RUMAH HARAPAN, Dia Yang Mengikuti Angin

“Tempat saya tinggal digusur, ndi!” Fadli berkata sambil menyeruput kopi yang disuguhkan untuknya.
“Sudah sewajarnya, bertahun-tahun lu menempati tempat itu tanpa biaya sewa,” jawabku tanpa perasaan.
Fadli adalah teman masa kecilku. Bertahun-tahun dia menempati bedeng di tanah milik Pemerintah Daerah. Fadli membangun bedeng seluas 2X2 meter di tanah yang bukan miliknya. Bedeng itu berdiri tepat didepan tempat pemakaman umum. Semua orang di kampung Dukuh sudah menganggap bahwa bedeng itu adalah rumahnya Fadli.
Setiap malam, lokasi di sekitar bedeng sering dijadikan tempat berkumpulnya para preman. Biasanya Fadli dan teman-temannya mabuk-mabukan sampai pagi. Fadli bertahan hidup dengan memalak setiap orang yang lewat di kuburan. Apa yang dilakukan Fadli dan teman-temannya sangat mengganggu ketentraman para penduduk kampung Dukuh. Namun tak ada seorangpun yang berani menegur Fadli dan kawan-kawannya.
“Rencana lu apa, dli?” Kuseruput teh yang menurutku kurang manis.
“Nggak tahu, ndi!”
Kupanggil istriku untuk menambahkan gula pada teh yang kuminum. Istriku muncul dari dalam rumah sambil membawa gula pasir. Sepintas kulihat, tatapan mata istriku agak tajam memandang Fadli.
“Mbak!” Fadli mengangguk kepada istriku.
Istriku membalasnya, walau kuanggap itu hanya basa basi untuk menjaga kesopanan saja. Istriku kembali masuk kedalam rumah. Dia tak lagi peduli dengan apa yang kami obrolkan.
Istriku sedang keranjingan drama Korea, kadang sampai lupa waktu. Sepertinya dia senang aja suaminya kedatangan tamu, jadi tak ada yang mengganggunya menonton berseri-seri drama Korea.
Sejak kecil aku berteman dengan Fadli.  Kondisi keluarga Fadli lumayan mapan. Bapaknya Fadli bekerja sebagai sopir di sebuah instansi Pemerintah kala itu. Penghasilannya lumayan untuk menghidupi keluarga Fadli. Fadli memiliki beberapa saudara yang sekarang tidak pernah ditemuinya lagi.
Satu hal yang juga kusesalkan dari Fadli adalah keengganannya untuk bersekolah. Fadli hanya bersekolah sampai kelas dua SMP. Mendengar kata sekolahpun sepertinya Fadli merasa alergi. Badannya langsung gatal-gatal kalau mendengar orang tuanya menyuruhnya masuk sekolah. Tak ada juga kuasa orang tuanya untuk memaksa Fadli bersekolah.
Pernah kudengar dia bekerja di sebuah restoran Jepang sebagai tukang cuci piring. Saat itu aku sangat gembira karena pada akhirnya Fadli bisa mencari uang untuk makan dengan cara yang benar. Selama ini dia menghidupi dirinya dengan memalak orang lain. Hasil palakannya pun biasanya dihabiskannya untuk mabuk-mabukan.
Tapi sayang, Fadli hanya bertahan tiga bulan bekerja di restoran Jepang itu. Fadli kembali lagi menjadi “kalong”. Dari pagi sampai sore Fadli menghabiskan waktu tidur. Malamnya berjudi dan mabuk-mabukan. Tak terhitung berapa kali Fadli diburu Polisi. Beberapa kali dia bisa lolos, namun juga pernah sekali tertangkap polisi.
“Hidup lu emang nggak ada harapan, Fadli!” aku bicara dalam hati.
Aku berpikir bagaimana mencarikan jalan keluar agar Fadli tidak menjadi gelandangan. Mencari pekerjaan buat Fadli sangat sulit. Apalagi di usianya yang hampir kepala lima. Siapa sih yang mau punya pekerja setengah tua tanpa keahlian dan track record seperti Fadli. Melihat penampilannya saja, orang sudah malas melihatnya. Badan dan mukanya dipenuhi tatto.
Teringat kembali kenapa Fadli memilih jalan hidup yang tidak lazim. Keluarganya tidak lagi memperdulikannya ketika Fadli mulai bergaul dengan preman pasar. Awalnya hanya karena takut dianggap kurang gaul, dia mulai senang mabuk. Setelah dianggap mahir bermabuk-mabukan, Fadli mulai naik level menjadi pemalak orang yang lewat.
Entah kenapa, jaman masih sekolah dulu aku selalu terbebas dari ulahnya Fadli. Dia dan keluarganya baik kepadaku. Walau Fadli sering berlaku jahat kepada orang lain, kepadaku dia tidak berani berbuat jahat. Makanya sampai setua ini kami aku dan Fadli masih berteman.
 “Oya, gua punya temen yang lagi butuh pegawai. Dia pemilik tempat pemotongan kambing. Kalo lu mau, lu bisa kerja di tempatnya. Kayaknya dia butuh orang buat bantuin bersihin kandang,” kuberi tawaran kepada Fadli.
Fadli terdiam. Matanya menerawang jauh. Dihembuskannya asap dari rokok yang dihisap dalam-dalam.
“Lumayan dli, makan minum nggak usah mikir lagi. Bisa dapat tiga kali sehari,” sambungku.
“Besok gua antar deh kesana,” ujarku lagi.
“Iya deh,” akhirnya terdengar juga jawaban dari mulutnya.
 ***

Setelah malam itu, Fadli sudah mulai bekerja di tempat pemotongan kambing. Tugasnya membersihkan kandang. Kadang juga membantu memotong-motong daging yang sudah dipotong. Sesekali kudatangi dan kulihat Fadli ketika sedang bekerja. Aku merasa lega karena setidaknya Fadli selama bekerja tak ada orang yang kena palak. Tidak pula dia mabuk-mabukan.
***

