GEMESS (Garing mak Kress) : Anak Kebanggaan

Alkisah di sebuah kota metropolitan terdampar seorang anak perantauan ingusan bernama Paijo. Paijo anak tunggal berasal dari desa kecil di timur pulau jawa. Dia pergi jauh dari orang tua demi bisa mencari nafkah. Ibunya sangat berat melepasnya. Air mengalir dari mata yang masih sembab dari semalam saat prosesi pamitan.

Singkat cerita, Paijo berhasil jadi karyawan sukses di salah satu kantor pemerintahan. Sebagai persiapan mudik ke kampung, Paijo membelikan baju gamis panjang warna putih plus jilbab buat ibunya. Agar pas lebaran nanti ibunya dipanggil "Bu Haji".

Lebaran pun hampir tiba dan Paijo sudah kembali ke kampung halamannya dengan status "pria sukses". Setelah sungkem ke ibunya, bergegas dibukanya tas ransel merk ternama kebanggaannya.

"Mbok, ini aku beliin baju gamis buat sholat ied lusa" Paijo menyodorkan bungkusan plastik transparan dengan label harga yang masih terpampang.

"Ini merk mahal lho Mbok" tambah Paijo membanggakan.

"Aduh le.. thole... ibu ga suka baju warna putih gini... cepet kotor" sang ibu ternyata kurang puas dengan oleh-oleh dari Paijo

"Oalaah.. ibu ga bilang sih... tapi tenang Bu, besok aku beliin lagi di pasar depan... aku pilihin yang paling mahal"

"Waah.. beneran le? kowe banyak duit tho? " Wajah ibunya mendadak berubah jadi sumringah

"Tenang bu... Aku saiki wis sugih" Paijo membusungkan dada

Akhirnya keesokan harinya Paijo mencari-cari gamis sesuai keinginan ibunya. Setelah putar-putar pasar, pilihan jatuh pada gamis panjang warna hitam dengan harga paling mahal.

"Ibu pasti suka kali ini" batin Paijo

Ternyata benar, ibunya sangat senang dibelikan gamis hitam panjang.

"Nah ini baru pas... warna hitam... favorit ibu... ga gampang kotor jadi ga perlu sering-sering dicuci" sang ibu tersenyum lebar membentangkan gamis yang baru saja dibelikan.

Keesokan hari setelah sholat ied dan salam-salaman, sambil makan ketupat, Paijo dan keluarga berbincang bersama.

"Paijo ini emang kebanggan si mbok dari dulu" ujar ibu Paijo singkat sembari masih memakai gamis hitam pemberian Paijo dan menyendok makanan.

Seketika Paijo jadi membesar kepalanya.  "Pasti ini karena aku uda sukses dan bisa membelikan ibu baju mahal" Paijo sombong dalam hati.

"Ah ibu, itu kan cuma baju aja.. ga seberapa harganya" Paijo mencoba rendah hati tapi dengan wajah yang masih tampak angkuh

"Eh.. bukan itu le, si mbok bangga bukan karena itu" Ibu Paijo membantah.

"Ooh.. bangga kenapa mbok?" Paijo penasaran.

"Iya, si mbok dari kowe cilik selalu membangga-banggakan kowe di depan teman teman si mbok" Ibu Paijo memulai ceritanya.

"Karena di antara kami semua cuma si mbok yang anaknya ga gampang kotor" Ibu Paijo melanjutkan sambil nyengir

Apalah Bedanya

apalah bedanya kematian
dengan hidup
yang tanpa saling sapa
dengan hidup
yang tanpa berbagi berita

apalah bedanya kematian
dengan hidup
yang rindunya tak pernah reda

apalah bedanya kematian
dengan hidup
yang tanpa berbantu derita
dengan hidup
yang tanpa kemarahan tentang angkara

apalah bedanya kematian
dengan hidup
yang tanpa kehidupan

*pekalongan 5 mei 2017

Quarantine

Ketika mendengar kata (Karantina) / Quarantine, apa yang terlintas di benak anda? Mungkin orang dengan penyakit menular (infected desease) seperti lepra, cacar air (smallpox) atau tuberculosis (TBC)?

