“Tempat saya tinggal digusur, ndi!”
Fadli berkata sambil menyeruput kopi yang disuguhkan untuknya.
“Sudah sewajarnya, bertahun-tahun lu
menempati tempat itu tanpa biaya sewa,” jawabku tanpa perasaan.
Fadli adalah teman masa kecilku. Bertahun-tahun
dia menempati bedeng di tanah milik Pemerintah Daerah. Fadli membangun bedeng
seluas 2X2 meter di tanah yang bukan miliknya. Bedeng itu berdiri tepat didepan
tempat pemakaman umum. Semua orang di kampung Dukuh sudah menganggap bahwa
bedeng itu adalah rumahnya Fadli.
Setiap malam, lokasi di sekitar
bedeng sering dijadikan tempat berkumpulnya para preman. Biasanya Fadli dan
teman-temannya mabuk-mabukan sampai pagi. Fadli bertahan hidup dengan memalak
setiap orang yang lewat di kuburan. Apa yang dilakukan Fadli dan teman-temannya
sangat mengganggu ketentraman para penduduk kampung Dukuh. Namun tak ada
seorangpun yang berani menegur Fadli dan kawan-kawannya.
“Rencana lu apa, dli?” Kuseruput teh
yang menurutku kurang manis.
“Nggak tahu, ndi!”
Kupanggil istriku untuk menambahkan
gula pada teh yang kuminum. Istriku muncul dari dalam rumah sambil membawa gula
pasir. Sepintas kulihat, tatapan mata istriku agak tajam memandang Fadli.
“Mbak!” Fadli mengangguk kepada
istriku.
Istriku membalasnya, walau kuanggap
itu hanya basa basi untuk menjaga kesopanan saja. Istriku kembali masuk kedalam
rumah. Dia tak lagi peduli dengan apa yang kami obrolkan.
Istriku sedang keranjingan drama
Korea, kadang sampai lupa waktu. Sepertinya dia senang aja suaminya kedatangan tamu,
jadi tak ada yang mengganggunya menonton berseri-seri drama Korea.
Sejak kecil aku berteman dengan
Fadli. Kondisi keluarga Fadli lumayan
mapan. Bapaknya Fadli bekerja sebagai sopir di sebuah instansi Pemerintah kala
itu. Penghasilannya lumayan untuk menghidupi keluarga Fadli. Fadli memiliki
beberapa saudara yang sekarang tidak pernah ditemuinya lagi.
Satu hal yang juga kusesalkan dari
Fadli adalah keengganannya untuk bersekolah. Fadli hanya bersekolah sampai kelas
dua SMP. Mendengar kata sekolahpun sepertinya Fadli merasa alergi. Badannya
langsung gatal-gatal kalau mendengar orang tuanya menyuruhnya masuk sekolah.
Tak ada juga kuasa orang tuanya untuk memaksa Fadli bersekolah.
Pernah kudengar dia bekerja di
sebuah restoran Jepang sebagai tukang cuci piring. Saat itu aku sangat gembira
karena pada akhirnya Fadli bisa mencari uang untuk makan dengan cara yang
benar. Selama ini dia menghidupi dirinya dengan memalak orang lain. Hasil
palakannya pun biasanya dihabiskannya untuk mabuk-mabukan.
Tapi sayang, Fadli hanya bertahan
tiga bulan bekerja di restoran Jepang itu. Fadli kembali lagi menjadi “kalong”.
Dari pagi sampai sore Fadli menghabiskan waktu tidur. Malamnya berjudi dan
mabuk-mabukan. Tak terhitung berapa kali Fadli diburu Polisi. Beberapa kali dia
bisa lolos, namun juga pernah sekali tertangkap polisi.
“Hidup lu emang nggak ada harapan,
Fadli!” aku bicara dalam hati.
