Cinta Tak Bertepi


Cinta tak bertepi
Bisu dalam kata, sepi dalam canda
Selaksa pengorbanan tlah terbukti
Terpatri dalam bilur kebahagiaan
Dalam naungan ridho Ilahi

Cinta tak bertepi
Terdiam dalam keabadian
Tertunduk dalam kuasa Ilahi
Menanti panggilan Sang Kholiq
Tuk menyatu kembali dalam surga-Nya


Teruntuk kedua orang tuaku yang cinta mereka tak pupus sampai Sang Khaliq memisahkan dan semoga menyatu kembali di surga-Nya nanti.

Edisi nyekar 09052017

Sang Penggoda



Seyummu adalah keranda emas jiwaku
Hanya memberi sunyi tak bertepi
Matamu adalah belati tak kenal kasih
Menikam hati putih tanpa peduli

Lalu kucoba kobarkan nyali
Nyalakan api di hati
Ternyata engkau matahari

Kutumpahkan air mata di jiwa
Engkau menjelma samudera

Bagimu semua, biasa..
Angin yang tak pernah merasa

E0102

RUMAH HARAPAN, Nestapa Aldo

"Wah...lo goblok deh! Awas deh mampus lo!" ujar seorang anak yang dari suaranya kukenal sepertinya Aldo.
"Awas lo, kalo macem-macem gua bunuh lo!" kembali Aldo berteriak.
Aku terperangah mendengar umpatan-umpatan yang keluar dari mulut Aldo. Aldo masih berusia sepuluh tahun dan duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar.
Kuperhatikan memang Aldo sering mengeluarkan umpatan-umpatan kasar yang tak pantas. Namun, malam itu aku hanya ingin membimbing anak-anak belajar Bahasa Inggris saja. Aku belum kepikiran ngobrol dengan Aldo.

Suatu hari, aku ajak anakku, Aldo dan beberapa anggota kelompok belajar pergi ke Kebun Binatang. Niatku untuk sekali-kali membawa anak-anak jalan-jalan. Aku ingin mereka memiliki pengalaman yang tak akan terlupakan sampai mereka besar nanti.

Sepanjang perjalanan, anak-anak itu bercerita tentang berbagai hal. Mulai dari sekolah, teman-teman mereka sampai soal olahraga. Sesekali kudengar umpatan Aldo apabila ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya.

"Ini lho tempat kerja emak gua," ujar Aldo tiba-tiba ketika kami melewati sebuah mal.
"Di sebelah mana?" tanyaku memancing.
"Itu lho Pak, di dekat lift. Emak saya jualan kosmetik," jawab Aldo.
"Kalau Bapak kamu kerja dimana, do?" aku melanjutkan.
"Bapak saya udah meninggal!" jawab Aldo datar.
Aku agak kaget. Puzzle yang selama ini memenuhi pikiranku tentang Aldo mulai terkumpul.
"Waktu itu kamu umur berapa?" aku kembali bertanya.
"Bapak saya yang pertama meninggal waktu saya berumur tiga tahun," jawab Aldo.
Perasaan heran memenuhi pikiranku. Kupandangi wajah Aldo yang memandang keluar jendela mobil. Aku tak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Aldo.
"Terus?"
"Bapak saya yang kedua meninggal waktu saya berumur tujuh tahun," balas Aldo dengan muka yang tanpa ekspresi.
Hati saya menjerit mendengar penjelasan Aldo. Anak seumur Aldo sudah mengalami masalah yang berat. Kulihat pula anakku dan teman-temannya yang terdiam mendengar cerita Aldo. Aku tak sanggup membayangkan kalau masalah yang terjadi pada Aldo menimpa anakku.
"Sabar ya, do!" hanya itu yang bisa aku ucapkan.
"Nggak apa-apa pak. Jalanin aja," Aldo berbicara layaknya orang dewasa.
"Berat nian bebanmu, do," aku berbicara dalam hati.

Aku juga mendapati kenyataan, kalau Aldo dan ibunya tinggal di sebuah rumah besar milik majikan ibunya bersama banyak penghuni lain. Penghuni rumah itu dari berbagai macam karakter dan semuanya adalah orang dewasa.

Aku baru mengerti kenapa Aldo sering mengeluarkan kata yang tidak pantas. Aldo sering bergaul dengan orang-orang dewasa di rumahnya. Itu membentuk karakter Aldo menjadi seperti ini.

Dengan seringnya Aldo bermain dan belajar bersama teman-temannya di rumahku, aku yakin perlahan-lahan Aldo akan bersikap sesuai dengan usianya.

Harapanku, suatu saat Aldo akan menjadi anak yang hebat dengan kepribadian yang kuat.

Aku akan berusaha mewujudkan harapan itu.