Tapi tahukah anda darimana kata Karantina berasal?

Kata Karantina berasal dari bahasa Italia, tepatnya dialek Venesia yaitu ‘quaranta giorni’, yang berarti “empat puluh hari”. Hal ini berasal dari sejarah ketika kapal-kapal dan orang-orang dilakukan isolasi selama 40 hari sebelum memasuki kota Dubrovnik di Kroatia (saat itu Kroatia dikuasai oleh Italia). Praktik ini dilakukan sebagai upaya pencegahan penularan penyakit yang disebut dengan The Black Death.































































































































































































































































































































































































Kekasih


Ketika kau memiliki sayap, sedang aku tidak
Melarangmu terbang karena khawatir engkau jatuh
adalah ketakutanku bukan ketakutanmu

Sayap-sayapmu menawarkan banyak kebebasan
mengarungi luasnya angkasa dan melihat dunia
Dan sebuah tanya memberat di kepala
Bagaimana nantinya engkau memandang tempatmu bermula?

Pada waktu, kulihat diriku
Apakah ketakutanku akan menarikmu
atau peluang kebebasanmu mampu mengangkatku?
Meninggikan sangkar atau membiarkanmu keluar?


Pada cinta kutemukan jawabnya
Akan kurelakan engkau bebas terbang melayang
dan aku akan menjadi tempat yang paling engkau inginkan
untuk selalu kembali pulang

cinta yang mengikat
adalah juga cinta yang membebaskan

J0515

a d a s e n j a

ada kalanya senja berdebu
ada kalanya senja diam saja dalam kamar
ada kalanya senja berkeringat sebab berlarian di sepanjang lorong ini
ada kalanya juga ia bisu.
namun senja,
selalu saja terbelenggu mantra,
yang bernama "rindu"

Kisah Si Pembuat Kopi

Pintu pagar terdengar sedikit berdecit karena mungkin kurang pelumas. Bunyi itu jadi tanda buat Mbak Surti bahwa majikannya Pak Sudi telah pulang dari mencari nafkah. Seperti kebiasaan tiap hari, Mbak Surti langsung bergerak dari depan tv menuju dapur dan mengambil panci. Dikucurkan air mineral dari dispenser ke dalam panci kemudian segera dipanaskan di atas kobaran api.

Gagang pintu nampak dibuka dengan sedikit keras mirip didobrak. Pak Sudi nampak masuk ke ruang rumah yang sudah sepi. Belum lagi dia mencari sang istri, sudah keluar suara lantang dari tenggorokan, "Surtiii... buatin kopiii !!"

"Injih ndoro... ini sedang saya rebus airnya" jawab surti dari balik ruang dapur.

Mendengar jawaban Mbak Surti, Pak Sudi sedikit bergegas melangkahkan kaki ke dapur. Sembari melongok dari balik tembok Pak Sudi mencoba memberi instruksi, "Ingat ya Surti... jangan terlalu manis"

"Injih ndoro.. " Mbak Surti hanya mengangguk sambil menunduk

Meski injah injih saja di mulutnya, sebenarnya di benaknya Mbak Surti berpikir keras bagaimana memenuhi perintah majikannya tadi. Ya, instruksinya hanya 'jangan terlalu manis". Padahal 'manis' tentu tergantung pada lidah dan perasaan masing-masing individu. Ini ditambah lagi kata "terlalu". Bagaimana menakar kadar "manis" itu sudah menjadi "terlalu" atau belum karena hanya Rhoma Irama yang bisa tau dengan pasti.

Itulah permasalahan pelik Mbak Surti tiap malam. Meski sudah perintah rutin sehari-hari, tapi selalu saja ada yang kurang memuaskan di mata majikannya. Tapi karena hanya seorang pembantu ya Mbak Surti hanya bisa melaksanakan perintah dan pasrah jika majikannya marah-marah.

