Antara Pesan Ibunda dan Tanggungjawab Moral

Gaung “ujian nasional’ beberapa minggu terakhir melanda beberapa kota di Indonesia tidak terkecuali Bekasi. Gaung ini berlaku untuk tingkatan sekolah menengah pertama. Setiap pelajar kelas 9 mempersiapkan dengan matang datangnya sudden death  bagi beberapa siswa ini. Meskipun hanya 4 pelajaran yang diujikan yaitu IPA, Bahasa Inggris, Matematika dan Bahasa Indonesia, namun hasil dari “ujian nasional” ini akan merubah 360 derajat semangat, perilaku dan nasib para pelajar ini. Sekolah juga tidak kalah sibuknya mempersiapkan para pelajarnya dalam menghadapi “ujian nasional” ini hingga mempersiapkan beberapa kali try out. Pihak sekolah perlu menjaga kredibilitas berdasarkan tingkat kelulusan para pelajarnya. Makanya pihak sekolah sangat berkepentingan terhadap tingkat kelulusan. Karena jika tingkat kredibilitas ini terjaga, maka sekolahnya bisa menjadi acuan dan pilihan bagi para calon pelajar yang lulus dari sekolah dasar. Meskipun pemerintah menjalankan program wajib belajar 9 tahun, tidak serta merta pihak sekolah dan para pelajar santai menghadapi “ujian nasional”. Sementara para orang tua pelajar tidak mau berspekulasi jika anaknya hanya diterima di sekolah menengah atas yang biasa aja.

            Kisah perjuangan para pelajar ini sangat beragam. Ada yang anaknya diikutkan kursus di lembaga pendidikan tertentu, ada yang mendatangkan guru privat  ke rumah dan ada juga yang biasa-biasa dalam menghadapi “ujian nasional” ini. Diantara para pelajar itu ada seorang bernama si Fulan. Fulan ini termasuk di luar kriteria yang disebutkan tadi. Fulan ini merupakan anak pemulung dengan penghasilan yang biasa-biasa aja. Masuk sekolah aja sudah merupakan prestasi yang terbaik menurut pihak sekolah. Pihak sekolah terkadang merasa iba dengan kondisi di Fulan. Kabar baiknya, pihak sekolah membebaskan segala biaya atas si Fulan ini. Adanya mekanisme subsidi silang diantara orangtua pelajar yang mampu dengan yang tidak mampu cukup membuat pelajar seperti si Fulan tidak terbebani. Selama bersekolah, si Fulan ini mengalami pasang surut dalam mengikuti pelajaran sekolah. Fulan merasa dia tidak harus berada di sekolah ini. Hal yang membuatnya bertahan adalah karena permintaan ibundanya agar tetap bersekolah. Hubungan baik dengan ibundanya menunjukan bahwa Fulan ini merupakan anak yang patuh. Ayahnya yang sibuk menjadi pemulung dengan penghasilan yang tidak menentu, membuat Fulan tidak peduli dengan sekolah. Fulan pun ingin menjadi pemulung jika tidak ditegur ibundanya. Hingga suatu saat, ibundanya mengalami sakit yang tak kunjung sembuh karena masalah biaya berobat. Keluarga Fulan pun tidak ada akses ke Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Sakit ibundanya Fulan tak kunjung sembuh hingga kematian memanggilnya.

Setelah kematian ibundanya ini, si Fulan semakin kuat keinginannya untuk tidak bersekolah. Kegiatan bersekolah Fulan semakin tidak ada wujudnya dan pihak sekolah berkepentingan seperti cerita di awal. Menjaga tingkat kelulusan hingga 100 persen merupakan hal yang menjadi perhatian pihak sekolah. Pihak sekolah mengerahkan segala daya upaya agar si Fulan dapat bersekolah dan mengikuti “ujian nasional” dengan baik tanpa melihat hasil yang baik. Seminggu mendekati “ujian nasional” Fulan pun tak kunjung masuk bersekolah. Hingga terdengar kabar bahwa dia ikut dengan ayahnya menjadi pemulung di daerah Pulogadung, sementara dia bersekolah di Bekasi. Akhirnya diterjunkan pasukan dari sekolah untuk mencari Fulan. Saat masa “ujian nasional” tibapun, Fulan pun tidak hadir dan segala urusan adminsitratif telah diselesaikan pihak sekolah.  Usaha dari pihak sekolah berbuah hasil, Fulan ditanya dan dihimbau agar mau mengikuti “ujian nasional” susulan. Maka Fulan mengikuti ujian itu dengan pengawasan dari pihak sekolah. Selesai sudah mengikuti “ujian nasional” itu, Fulan pun kembali lagi menjadi pemulung. Hasil “ujian nasional” si Fulan pun biasa aja, tapi pihak sekolah memiliki target bahwa anak didiknya lulus semua. Pihak sekolah memang berjuang keras agar anak didiknya lulus dan itu menjadi kredibilitas yang baik bagi pihak sekolah. Namun apa yang membuat pihak sekolah berjuang mati-matian mencari si Fulan? Ibundanya Fulan yang menghadap Kepala Sekolah agar jika dirinya tidak dapat menemani Fulan, mohon dijaga anak lelaki satu-satunya untuk bisa tetap bersekolah dan lulus hingga akhir sekolah usai. Kepala Sekolah sudah memegang janji kepada almarhumah dan akan menepati permintaan ibunda si Fulan. Hingga di momen kepala sekolah menepati janjinya dan kepentingan menjaga kredibilitas sekolah, tidak terbayang oleh saya bagaimana kelanjutan nasib seperti si Fulan hingga ke jenjang berikutnya?