Jakarta, 10 Mei 2017




Bunda

Terkenang belaian lembutmu tatkala kecil
Betapa sabar engkau mendidik kami

Terkenang senyuman hangatmu dikala santai
Betapa ramah dan bersahaja engkau mengasuh kami

Terkenang cerita seru saat kami kecil
Betapa bibir tipismu sangat lancar bercerita

Terkenang sosok tanpa pamrih bekerja demi keluarga
Betapa kuat energi yang engkau miliki

Jika kami boleh menghidupkan dan kembali ke masa lalu
Betapa kami ingin meminta maaf atas kekonyolan dan kebodohan saat itu

Perkenankan kami tetap mendoakan bunda yang telah tiada
Agar jiwa raga ini tetap kekal dan abadi di alam surgawi nanti



Reflkesi batin atas almarhum bunda
Sungguh berbuat berbaiklah saat beliau masih ada
Jakarta, 10 Mei 2017


Puisi ini dapat juga dilihat di https://rulyardiansyah.blogspot.co.id/

Menanti Tram Bersama Teman Bersayap




"good morning, birdie" (foto pribadi)


Hari masih pagi,
udara terasa jernih dan sejuk
Kulihat ke kiri dan ke kanan
tiada seorang pun

Tapi ada dia,
diam-diam di sebelahku
Menganggukkan kepala,
mengibaskan sayapnya

“Hai,” sapaku,
dijawabnya dengan kedipan
Seolah ia pun ingin bertanya,
“Mengapa sepagi ini kamu di sini?”

“Ke mana semua orang?”
Mungkin … berkemul dalam selimut,
menyeduh kopi panas,
atau … menikmati setangkup roti bakar

Sang burung tetap bertengger
Sementara mataku tertuju ke dedaunan
yang melayang-layang tertiup angin
ada yang kuning, merah, dan jingga …
semua cantik

Pohon-pohon meranggas
Butir apel berjatuhan
Semua seperti terbuat dari emas …
awan, langit, dan rerumputan
sungai pun berkerlip-kerlip

Sayup-sayup di kejauhan
terdengar suara listrik dan besi bergesekan
seperti ketukan halus router wifi
yang sekali-sekali tertangkap gendang telingaku
di malam yang sunyi

Nun jauh di sana …
kelap-kelip kaca jendela tram
pantulkan sinar mentari,
menjelangku bagai kilat di pagi hari

Suara decitan rel menyentak keasyikan kawanku
ditolehkan kepalanya ke asal decitan itu …
dalam sekejap, sayapnya terkembang
ia pun menghilang di angkasa
sebelum kumelangkah masuk
ke dalam tram di pagi itu






Menjemput Cinta (Bagian Kedua)


