FILM NGERI-NGERI SEDAP, SEBUAH RENUNGAN
LELAKI YANG MALANG (2)
Setelah sebulan
aku dan suamiku sembuh dari penyakit sejuta umat, kami berdua akhirnya memiliki
kesempatan untuk mengunjungi Usman di kampung. Damar, suamiku, ingin memastikan
kondisi Usman.
Aku hanya berdiri di depan pintu rumah
sederhana milik ibunya Usman. Rupanya setelah keluar dari rumah sakit, Usman
dibawa ke rumah ibunya yang tinggal sendiri. Ia seolah sudah tak punya lagi mempunyai
keluarga setelah bercerai dengan isterinya beberapa tahun yang lalu.
Tercium olehku bau pesing dari dalam rumah itu.
Kudengar juga dari saudaranya bahwa Usman sering membuka pampers-nya dan buang
air kecil di atas kasur. Mungkin Usman juga tak sadar apa yang dilakukannya.
Usman duduk di atas kasur yang digelar di
lantai. Tenggorokanku tercekat melihat kondisi Usman. Mukanya pucat bak mayat.
Matanya cekung dan pandangannya kosong. Ia tak memiliki daya untuk sekedar
menopang tubuhnya yang kurus kering. Berbeda dengan Usman yang kulihat beberapa
bulan sebelumnya.
Kulihat Bulek Tansah, ibunya Usman,
tertatih-tatih menyambut kami. Tak bisa kubayangkan bagaimana repotnya seorang
ibu yang sudah renta harus mengurusi anaknya yang sakit. Penyakit Bulek Tansah
pun sebenarnya tergolong berat tapi ia tetap bersemangat merawat anaknya.
Untungnya saudara-saudara kandung Usman tinggal berdekatan dengannya, sehingga
mereka bisa bergiliran menjaga Usman.
“Man, apa kabar?”
Damar duduk di depan pintu. Badannya
membelakangi Usman. Sepertinya ia tak tega melihat kondisi Usman yang
mengenaskan.
“Ya aku begini, Mas. Aku bingung sakit apa. Aku
nggak bisa nelen makanan. Setiap mau makan aku selalu muntah. Makanku hanya
susu kambing dan air tajin saja ….”
Kudengar suara Usman parau. Rupanya sakit juga
merubah suaranya.
“Ya harus makan, Man. Satu-satunya cara untuk
sembuh ya makan,”ujar Damar.
Kudengar Usman membalas dengan penjelasan
panjang dan lebar. Rupanya kecerewetannya tidak berkurang walaupun ia sakit.
Itu yang patut disyukuri. Satu kebiasaannya yang berkurang adalah tertawa. Usman
selalu tertawa setiap kali menyelesaikan kalimatnya. Aku sangat tidak menyukai
bunyi tertawanya. Aku sempat berpikir bahwa ada syaraf tertawa di otaknya yang
bocor sehingga Usman tidak bisa menahan untuk tidak tertawa di setiap kalimat yang
diucapkannya.
“Ini mending, Mas. Udah bisa duduk. Tadinya
nggak bisa. Udah bisa ngobrol juga. Tadinya sering bengong dan berhalusinasi.
Segala hal yang tidak mungkin diucapkannya. Sering bicara nggak jelas juga.
Mending ini nyambung diajak ngobrol,” terang Ima, adik perempuan Usman.
Aku kembali mendengar kembali keluhan Usman
tentang kondisinya. Sepertinya memorinya pun terganggu karena Usman bercerita
hal yang sama berulang-ulang.
“Dia sering memanggil nama anaknya yang bungsu,
tapi tak pernah datang menjenguk bapaknya. Anak sulungnya sih sesekali datang
menjenguk, itu pun nggak lama. Usman ini sepertinya juga depresi menahan rindu
kepada anak-anaknya. Dokter juga meresepkan obat penenang,”sambung Ima.
Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Entahlah
apa kesalahan Usman sehingga ia harus menjalani hidup di masa senjanya seperti
ini. Tak memiliki apa pun selain penyakit dan kesulitan. Aku juga tak tahu apa
yang terjadi selama sepuluh hari Usman terkurung sendiri di kamar kost-nya
tanpa makan dan tak ada seorang pun yang bisa diajak berbicara untuk sekedar mengeluhkan sakitnya.
Akhirnya kami pamit. Kutitipkan sedikit uang
kepada Ima untuk membeli makanan yang layak untuk Usman.