Cerita ini berhenti hingga disini, tetapi masih banyak fulan-fulan lainnya di belahan dunia lain, yang tidak terjangkau oleh sekolah, seperti permohonan ibunda Fulan dan ambigu Kepala Sekolah. Apapun itu, cerita ini merupakan fakta untuk menjadi bahan renungan dan rasa syukur karena kita masih diberikan kesempatan untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Semoga dunia menjadi lebih baik. 

Tulisan ini dapat juga dilihat di laman : https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/

Monolog : Anak Burung yang Ingin Berenang



Pagi ini cerah.

hemmm....aku baru saja keluar dari lengan mama yang besar, yang telah melindungiku dari udara dingin semalaman.

"Mama, aku lapar...aku ingin makan...mamaa...."

Tiga saudaraku berteriak-teriak riang, teriakan kami itu...sayup....terdengar dari bawah seperti nyanyian alam dari sebuah pohon yg rindang.

"Baiklah......"   mama tersenyum, memandang kami,
"Tunggu sebentar, mama akan cari makan buat kalian"

Mama mengembangkan kedua lengannya, dan pergi...
Setelah mama pergi, kami kembali bernyanyi lagi.

Sepasang kaki besar hinggap di rumah kami,,,.ooh tidak, itu bukan kaki mama...kakinya besar sekali dan....manakah ujungnya.....??
Mataku melihat keatas, dan bertatapan dengan sepasang mata hitam yg tajam menatap kami.
Ketiga saudaraku berteriak ketakutan
dan...
aku terbang...dalam sekejap mata ke angkasa...

"Mau kau bawa kemana aku? turunkan aku, kataku....tau gak sih cengkeraman tanganmu menyakiti aku...."
tapi rontaanku tak berarti apa-apa,

Tiba-tiba aku mendarat di setumpukan jerami empuk
Enak sekali buat merebahkan tubuhku yg sakit ini.....tapi aku ingin mama....

Mataku mencari-cari mama.
"Mamaa dimana..." teriakku, dan aku berjalan....

Berjalan terus....berteriak memanggil mama....

Di kejauhan nampak segerombolan anak-anak dan mamanya sedang berjalan kearahku.
hey...mereka mirip sekali denganku....apakah itu mamaku?
"haloo...kalian mau kemana? bolehkah aku ikut dengan kalian?"
"hai lihat...aku sama seperti kalian, tubuhku kecil, bentuk mulut dan hidungku mirip kan dgn kalian, suaraku.....hey... apakah kalian tidak mendengarkan aku?"

Kakiku berjalan mengikuti langkah mereka.

"Sekarang apa? kalian tak berhenti juga ketika sampai di tepi danau...?"
"ooh baiklah, kalian ingin aku seperti kalian kan?"

Satu persatu anak masuk kedalam air mengikuti mamanya.....dan mereka mengapung di permukaan air...

Akupun bersiap masuk kedalam air, kuceburkan tubuhku ke dalam air, dan bersiap mengambang
Oo...ada yg salah....knp tubuhku tak juga mau mengapung....kucoba lagi dan lagi..

Dan gerombolan itu semakin jauh....hey, tunggu aku....

Kenapa aku tidak bisa? pikirku sedih...
mereka sama seperti aku..kenapa aku tidak bisa seperti mereka?

Aku diam terduduk di tepi danau,

Tapi tunggu dulu.....apa itu berlari menuju ke arahku sambil menjulurkan lidahnya
Matanya liar menatapku, sembari memamerkan taringnya yang runcing
Instingku berkata ini BAHAYA

Tak sadar kaki kecilku berlari menjauhinya, terengah-engah sambil berkata,
aku ingin pulang...aku ingin mama...

Berlari...berlari...peluh mengucur di sekujur tubuhku, kedua lenganku terangkat..
dan wow.....kenapa tubuhku terasa ringan? bumi jauh dibawahku...
lihat, aku bisa terbang...riang aku berputar senang...berputar, naik turun di angkasa...
aku akan mencari mama, teriakku
dengan sayapku ini, aku yakin mama akan kutemukan!!

Terbang tinggi di angkasa, nyanyianku spontan tercipta....

Iya mama, aku tau, memang aku tak bisa seperti anak-anak itik itu, tapi aku punya kemampuan lain yang baru kusadari, dan bisa kukembangkan, Hharapan bertemu mama dengan sayapku ini telah membuat aku kembali bersemangat. Aku terus bernyanyi....
cuuiitt...cuuiit...

Pagi ini tetap indah...kurasa


(Terinspirasi kisah burung kecil di Tom & Jerry).









Ki Dalang Lurah

Marni memandangi wajah suaminya yang berpeluh. Marni memegang dahi suaminya. Hati Marni berdegup kencang karena suhu badan suaminya panas, tapi sedingin es ketika Marni memegang telapak kaki suaminya.
Marni bingung karena hari sudah sangat larut. Hanya bunyi jangkrik yang terdengar. Bunyi jangkrik yang bagi Marni terasa sedang berpesta pora membuat Marni kesal karena dia menganggap jangkrik itu sedang menertawakan ketidakberdayaannya .
Tak seorangpun yang bisa dimintai tolong oleh Marni malam itu. Kedua anaknya sudah tidur sejak sore tadi. Anaknya masih berumur sembilan dan lima tahun, belum bisa membantu Marni. Marni juga tak mau mengganggu tetangganya yang sepertinya sudah terlelap dalam tidur karena kelelahan bekerja sepanjang hari. Saat itu, Marni merasa jadi orang yang paling sengsara di muka bumi. Akhirnya Marni hanya bisa mengompres dahi suaminya. Diulanginya terus sampai ayam berkokok di kala pagi.

