Membaca karya sastra
dari berbagai sumber, baik dalam bentuk puisi, pantun, pupuh, gurindam, prosa
maupun dalam bentuk lainnya membuat saya merenung, mencoba memahami apa yang
hendak disampaikan oleh para penulis. Mencoba mencari pesan Tuhan yang ingin disampaikan
lewat berbagai tulisan tersebut.
Ketika metafora
disampaikan dari bentang bumi makro, maka saya pun mencoba merenunginya dalam
bentang bumi mikro saya. Matahari, Bulan, Bintang, dapatkah saya melihat semua
itu dalam bumi mikro saya? Ataukah masih tertutup awan yang kelabu sehingga
saya belum mampu menyaksikannya? Apakah semua itu karena uap-uap yang
menggulung membumbung tinggi menyesakkan dada karena ukurannya telah melebihi
dari yang sudah ditetapkan Tuhan?
Untuk hal-hal tertentu,
penyampaian secara mutasyabihat memang lebih pas dibandingkan bila kita
sampaikan secara muhkamat. Berbagai pesan dapat kita sampaikan tanpa menyakiti
seseorang. Teguran yang disampaikan dalam balutan kata indah, kadang mampu
membuat seseorang merenung dan menyadari kekeliruannya dari tulisan tersebut.
Perubahan yang berasal dari dalam diri tentunya akan lebih ajeg, dibandingkan
dengan perubahan yang berasal dari luar diri.
Ujung pena memang kadang
lebih tajam dari ujung belati. Tusukannya mampu menembus ke lubuk hati paling
dalam bila dapat ditujukan dengan tepat. Kekuatan kata-kata yang dituliskan
dengan sepenuh hati akan mampu mencapai hati pembacanya. Tertusuk untuk
kemudian tersadarkan adalah rasa sakit yang indah.
Jakarta, 7 November 2018