“Untuk saat ini kamu harus fokus dulu buat
sembuh, Man. Setelah itu, kita pikirkan nanti saja,”pinta Damar.
“Iya, Mas.” Air mata sepertinya menggenang di
mata Usman. Matanya menerawang jauh.
Mungkin ada hal yang sedang dipikirkannya.
Kami
berdua berjalan menjauhi rumah Bulek Tansah dalam hening. Berbagai pikiran
berkecamuk di kepalaku. Satu hal yang kuharapkan adalah Usman tidak putus asa
dan tetap berusaha untuk pulih secara fisik dan mental. Semoga.
(Masih) Bersambung
LELAKI YANG KESEPIAN
KUSIA-SIAKAN WAKTUKU
Bertahun lamanya ku menunggu
Untuk sebuah jawaban atas beribu pertanyaan untukmu
Pertanyaan yang selalu kuulang setiap waktu
Namun kau tetap membisu
Purnama demi purnama berlalu
Musim pun tak kuasa menanti jawabanmu
Ku terpuruk di masa paling kelam dalam hidupku
Tetap jawabmu yang kuburu
Tak terasa satu dasawarsa ku menantikanmu
Kau tetap tak berpaling padaku
Hanya satu kalimat pesan dan sebuah foto yang masuk di ponselku
Aku akan mengikat janji di hari Rabu
Kupandangi potretmu, senyum menghiasi bibirmu
Disampingmu berdiri bidadari cantik yang menggenggam tanganmu
Bidadarimu itu adalah orang yang paling dekat denganku
Kau menautkan hatimu kepada sahabatku
Kuambil gitar dan duduk terpaku
Di rinai hujan yang seolah mengejekku
Kupetik gitar yang senarnya putus satu
Suara sumbangku melantunkan lagu dari Ungu
, Hingga Akhir Waktu....
Depok, 1 Juni 2021
MASA SEKOLAH (1), GURU GEOGRAFI
Suasana kelas sangat lenng saat itu. Baru sekitar setengah penghuni kelas 3-11 sebuah SMA Negeri di Bandung yang telah berada di dalam kelas, padahal pelajaran Geografi akan segera dimulai. Guru mata pelajaran Geografi ini sebenarnya agak kuhindari karena aku belum membayar uang buku yang kubeli dari Pak Azimuth, begitu panggilan kami kepadanya (kami memanggilnya demikian karena ketika Pak Guru ini menjelaskan tentang sudut putar arah angin, gaya tangannya sangat atraktif sehingga kami menjulukinya Pak Azimuth). Agak riskan bagiku kalau hanya sedikit teman-teman yang berada di dalam kelas karena perhatian Pak Azimuth takkan terbagi dan tentu saja aku akan semakin terlihat olehnya.
Aku, Si Kutu Buku, Dan Sunyi
Ku terduduk kaku di sudut ruangan sebuah
rumah tua yang berada di tengah perkebunan di daerah Pangalengan. Suasana
senyap membuatku semakin tak nyaman. Hanya terdengar suara jangkrik yang terus
bernyanyi menemani sunyiku. Di sudut lain seorang remaja pria yang kutaksir
seusiaku duduk bersila, asyik dengan buku yang sedang dibacanya.
Sedikit demi sedikit kugeser badanku,
mendekat ke arahnya. Kepalaku menunduk mengamati buku yang sedang dipegangnya,
memastikan posisinya tidak terbalik. Siapa tahu dia cuma pura-pura membaca
untuk memberi kesan pandai kepadaku.
“Hey ….”
Tak ada balasan kudengar. Remaja pria itu tak bergeming. Masih duduk dengan posisi yang
sama. Hanya matanya yang mondar mandir ke kiri dan kanan, seperti orang yang
sedang senam pagi di lapangan. Kuberanikan diri menggerakkan jari tanganku
untuk mencoleknya.
“Hey, kita kan cuma berdua di sini. Di
rumah yang luas ini, kita ngapain kek, ngobrol kek, main gaple gitu, atau main congklak kek, jangan saling diam gini. Aku takut.”
“Nggak ada yang perlu ditakutkan. Cari
kesibukan sendiri. Nih baca!” balas pria Itu sambil menyerahkan sebuah buku
tebal kepadaku.
Seketika dahiku mengernyit membaca judul
buku itu. Rasanya ingin sekali kupukulkan buku Itu ke kepala remaja pria Itu.