Sebulan kemudian Fadli meneleponku. Harapanku, lewat telpon Fadli memberitahukan bahwa dia akan menikah. Dia akan memulai hidup baru yang lebih baik. Sebelumnya kudengar temanku, pemilik tempat pemotongan kambing itu akan menjodohkan Fadli dengan orang sekitar rumahnya yang sedang mencari teman hidup.
“Lu mau minta gua jadi saksi kawinan lu ya?” ujarku sambil tertawa.
“Bukan, ndi!” suara Fadli pelan dari ujung telpon.
“Kalau gitu, lu perlu bantuan gua ya?” tanyaku lagi.
“Gua  mau pamit, ndi!”
“Emang mau kemana?” tanyaku agak bingung.
“Gua mau ikut berlayar ke Papua. Ada teman yang ngajakin,” jawab Fadli.
“Yakin lu? Kerja di kapal keras. Gua nggak yakin lu balik lagi kesini dalam kondisi baik. Hidup aja udah untung!” suaraku meninggi karena marah.
Pikirku, maunya Fadli ini apa sih. Sudah setua ini masih aja nggak punya arah hidup.
“Gua nggak bisa mundur lagi, ndi. Sekarang gua udah di Tegal,”
“Fadli…Fadli!” teriakku di telpon.
“Selamat tinggal, ndi! Mudah-mudahan gua bisa balik lagi”
Klik, suara telpon ditutup.
Aku hanya terdiam lemas. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Hidup adalah pilihan. Aku masih berharap suatu saat masih bisa bertemu Fadli dalam kondisi hidup.


Depok, 17 Mei 2017

Morning

It all starts with a "Hello"
Then comes a cup of coffee

Then comes other cups of coffee
Suddenly comes milk and tea

Then a ride and a walk
Then one goes to a barbershop

Then one does house chores
Then ones having breakfast

Then ones exercising
Then ones are talking

Then ones are listening
Then ones are thinking

Then one says, "What?"
Then one says, "This"

Then one says, "Why?"
Then one says, "Because"

Then one says, "How?"
Then one says, "Look"

Then ones got confused
Then ones are upset

Then ones are interested
Then ones are nodding

Then ones are smiling
Then ones are giggling

It all starts with a "good morning"
But usually it all ends in laughter


NB: Tulisan ini terinspirasi percakapan di pagi hari

Sepi

Sepi tak berarti kosong
Sepi tak bermakna sunyi

Sepi adalah rehat
Sepi adalah ruang
Di antara makna
Satu sama lain

Sepi adalah indah
Lihatlah bunga merekah
Dalam sepi semalam

Sepi adalah kasih
Lihatlah nelayan
menangkap ikan
Kala kita masih terlelap

Sepi adalah pertaruhan nasib
Lihatlah siswa di ruang ujian

Sepi adalah tanda keahlian
Lihatlah dokter di kamar operasi

Sepi adalah bahasa hati
Ketika tak ada lagi
yang dapat diungkapkan

Biarlah sepi menunjukkan
Siapa kawan kita
dalam kesunyian

NB: Tulisan ini terinspirasi komentar seorang rekan mengenai sepi

Penasihat Yang Bertebaran

"Bu, ke pasar dulu ya," pamit pak Hasan, penjual jus buah di sekitar kantorku yang nampak terburu-buru, khawatir perjalanannya dikalahkan cepat oleh semburat sinar pagi yang lebih dulu menyelimuti pasar, tempat sang bapak biasa membeli buah-buahan. "Hati-hati ya, pak," jawab istrinya singkat sampai-sampai menitipkan kalimat penyemangat pun tak sempat lagi. Tapi sang bapak tahu, pesan singkat itu membawa sirat sebagai penyemangat di setiap mengawali hari-hari nya.

Ini dialog rutin yang sempat terbayang olehku, sepasang insan yang harus mengawali hari-hari menjemput rizqi-Nya dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Mereka adalah pejuang yang lebih dini harus mengalahkan rasa kantuk dan capeknya. Mereka harus berpeluh keringat lebih awal dari kebanyakan orang yang masih belum mau kehilangan kehangatan tidurnya. Tentu bukan hal yang ringan.

Pak Hasan dan istrinya, sepasang sosok bersahaja, sudah beberapa tahun ini jualan jus di depan masjid belakang kantorku. Meski aku tahu setiap hari yang datang akan dilewatinya dengan tidak mudah, tapi wajah-wajah polos cerianya tak pernah bermaksud menyembunyikan kenyataan bahwa mereka sangat bahagia, tak ada jejak-jejak beban yang terlihat pada raut muka yang hampir selalu dihiasi dengan senyuman dan kadang canda tawa.

***

Hari ini aku masih merasa tidak tenang setelah mendapat kepastian kabar sejak isu berseliweran di pojok-pojok tak resmi dalam kurun beberapa minggu terakhir ini. Mutasi dan promosi selalu menjadi isu yang menarik diperbincangkan di mana-mana dan sampai pada hari ketika ada kepastian nama-namanya, efeknya juga hampir sama, selalu mengecewakanku. Penyebabnya hanya satu : tidak ada namaku.

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku, aku menjadi mudah marah, merasakan selalu ada dorongan-dorongan ambisi yang tak mudah aku kendalikan. Aku juga hampir selalu menemukan cara dan alasan untuk menunjukkan ke orang-orang bahwa akulah yang lebih baik, dan orang-orang yang namanya ada di lembaran keputusan yang baru ditetapkan kemarin itu tak lebih berhak daripada aku. Berdebat menjadi sesuatu yang aku tunggu-tunggu, aku seperti menemukan panggung yang akan menjadikan aku sebagai pemeran utama yang akan diagungkan banyak orang. Aku sangat menikmatinya. Semua unsur ini terkombinasi secara sempurna yang menjadikan aku seperti sekarang ini. Rasanya aku sudah memasuki era tentang aku yang baru, bukan aku yang dulu. Entahlah.