Sambil mempersiapkan mental, Mbak Surti berjalan menyuguhkan kopi racikannya yang menurut dia dan pengalaman sebelumnya sudah masuk kategori "tidak terlalu manis".
Diletakkannya cangkir di atas meja di depan Pak Sudi yang sedang melepas sepatu dan kaos kaki.

Diseruput kopi yang masih tampak berasap itu oleh Pak Sudi, sedangkan Mbak Surti masih berdiri dengan nampan di pelukan menunggui. Mbak Surti memang diperintahkan untuk tidak langsung pergi setelah menyuguhkan kopi, agar Pak Sudi bisa mengomentari (kata halus dari memarahi).

"bbbhh... pahit banget kopinya, Surtiii uda berapa kali saya bilang, saya maunya jangan terlalu manis bukan berarti ga manis kan?" bentak Pak sudi sambil menyemburkan kopi yang sudah sempat diseruputnya.

"Sudah kamu kasih gula belum ini? jangan-jangan lupa lagi kamu kasih gula! "

"Maaf ndoro...itu sudah saya kasih gula seperti biasanya, dua sendok kecil saja" Mbak Surti coba menjelaskan.

"Ah, ga mungkin ini rasanya ga kaya biasanya, 2 sendoknya penuh apa ngga? jangan-jangan dua sendok tapi ga penuh isinya" Pak Sudi masih tidak terima.

"Sudah ndoro, ini takarannya uda sesuai arahan ndoro" Mbak surti coba membela diri.

"Alaah, banyak alasan kamu.. sini ikut saya..." Pak Sudi masi bicara dengan nada tinggi sambil melangkah ke dapur. Di belakangnya surti berjalan mengikuti.

Di dapur Pak Sudi langsung menuangkan kopi sesuai takarannya dan gula sebanyak dua sendok kecil. Kemudian menunjukkan kepada Mbak Surti, "Nih.. segini Surti.. masa dikasih tau ga ngerti-ngerti". Kemudian menuangkan air panas yang masih tersisa di panci. Mengaduk dan mencoba mencicipinya.

"Naah ini kan pas... ga terlalu manis tapi ga pahit juga" raut Pak Sudi nampak menunjukkan kepuasan atas hasil karyanya sendiri.

"Injih ndoro" Mbak Surti cuma bisa pasrah.

Karena meskipun tiap malam mintanya sama, 'kopi tidak terlalu manis' tapi takaran ideal menurut Pak Sudi selalu  berubah-rubah. Wajar memang karena "tidak terlalu manis" itu sangat relatif dan tergantung selera. Dan selera bisa berubah-ubah tergantung kondisi masing-masing orang tiap harinya.

Coba saja misalnya tiap minta dibuatkan kopi, Pak Sudi mintanya bukan "jangan terlalu manis", tapi minta dengan jelas, contohnya "Surtiii...buatin kopi dengan takaran kopi tiga sendok dan gula dua sendok, ya!"
Jadinya Mbak Surti kan bisa jelas takaran buat kopinya. Dan kalau Mbak Surti bikinnya ga sesuai takaran yang diminta, Pak Sudi bisa jelas juga marah-marahnya. Begitu juga Mbak Surti, bisa jelas juga membela dirinya kalau dia sudah meracik kopi sesuai arahan majikannya.

nb: cerita ini memang fiktif belaka dan bukan nota dinas, jika terdapat kemiripan dengan proses penyusunan nota dinas, itu hanya kebetulan belaka :D

