungkin sudah kupenuhi rasa keingintahuanku terhadap sajian telur ikan mahal dari lautan Baltic yaitu Egg-halves with Toasted Skagen Black Caviar, atau uniknya cita rasa Beet Root, Herring Marinated with Creme Fraiche, dan Mushroom Quiche. Namun demikian, dengan sedikit pembenaran diri bahwa pencuci mulut adalah tidak sama dengan makanan, kupersilahkan diriku mengambil satu piring terakhir demi sedapnya Apple Pie with Vanilla Sauce dan ... tentu saja, renyahnya Blueberry Pie dengan buah asli. Semuanya sedap, semuanya nikmat, dan hatiku tersentuh ketika mendengar bahwa sajian di malam halal bihalal ini adalah sama istimewanya dengan hidangan hari raya Natal di kampung halaman mereka. Sungguh suatu kehormatan bisa menghadiri undangan ini.

Ada suatu kejadian menarik selama makan malam buffet yang berlangsung informal ini. Sewaktu para tamu menikmati hidangan sambil mengobrol, duduk-duduk atau berdiri di ruang tengah, alih-alih ikut makan, duta besar malah sibuk berkeliling membawa mangkuk untuk menawarkan sambal. Tampaknya beliau mempertimbangkan sekiranya lidah kami perlu bantuan selera Indonesia bila masih merasa kurang cocok dengan hidangan internasional yang disajikan. Aku yang sedang sibuk makan di sofa pun tidak luput dari keramah-tamahan ini, dan tampangku yang kaget ditawari sambal oleh seorang bule pun dimaknai sebagai tidak suka yang pedas-pedas, "No? You don't want it? OK, It is alright."

Masih terngiang-ngiang di telingaku nasihat orangtua untuk mendengarkan masukan sebanyak mungkin. Masuk akal, terutama karena inilah pertama kalinya aku akan pergi ke negeri asing ... sekaligus jauh. Naik pesawat terbang ke sana paling cepat 18 jam tanpa transit. Dengan transit, waktunya lebih bervariasi, dari 22 jam sampai 32 jam, bisa-bisa bokongku panas setelah duduk sekian lama. Mengikuti nasihat orangtua, aku mengambil kesempatan untuk mendengarkan saran-saran dari beberapa alumni yang ada. Tidak dipungkiri bahwa acara ini memang serius dan penting, namun sebaiknya aku sadar juga bahwa nuansanya tetap silaturahmi dan keakraban.




Percakapan yang semulanya standar dan lurus-lurus saja, dengan mudahnya menjadi sarana pertemanan dan pertukaran selera humor. Seorang bapak-bapak melihat kerudung yang kukenakan, spontan berkata, "Hati-hati lho, di sana nanti laki-lakinya banyak yang ganteng banget, dan perempuannya banyak yang luar biasa cantik." Kebingungan aku pun berkata, "Terus kenapa jadinya kalau ada yang cantik dan ganteng?" Bapak itu pun melanjutkan sambil terkekeh-kekeh, "Yah, semoga kerudungmu jangan sampai dilepaskan. Asal tahu saja, godaannya luar biasa besar sekali." Oh, iya, batinku ... mudah-mudahan saya mampu menjalaninya.

Pada kesempatan lainnya, aku bertanya kepada beberapa orang perihal pengalaman pribadi dengan penerbangan internasional. Dari penjelasan panjang lebar tentang perbedaan sistem transit bagasi penerbangan internasional dan lokal, hingga ke nasihat untuk tidak kelayapan atau asyik berfoto-foto di luar bandara, akhirnya sampailah ke obrolan santai, dengan canda dan gelak tawa. Ketiga teman baruku tergelak-gelak membayangkan worst case scenario, sekiranya koperku sudah tiba dengan selamat di Swedia sementara akunya sendiri masih berputar-putar tersesat di Amsterdam, Paris, atau Istambul.

Meski menyenangkan, kutahan godaan untuk berlama-lama di kelompok yang asyik ini. Aku sengaja berpindah-pindah grup dan tempat duduk, karena waktuku semakin berkurang dan masih banyak yang belum kuajak bicara. Sampailah pada kesempatan untuk mengobrol dengan beberapa staf kedutaan, mengenai kota-kota yang aman untuk ditinggali, kesan-kesan mereka mengenai Jakarta, hingga tak sengaja menyentuh harga sembako a.k.a sembilan kebutuhan pokok. "Bapak berasal dari Stockholm? Itu kota yang mahal bukan?" kataku. "Tergantung" jawabnya, "yang mahal di sini pun bisa jadi murah di sana". Dengan sekejap, aku jadi tahu bahwa harga ayam satu kilogram atau jus buah satu liter adakalanya lebih murah di Stockholm daripada di Jakarta. Yang masih belum bisa kucerna tapi tak relevan untuk ditanyakan, mengapa harga petai bisa lebih mahal dari daging sapi?