“Kau pikir kita datang ke sini mau try out
UMPTN?Gila aja, orang lagi piknik bawanya buku kumpulkan soal UMPTN,” ujarku
dengan suara cempreng dan membuat jangkrik yang sedang bernyanyi langsung
terdiam.
“Lha, daripada bengong nggak ngapa-ngapain,
mending belajar. Biar bisa masuk PTN,” ujarnya dan kembali asyik dengan
bukunya. Aku hanya bisa mengepalkan tangan tanda kesal kepadanya walaupun
percuma juga sih karena dia tak berniat melirikku walau cuma seujung sudut
maya. Sejak itu kunobatkan dia dengan julukan Si Kutu Kupret eh Kutu Buku.
Berkali kali kutengok pintu rumah, siapa
tahu orang-orang yang ikut kegiatan gathering muncul. Sudah dua setengah jam
berlalu sejak waktu yang dijanjikan Kang Alif, Ketua Karang Taruna Kompleks
Mawar Duri Lunak untuk memulai acara kebersamaan. Sayangnya tak nampak tanda remaja-remaja
Kompleks Mawar Duri Lunak muncul dari pintu. Begitu juga Kang Alif, aku tak
melihat keberadaannya.
“Kita berkumpul di tempat sejuk hari ini
adalah untuk mempererat silaturahmi diantara anggota Karang Taruna Kompleks
Mawar Duri Lunak. Tak ada lagi istilah “aku” tapi adanya “kita” ….” Terngiang kembali
di telingaku pidato Kang Alif tadi sore ketika kami para para peserta gathering
tiba di tempat ini. Tempat dimana saat ini aku terjebak diantara Si Kutu Buku
dan jangkrik yang bernyanyi dengan suara fals.
Tiba-tiba aku merasakan panggilan alam yang
untuk saat ini sangat sulit kuhindari. Aku mulai gelisah. Bingung karena kamar
mandi berada di luar rumah. Di dalam rumah saja aku sudah merasakan kengerian
apalagi di luar rumah.
“Hey ….”
Kusenggol tangan Si Kutu Buku agak keras hingga
buku yang sedang dipegangnya terjatuh. Ia melotot ke arahku. Mungkin merasa
terganggu oleh sikapku. Tapi menurutku tak pantas ia melotot karena matanya
tetap spit.
“Antar aku ke luar!”
“Ngapain?”
“Aku perlu ke kamar mandi. Takut sendiri.
Di luar gelap.”
Dengan enggan, Si Kutu Buku bangkit dari
duduknya. Ia mengikutiku dari belakang, kalau dari depan berarti mendahuluiku.
Tak penting juga sih mau mendahului atau mengikuti, aku hanya butuh teman untuk
melawan ketakutanku yang tak jelas takut apa.
“Awas ya, jangan ngintip!”
Si Kutu Buku hanya memandangku heran. Tak kata
pun keluar dari mulutnya. Mungkin ia mempunyai niat mengintip tapi ketahuan olehku
atau mungkin juga dia jijik mendengar celotehanku.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, Si Kutu
Buku masih berdiri dengan setia di depan pintu. Ia berjalan mendahuluiku menuju
ke dalam rumah tapi kucegah.
“Daripada kita balik ke rumah dan cuma
bengong, mending kita cari Kang Alif. Biar dia tanggung jawab sama kegiatan
ini,” ajakku.
Entah dia terpesona olehku atau biar aku
tak mengoceh terus, Si Kutu Buku menuruti kemauanku. Entah kenapa dia kembali
mengambil posisi di belakangku. Dasar pengekor!
Belum jauh kami berjalan terdengar olehku
suara mendesah dari balik tanaman teh di sekitar kebun . Aku menutup mulut Si
Kutu Buku yang hampir saja mengeluarkan bunyi. Aku mendekati asal suara.
Semakin dekat semakin aku hapal dengan
suara-suara Itu.
“Kang Alif … Teh Mimin, lagi ngapain di sini?
Mojok ya?” tanpa basa basi kuinterogasi mereka berdua hingga tanganku disikut
Si Kutu Buku.
“Eh Dinda, ngapain di sini?”
“Harusnya sih saya yang nanya, Akang sedang
apa, berbuat apa di sini, dua duaan, gelap gelapan dengan seseorang yang bukan muhrimnya
dan nama saya bukan Dinda!” bentakku lantang.