***
“Bu… Bapak kenapa, sakit?” tanya Banu anak Marni yang pertama. Marni mengangguk.
“Kamu siap-siap ke sekolah ya, nak. Sebelum sekolah antar dulu adikmu ke rumah Simbah, ya! Ibu harus jaga Bapak,” pinta Marni kepada Banu. Ibu Marni tinggal tak jauh dari rumah Marni. Biasanya kalau Marni berjualan barang kelontong ke pasar pagi sampai siang hari, Ayu, anak kedua Marni dititipkan di rumah ibunya.Siang hari baru dijemput.
“Dibawa ke Puskesmas aja, Bu. Ada Bu Dokter baru, kata temenku Bu Dokter itu baik,” ujar Banu kepada Marni.
Marni teringat cerita Mbak Atikah, tetangganya beberapa hari yang lalu. Mbak Atikah bercerita, waktu sakit, dibawa ke Dalang Bandi, dalang yang terkenal di desa Bojongsari, tempat tinggal Marni. Katanya tak lama setelah meminum air yang diberi doa Ki Dalang, tak lama kemudian anak Mbak Atikah sembuh. Masih kata Mbak Atikah lagi, Ki Dalang melarang sering menasehati warga Bojongsari untuk tidak datang  ke Puskesmas karena menurutnya Dokter di Puskesmas belum berpengalaman mengobati orang sakit. Selain itu datang ke Puskesmas repot karena sering ditanya soal kartu asuransi.
Cerita Mbak Atikah membuat Marni ragu membawa suaminya ke Puskesmas. Marni tak punya kartu seperti yang dibilang Mbak Atikah.
“Iya, nak.Nanti Ibu bawa Bapakmu ke orang yang bisa ngobatin,” jawab Marni kepada Banu.
“Puskesmas ya, Bu!” ujar Banu mengingatkan Marni.
“Iya. Sekarang kamu siap-siap sekolah, ya. Bawa adikmu!”Banu berlalu dari kamar Ibunya. Setelah mengambil tas sekolahnya, Banu menggendong adiknya. Banu mendudukkan Ayu di jok belakang sepedanya. Dengan hati-hati Banu mengayh sepedanya.

***
Pagi hari Bandi sudah bangkit dari tempat tidurnya. Kepalanya terasa sakit karena semalam Bandi mendalang di pesta perkawinan seorang warganya. Bandi terkenal dengan sebutan Ki Dalang Lurah, karena selain menjadi Dalang, beberapa bulan yang lalu Bandi terpilih menjadi Lurah di desa Bojongsari dengan suara mutlak, mengalahkan tetangga seberang rumahnya.
Bandi berjalan menuju ruang tamu. Dengan perutnya yang besar,  Bandi berjalan perlahan-lahan. Dia duduk di sofa ruang tamu seperti kebiasaannya setiap pagi. Rambut panjangnya yang sebagian besar sudah memutih diikatnya dengan karet gelang.
Di meja tamu sudah tersedia segelas kopi hitam dan setoples roti kering kesukaannya. Tak ketinggalan sebungkus rokok di samping gelas kopi menemaninya menikmati pagi .Setiap pagi istrinya selalu sigap menyediakan semua keperluan Bandi tanpa mengeluh.
Bandi menyalakan rokoknya. Asap rokok mengepul dari mulutnya dan memenuhi ruangan tamu rumahnya. Dituangkannya kopi kedalam piring kecil agar kopinya cepat dingin. Piring kecil diangkatnya. Mulutnya menghembuskan udara untuk meniup kopi yang masih panas. “Assalamualaikum,” terdengar suara orang dari balik pintu rumahnya.
“Bu, ada tamu. Buka pintunya!” teriak Bandi kepada istrinya. Dengan tergopoh-gopoh istrinya berlari dari dapur membukakan pintu rumahnya. Bandi masih duduk di kursinya sambil menyeruput kopi dari piring kecilnya.
Seorang wanita yang menggandeng lelaki dengan wajah pucat berpeluh muncul didepan pintu. Istri Bandi mempersilahkan keduanya duduk di kursi yang berada depan Bandi. Kemudian kembali ke dapur. Bandi tak bergerak dari tempat duduknya. Dia mengambil rokok yang masih menyala dari asbak dan mengisap dalam-dalam.
“Ada apa kalian datang kemari?” Bandi bertanya dengan suara berat agar terdengar berwibawa dan meyakinkan lawan bicaranya. Bandi memang mahir menirukan segala jenis suara sejak dirinya terjun ke dunia perdalangan.
“Nganu Ki Dalang Lurah, suami saya sakit. Badannya panas.Sudah dua hari belum turun juga suhu badannya,” ujar perempuan itu dengan nada khawatir.
“Siapa nama suamimu?” tanya Bandi.
“Kardiman, Ki Dalang Lurah.” Kardiman menjawab sambil mengatupkan kedua tangannya di dada karena menggigil kedinginan. Berbanding terbalik dengan peluh yang bercucuran di dahinya.
“Nama sampeyan sendiri siapa?” tanya Bandi kepadaperempuan yang datang bersama Kardiman.
“Marni, Ki Dalang,”jawab perempuan itu.
“Ki Dalang Lurah!” suara Bandi agak meninggi mengingatkan Marni.
Nggih, Ki Dalang Lurah,” suara Marni tergagap.
“Susah lho jadi Lurah. Perjuangannya berat, biaya juga sudah keluar banyak.Tahu ndak?”
Marni hanya menunduk mendengar penjelasan Bandi.
“Jadi, maksudmu datang kesini mau ngobatin suamimu?” tanya Bandi. Marni mengangguk perlahan. Rasa khawatir mulai memasuki hatinya.
“Sebentar,” Bandi bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lemari kaca. Di lemari kaca itu terdapat beberapa buah keris yang dipajang. Bandi mengambil salah satunya. Marni melirik suaminya yang sepertinya hanya bisa pasrah menunggu apa yang akan dilakukan Ki Dalang Lurah kepadanya.
Istri Bandi muncul dari dapur dan membawa semangkuk bunga mawar berwarna merah dan putih serta baskom yang berisi air. Bandi menuangkan bunga mawar kedalam baskom. Dicelupnya keris yang dipegangnya kedalam baskom yang berisi air dan telah ditaburi bunga mawar. Marni menahan nafas menunggu kejadian selanjutnya.
Bandi menuang air dari baskom kedalam gelas.Diserahkannya gelas itu kepada Kardiman.
“Minum air cucian keris ini untuk mencuci nasib sial dari badanmu. Besok siang segala sial akan hilang. Badanmu demam karena ada orang yang ndak suka sama kamu. Orang itu sedang mengirimkan penyakit di tubuhmu. Nanti kubawakan sisa airnya di botol. Minum tiga kali sehari saja!” Kardiman meminum air dari gelas yang disodorkan Bandi. Dahi Kardiman berkerut saat meminum air itu, tapi saat ituKardiman hanya bisa pasrah saja.
“Agar kedepan terhindar dari sial, kalian harus menebus sisa air cucian keris ini!” sambung Bandi.
“Berapa ongkos tebusannya Ki Dalang Lurah?” tanya Marni ketika suaminya selesai minum air itu.
“Aku ndak pernah ngasih harga. Seikhlasnya saja.Yang penting cukup buat beli rokok  satu pak,” Marni terkejut mendengar perkataan Bandi. Satu pak rokok itu kan banyak juga. Marni membuka dompet dan menyerahkan dua lembar uang berwarna merah kepada Bandi.
“Satu lagi,” pinta Bandi sambil melirik ke arah dompet Marni. Marni hanya bisa pasrah dan menyerahkan selembar uang berwarna merah kepada Bandi. Padahal uang itu adalah tabungan Marni untuk membelikan Ayu sepatu.
***