Siang ini, mungkin masih terpengaruh oleh kekecewaanku, selera untuk makan siangku belum sepenuhnya seperti biasa, aku hanya ingin minum jus pak Hasan di belakang kantorku itu.

"Apa kabar, pak Hasan?" basa-basi tanyaku setelah beberapa lama aku memang tidak mampir beli jusnya. Seperti biasa, pak Hasan menjawab dengan sangat ramah menyampaikan kabar baiknya juga.

Tak lama kemudian pak Hasan menyodorkan segelas jus buah yang dikenal murah, enak, dan kental, setidaknya jika dibandingkan dengan jus sejenis yang dijual tak jauh dari tempat jualan pak Hasan. Rasa dan tingkat kekentalannya memang tidak berubah, ini yang menjadi daya tarik orang-orang lebih banyak beli jus pak Hasan.

"Lho harganya gak naik pak, kan harga gula sudah naik?" tanyaku penuh keheranan ketika mengeluarkan uang dari dompet lusuhku. Aku bukan pemerhati berita yang baik, tapi untuk hal-hal yang ramai dibicarakan, sedikit banyak aku juga tahu. Hari-hari terakhir ini memang lagi ramai dibicarakan kenaikan harga gula yang berlipat dari sebelumnya.

"Iya pak, belum, masih ada selisih kok, dengan harga yang sekarang ini," jawab pak Hasan yang diamini istrinya dengan senyum meyakinkan.

"Masih ada selisih." Jawaban ini cepat terngiang-ngiang di telingaku. Kalimat sederhana yang semilir dinginnya langsung sampai ke hati, adem rasanya. Aku hanya merasakan diriku terperangkap antara keharuan dan ketakjuban mendengar kalimat yang keluar dari energi kerendahhatian, kesyukuran, kemerasacukupan dan sangat jauh dari sifat ketamakan.

Sementara aku, masih tak lelah dengan ambisi yang tak bertepi, masih dengan ketamakan yang tak pernah menemukan ujung-ujungnya, masih terpenjara dengan kerasatinggidirian yang ternyata kesemuanya itu hanya memberikan ketidaktenangan yang tak berkesudahan.

Sosok sesederhana yang tertampak itu ternyata mampu membuat seseorang berjalan tertunduk, malu pada keinginan-keinginan liar yang selama ini menghantui dan merisaukan hatinya. Seseorang itu adalah aku, yang terkulai malu oleh kata-kata sederhana yang menyentak di saat yang tepat ketika aku sangat memerlukannya, untuk kembali ke era aku yang dulu.

Tuhan Maha Tahu melalui siapa peringatan-peringatan kebaikan itu akan diberikan kepada yang dikehendaki-Nya. Para penasihat akan kita temui di mana saja, seperti pak Hasan yang aku temui siang ini. Dia memberi contoh nyata, lalu dia mengatakan. Tidak seperti yang kebanyakan kita lihat dan dengar, ungkapan-ungkapan nasihat sering dikatakan mendahului sangat jauh dari tindakan-tindakan nyatanya.

Kisah Iteung, Episode Cantik

"Ibu Cantik, nasinya cukup?" tanya Ibu Kantin sambil menyodorkan piring yang terisi penuh nasi.
"Nggak salah nih, Iteung dipanggil cantik?" hati Iteung setengah percaya setengah nggak.
Ah, sepertinya cuma ilusi aja deh, saking Iteung ngarep dibilang cantik sama orang lain. Selama ini bisa dihitung jari orang yang muji Iteung. Jari jempol aja yang keitung. Satu-satunya orang yang pernah bilang Iteung cantik cuma si Akang. Itupun setelah Iteung acungin palu ke mukanya Akang.
"Ibu Cantik!" suara cempreng ibu Kantin mengagetkan Iteung. Berarti bener kan, Iteung dibilang cantik. Nambah satu jari deh orang yang bilang Iteung cantik.
"Tuh Kang, bener kan Iteung cantik," hati Iteung langsung bersenandung lagunya Kahitna. Ngebayangin Mario Kahitna nyanyi lagu "Cantik" sambil ngasih bunga ke Iteung, bikin Iteung senyum-senyum sendiri. Iteungnya malu-malu sambil muterin badan ke kiri dan kanan. Serasa jadi ABG.
"Bu Cantiiiiik!" teriakan bu Kantin membuyarkan lamunan Iteung.
Mata bu Kantin melotot dan bergerak ke arah belakang Iteung. Seperti kena hipnotis Romi Rafael, badan Iteung berbalik ke belakang. Antrian orang yang mau milih makanan berjejer di belakang Iteung. Kepala mereka kompak geleng-geleng ngeliat kelakuan Iteung. Kayak ngeliat film India.

Daripada panggilan cantik dicabut, Iteung buru-buru nunjukin lauk apa saja yang akan menemani nasi di pagi yang ceria dan bersahabat ini. Karena tqkut aura kecantikan Iteung pudar, Iteung koreksiì permintaan nasi dan lakunya.
"Nasinya kurangin Bu, nggak boleh banyak-banyak sama dokter kecantikan!"
Ibu Kantin mengurangi porsi nasi Iteung sambil menahan rasa mual kayaknya.
"Apa lauknya?"
"Tahu sama sayur sop aja!" jawab Iteung.
"Tumben, biasanya nasi sama lauknya banyak sampe tumpah dari piring," Bu Kantin membocorkan rahasia Iteung.
"Sst....jangan bongkar rahasia!" tangan Iteung ditempel di bibir.