Menyebut namaku saja salah, berarti dia tak
mengenal anggotanya. Bagaimana mungkin dia bisa berpidato akan menyatukan
remaja-remaja dalam ikatan silaturahmi kalau dia sendiri saja tak mengenal
anggotanya dan tidak disiplin menjalankan kegiatan yang dirancangnya.
Karena malam gulita aku tak bisa melihat muka
Kang Alif dan Teh Yuni. Apakah dia malu atau bahagia kepergok olehku dan Si
Kutu Buku, aku tidak tahu. Biarlah bulan yang jadi saksi atas kejadian malam
ini.
Aku meninggalkan Kang Alif dan Teh Yuni
dengan perasaan kesal. Menyesal sekali ikut acara ini karena menuruti keinginan
Ibu agar aku berbaur dengan remaja-remaja Kompleks Mawar Duri Lunak. Waktuku
terbuang sia-sia. Rasa sesal memang datangnya terlambat karena kalau lebih dulu
namanya pendaftaran.
Si Kutu Buku kembali berjalan di
belakangku. Setelah lima langkah kudengar suara-suara berbisik dan mendesah lainnya.
Rupanya acara gathering ini hanyalah formalitas belaka agar izin orang tua bisa
keluar dan mereka bisa berpacaran di alam terbuka. Sebagai jomblo sejati aku
merasa acara seperti ini tak pantas buatku. Rasa marah membuatku mempercepat
langkahku menuju rumah. Tidur adalah jalan terbaik bagiku.
*****
Pagi-pagi buta aku bangun dan berkemas. Bergegas
keluar rumah besar Itu. Kulihat Si Kutu Buku mengikutiku dari belakang. Kami
berdua naik bis umum mendahului para remaja yang masih lelap karena semalam mereka
begadang.
Setelah sampai di Kompleks Mawar Duri Lunak,
aku dan Si Kutu Buku berpisah. Aku tak tahu siapa nama sebenarnya nama Si Kutu Buku
begitu juga sebaliknya. Kami berdua tak berniat mengetahui lebih dalam tentang
diri masing-masing.
Depok, 21 Desember 2020
Ibuku Tak Sempurna
Ibuku bukanlah ibu yang sempurna. Dia tidak mempelajari ilmu parenting. Tidak juga memakai tips bagaimana mendidik anak. Bukan pula ibu yang mengganti kata 'jangan' dengan 'sebaiknya'.
Seringkali ibuku juga bersikap keras pada anak-anaknya.Yang kadang tak bisa kunalar dengan pikiran kritisku. Ibuku juga sering membiarkan anaknya mencari penyelesaian atas masalahnya sendiri walau di satu sisi ingin juga ikut campur kehidupan anak-anaknya.
Walaupun tak sempurna bukan berarti ibuku tak pernah melakukan sesuatu yang heroik bagi anak-anaknya. Ibuku tak pernah membelikan anak-anaknya baju baru tapi ia menjahitnya untuk kami dengan renda bertuliskan nama kami di baju. Tak pernah juga memberi uang untuk pergi ke salon untuk sekedar memotong rambut tapi ia memotong sendiri rambut anak-anaknya. Tak juga sanggup memberikan uang jajan berlebih tapi ia selalu memasak dan membuatkan cemilan untuk kami.
Ternyata aku mendapatkan masa kecil yang bahagia di tengah keterbatasan walau dulu tak pernah kusadari. Aku sering membandingkan dengan kehidupan anak lain yang lebih hebat menurutku, yang bisa menyombongkan diri ketika membeli baju baru, atau pergi ke salon atau juga makan di restoran mewah. Andai aku bisa kembali ke masa itu, tentu aku akan lebih mensyukuri apa yang kupunya saat itu.