“Dokter, tolong suami saya. Badannya panas tinggi dan belum turun juga,”
“Sudah berapa lama badan suami Ibu panas?” tanya Dokter Sita.
“Sudah empat hari, Bu Dokter,” jawab Marni panik.
“Sudah dikasih obat apa?” tanya Dokter Sita kembali.
Marni menggelengkan kepala. Tak mungkin Marni berterus terang bahwa suaminya sudah meminum ramuan dari Ki Dalang.
Dokter Sita memeriksa badan Kardiman. Sesekali ditekannya perut Kardiman dengan ujung jarinya.
“Sepertinya Pak Kardiman terkena demam berdarah, Bu. Tapi perlu cek darah untuk memastikannya. Mudah-mudahan saya salah,” ujar Dokter Sita.
Marni terdiam dan merasa bersalah kepada suaminya.
“Apabila hasil cek laboratorium positif demam berdarah, Pak Kardiman harus segera dirawat di rumah sakit,” lanjut Dokter Sita.
Marni tertunduk lesu. Mirna bingung darimana ia dapat uang untuk membayar rumah sakit.
“Ibu mendaftar saja untuk mendapatkan asuransi kesehatan untuk membiayai pengobatan Bapak.  Kalau Ibu bingung nanti petugas Puskesmas akan membantu Ibu,”
“Terima kasih, Dokter,” ujar Marni lega.
Marni keluar dari ruangan Dokter Sita sambil menggandeng suaminya.
“Bapak Bandi!” terdengar suara Suster memanggil pasien berikutnya.
Terlihat oleh Marni seorang laki-laki setengah baya dengan wajah pucat berjalan tertatih-tatih menuju ruang periksa Dokter Sita. Wajahnya pucat dan tampak tanpa daya. Pandangan matanya kosong dan nanar. Sesekali terdengar suara batuk laki-laki itu. Lutut Marni langsung lemas dihantui perasaan malu dan bersalah kepada suaminya.
Ki Dalang Lurah tak berdaya menghadapi penyakitnya sendiri.
Jakarta, 6 Juni 2017



WE CARE

Pada saat bekerja di hotel Hilton Adelaide, saya pernah mendapatkan training "We care". "We care" ini adalah program kepedulian lingkungan yang dicanangkan oleh jaringan Hilton hotel Australia. Saya tidak tahu apakah program ini merupakan "worldwide program"-nya mereka atau bukan.

"We care" bukanlah suatu program yang rumit, yang butuh banyak dana untuk menjalankannya, sangat sederhana. Pemicunya "hanyalah" keprihatinan terhadap kondisi lingkungan yang banyak tercemar. Keprihatinan akan semakin langkanya sumber daya alam. Kekhawatiran akan kehidupan generasi mendatang. Program ini mungkin bukan murni program internal Hilton hotel dan jaringannya, karena pemerintah Australia juga memiliki kebijakan yang relatif sama. Apa yang dilakukan di Hilton juga dilakukan di kehidupan sehari-hari masyarakat Australia. Suatu pekerjaan yang sangat sederhana, namun butuh kesadaran dan konsistensi yang tinggi. 