Iteung berlalu dari booth bu Kantin. Orang-orang di barisan belakang memandangi Iteung. Kayaknya mereka kagum dengan kecantikan alami Iteung. Mungkin nanti bakalan banyak yang nanya apa rahasia kecantikan Iteung. Sepertinya Iteung harus bikin sharing session  di kantor untuk menjelaskan tips and trick menjaga kecantikan ala Iteung. Mulai hari ini Iteung harus menjaga sikap biar anggun, jadi kecantikan Iteung paripurna.

Seharian Iteung bolak-balik ke toilet untuk memastikan dandanan tetap oke.
"Bu, kok mondar-mandir ke toilet melulu," Mbak Cleaning Service sepertinya mulai kesel sama Iteung.
"Sembarangan, saya cuma mau memastikan kerjaan kamu beres nggak," ilmu ngeles Iteung keluar. Kalau soal ngeles, Iteung memang jago. Pernah belajar dua semester dulu, ilmu ngeles yang efektif di sekolah kepribadian ganda.

"Mirror, mirror on the wall, Iteung beneran cantik kan?" Iteung pengen memastikan.
"Woi...jangan berisik! Lagi konsentrasi nih," suara dari arah kloset menyadarkan Iteung bahwa cermin tidak bisa dijadikan alat ukur menilai kecantikan seseorang. Untung aja cerminnya nggak pecah.

Besok paginya, Iteung menemui bu Kantin lagi. Kali ini Iteung tampil lebih cantik dan anggun. Busana pun dipilih yang sophisticated.

Iteung antri di belakang.
"Mau makan apa, Cantik?" suara bu Kantin terasa merdu di telinga Iteung.
Iteung langsung lari ke depan antrian.
"Antri, Mbak!" teriak orang-orang di belakang Iteung.
Iteung lihat ibu Kantin melayani orang lain.
"Apa lagi, Cantik?"
"Tambah apa, Ganteng?"
"Lauknya apa, Cantik?"
"Minumnya apa, Ganteng?"
"Terima kasih, Cantik,"
Begitu terus ucapan bu Kantin kepada semua pelanggannya.
"Ibu Cantik, mau makan apa?"
Hilang sudah selera makan Iteung........

Jakarta, 18 Mei 2017


GEMESS (Garing mak kress) : Menuliskan Ide

Supangat sedang giat-giatnya belajar menjadi seorang penulis. Impiannya sejak kecil memang ingin menjadi penulis hebat. Namun karena kesibukan mengejar karir sebagai birokrat, baru akhir-akhir ini dia bisa meluangkan waktunya untuk kembali menekuni dunia tulis menulis. Demi meningkatkan kualitas tulisannya, Supangat juga tak segan untuk mengikuti berbagai pelatihan menulis dari banyak narasumber.

Hingga suatu hari, tanpa diduga di kantor Supangat diadakan pelatihan menulis untuk pegawai yang memang memiliki semangat tinggi untuk membuat karya dari goresan pena (meskipun kini sudah beralih ke keyboard komputer)

Mendengar info tersebut Supangat begitu bersemangat. Tak berpikir dua kali dia langsung menghubungi panitia untuk mendaftar menjadi peserta. Apalagi pembicaranya kali ini adalah seorang penulis yang sudah cukup punya nama.

Singkat cerita, hari itu tiba, Supangat yang sedari rumah sudah berbunga-bunga, segera mengambil bangku terdepan supaya lebih serius menyimak seluruh isi acara. Selama lebih satu jam narasumber menjabarkan berbagai tips dan trik membuat tulisan yang menarik dan disenangi pembaca. Bukan hanya itu, dari materi yang disampaikan juga diselipkan kata-kata motivasi yang sekiranya bisa membuat peserta tergugah untuk mulai mencoba menulis sebanyak-banyaknya.

Saking serunya, Supangat hanya bisa terperangah dengan mulut menganga diiringi anggukan kepala menyimak kalimat demi kalimat dari ahlinya. Dari raut wajahnya tampak rona berseri-seri sambil berimajinasi.

Tibalah saat yang sudah ditunggu-tunggu oleh Supangat, sesi tanya jawab. Di benaknya sudah tercatat pertanyaan yang akan diutarakannya agar dapat diberikan solusi terbaik langsung dari pakarnya. Tak lama dari MC mempersilahkan bertanya, Supangat sudah mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, untungnya sebelum berangkat kantor tadi Supangat tidak lupa mandi dan pakai minyak wangi.

Setelah dipersilahkan, Supangat langsung meraih mic yang sudah disediakan panitia. Setelah memperkenalkan diri, Supangat langsung mengutarakan pertanyaannya.

"Terima kasih atas kesempatannya, saya ingin bertanya Mbak, Jadi begini... " sejenak Supangat menghela nafas.

"Sebagai penulis pemula yang sedang mencoba semangat untuk konsisten menulis, seringkali saya mendapat masalah ketika ingin merealisasikan ide saya. Setiap hari saya selalu ada ide yang ingin saya tulis, tetapi sering kali hanya jadi wacana karena tersita kesibukan yang lain. Mohon pencerahannya Mbak bagaimana tips dan cara menyiasatinya?"
 "Makasih" Supangat menutup pertanyaannya.

Menanggapi pertanyaan Supangat, narasumber yang merupakan seorang wanita muda tampak berpikir sejenak sebelum mengangkat mic ke depan mulutnya.

"Baik, pertama saya apresiasi sekali ini mas Supangat yang selalu punya ide tiap hari karena yang mahal dari sebuah tulisan itu adalah ide nya. Banyak orang bahkan penulis profesional sekalipun yang malah kesulitan mencari ide tulisannya".