Setiap anak pasti memiliki kenangan tersendiri tentang ibunya masing-masing. Bersyukur adalah cara terbaik ketika kita masih memiliki ibu. Saat ini hanya doa yang bisa kulafalkan dalam setiap helaan nafasku, agar ibuku, ibu mertuaku dan juga ibu-ibu lainnya selalu sehat dan bahagia. Selamat Hari Ibu untuk semua Ibu....❤️❤️
Depok, 22 Desember 2020
Lepas
Kau bilang ku tak cantik
Beda dengan perempuan perempuan di televisi
Kubuat alisku melengkung dan lebat
Kau tetap bilang ku tak menarik
Kau minta ku tampil cantik
Agar membuatku sedikit indah dipandang mata
Kupulas bibirku dengan gincu merah darah
Kau bilang ku terlalu menor
Kau bandingkan ku dengan Bae Suzy
Yang kau tonton tiap saat
Kupulas wajahku dengan kosmetik dari Seoul
Kau bilang ku lupa usia
Kau bilang ku gendut
Kau minta ku mengurangi makan
Kukurangi takaran MSG-ku
Kau bilang ku terlalu kurus
Ah enyahlah kau
Aku adalah aku
Bukan brand ambassador kosmetik
Kau tak cukup berharga buatku
Depok, 19 Desember 2020
Desember Yang Mencekam
Langit kali
ini menghitam
Seolah siap
menerkam insan yang terkurung di padatnya jalanan
Bersahutan
bunyi klakson kendaraan roda empat
Berebut
tempat agar dapat secepatnya berada di depan
Saling
sikut dan senggol hal yang biasa
Tak ada
perasaan bersalah
Seringkali
umpatan tak terhindarkan keluar dari mulut insan yang depresi
Tak tahan
menanggung kesal yang tak berujung
Aku hanya
bisa terdiam tak berdaya terkurung di balik kaca
Lengkingan
klakson yang bersahutan seolah alunan nada yang sanggup memecahkan gendang
telinga
Aku hanya
berdiam dalam gelisah
Sesekali
badanku bergerak ke kiri dan ke kanan
Semakin
lama perasaan tak nyaman menggerogoti kewarasanku
Ku mulai
berteriak dan menangis
Rasanya ku
ingin terbang melintasi benda-benda berjendela itu
Yang
semrawut berdesakan di atas aspal basah
Akhirnya
air deras mengucur dari langit
Membuatku
semakin panik
Dingin
seketika melanda sekujur tubuhku
Desember
kali ini sungguh kejam melumatku dalam beku
Keringat
dingin mengucur di dahi
Keresahan
semakin melanda
Suasana
mencekam semakin nyata
Inilah yang
selalu kutakutkan ketika Desember menghampiriku
Entahlah
kepada siapa ku harus meminta pertolongan
Kegelisahan
semakin mendera
Tak
hentinya kuusap peluh yang terus bercucuran
Bagaikan
air terjun yang turun dalam tubuhku yang membeku
Tanpa
kusadari pahaku terasa hangat dijalari air
Rok yang
kupakai seketika basah
Bau pesing menyengat di dalam kotak tertutup
yang dingin itu
Aku pun
bisa bernafas lega
Jakarta, 16
November 2020
Jiwa dan Raga Yang Tak Selaras
Bulan
Desember tahun lalu,
Ku pernah
bersumpah
Ku akan
selalu mengungkapkan apa yang sebenarnya
ada di dalam hatiku
Aku akan
jujur
Desember
kali ini,
Aku berkata
iya padahal kuingin berkata tidak
Aku berkata
tidak padahal kuingin berkata iya
Aku berkata
suka padahal aku benci
Desember
kali ini,
Ragaku
tetap sama
Tak sanggup
ku keluar
Dari
belenggu rasa tak nyaman di jiwa
Mimpi Buruk Karenina
Fitra membuka
sebuah amplop yang sedang dipegangnya. Matanya terpusat pada satu tulisan besar
yang berada di tengah kertas. Kekesalan tergurat jelas di wajahnya. Kemudian
kertas itu diremasnya.
Tak ingin
berlama-lama di bangunan sekolah bertingkat itu, Fitra melangkah keluar dari
sekolah itu. Langkahnya cepat karena menahan kekesalan.
Sesampainya di
tempat parkir Fitra masuk ke dalam mobilnya. Ia tidak langsung menyalakan mesin
mobilnya melainkan duduk di depan setir. Kemudian ia membuka tasnya dan
mengambil ponsel. Dicarinya sekolah-sekolah dasar yang dipikirnya bisa mendaftarkan
Karenina, anaknya.
Sudah setengah
jam lebih, Fitra berada di dalam mobilnya, namun belum ada satu pun sekolah
yang menurutnya cocok untuk Karenina. Dari mulai waktu pendaftaran yang sudah
selesai, lokasi yang jauh dari rumahnya sampai biaya yang terlalu mahal
baginya.
Perasaan stres
mulai menyerang pikiran Fitra. Ia bingung harus ke mana lagi mencari sekolah
untuk Karenina. Akhirnya Fitra memutuskan akan mendatangi sebuah sekolah swasta
yang letaknya agak jauh dari rumahnya. Ia menjalankan mobilnya meninggalkan
gedung megah sekolah itu.