Inovasi yang dilakukan di Hilton dengan "We care"-nya antara lain dengan memisahkan sampah menjadi 4 jenis; general waste, paper, bottle/tin, dan recycle, mematikan lampu/ac yang tidak terpakai untuk menghemat daya, menyumbangkan sejumlah dana untuk penghijauan dari setiap tamu yang dengan sukarela meminta agar kamarnya tidak dibersihkan, bekerja sama dengan SA Cycling untuk memfasilitasi setiap tamu yang ingin bersepeda keliling kota, dengan tujuan mengurangi polusi. Fasilitas yang sama diberikan kepada pegawai yang mau berangkat dan pulang kerja dengan bersepeda, sejumlah uang akan didepositkan atas nama pegawai yang bersangkutan untuk kemudian bisa diambil di akhir tahun dan banyak lagi hal-hal sederhana lainnya, seperti "gunakan tangga untuk naik 1 (satu) lantai dan turun 2 (dua) lantai".

Semua inovasi yang dilakukan terbukti mempunyai dampak yang signifikan bagi lingkungan. Kegiatan memisahkan sampah kertas dengan sampah lainnya ternyata mampu mengurangi kerusakan lingkungan akibat sampah kertas sampai dengan 65% ! suatu angka yang cukup luar biasa. Dan itu baru merupakan catatan dari Hilton Adelaide, belum jaringan Hilton lainnya ataupun dari rumah tangga.

Australia bukanlah negara yang gemah ripah loh jinawi, dan itu mereka sadari betul. Upaya-upaya untuk menghemat sumber energi menjadi perhatian utama. Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan dan masyarakat pun dengan kesadaran ikut melaksanakan. Apa yang dilakukan di Hilton tersebut di atas, tentunya juga dilakukan di entitas-entitas lain, pun di masyarakat, dengan cara dan kemasan yang mungkin berbeda. Bagi yang pernah tinggal di sana tentunya sudah sangat terbiasa dengan hal-hal tersebut. Saya dan keluarga pun demikian. 

Seandainya, ya seandainya, ribuan 'putra-putri terbaik bangsa' yang sudah mengenyam pendidikan dan tinggal di Australia ataupun negara-negara lain mengimplementasikan 'pelajaran-pelajaran yang tidak diajari', kayaknya Indonesia akan maju deh. Sebagaimana pesan Bapak Menteri Kominfo (M. Nuh) pada saaat pelepasan penerima beasiswa Kominfo  "nikmati setiap detik yang kalian punya di luar negeri, pelajari semua hal yang bisa berguna bagi negara, tidak hanya gelar Master atau Doktor untuk kebanggaan pribadi". Ya, menjadi seorang Master atau Doktor tidak secara otomatis menjadikan seseorang berguna bagi negara, kontribusi nyata-nya lah yang diperlukan, bukan gelarnya. 

Seandainya, ya seandainya, masing-masing orang "care" dengan negara ini, keberlangsungan hidup anak cucu nanti, dan tidak terlena dengan mantera "gemah ripah loh jinawi", pasti Indonesia akan jadi lebih kaya. Memang masih harus banyak belajar, bukan belajar sesuatu yang belum diketahui, tapi belajar mengimplementasikan apa yang sudah diketahui, dilihat dan dipelajari. Start with care, end up with welfare.

Karena Satu Ampulnya Begitu Berharga

Pertama kali saya mendengar kata donor darah saat tingkat dua kuliah di STAN. Waktu itu, idealisme sebagai mahasiswa sedang tinggi-tingginya. Kayaknya, keren bangettt nih bisa memberi sesuatu buat kemanusiaan. Walaupun membayangkan jarum akan masuk lamaaaa menembus kulit dan pembuluh darah, lalu darah itu mengalir keluar dari tubuh, sempat membuat lemas sekaligus cemas. Apa gue ga bakal pingsann yaa?

Alhamdulillah, pengalaman pertama (dan ternyata jadi pengalaman terakhir donor di kampus) ga bikin paranoid. Proses pengambilan darah lancar jaya. Sang jarum tidak perlu ditusuk, tapi dicabut lagi, untuk kemudian ditusuk lagi di tempat berbeda, demi mencari pembuluh darah yang bisa lancar mengalirkan darah.

Setelah bekerja, kadang-kadang motivasi donor lebih materialistis. Supaya dapat sarapan gratis lah, suvenir unik lah, atau koleksi penghargaan 10 kali donor, 20 x donor, dst. Anehnya, ketika niat saya bener-bener ingin sarapan gratis atau suvenir, adaaaaa saja halangan sehingga ga jadi donor. Tiba-tiba ketika pemeriksaan Hb, ternyata di bawah ambang batas. Jadinya ga boleh donor kan. Atau, Hb mepfett lolos lewat ambang batas, ternyata tekanan darah terlalu rendah, ga jadi seneng-seneng deh pamer suvenir.

Cita-cita dapat piagam 10 x pun selalu pupus dalam waktu hampir 2 dasawarsa, iya ... 19 tahun. Setelah tercatat dalam kartu sekitar 5 kali donor, tiba-tiba kecopetan, sang kartu turut hilang: 2 kali seperti ini, sebelum PMI mengotomasi sistemnya. Selanjutnya, karena hamil, menyusui, hamil lagi, menyusui lagi, atau jadwal donor di kantor berbenturan dengan periode bulanan perempuan.