"Kalau dari saya mas, mungkin perlu dirasakan lagi seberapa ingin ide yang ada itu ingin Mas Supangat tulis dan sampaikan. Jadi kita harus benar-benar punya keinginan yang besar untuk menuangkan ide kita tersebut."

 "Tips yang mungkin bisa saya sarankan adalah cintai lah objek atau hal-hal dari ide yang Mas Supangat punya. Karena semua orang sudah pasti setuju bahwa jika kita mencintai sesuatu pasti kita akan berkorban dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya."

"Saya kira begitu juga dengan Mas Supangat, kalau Mas Supangat benar-benar mencintai apa yang menjadi ide Mas tadi, pasti akan berusaha sekuat tenaga dan meluangkan waktu untuk bisa menulisnya. Mungkin itu mas yang bisa saya sampaikan"

Narasumber dengan lugas dan jelas menjawab pertanyaan Supangat.

Mendengar jawaban dari pembicara, Supangat tampak malah menundukkan kepala dan mulai menitikkan air mata. Sontak seisi ruangan menjadi bingung, apalagi sang narasumber. Dia jadi salah tingkah dan jadi berfikir apa ada yang salah dengan jawabannya.

"Waduh, Mas apa jawaban saya ada yang salah atau menyinggung? Maaf lho mas" mbak narasumber mencoba mengkonfirmasi

"Ngga kok mbak, ga ada yang salah" jawab Supangat sambil tetap tertunduk.

"Benar yang mbak katakan tadi, kita memang harus benar-benar mencintai ide yang ingin kita tuliskan, tapi mbak... " kalimat dari mulut Supangat terhenti.

"Tapi mbak... masalahnya.... dia sudah punya suami..." Supangat mencoba melanjukan dengan suara yang mulai terasa berat dan air mata yang makin deras.

"Saya benar-benar mencintainya mbak, tapi dia lebih memilih orang lain...makanya saya selalu ga kuat menuliskan ide saya itu" Mas supangat malah terus curhat.

Sesaat kemudian Mas Supangat lari ke pojokan sambil sesenggukan berusaha menahan tangis dan sesekali menyeka air mata. Tamat!



CURCOL SI AKI (Episode II : Hari yang Melelahkan... )

Hari yang melelahkan.....

Pukul 08.30 kami sampai di insitusi penegak hukum. Berarti masih ada waktu setengah jam untuk bersiap-siap karena dalam surat panggilan yang diterima, pemeriksaan akan dilakukan pada pukul 09.00.  Pak Arham melakukan koordinasi dengan petugas penerima tamu sementara kami menunggu di ruang tunggu. Aku melihat ke sekelilingku. Kulihat banyak juga orang-orang yang sering kulihat di televisi sedang duduk menunggu pemeriksaan.. Ada mantan menteri, ada pejabat publik aktif, ada juga pengusaha terkenal. Kelihatannya korupsi di negeri ini telah merambah ke segala penjuru. Semoga saja mereka hanya sebagai saksi yang tidak terlibat dalam kejahatan kerah putih ini.
 Tiba saatnya giliran kami untuk diperiksa. Semua peralatan komunikasi diminta dimasukkan ke dalam locker yang telah disediakan dan selanjutnya kami menuju ruang pemeriksaan.

Ruang pemeriksaan yang cukup kecil menjadi terasa semakin sempit ketika kami berempat  masuk ke dalamnya. Ruang itu hanya berukuran 2x2 m dan di setiap sudut dilengkapi dengan cctv yang mengarah kepada orang yang diperiksa. Tak lama masuk pula 2 orang petugas. Yang seorang memperkenalkan diri sebagai ketua tim pemeriksa dan seorang lagi sebagai anggotanya. Setelah itu kami diminta mengisi formulir yang berisi isian penjelasan identitas kami secara singkat, baik nama, jabatan, tempat tanggal lahir, alamat, dan sebagainya.

“Selamat pagi Bapak-bapak. Bisa minta tolong dijelaskan sedikit apa yang Bapak ketahui mengenai kasus yang sedang kami tangani ini?” tanya Ketua Tim.

“Maaf Pak, saya masih baru menduduki jabatan kasubdit. Saya tidak tahu sama sekali permasalahan apa sebenarnya yang terjadi. Kejadian itu kalau tidak salah saya baca dalam surat panggilan terjadi 8 tahun yang lalu. Sementara saya menjabat baru setahun ini,” kata Pak Rusdi dengan sangat santun. Tak terlihat lagi kegagahan dan kegalakannya yang sering terlihat di kantor.

“Sama Pak, saya juga baru 1,5 tahun ini menjabat sebagai kepala seksi. Sampai saat ini pun saya masih dalam taraf belajar dengan pekerjaan saya ini,” sambung Mas Antok dengan pelan. Tak terlihat lagi sikap kritis dan percaya dirinya yang biasa terlihat sehari-hari.

Ketua Tim Pemeriksa itu mengangguk-angguk sambil membaca formulir yang telah diisi, lalu menatap ke arahku, “Berarti tinggal Saudara Rocky Harzadiwan Ferdino yang memenuhi persyaratan untuk memberikan keterangan. Saudara ada pada saat kejadian dan kalau melihat latar belakang pendidikan Saudara yang sarjana pasti dapat menjelaskan dengan gamblang.”

Aku hanya terdiam dan tidak mengerti apa maksud perkataannya itu.

“Bapak-bapak yang lain kami persilahkan meninggalkan ruangan. Di luar tersedia ruang tunggu apabila Bapak akan menunggu. Akan tetapi apabila Bapak masih ada pekerjaan lain diperkenankan untuk kembali ke kantor dan kami ucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak-bapak. Sementara Saudara Rocky kami tahan dulu disini untuk memberikan keterangan, semoga malam nanti sudah bisa pulang,” lanjut Sang Ketua Tim dan duerr....aku langsung syok mendengar kalimat terakhir yang diucapkannya. “Seingatku aku diminta ikut untuk membantu membawa berkas dan tentu saja ditambah tugas tambahan yang kuajukan sebagai driver dadakan. Mengapa sekarang aku yang diperiksa dan mereka boleh pulang ?” kataku dalam hati.