Jarum jam pun bergerak ke angka 9. Aku mulai celingak-celinguk bertanya ke kiri dan kanan, mencari standar atau adab yang paling sopan untuk berpamitan. Tampaknya waktu telah mengizinkan, dan aku pun memulainya dengan bapak-bapak asal Stockholm yang mengobrol denganku tadi. "Ooh" ujarnya, "es-em-pe nih yeee ... sudah-makan-pulang, he he he ... " Bule ini pun tertawa melancarkan sindiran dengan bahasa Indonesia yang sempurna, dan aku hanya bisa melongo menahan malu.

Bagaimanapun, aku tidak tega membuat keluargaku berlama-lama menungguku pulang. Setelah berpamitan kepada semua yang kira-kira kukenali di acara ini, aku pun menutupnya dengan bertemu nyonya rumah. Selain mengucapkan terimakasih atas perhatian, keramahan, dan hidangan yang lezat, kusampaikan bahwa studiku adalah tugas belajar dari instansi. Duta Besar pun memuji tempatku bekerja sebagai pelopor reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu, ia menegaskan sepanjang karirnya di sini tidak pernah mempunyai pengalaman buruk atau melihat hal-hal yang kurang terpuji dari instansiku. Alhamdulillah, betapa bangganya.

Kredit foto: Kedutaan Besar Swedia.

Catatan:

Tulisan ini saya buat beberapa tahun yang lalu. Setelah lama merasa ragu, saya rasa kini adalah momentum yang tepat untuk untuk membagikannya di sini. Beberapa hari belakangan, banyak bermunculan berita mengenai situasi yang semakin memanas di kawasan Timur Tengah, khususnya mengenai aksi boikot-memboikot antara Qatar dan negara-negara tetangganya.

Tak lama setelah jamuan makan malam pada 14 Agustus 2013 itu, masih teringat betapa terkejutnya saya membaca berita bahwa Sang Nyonya Rumah mendapatkan surat tugas mendadak, ditunjuk untuk pindah menjadi Dubes di Qatar sampai dengan sekarang. Awalnya semua terasa tidak relevan. Seperti mutasi biasa. Tapi kini saya baru menyadari bahwa ada sesuatu yang penting terjadi, sehingga mutasi yang terasa mendadak itu kini menjadi masuk akal. Mungkinkah situasi kemelut yang terlalu 'panas' lebih membutuhkan diplomasi yang feminin daripada kekuatan adu otot dan argumentasi?

Selain itu, tulisan ini juga saya buat demi mengobati penyesalan karena semalam tidak memenuhi undangan jamuan buka puasa bersama Dubes Denmark. Saya baru membaca berita, bahwa ia adalah Digital Ambassador pertama di dunia. Pelopor "techplomacy," yaitu suatu strategi baru di bidang kebijakan publik dalam era digital ini, yang (mungkin) akan saya kupas pada tulisan berikutnya.

Gawai


Bentukmu sangat mudah digemari oleh semua kalangan
Bentukmu sangat cepat berubah sesuai dengan jaman dan kebutuhan
Bentukmu sangat fashionable makanya banyak kaum hawa menggemari

Teknologimu berusia sangat pendek hingga setiap saat bisa berubah
Teknologimu menjangkau seluruh dunia bahkan luar angkasa
Teknologimu digunakan untuk kebaikan terkadang ada juga untuk kejahatan

Adanya dirimu dapat melupakan hubungan sosial dan pertemanan
Adanya dirimu memudahkan akses informasi dunia
Adanya dirimu memudahkan travelling dengan ala backpacker

Ketiadaanmu lebih berharga daripada sebuah surat perjanjian pernikahan
Ketiadaanmu dapat mengembalikan langkah yang sudah jauh untuk kembali
Ketiadaanmu dapat menyurutkan status di dunia maya

Namun bagaimanapun bentuk, teknologi, keberadaan dan ketiadaan mu
telah memberikan warna dalam sebuah kehidupan di dunia ini


#terinsipirasigawai
##edisilamunansore

Puisi ini dapat dilihat juga pada laman https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/2017/06/gawai.html