Ketika benar-benar vakum mendonor hampir 5 tahun, saya justru baru terusik untuk mencari tahu bagaimana sih hukumnya secara agama kalau darah yang saya sumbangkan masuk ke dalam metabolisme tubuh orang lain. Apa mereka menjadi mahram saya, yang berarti juga bagi anak-anak saya? Alhamdulillah, dengan mengandalkan mbah Google, saya dapat beberapa referensi yang meyakinkan saya, bahwa sebagai pendonor, saya tidak melanggar ketentuan agama, sepanjang tidak membahayakan diri saya. Pun, darah yang didonasikan tidak menyebabkan pendonor jadi mahram bagi penerima. Referensi lengkapnya bisa dilihat, antara lain, di pranala berikut yaa:

https://konsultasisyariah.com/5741-donor-darah.html
https://almanhaj.or.id/2199-kondisi-yang-memperbolehkan-transfusi-darah-hukum-donor-darah.html

Dalam periode bisa-dan-tidak bisa yang tak beraturan itu, sedih juga kalau dapat informasi dari mulai zaman pesan pendek, mailing list (dulu ga ada grup wa), Fb, sampai tiba era nya telegram & whatsap: butuh donor segera, namanya x, golongan darah A, persediaan di PMI habis, yang bersangkutan kecelakaan dalam kondisi kritis. Padahal, zaman belum marak medsos, golongan darah saya, katanya, bisa menyumbang ke semua pemilik golongan darah. Saya jadi membayangkan, bagaimana kalau saya atau salah seorang keluarga dalam kondisi kritis itu, tapi darah tidak tersedia?

Akhirnya, saya menyiasati halangan donor tersebut. Kalau jadwal donor di kantor bersamaan dengan periode bulanan, saya menyingkirkan kemalasan dan, dengan sedikit usaha, pergi ke kantor PMI seminggu setelah haid selesai. Untuk mengatasi Hb dan tekanan darah, saya ikut tips dari om Rumah Kaca untuk minum susu di pagi hari sebelum donor. Tips ini saya tambah dengan makan hati ayam di tukang bubur nasi. Mumpung masih tergolong orang yang boleh donor, karena ternyata ga semua orang boleh mendonor.

Dengan siasat ini, alhamdulillah lama kelamaan kartu donor saya kembali terisi secara beraturan. Kalau sekarang sihh, motivasi saya donor lebih karena mengharap pertolongan ketika suatu saat saya atau keluarga membutuhkan. Na'udzubillah, kalau boleh meminta, jangan sampai mengalami keadaan darurat. Hanya saja, saya termasuk orang yang percaya, apa yang saya tanam sekarang, bisa dituai kemudian hari. Meski bukan untuk saya, bisa jadi untuk suami, anak, cucu, bahkan cucunya cucu saya. Karena satu tetesnya, ehhh satu ampul dinggg, darah begitu berharga buat kehidupan. Iya engga sih? 🌾






Tenggara

Tenggara (South-East) adalah irisan miris antara selatan dan timur. Dunia ini telah terkotak-kotak, baik sengaja atau tidak, sesuai dengan arah mata angin dan ada stereotip ngawur di balik penyebutan arah-arah itu. Ada Negeri Barat. Ada orang-orang Timur. Ada Negeri Timur Tengah; Negeri Timur Jauh. Perjalanan ke Barat Mencari Kita Suci. Dan lain sebagainya.

Barat berasosiasi dengan kemajuan, kehebatan, bebas, kapitalis, sekaligus kebejatan moral. Sedang arti kias untuk timur adalah kemiskinan, demokratis, keramahtamahan, dan mistis. Utara, sebagaimana barat, dapat untuk mewakili kemajuan, kekayaan, kesetaraan, liberalis, dan juga sosialis. Sedangkan selatan adalah kemiskinan, hidup sederhana, kebodohan, padat penduduk, terbelakang, tetapi pongah. Jadi, tenggara adalah matriks mengenaskan dari keramahan, kebodohan, terbelakang, mistis, kemiskinan, dan bawah.
Hasil gambar untuk peta dunia
Peta Dunia (sumber: Google Search - InfoIndonesiaKita.com)
Belum lagi dalam koordinat GPS, selatan dan timur dinotasikan dengan angka negatif. Jika bola bumi yang bulat ini dibentangkan menjadi peta datar, Indonesia dan Australia berada di pojok kanan bawah (dari sudut pandang gambar: pojok kiri bawah). Artinya: tenggara. Sebab di pojok tenggara, rasanya agak jauh dari ‘peradaban’. Jadi sebenarnya saya tidak mudeng kenapa dulu Indonesia disebut berada pada silang strategis jalur pelayaran.  Kalaupun iya, karena memang Indonesia di kelilingi samudera dan sedikit tetangga daratan, yasudahlah ya. Lihatlah jaman sekarang di mana lalu lintas udara lebih diandalkan dan Indonesia tidak berada pada silang strategis penerbangan itu.

Lihatlah peta dunia itu, Asia berada berada di sisi timur, karena memang memiliki koordinat bujur timur. Di Asia, negara-negara paling timur sekaligus paling selatan menamai diri mereka dengan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara sendiri, negeri paling selatan dan paling timur adalah Indonesia. Di Indonesia, ada pulau-pulau yang oleh negeri itu disebut sebagai Nusa Tenggara. Nah, perjalanan kita kali ini menyapa saudara kita yang ada di pulau paling tenggara dari negeri paling tenggara di Asia paling tenggara. (sebenarnya ada yang lebih tenggara sih, yaitu Australia, tapi itu tidak di Asia dan biar sesuai dengan tema kali ini, maka Australia kita sekip aja).