Aku Bukan Lelaki Sempurna


Pagi itu rasanya enggan sekali untuk bangun dari tempat tidurku. Kepala terasa berat seperti ditindih berkarung-karung pasir. Cakrawala terlihat kelam bergelayut awan yang semakin hitam, sementara sisa rintik hujan dari semalam seperti tak pernah bosan membasahi bumi. Aku tertelungkup dengan guling di atas kepala ku. Sementara itu, istriku sudah berdandan rapi menungguku untuk pergi ke suatu pengadilan.
Pikiranku menerawang jauh ke masa lalu, teringat saat awal perjumpaan dengan istriku,  sama-sama menjadi calon mahasiswa di suatu perguruan tinggi di Jawa Barat. Kala itu mukanya tampak polos tanpa make up, dengan pakaian sederhana namun serasi dengan postur tubuhnya, tak salah jika ku sematkan, kamu adalah bunga desa.   
Sama-sama berangkat dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Perjumpaanku dengannya seperti sebuah takdir yang tak bisa ku tolak. Dari saling memandang, bertegur sapa, jalan bersama, lalu merajut asmara, semua seolah berjalan begitu sempurna. Hingga pada suatu waktu, kuberanikan diri untuk meminangmu, karena kurasa setelah dua tahun bekerja, tabunganku cukup sebagai modal awal untuk memulai membina rumah tangga.
Tiga tahu berlalu setelah pernikahan, aku dikaruniai dua orang anak laki-laki yang lucu. Rumah tanggaku berjalan normal nyaris tanpa kendala. Aku bekerja di sebuah perusahaan multinasional di bidang pertambangan. Sementara itu,  istriku bekerja sebagai tenaga pemasaran di sebuah perusahaan property milik salah satu konglomerat dengan julukan Sembilan Naga. Singkatnya, untuk ukuran keluarga muda, aku dapat dikatakan keluarga yang  mapan. Rumah yang cukup luas di kawasan elit, kendaraan dengan merk ternama dan segala kebutuhan rumah tangga komplit tersedia.
Aku sendiri berasal dari keluarga ningrat alias berdarah biru. Namun, Ayahku tidak ingin menampakkan keningratan keluarga kepada masyarakat, agar kelak anak-anaknya dapat tumbuh normal,  bersosialisasi dengan masyarakat. Didikan yang keras dari kedua orang tuaku, membuat aku dan adikku terbiasa hidup disiplin, bekerja keras dan serba teratur, dan kini aku dapat dikatakan sebagai seorang lelaki yang sukses.
Ayahku bekerja di sebuah perusahaan perkebunan, dengan jabatan setingkat manajer. Setelah pensiun, kesehatan ayahku mulai menurun,  dua kali terserang stroke dan itu cukup menguras tabungan yang semula disisihkan untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Tepat satu minggu setelah perayaan Idul Fitri tahun lalu, beliau meninggal dunia.  Sepeninggal Ayahku, dengan persetujuan istri, aku meminta Ibu dan adikku untuk tinggal bersama,  karenanya pada saat libur panjang aku boyong Ibu dan adik bontotku yang baru lulus SMA ke Jakarta. Sebagai anak sulung, kini aku menggantikan peran Ayah untuk Ibu dan Adiku.
 Istriku kini sudah menjelma menjadi wanita karier dengan penampilan yang sangat berbeda 180 derajat, dengan saat sangat awal aku bertemu. Sosok yang dulu begitu polos, bermetamorfosa menjadi wanita masa kini dengan pernak-pernik assesoris melekat ditubuhnya. Aku merasa bangga memiliki istri secantik dia. Namun, setelah satu tahun Ibu dan Adikku tinggal bersama ku,  istriku mulai tidak nyaman dengan kondisi rumah. Sikap Ibuku yang perfeksionis dan cenderung banyak membuat aturan baru di rumah, ditambah perilaku adik ku yang terkadang ugal-ugalan menggunakan barang-barang tanpa izin, membuat istriku sering mengeluh dan bad mood.
Kerikil-kerikil perselisihan keluarga mulai nampak dipermukaan, terutama antara istri dan Ibu ku. Hal-hal kecil bisa bisa menyulut api kemarahan. Aku kini menjadi orang yang sensitif dan  temparemental, akibat hubungan buruk istri dan Ibuku membuat pikiran dan konsentrasi kerjaku semakin kacau. Anak-anak sering menjadi saksi perselisihan aku dan istriku. Rumah yang mewah seolah tidak bisa mengobati kegusaranku. Istri dan Ibu kadang tidak bertegur sapa untuk sekian lama. Kalo sudah begini, aku menjadi orang yang serba salah, orang yang tidak punya prinsip dan lemah. Aku bingung, di satu sisi aku harus menuruti kemauan orang tua, tapi di sisi lain aku juga harus mengakomodir keinginan istriku.
Puncak kemarahan istriku terjadi saat adikku menggunakan mobil kesayangannya, menabrak kendaraan lain sampai ringsek. Untungnya jiwa adikku masih dapat tertolong.  Aku harus wara-wiri ke kantor polisi dan rumah sakit untuk menyelesaikan perkara dan mengurus pengobatan adikku. Sementara, istriku  menampakkan muka murung, memendam bara amarah di dalam dadanya. Aku tahu Istriku kecewa karena aku tidak tegas dalam mengambil sikap dan menyelesaikan permasalahan rumah tangga, sehingga berlarut-larut menjadi seperti api dalam sekam.
“Mas, aku sudah gak tahan menghadapi ini semua, aku ingin hidup tenang,  tolong ceraikan aku.” Suara pelan istriku  seperti petir yang menyambar separuh jiwaku. Aku tercenung, tak percaya apakah itu benar suara itu keluar dari mulut istriku.
“Mah, apa aku tak salah dengar?, apa sudah kamu pikirkan masak-masak?, kok semudah itu kamu meminta cerai”. Suaraku lirih setengah mengiba. Air mataku perlahan mulai membasahi pipiku. Kulihat istriku pun sama, air matanya deras mengucur di kedua pipinya yang cubby.
“Aku tidak punya pilihan lain Mas, aku sudah berkonsultasi dengan seorang pengacara untuk menyelesaikan ini semua.” Jawab istriku dengan pasti.
Dengan berat hati, perlahan aku beranjak dari tempat tidur. Kupinggirkan selimut yang semalam tak mampu menenangkan tidurku. Ku lihat istriku di ruang tengah sudah siap berangkat membawa berkas-berkas untuk bahan persidangan di pengadilan agama. Rupanya istriku sudah bulat dengan tekadnya untuk minta cerai dariku. Sementara aku tidak begitu siap menghadapi ini semua. Ya Allah berat rasanya harus menghadapi perceraian ini. “Tidak adakah jalan lain, selain perceraian untuk menyelamatkan keluargaku?”, gumamku lirih. Terbayang anak-anakku akan tumbuh dengan keluarga yang tidak sempurna, karena kedua orang tuanya akan tinggal terpisah satu sama lain.
Harta yang kumiliki ternyata tidak membuat keluargaku menjadi tentram. Aku merasa ini semua buah dari kesalahanku, yang tidak tegas dalam mengambil sikap. Permasalahan kubiarkan berlarut-larut. Aku seolah membiarkan kanker ganas perlahan menggerogoti keluargaku. Hingga akhirnya aku terlambat untuk menyadarinya, dan kanker itu kini sudah di stadium empat. Ya Allah,  Aku memang bukan lelaki sempurna.