Pak Rusdi menepuk bahuku dan berkata, “ Tinggal dulu ya Ki.Tolong bantu Bapak-bapak ini menjelaskan. Saya yakin kamu pasti bisa.”

Aku hanya melongo tidak menjawab sambil menatap semua orang termasuk petugas pemeriksa meninggalkan ruangan sempit itu.

Tak lama kemudian dua orang petugas yang berbeda masuk kembali ke dalam ruangan. Duduk manis dihadapanku (meskipun aku merasa sama sekali tidak manis, yang kurasakan malah super kecut dan pahit) kemudian memperkenalkan diri dan memulai pemeriksaan dengan kalimat tanya yang menurutku hanya formalitas belaka. “Saudara Rocky Harzadiwan Ferdino, apakah Anda dalam keadaan sehat dan siap menjalani pemeriksaan pemberian keterangan saat ini?” tanya salah seorang petugas.
Mau tidak mau kujawab “Sehat Pak. Saya siap memberikan keterangan.”
Aku tidak dapat membayangkan seandainya kujawab “ Saya sakit Pak. Saya terpaksa duduk di sini karena keadaan dan nasih buruklah yang membawa saya ke sini.”

Kalau kujawab seperti itu pasti pemeriksaan dihentikan dan bisa-bisa di kantor aku diamuk bukan hanya oleh Pak Rusdi tapi juga oleh Direkturku.

Kembali ke laptop...

Selanjutnya pemeriksa menjelaskan secara singkat kasus yang sedang mereka tangani dan kenapa mereka meminta perwakilan dari unit kerja kami untuk memberikan keterangan. Seperti yang kuduga ternyata diindikasikan terdapat pengeluaran fiktif dalam jumlah yang cukup besar (paling tidak cukup untuk membeli rumah mewah beserta isinya). Mereka juga menunjukkan dokumen-dokumen yang telah mereka peroleh dan yang mengejutkanku dokumen yang mereka miliki jauh lebih lengkap daripada  yang ada padaku. Aku tidak tahu dari mana mereka mendapatkan dokumen-dokumen dimaksud. Selain menunjukan dokumen-dokumen yang mereka miliki, juga ditunjukan orang-orang yang telah mereka periksa yang sebagian besar adalah orang-orang yang kukenal dan sering hadir dalam rapat-rapat yang kami adakan.
Setelah menjelasakan secara singkat kasus yang mereka hadapi mereka mulai mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang menurutku tidak terlalu sulit,  yaitu mengenai prosedur pengalokasian beserta dasar hukumnya. Aku dapat menjelaskan dengan tenang karena suasana yang mereka bangun tidak seperti yang kubayangkan. Selama ini kubayangkan kalau berhubungan dengan aparat dimana kita sebagai “terperiksa” maka yang ada hanyalah bentakan-bentkana, intimidasi, atau sampai seperti yang pernah kubaca di suatu media, dimana ada edisi “injakan kaki” atau “sundutan rokok” dan sejenisnya. Suasana saat pemeriksaan cenderung santai dan lebih mirip dengan diskusi.

Akhirnya edisi diskusi penganggaran selesai juga. Sesi berikutnya cukup memeras otak. Bagaimana tidak, aku harus mengingat-ingat kejadian 8 tahun yang lalu. Siapa saja dan apa peran mereka maisng-masing dalam pengalokasian anggaran untuk kasus yang sedang diselidiki. Belum lagi dalam rapat-rapat yang diadakan ditanyakan siapa saja mitra kerja yang hadir dan apa peranan mereka. Aku sedikit khawatir jangan sampai apa yang kusampaikan tidak sesuai dengan dokumen yang telah mereka peroleh atau aku salah memberikan keterangan yang menyebabkan perubahan nasib seseorang dari “saksi” menjadi “tersangka”. Cara-petugas pemeriksa memberikan pertanyaan masih terlihat santai tetapi pertanyaannya jauh lebih mendalam dan mereka terlihat lebih serius. Beberapa kali aku ditinggal sendiri selama beberapa waktu. Tak jarang pula pertanyaan yang sama diulang-ulang setelah selang beberapa waktu.

“Baiklah Saudara Rocky Harzadiwan Ferdino, karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 diskusi ini kita break dulu, silahkan kalau Saudara akan sholat nanti langsung saja ke musholla. Setelah selesai sholat silahkan kembali ke ruangan ini,” ujar petugas pemeriksa.

“Terima kasih atas bantuannya sejauh ini. Diskusi kita lanjutkan nanti setelah istirahat.,” lanjutnya lagi sambil beranjak dari ruangan.

Aku sebenarnya agak kurang setuju dengan istilah “diskusi” karena setelah sesi pertama selesai selanjutnya pertanyaan hanya searah, mereka bertanya dan aku yang harus menjawab semua pertanyaan. Tidak mungkin aku balik bertanya kepada mereka misalnya, mengenai “apa peranan mereka” atau “dimana mereka waktu kejadian itu” atau “dari mana mereka mendapatkan dokumen-dokumen itu”. Kalau kutanyakan hal itu bisa jadi suasana malah menjadi runyam.

Sewaktu aku keluar ruangan aku terkejut, ternyata Pak Rusdi dan yang lain masih ada di luar.

“Wah, Bapak masih di sini. Saya jadi terharu ditungguin Bapak-bapak,” ujarku tersipu-sipu.

“ Bukan nungguin kamu Ki, tapii... mana kunci mobilnya. Bagaimana kami mau pulang kalau kunci mobil kamu pegang,” jawab Pak Rusdi.