Maafkan kami (saya) yang hanya mampir sebentar dan sudah gitu menilai dengan sebelah mata soal “tenggara” ini. Tapi jujur saja, ini memang kesan pertama ketika mendengar nama dan letaknya di Bumi yang bulat ini: Nusa Tenggara Timur (Nusa Selatan-Timur Timur dengan dobel timur!). Dan demi menjaga agar kata-kata tidak menyakitkan Saudara-saudara yang ada di sana, mending foto saja yang berbicara.

Jalur Susu a.k.a Milkyway (dokumen pribadi)
Mendengar kata Waingapu, yang terbayang pertama adalah gelap. Bukan warna kulit atau masa depan, tapi langit malam. Sayangnya jadwal berkunjung ke sana bertepatan dengan ayyamul bidh. Terang bulan akan mendominasi bentang malam tiga hari berturut-turut. Kesempatan memotret Bimasakti hanya ada waktu sempit di penghujung malam, sebelum fajar, pada kesempatan pertama sampai di sana.

Ada sebuah kalimat yang pernah saya dengar di komunitas orang-orang yang suka bengong di bawah langit malam selatan, yaitu ‘melihat polaris’ (melihat rasi bintang penunjuk kutub utara). Setahu saya, itu artinya: pergi ke utara di negeri 4 musim, merantau dalam rangka kuliah. Utara, 4 musim, dan kuliah adalah kombinasi legit di balik cita-cita ingin melihat polaris.
Kampung Raja Prailiu (credit: Mba FitMS)
Menemani mbak-mbak traveller adalah kebetulan yang alhamdulillah. Maaf ya mbak saya upload foto ini. Makasih lho.

Pantai Watu Parunu (dokumen pribadi)
Di Kebumen juga ada sih pantai semacam ini. Ke pantai ini aksesnya susah boy. Tak tahulah gimana bisa nyampe. Tapi seru.
Pantai di Belakang Hotel yang Surut di Sore Hari (dokumen pribadi)

Mama Berkisah tentang Raja-raja di Desa Rindi

Rumah Adat di Desa Rindi
Barangkali tidak adil membandingkan NTB dan NTT, karena saya sempat ke ibu kota NTB (Mataram) dan belum pernah ke ibu kota NTT (Kupang). Sebagaimana saya pernah ke Trawangan tapi hampir mustahil menengok ke Nihiwatu. Tapi NT Barat dan NT Timur ini memang banyak bedanya. Tidak bermaksud SARA, tapi NTB mengenalkan diri pada dunia dengan wisata halalnya (walaupun di Senggigi dan Trawangan miras dan obat terlarang ditawarkan tanpa malu). Sedangkan banyak orang berkunjung ke Larantuka, NTT, demi melihat tradisi Paskah di sana. Lombok menjuluki dirinya sendiri sebagai Pulau Seribu Masjid, sedang masjid raya di Waingapu saja masih bagusan masjid di kampung saya kemana-mana.

Semoga ini tidak ada kaitannya dengan pemakaian kata 'barat' dan 'timur' pada nama masing-masing propinsi (ingat stereotip ngawur soal arah di awal tulisan ini).
Credit: Wasis P.
Ini adalah titik paling selatan yang pernah saya pijaki. Secara pribadi saya juga lebih ingin pergi ke utara-barat (barat laut) meski tidak ada hubungannya dengan arah kiblat Muslim Indonesia. Mungkin karena saya juga orang timur dan selatan. Di kampung saya, laut hanya berjarak tiga puluh menit bersepeda (kurang dari 10 km lah). Dari pantai itu, kalau kamu berlayar lurus ke selatan, kamu tidak akan menemui secuil pun daratan sampai bertemu Antartika. Jarak dari pantai di Kebumen sampai ke Antartika itu mencapai 80 derajat lintang lho. Kebayang kan seberapa “selatan” Kebumen itu?

Salam,
AM

PS: Maaf ya ternyata ga banyak cerita soal Waingapu dan NTT. Semoga sudah pernah membacanya di blog lain. Lagian, judulnya kan cuma 'tenggara'.

GEMESS (Garing mak Kress) : Toleransi

Drrt... drrt... drrt...., handphone Rangga bergetar di atas dashboard motornya. Tampak muncul nama 'Cinta' yang masuk sebagai orderan pertamanya di pagi ini. Bergegas dia sentuh layar handphone untuk mengambil pesanan yang masuk.

"Alhamdulillah, berkah puasa, pagi-pagi udah dapat penumpang, cewek pula"

Direngkuhnya handphone dari tatakannya untuk menghubungi sang pemesan.

"Halo Cinta, ini Rangga... kamu ada di mana? aku tunggu tepat di pintu keluar stasiun ya...aku yang melambai-lambaikan tangan." ucap Rangga sok akrab sambil melambai-lambai sebagai tanda"

"Oh iya mas Rangga, aku uda ngelihat mas, ini aku lagi jalan ke sana, ditunggu ya mas, aku matiin dulu teleponnya" jawab Cinta sembari jalan keluar dari peron stasiun.

"Eh, biar aku aja yang nutup teleponnya, kan aku yang nelepon duluan" ujar Rangga makin menggila.

"Oke mas, silakan!" jawab Cinta singkat.