R i n d u R i s a u

di sebuah petang di sekitaran embong miring sebelah wetan kota kecil L. di kaki mahameru. dengan jingga yang semakin tua.
aku masih terbang.

ingin sekali aku membacakan sajak yang kubuat siang tadi kepadamu. sajak tentang rimbunan angin. tentang asmaradhana.

kupicingkan mata. mencari-cari. sepertinya kau tak ada di sana.
tapi, siapa tau kau segera lewat. berkerudung putih berumbai-rumbai sambil mengayun. bersepeda.
di tangan kirimu membawa kembang-kembang. semoga kembang itu bertahan pada tangkainya. meski tiada apa (senyum) di antara kita.

lalu tangan lembut daun-daun pohon angsana menyapa kita. sambil membawa cendera mata seharga lima rupiah. yang bernama setya.

dan seketika pipiku merah muda. Dan pandanganmu terpapar di sepanjang garis sungai yang sedang berwarna keemasan. tak terputus. mengalir begitu saja.

dan sebab kita tak perlu kata lagi. maka, tak ada yang bersisa. biarlah rindu menyulut risau.

dan aku kembali terjaga. dikelilingi angin. dengan jingga yang semakin beku. aku masih di sini. masih saja terbang.


dan hei...., tiba tiba saja kau lewat.... dan tersenyum padaku.... Amboi.....