“Hehehehe..” aku tertawa kecut sambil menyerahkan kunci mobil kepada Pak Rusdi.

“Bagaimana tadi di dalam?” tanya Pak Rusdi.

“Aman Pak. Pertanyaan-pertanyaannya hanya sekitar prosedur pengalokasian serta kejadian waktu rapat penelaahan dulu,” jawabku.

“Hanya saja banyak yang lupa Pak. Maklum 8 tahun yang lalu,” tambahku lagi.

“Tenang saja Ki, meski kami tidak bisa masuk tapi kami tetap dukung kamu dari jauh. Semoga lancar dan cepat selesai pemeriksaannya,” kata Pak Rusdi sambil menepuk bahuku.

“Terimak kasih Pak,” jawabku. Kami masih berbincang-bincang sebentar sampai kemudian Pak Rusdi dan yang lain pamit kembali ke kantor.

“Kalau sudah selesai pemeriksaanya, nanti telepon saja. Nanti akan ada yang menjemput kamu kembali ke kantor,” kata Pak Arham.

“Terima kasih Pak,” jawabku.

Setelah aku kembali ke ruangan mungilku yang penuh dengan pajangan CCTV kulihat di atas meja telah tersedia sajian makan siang. Tak seperti yang kubayangkan, menu makan siangnya ternyata jauh lebih menggairahkan dibandingkan nasi kotak di kantor. Aku tak tahu apakah itu betul-betul karena memang menunya yang menarik atau karena aku sedang kelaparan setelah dihujani pertanyaan bertubi-tubi selama hampir 3 jam.

Sesi selanjutnya kalau boleh kesebut sesi "remedial" atau sesi "deja vu". Pada sesi ini pertanyaan yang telah diajukan kembal dilontarkan dengan cara dan bahasa yang berbeda serta secara acak diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan baru. Petugas pemeriksanya pun bergantian dan kadang diselingi dengan menghilangnya pemeriksa dari hadapanku secara mendadak untuk beberapa menit bahkan pernah terjadi aku ditinggal sendiri sampai setengah jam.
Selama masa “break” itu yang terpikiri di benakku bukanlah mengenai pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tetapi justru aku teringat dengan nasib RKA-KL yang harus kuselesaikan. Sedari tadi Pak Rusdi tidak menyampaikan kalau aku mendapat dispensasi penyelesaian kewajibanku karena harus memenuhi panggilan tugas negara ini. Ini berarti mau tidak mau aku harus menyelesaikannya hari ini juga. Meskipun mas Ridho sudah menyanggupi untuk mengambil alih pekerjaanku hari ini tapi aku belum merasa tenang juga. Aku khawatir mas Ridho kesulitan menghadapi mitra kerjaku yang aneh bin ajaib itu.

Akhirnya menjelang maghrib edisi tanya jawab berakhir juga. Tinggal edisi selanjutnya yaitu edisi pemberkasan. Mengingat pemeriksaan yang dilakukan masih dalam tahap penyelidikan maka yang dibuat bukanlah BAP (Berita Acara Pemeriksaan) tetapi semacam surat pernyataan pemberian keterangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan kepada saksi-saksi serta bukti-bukti yang dikumpulkan  baru nanti dapat diputuskan apakah kasus ini dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan dan ditetapkan tersangkanya.

Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yang agak menegangkan bagiku adalah ketika petugas pemeriksa menyodorkan daftar nama yang sebgian aku kenal baik, sebagian lagi aku hanya tahu namanya, bahkan ada yang sama sekali tak kukenal. Pertanyaan yang diajukan adalah siapa saja yang aku kenal, dimana aku mengenalnya, sejauh mana aku mengenalnya, apa yang pernah mereka berikan kepadaku, apa yang pernah aku terima, dan seterusnya dengan kalimat tanya yang berbeda-beda dan berulang-ulang. Tentu saja semua pertanyaan itu kujawab apa adanya dan kalaupun aku lupa kujawab saja apa adanya bahwa aku lupa. Khusus untuk pertanyaan “Apakah Saudara pernah menerima sesuatu ?” dan pertanyaan sejenisnya, tentu saja kujawab apa adanya pula karena memang aku tidak pernah menerima sesuatu apa pun dari mitra kerjaku.

Ketika istirahat menjelang maghrib terdengar seseorang memanggiulku “Bro

Ki, masih betah di sini ?”

Aku menengok, ternyata dari balik sebuah pintu muncul sesosok wajah yang sangat kukenal. Teman sekantorku yang telah memutuskan bermigrasi menjadi bagian dari unit penegak hukum  ini meskipun tugasnya tetap sama dengan tugasnya yang lama, tidak jauh dari menghitung angka-angka.

“Tadi aku sempat ngobrol dengan Pak Rusdi, Pak Arham, dan mas Antok, “ lanjutnya lagi.

“Udah selesai belum ?”

“Belum, tapi katanya tinggal pemberkasan aja,” jawabku.

“Santai sih pemeriksaanya. Mereka juga baik-baik,” lanjutku.

“Ya santailah, kalau kamu kena OTT atau kamu pernah terima sesuatu baru beda rasanya. Kamu merasa gak terlalu tegang karena gak punya salah” katanya pula.

“Bener juga ya,” sahutku sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

“Biasanya dipanggil lagi gak kalau begini? Tadi banyak yang aku lupa. Maklumlah udah 8 tahun yang lalu. Mana aku ingat detail kejadiannya,” tanyaku lagi.

“Tergantung kebutuhan juga sih. Tapi kalau level pelaksana dan gak menerima apapun atau gak liat suatu kejadian yang aneh biasanya jarang dipanggil lagi. Lagian sebenarnya kan bukan kamu yang dipanggil tapi kamu hanya mewakili institusi aja,” jawabnya lagi.