"Tapi, kalau Cinta mau nutup teleponnya duluan gak papa deh, Rangga ngalah demi Cinta, silakan Cinta yang nutup teleponnya" timpal Rangga yang makin menjengkelkan.

Seketika lenyaplah suara di handphone Rangga, nampaknya Cinta mulai kesal dan langsung mematikan sambungan teleponnya.

"Sabar... cobaan orang puasa" gumam Rangga pada dirinya.

Dari kejauhan terlihat sosok wanita berparas cantik berambut lurus panjang dengan make up yang natural. Bentuk tubuhnya yang ideal dibalut blus dan rok di atas lutut dengan warna senada. Kaki indahnya dialasi dengan sepatu hak tinggi yang menyebarkan suara 'tok.. tok.. tok.." seiring derap langkahnya.

"Wuiiih cantiknyaa.... rezeki anak soleh", Rangga hanya bisa bicara lirih sambil tetap melambaikan tangannya.

"Astaghfirullah... puasa Rangga.. puasa... Astaghfirullah", Rangga tersadar bahwa dirinya sedang puasa dan apa yang dilihatnya dapat membuatnya hanya mendapat lapar dan dahaga.

Akhirnya sosok Cinta sudah ada di depan mata, meski sangat ingin menatapnya tetapi Rangga mencoba menjaga pandangannya.

"Ini Cinta helmnya, meskipun belum Purnama, aku akan mengantarmu ke mana saja kau mau"

"Apaan sih mas, uda cepetan, saya udah mau telat"

Cinta segera naik ke jok belakang motor dengan mengambil posisi duduk miring. Rangga yang sudah siap dan berbunga-bunga perlahan mulai menggeber motornya. Sepanjang perjalanan Cinta hanya diam, sibuk dengan handphonenya. Sedangkan Rangga, sibuk memandangi Cinta dari spion di kanan kirinya. Ingin rasanya Rangga mengajak ngobrol Cinta, tapi masih bingung akan mengusung tema apa. Hingga akhirnya..

"Cinta puasa gak? "

"Puasa lah mas! Mas jangan sok akrab deh panggil nama doang! "

"Maaf mbak Cinta, jangan marah-marah dong, kan lagi puasa katanya"

Cinta tidak menimpali dan kembali sibuk mengetik di handphone nya.

"Wah, ini warung-warung masih pada buka ya mbak Cinta, padahal kan orang pada puasa" Rangga keukeuh mencoba mengajak ngobrol Cinta

"Ya tapi uda pada ditutup kain semua tuh Mas, itu kan karena menghormati orang yang puasa, mereka kan juga buka warung buat cari uang. Itu yang namanya toleransi mas" kali ini entah kenapa Cinta mau menimpali dengan jawaban yang cukup panjang.

"Ooh, gitu ya mbak, ditutup gitu supaya toleransi sama yang puasa ya"

"Iya dong mas, masak gitu aja ga ngerti sih! "

"Hehehe.. bener juga ya mbak... masak gitu aja aku gak ngerti"

Suasana hening beberapa saat setelah percakapan itu, hingga tiba-tiba Rangga menghentikan laju motornya dan menepi.

"Loh...mas kenapa berhenti? kantor saya kan masih jauh! "

"Maaf Cinta, eh mbak Cinta...boleh turun sebentar? sebentar saja gak lama. Ini demi toleransi mbak."

Cinta yang makin ga ngerti dan mulai emosi, akhirnya hanya bisa menuruti.

"Cepet ya, jangan lam-lama, saya keburu-buru nih! "

"Siap mbak Cinta, bentar aja kok ini"

Rangga bergegas membuka bagasi motor, tak ada angin tak ada hujan, dia mengambil jas ujan model ponconya. Setelah berhasil membuka lipatannya, Rangga segera memakai jas ujan yang dibawanya.

"Apaan sih mas, terang benderang gini pakai jas ujan, gila kali ya"

"Tenang mbak Cinta, jangan marah-marah"

"Hadeh, yaudah lah terserah ayo cepetan berangkat" Cinta segera naik kembali ke motor Rangga yang sudah di starter kembali.

"Ayo mbak tolong dipakai jas ujannya" Rangga mencoba menjulurkan jas ujan ponco itu untuk menutupi Cinta

"Astaga, apa apaan sih mas, saya ga mau, gerah tau, mas aja sana yang gila sendirian pake jas ujan"

"Ga bisa mbak Cinta, mbak harus pakai jas ujan, ini demi toleransi di bulan puasa mbak.

"Toleransi dari hongkong, apaan sih mas, uda ayo berangkat aja, pokoknya saya ga mau ikut-ikutan gila pakai jas ujan panas-panas gini"

"Tolong mbak Cinta, dipakai jas ujan ini, beneran ini demi toleransi, menghormati orang yang puasa"

"Paha mbak dari tadi kelihatan ke mana-mana jadi saya harus nutup pakai jas ujan karena saya ga punya kain buat nutupinnya"

Seketika Cinta langsung turun dan lari ke warung yang tadi dilewatinya. Diambilnya kain penutup warung dan disarungkan ke tubuhnya sambil menahan malu. Tamat! 

Dusk






This is twilight
rapidly becoming dusk
Clouds are flying
like motors on the streets

People are rushing
going home to find comfort
Aren't we all tired,
hoping for some peace and quiet?

The sun is setting
Therefore darkness falls
Not long before the lights are up 
floating like fireflies on paddy fields

Mellow tunes are playing
amidst traffic, weather forecasts, 
and radio shows

Despite all of these noises,
mere hearts only wish 
for a simple thought:
"What is it for dinner tonight?"