“Jika cinta datang terlambat, jangan pernah ragu untuk menjemputnya”
“Mas, Aku minta maaf karena sering merepotkan kamu”.
“Ndak apa, Dek, Mas sangat senang kalau kamu masih
mempercayai Mas menjaga Kinanti. Selagi Mas dikaruniai kesehatan, mas akan
menjaganya disaat kamu pergi bekerja. Lagipula, disini juga tidak ada anak
kecil. Ibu dan Ratih juga sayang dengan Kinanti, kata mereka, Kinanti sudah
seperti cucu dan keponakan sendiri”.
Setelah mendapat penjelasan Bram yang menyejukan hatinya,
Kinasih hendak pamit. Sebelum melangkah keluar dari halaman rumah yang disisi
kanan dan kirinya ditumbuhi rumput serta tanaman bunga beraneka warna, Kinasih
mencium pipi dan kening Kinanti, puteri satu-satunya yang baru
berusia dua tahun.
“Ibu pamit ya sayang, Kinanti ndak boleh cengeng apalagi
nakal, kasian nanti om Bramnya jadi repot” tutur Kinasih kepada puterinya penuh
kasih sayang sambil sesekali pandangannya menangkap wajah Bram.
"Aku pamit, Mas. Terimakasih atas kebaikan Mas selama
ini. Tolong sampaikan salamku untuk Ibu dan Ratih", ucap Kinasih sambil
berlalu pergi.
Bram yang sedang menggendong Kinanti menatap Kinasih,
mengangguk dan memberikan senyumannya yang tulus.
Kinasih yang telah pamit segera melangkah keluar halaman. Tanpa
disadari olehnya, pandangan mata Bram terus tertuju kepadanya, menatap Kinasih
hingga sosoknya menghilang di ujung jalan.
Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Bram saat itu. Pemuda tampan
tersebut terlihat seperti sedang memendam suatu rasa yang sulit untuk di
ungkapkan.
***
Beberapa tahun sebelumnya.
Matahari baru saja naik dari peraduannya. Udara dingin
menyelimuti desa yang lokasinya berada di kaki gunung. Kicauan burung yang
indah turut meramaikan suasana. Pagi itu penduduk desa memulai melakukan
aktifitasnya. Ada yang pergi ke sawah, berladang, sekolah atau kuliah, ke
pasar, maupun sekedar membersihkan halaman rumah dan jalan dari daun kering
yang jatuh dari pepohonan.
Disebuah rumah dengan pekarangan rumput hijau serta tanaman
bunga yang beraneka warna, sejak sebelum adzan subuh berkumandang penghuni rumah tersebut sudah terbangun. Bram memulai hari dengan shalat subuh berjamaah di masjid yang
lokasinya tidak jauh dari rumahnya. Ia tinggal bersama Ibu dan Ratih, adik
satu-satunya. Sedangkan sang Ayah telah wafat ketika ia baru saja lulus
dari sebuah Perguruan Tinggi. Sejak saat itu, ia menjadi tulang punggung
keluarga menggantikan peran sang Ayah.
Bram adalah sosok lelaki idaman. Selain
postur tubuhnya yang gagah serta wajahnya yang tampan, ia juga memiliki perilaku
yang baik. Tidak heran jika Bram menjadi idola para gadis di Desanya. Tetangga dan teman-temannya memberikan julukan ‘pemuda tampan
nan sholeh’ kepadanya. Ia juga merupakan
sosok pemuda yang tekun dalam menjalankan usaha dagang pakaian muslim dan muslimah di
Pasar. Karena kegigihannya, usaha dagang yang dirintis sejak ia lulus Sekolah
Menengah Kejuruan tersebut terus berkembang hingga ia bisa membangun sebuah toko pakaian
yang cukup besar dan lengkap, serta memberdayakan karyawan sebanyak empat orang. Dari usahanya itulah
ia mampu menafkahi Ibu dan adiknya.
“Bu, Bram pamit, mohon do’a Ibu” ucap bram sambil mencium
tangan Ibunya.
“Hati-hati di jalan, Bram. Oh iya, adikmu bilang dia ada
latihan menari sama kawan-kawannya siang nanti di Sekolah, mungkin sampai sore
latihannya. Nanti tolong sekalian kamu jemput Ratih ya, Bram” kata ibu
mengingatkan.
“Iya Bu, nanti Bram jemput" jawab Bram.
"Dek, ayo kita berangkat! Dandannya jangan lama-lama, nanti terlambat
loh!” teriak Bram memanggil Ratih yang masih berdiri di depan cermin.
“Iya sebentar lagi, Mas” jawab ratih setengah teriak dari
dalam kamarnya.
Beberap detik kemudian Ratih keluar, mengambil sepatu,
memakainya lalu pamit.
“Ratih berangkat ya Bu, do’ain Ratih biar ulangan pagi ini
bisa dikerjakan dengan mudah”.
“Amiin, yang penting gak boleh nyontek ya, Dek!” ujar Bram
meledek sambil masuk kedalam mobil untuk memanaskan mesin kendaraan.
“huuuh, mana mungkin adik Mas yang cantik ini berbuat tidak
jujur” jawab ratih membela diri.
“Sudah-sudah, cepat jalan, nanti kamu terlambat sampai
sekolah” ucap Ibu menengahi sambil tertawa.
“Assalamu’alaykum…” Bram dan Ratih kompak mengucapkan salam.
Sang Ibu
Menjawab ucapan salam sambil tersenyum, menatap kedua buah hatinya dengan penuh rasa syukur.
Beberapa detik kemudian mobil yang dikendarai Bram keluar halaman dan menghilang
di ujung jalan.
(Bersambung)