Aku hanya mengangugk-anggukkan kepalaku mendengar jawabannya.

Akhirnya sesi pemberkasan selesai sekitar pk.20.00 dan setelah prosesi penandatanganan surat keterangan dan berbasa-basi sebentar dengan para petugas yang setia menemaniku dari pagi hingga malam harinya akhirnya aku diperkenankan pulang dan diantar sampai ke pintu keluar. Tentu saja dengan sikap mereka yang tak berubah, tetap sopan dan ramah serta tak lupa mengucapkan terima kasih atas bantuanku seharian ini.

Sampai di luar, sesuai arahan Pak Arham agar segera menelepon kalau sesi pemeriksaan telah selesai,  maka kutelepon Pak Arham.

“Assalamualaikum Pak Arham. Ini Rocky Pak. Saya sudah selesai dan sudah boleh pulang Pak.”

“Wah mas Aki, maaf mas...saya sudah pulang. Ini saya sudah di rumah. Di kantor juga sudah pulang semua, jadi kelihatannya tidak ada yang bisa jemput mas Aki. Mas Aki bisa kan pulang sendiri? Tadi dibuatkan surat tugas tidak ? kalau ada surat tugas berarati mas Aki bisa langsung pulang ke rumah. Tidak perlu kembali ke kantor lagi,” Jawab Pak Arham.

Malangnya nasibku, karena rencana awal aku hanya membawakan berkas Pak Rusdi sehingga tidak disiapkan surat tugas buatku. Aku pun tak menyangka harus berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan selama ini.

Selanjutnya kutelepon Pak Rusdi. Ternyata tidak diangkat. Kucoba lagi sampai tiga kali ternyata tidak juga diangkat. Akhirnya kucoba telepon mas Antok.

“Mas, saya sudah selesi nih,” kataku.

“Waduh Ki, aku udah di KRL. Pak Rusdi juga tadi udah pulang duluan. Katanya ada keperluan,” jawab mas Antok.

Hmmm...ini berarti aku harus kembali ke kantor sendiri. Kubuka dompet ternyata aku lupa membawa uang. Kucoba merogoh saku celanaku, ternyata ada terselip beberapa koin seribuan dan limaratusan. Kuhitung 1..2..ada 2 koin seribuan. Lalu... 1..2..3.. ternyata ada 3 koin limaratusan. Jadi total ada uang Rp3.500,0. Pas sekali untuk ongkos naik bus Trans Jakarta.

Sesampainya di kantor aku segera ke ruanganku dan ternyata mas Ridho belum pulang dan masih menungguiku.

“Wah. Akhirnya pulang juga kamu Ki. Hampi aja aku nginep di kantor nunggguin kamu. Ini udah selesai semua mainan kamu,” katanya sambil menyerahkan berkas hasil penelaahan.

“Tadi sudah langsung mereka perbaiki. Besok tinggal kamu selesaikan aja proses administrasinya,” lanjutnya lagi.

“Terima kasih banyak mas. Jadi ngerepotin nih,” jawabku sambil betul-betul terharu atas bantuan mas Ridho. Aku betul-betul bersyukur memiliki teman seperti mas Ridho.

“Santai aja Ki. Gimana tadi di sana. Seru gak ?” tanyanya.

“Seru apanya mas..capeknya itu loh. Seharian ditanya-tanya terus,” kataku.

“Tapi alhamdulillah, udah selesai dan aman tentram damai. Kondisinya tidak seperti yang dibayangkan selama ini. Mereka betul-betul udah profesional kok,” lanjutku lagi.

“Siiplah kalau begitu. Sekarang kita pulang dulu, istirahat. Apalagi kamu seharian nonstop. Besok dilanjut lagi ceritanya,” ujar mas Ridho sambil bersiap-siap untuk pulang.

Setelah kejadian itu aku mencoba mencari informasi mengenai kemungkinan kelanjutan hasil pemeriksaanku. Sebagian besar orang yang kutanya berpendapat tidak akan ada kelanjutan panggilan lagi mengingat yang kutahu hanya sedikit dan jawaban yang dapat kuberikan lebih banyak bersifat normatif dan prosedural saja. Ada teman yang ahli hukum mengatakan kalau aku bukan saksi penting karena sebenarnya aku tidak tahu apa-apa atas kasus tersebut.

Setelah berselang hampir 2 tahun dari kejadian itu dapat kukatakan kalau aku sudah hampir lupa dengan kejadian tersebut. Tiba-tiba...

“Ting..tong..ting..tong...” terdengar ponselku berdering. Kulihat di layar tertera nama istriku yang baru kunikahi 3 bulan yang lalu.

“Assalamu'alaikum... ada apa Honey ?” ujarku menjawab panggilan telepon itu.

Terdengar suara istriku bergetar di seberang sana seolah akan menangis, “ Wa'alaikumsalam, Mas ini Bapak, Ibu sama kakak kakak sedang kumpul di rumah. Waktu sedang ngobrol di teras barusan ada tamu datang pakai seragam. Dia bawa surat panggilan pemeriksaan atas kasus korupsi untuk kamu. Ada apa sebenarnya Mas ?”
Kemudian terdengar pelan isak tangis istriku.

“Haaah...” aku ternganga.

Gerimis Menangis

Bocah kurus yang beringus
Melangkah terus menenteng kardus
Wajah tirus menatap lurus
Terberangus raga tak terurus

Wanita menjelang senja
Bergaya layaknya remaja
Terlupa mahligai keluarga
Terbawa pesona pemuda

Lelaki berkumis yang tak lagi klimis
Hati miris ucap tak digubris
Kekasih manis beri luka mengiris
Mimpi dikais di ujung gerimis


Edisi bengong dalam bus jurusan Senen-Cimone yang ngetem