Aku berpikir bagaimana mencarikan
jalan keluar agar Fadli tidak menjadi gelandangan. Mencari pekerjaan buat Fadli
sangat sulit. Apalagi di usianya yang hampir kepala lima. Siapa sih yang mau
punya pekerja setengah tua tanpa keahlian dan track record seperti Fadli.
Melihat penampilannya saja, orang sudah malas melihatnya. Badan dan mukanya
dipenuhi tatto.
Teringat kembali kenapa Fadli memilih
jalan hidup yang tidak lazim. Keluarganya tidak lagi memperdulikannya ketika
Fadli mulai bergaul dengan preman pasar. Awalnya hanya karena takut dianggap
kurang gaul, dia mulai senang mabuk. Setelah dianggap mahir bermabuk-mabukan,
Fadli mulai naik level menjadi pemalak orang yang lewat.
Entah kenapa, jaman masih sekolah
dulu aku selalu terbebas dari ulahnya Fadli. Dia dan keluarganya baik kepadaku.
Walau Fadli sering berlaku jahat kepada orang lain, kepadaku dia tidak berani
berbuat jahat. Makanya sampai setua ini kami aku dan Fadli masih berteman.
“Oya, gua punya temen yang lagi butuh pegawai.
Dia pemilik tempat pemotongan kambing. Kalo lu mau, lu bisa kerja di tempatnya.
Kayaknya dia butuh orang buat bantuin bersihin kandang,” kuberi tawaran kepada
Fadli.
Fadli terdiam. Matanya menerawang
jauh. Dihembuskannya asap dari rokok yang dihisap dalam-dalam.
“Lumayan dli, makan minum nggak usah
mikir lagi. Bisa dapat tiga kali sehari,” sambungku.
“Besok gua antar deh kesana,” ujarku
lagi.
“Iya deh,” akhirnya terdengar juga
jawaban dari mulutnya.
Setelah malam itu, Fadli sudah mulai
bekerja di tempat pemotongan kambing. Tugasnya membersihkan kandang. Kadang
juga membantu memotong-motong daging yang sudah dipotong. Sesekali kudatangi dan
kulihat Fadli ketika sedang bekerja. Aku merasa lega karena setidaknya Fadli
selama bekerja tak ada orang yang kena palak. Tidak pula dia mabuk-mabukan.
***
Sebulan kemudian Fadli meneleponku.
Harapanku, lewat telpon Fadli memberitahukan bahwa dia akan menikah. Dia akan
memulai hidup baru yang lebih baik. Sebelumnya kudengar temanku, pemilik tempat
pemotongan kambing itu akan menjodohkan Fadli dengan orang sekitar rumahnya
yang sedang mencari teman hidup.
“Lu mau minta gua jadi saksi kawinan
lu ya?” ujarku sambil tertawa.
“Bukan, ndi!” suara Fadli pelan dari
ujung telpon.
“Kalau gitu, lu perlu bantuan gua
ya?” tanyaku lagi.
“Gua
mau pamit, ndi!”
“Emang mau kemana?” tanyaku agak
bingung.
“Gua mau ikut berlayar ke Papua. Ada
teman yang ngajakin,” jawab Fadli.
“Yakin lu? Kerja di kapal keras. Gua
nggak yakin lu balik lagi kesini dalam kondisi baik. Hidup aja udah untung!”
suaraku meninggi karena marah.
Pikirku, maunya Fadli ini apa sih.
Sudah setua ini masih aja nggak punya arah hidup.
“Gua nggak bisa mundur lagi, ndi.
Sekarang gua udah di Tegal,”
“Fadli…Fadli!” teriakku di telpon.
“Selamat tinggal, ndi! Mudah-mudahan
gua bisa balik lagi”
Klik, suara telpon ditutup.
Aku hanya terdiam lemas. Tak tahu
lagi apa yang harus kulakukan. Hidup adalah pilihan. Aku masih berharap suatu saat
masih bisa bertemu Fadli dalam kondisi hidup.
Depok, 17 Mei 2017