Iteung mah selalu betah kalau berada di mal. Adem banget. Kalau boleh sih mau bawa kasur dan bantal biar dibolehin tidur di mal. Soalnya di rumah nggak punya pendingin ruangan. Cuma punya kipas angin. Itupun baru nyala kalau udah ditepuk-tepuk bagian atasnya sambil dibacain mantra biar nyala. Anginnya pun bercampur sama debu. Iteung males nyuci kipas angin.
Cuma pak Satpam udah melotot duluan waktu Iteung bawa tenda dan perlengkapan tidur. Padahal cuma semalam Iteung pengen ngerasain tidur di mal yang dingin. Baiklah, Iteung nurut aja deh, daripada pak Satpamnya stress ngadepin Iteung.
Keliling mal rasanya nggak afdol kalo Iteung nggak beli makanan. Buat pencitraan aja kalau udah jalan-jalan di mal. Mau pamer sama ceu Kokom, tetangga sebelah kalau Iteung sudah seperti orang-orang kaya belanja di mal.
Kalau beli baju mah tetep di mang Ujang, tukang kredit dari daerah Singaparna. Jualan mang Ujang mah komplit. Dari mulai daster sampe panci ada. Bisa dicicil sepuluh kali, sehari boleh tiga kali cicilan.
Keluhan mang Ujang adalah, para customer itu kalau mau ambil barang semua muncul didepan rumah. Giliran bayar pada ngumpet, bahkan pura-pura lagi pergi. Kenapa Iteung ngelantur ya?
Di depan toko roti Iteung berhenti sambil celingak celinguk.
"Masuk aja Bunda!" ujar seorang perempuan dengan rok pendek dan celemek putih.
Iteung senyum aja, agak bingung baca nama toko yang susah dibaca dengan lidah Iteung yang terbiasa makan singkong.
"Ada testernya kok, Bunda," sambungnya lagi.
Mendengar kata "tester", alam bawah sadar Iteung langsung bereaksi. Pikiran Iteung menuntun raga memasuki toko roti itu.
"Ini lho, roti isi kacang merah. Paling favorit disini. Coba aja dulu!" si mbak meyakinkan Iteung.
"Biasanya kalau di kampung mah dibikin sayur lho, mbak," ujar Iteung.
Si mbak cuma diam, mungkin kesal juga, ada orang kok noraknya nggak ketulungan.
Iteung nyobain potongan kecil roti. Satu potong belum berasa enaknya. Potongan kedua mulai kerasa kacang merahnya, potongan ketiga baru pas rasanya.
"Iya mbak, enak rotinya," suara Iteung keluar nggak jelas karena mulut masih penuh roti.
"Mau ambil berapa, Bunda?" si Mbak minta kepastian Iteung. Sepertinya Mbaknya pengalaman digantungin sama cowok deh.
"Sebentar...." Iteung melangkah ke sisi sebaliknya.
"Ini rasa apa, Mbak?"
"Rasa orange, Bunda," si Mbak masih sabar.
Iteung ambil tiga potong kecil roti. Rasanya memang enak. Wajah si Mbak mulai prihatin ngelihat Iteung.
Iteung muter lagi nyari roti rasa yang lain. Semuanya enak.
"Kalau ini rasa apa, Mbak?" ini potongan terakhir yang akan Iteung cobain.
"Itu rasa kesal yang tertinggal di hati ," ujar si Mbak sambil cemberut.
"Jangan cemberut Mbak, nanti susah dapet jodoh."
Muka si Mbak tambah serem. Alisnya naik. Baki yang dipegang diayun-ayun.
"Ibu mau beli yang mana?"
"Nggak jadi Mbak. Saya udah kenyang," Iteung tutup wajah pake tas takutnya baki mendarat di kepala Iteung.
Si mbak udah nggak tahan lagi sama Iteung. Iteung digiring keluar dari toko roti.
"Pertanyaan terakhir Mbak. Ada tester minuman nggak?"
Si Mbak menangis keras di pojokan mal sambil garuk-garuk tembok.
Jakarta, 12 Mei 2017
Cuma pak Satpam udah melotot duluan waktu Iteung bawa tenda dan perlengkapan tidur. Padahal cuma semalam Iteung pengen ngerasain tidur di mal yang dingin. Baiklah, Iteung nurut aja deh, daripada pak Satpamnya stress ngadepin Iteung.
Keliling mal rasanya nggak afdol kalo Iteung nggak beli makanan. Buat pencitraan aja kalau udah jalan-jalan di mal. Mau pamer sama ceu Kokom, tetangga sebelah kalau Iteung sudah seperti orang-orang kaya belanja di mal.
Kalau beli baju mah tetep di mang Ujang, tukang kredit dari daerah Singaparna. Jualan mang Ujang mah komplit. Dari mulai daster sampe panci ada. Bisa dicicil sepuluh kali, sehari boleh tiga kali cicilan.
Keluhan mang Ujang adalah, para customer itu kalau mau ambil barang semua muncul didepan rumah. Giliran bayar pada ngumpet, bahkan pura-pura lagi pergi. Kenapa Iteung ngelantur ya?
Di depan toko roti Iteung berhenti sambil celingak celinguk.
"Masuk aja Bunda!" ujar seorang perempuan dengan rok pendek dan celemek putih.
Iteung senyum aja, agak bingung baca nama toko yang susah dibaca dengan lidah Iteung yang terbiasa makan singkong.
"Ada testernya kok, Bunda," sambungnya lagi.
Mendengar kata "tester", alam bawah sadar Iteung langsung bereaksi. Pikiran Iteung menuntun raga memasuki toko roti itu.
"Ini lho, roti isi kacang merah. Paling favorit disini. Coba aja dulu!" si mbak meyakinkan Iteung.
"Biasanya kalau di kampung mah dibikin sayur lho, mbak," ujar Iteung.
Si mbak cuma diam, mungkin kesal juga, ada orang kok noraknya nggak ketulungan.
Iteung nyobain potongan kecil roti. Satu potong belum berasa enaknya. Potongan kedua mulai kerasa kacang merahnya, potongan ketiga baru pas rasanya.
"Iya mbak, enak rotinya," suara Iteung keluar nggak jelas karena mulut masih penuh roti.
"Mau ambil berapa, Bunda?" si Mbak minta kepastian Iteung. Sepertinya Mbaknya pengalaman digantungin sama cowok deh.
"Sebentar...." Iteung melangkah ke sisi sebaliknya.
"Ini rasa apa, Mbak?"
"Rasa orange, Bunda," si Mbak masih sabar.
Iteung ambil tiga potong kecil roti. Rasanya memang enak. Wajah si Mbak mulai prihatin ngelihat Iteung.
Iteung muter lagi nyari roti rasa yang lain. Semuanya enak.
"Kalau ini rasa apa, Mbak?" ini potongan terakhir yang akan Iteung cobain.
"Itu rasa kesal yang tertinggal di hati ," ujar si Mbak sambil cemberut.
"Jangan cemberut Mbak, nanti susah dapet jodoh."
Muka si Mbak tambah serem. Alisnya naik. Baki yang dipegang diayun-ayun.
"Ibu mau beli yang mana?"
"Nggak jadi Mbak. Saya udah kenyang," Iteung tutup wajah pake tas takutnya baki mendarat di kepala Iteung.
Si mbak udah nggak tahan lagi sama Iteung. Iteung digiring keluar dari toko roti.
"Pertanyaan terakhir Mbak. Ada tester minuman nggak?"
Si Mbak menangis keras di pojokan mal sambil garuk-garuk tembok.
Jakarta, 12 Mei 2017