Pagi itu suasana sekolah berlantai tiga yang berada dipinggir jalan raya terlihat ramai. Beberapa murid yang baru tiba segera masuk melalui gerbang utama. Disamping kanan terdapat sebuah lapangan olahraga yang cukup luas. Sekelompok murid terlihat sedang duduk santai di bawah pohon yang berada dipinggir lapangan sambil bercengkerama.
Mobil yang dikendarai Bram berhenti didepan gerbang utama sekolah. Beberapa detik kemudian Ratih membuka pintu mobil lalu pamit kepada kakaknya. Setelah memastikan adiknya masuk, Bram melanjutkan perjalanan menuju toko.
‘Toko Pakaian - Barokah, menyediakan Pakaian Muslim/Muslimah dan perlengkapan shalat’, demikian isi tulisan yang menempel pada sebuah Papan Nama di atas pintu toko. Pagi itu pelanggan mulai ramai berkunjung. Beberapa dari mereka membeli perlengkapan shalat maupun busana muslim. Bram turut melayani, sesekali ia yang mengambil barang permintaan pelanggan. Ditengah kesibukannya, tanpa ia sadari seorang wanita membuka pintu toko kemudian menyapa Bram.
Dialah Kinasih, seorang wanita berparas cantik dengan balutan busana muslimah yang terlihat fashionable. Kecantikannya membuat siapapun yang memandangnya merasakan keteduhan.
“Assalamu’alaykum, permisi mas, saya mau mencari jilbab dengan model seperti ini” tanya Kinasih sambil memperlihatkan gambar contoh jilbab yang sedang dicari.
“Wa’alaykumsalam, oh… ada Mba, mohon ditunggu” jawab Bram kemudian berjalan menuju lemari kaca disudut ruangan toko.
Ketika Bram sedang mengambil barang, salah satu pegawainya menyapa Kinasih. Rupanya ia sudah sangat mengenalnya. 
Beberapa saat kemudian…
“Ini koleksi jilbabnya, Mba, silahkan dipilih warna atau corak yang Mba inginkan?” ucap Bram kemudian sambil menyodorkan koleksi jilbab yang masih terbungkus rapih di dalam kantong plastik bening.
Setelah melihat satu persatu, Kinasih menetapkan pilihannya.
“Saya pilih yang ini saja, berapa harganya?” tanya Kinasih kemudian.
“tujuh puluh ribu, Mba” jawab Bram dengan senyum yang terlihat agak canggung.
“Baik, saya ambil tiga” ujar Kinasih sambil tersenyum.
Bram segera membungkus jilbab pilihan Kinasih lalu menyerahkannya.
Setelah memberikan sejumlah uang kepada Bram, Kinasih pamit.
“Terimakasih sudah bersedia berkunjung ke toko kami. Semoga pelayanan kami tidak mengecewakan” ucap Bram yang berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
Mendengar ucapan Bram, Kinasih tersenyum kemudian segera balik badan menuju pintu. Bram yang sedari awal terlihat canggung hanya terdiam ditempat dimana dia berdiri, dan baru tersadar setelah salah satu  pegawai memanggilnya.
 Kehadiran Kinasih rupanya mengusik hati Bram. Entah kenapa jantungnya terasa berdebar. Bahkan hingga menjelang sore, pikirannya selalu tertuju pada sosok Kinasih. Bram berusaha mengusir perasaan itu, namun rasa itu terlalu kuat menancap di hatinya.
Menjelang sore, Bram pamit pada para pegawai untuk menjemput adiknya. Beberapa saat kemudian mobil yang dikendarai Bram meluncur menuju sekolah. Sesampainya di depan gerbang utama, Ratih sudah menunggu. Kemudian keduanya meluncur pulang.
Malam hari setelah shalat Isya berjama’ah di masjid, Bram pulang lalu pamit kepada Ibunya untuk masuk kamar. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil menatap langit kamar. Sesekali ia terlihat tersenyum seperti ada sesuatu yang menggodanya. Beberapa menit kemudian ia mematikan lampur, berdoa lalu tertidur hingga waktu subuh menyapa.
Sejak Kinasih berkunjung ke toko beberapa hari yang lalu, kini Bram sering terlihat termenung. Sesekali tatapannya menuju ke arah pintu toko seperti sedang menantikan kehadiran seseorang. Tanpa ia sadari, salah satu pegawainya yang senior perlahan mengamati perubahan perilaku Bram. Kemudian si pegawai memberanikan diri untuk bertanya.
“Pak Bram, mohon maaf sebelumnya, boleh saya izin bertanya sesuatu?”
“Oh… silahkan, Mas” jawab bram sedikit terkejut.
“Akhir-akhir ini, Pak Bram saya perhatikan sering termenung. Apakah ada sesuatu yang menggangu pikiran Pak Bram?”
“Oh… Alhamdulillaah ndak, Mas,  semua berjalan normal seperti biasa” jawab Bram sambil tersenyum meyakinkan karyawannya.
“Syukurlah, saya hanya khawatir kalau Pak Bram sedang dalam masalah”
“Terimakasih atas perhatiannya, kamu memang karyawan saya yang baik” ujar Bram memuji.
“Kalau gitu, saya izin melanjutkan pekerjaan Pak!”
“Ya… ya… silahkan, saya juga mau keluar toko sebentar, mau menanyakan pesanan gamis di toko Bahagia”  kata Bram sambil berjalan menuju pintu toko.
Namun, ketika Bram hendak membuka pintu toko, tanpa ia sadari Kinasih sudah berdiri dibalik pintu sehingga Bram hampir menubruknya.
“Astaghfirullaah, maaf Mba, maaf… saya ndak melihat ada mba dibalik pintu” ucap Bram penuh penyesalan.
“Ndak apa, Mas, saya yang salah, harusnya saya menunggu Mas keluar dahulu” jawab Kinasih sambil tersenyum menahan tawa.
“Silahkan masuk, Mba. Ada pegawai saya yang akan melayani. Saya keluar dulu mengambil barang pesanan” ucap Bram dengan rasa malu yang disembunyikan.
“Terimakasih, Mas, silahkan” jawab Kinasih kemudian.
Kunjungan Kinasih di toko untuk yang kedua kali membuat Bram semakin salah tingkah. Jantungnya kembali berdebar, bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Jika saat itu ada orang yang memperhatikan wajah Bram, maka ia akan menemukan adanya perubahan warna kulit di wajahnya yang putih bersih.
Apakah Bram sedang jatuh cinta pada pandangan kedua?

***

Nurani

Jangan terus sinari aku, Tuan
Pinjamkan saja aku lentera
Bukan untuk menerangi perjalanan ini
Tetapi untuk menemukan lenteraku sendiri

J1116

Bidadari dan Permaisuri dari Surga

Duhai Bidadari ku …
Engkau bukanlah pendamping yang sempurna
Engkau bukanlah pendamping secantik model “Victoria Secret
Tapi engkaulah ibu dari anak-anakku

Duhai Bidadariku …
Engkau bukanlah pasangan yang sempurna
Engkau bukanlah pasangan dari kalangan elit dan jet set
Bukanlah pasangan Pangeran William dan Kate Middleton
Tapi pasangan yang saling melengkapi dalam duka dan suka

Duhai Permaisuriku …
Engkau bukan pendamping yang berasal dari kerajaan
Engkau bukan berasal dari dunia antah barantah
Tapi kehadiranmu melengkapi hidup ku yang sederhana

Duhai Permaisuriku …
Engkau hadir karena ikatan janji suci
Engkau ada karena ciptaan Ilahi
Kita bersama karena ketidaksempurnaan

Duhai Bidadariku dan Permaisuriku …
Kita jalani kehidupan dengan keniscayaan
Kita arungi bahtera kehidupan dengan kekurangan
Mari kita lengkapi segalanya menuju surgawi Ilahi


Tulisan ini dapat juga dilihat di https://rulyardiansyah.blogspot.co.id