“Selamat pagi,
Bu!” Fitra menyapa seorang perempuan
setengah baya yang sedang duduk di sebuah ruangan.
“Selamat pagi. Ada
yang bisa saya bantu?” jawab perempuan itu dengan ramah.
“Saya ingin
mencari informasi pendaftaran masuk ke sekolah ini, Bu,” ujar Fitra.
“Silakan duduk,
Bu!”
Fitra duduk di
depan perempuan itu. Ia mulai berbicara tentang kemungkinan anaknya bersekolah
di sekolah yang menurut banyak orang adalah sekolah yang paling bagus di daerah
tempat tinggalnya. Sayangnya semakin lama ia mendengarkan perkataan perempuan
dihadapannya, ia semakin pusing.
“Biaya masuknya
sekitar empat puluh juta dan SPP-nya adalah dua juta per bulan. Ibu bisa
mendaftarkan anaknya sekarang kemudian lusa bisa ikut tes masuk.”
Fitra tak tahan
lagi berada di situ. Ia tak membayangkan mengeluarkan uang segitu banyak untuk
pendidikan di sekolah dasar. Belum lagi biaya bulanannya. Gaji Fitra dan Tommy,
suaminya akan habis untuk biaya sekolah, transportasi dan cicilan-cicilan saja.
Tak akan tersisa untuk makan sehari-hari. Belum lagi tanggungan keluarga mereka
berdua. Fitra bergidik membayangkannya.
“Saya pikirkan
dulu ya, Bu,” ujar Fitra dengan lemas.
“Ini kesempatan
terakhir, lho. Besok pendaftaran sudah kami tutup,” jawab perempuan itu.
“Iya, Bu. Saya
permisi!” Fitra pamit setelah bersalaman dengan perempuan itu.
Sampai ia
mendatangi sekolah yang keempat, barulah Fitra merasa telah menemukan sekolah
yang cocok bagi Karenina. Sayangnya, ia tak dapat memutuskan sendiri. Fitra
harus melibatkan Tommy untuk mengambil keputusan. Baginya yang penting adalah
ia sudah menemukan calon sekolah bagi Karenina.Itu sudah membuatnya sedikit
lega.
***
“Tom, masak sih Karenina
bisa nggak lolos masuk sekolah negeri favorit,” ujar Fitra kesal.
“Ya nggak apa-apa
dong. Emang harus ya lolos masuk SD favorit?” tanya Tommy dengan tenang.
“Bukan begitu,
Tom. Aku nggak terima aja. Karenina itu cerdas lho. Bahkan waktu di TK, gurunya
sering memuji Karenina. Dia juga udah pinter baca,” timpal Fitra.
“Nggak boleh lho
masuk SD pake tes. Di TK juga seharusnya nggak perlu diajarin baca tulis,” ujar
Tommy.
“Iya sih, tapi
kan kita harus mempersiapkan pendidikan Karenina sejak dini, Tom. Biar nanti
dia bisa masuk sekolah lanjutan yang bagus.”
“Kali aku nggak
sependapat, Fit. Kupikir sih nggak perlu lah Karenina belajar di sekolah
favorit dulu. Aku malah pengen masukin Karenina ke sekolah negeri yang di
sekitar sini aja,” ujar Tommy.
“Maksudmu SD
Melati gitu? Ya ampun Tom, tega banget sih mau sekolahin Karenina di situ.
Bangunannya aja jelek gitu mana tempatnya kumuh pula,” tukas Fitra.
Fitra merasa
kaget mendengar usul Tommy untuk menyekolahkan anaknya di SDN Melati. Tak ada
seorang pun penduduk kompleks perumahan yang mereka tinggali bersekolah di SDN
Melati. Kebanyakan anak yang bersekolah di situ adalah penduduk perkampungan
yang berada di sekitar tempat tinggal mereka.
“Lho memangnya
kenapa?” tanya Tommy masih dengan suara yang datar dan tenang.
“Karenina, Tom.
Anak kita satu-satunya sekolah di tempat yang jorok. Kasihan dong,” jawab Fitra
dengan kesal.
“Ah menurutku
semua sekolah sama aja. Apalagi masih tingkat dasar, pelajarannya pasti sama.”
“Tom, aku nggak
setuju! Kasihan Karenina.”
“Kasihan Karenina
atau kasihan kamu sendiri?”
“Maksudmu apa,
Tom?”
“Sebenarnya yang
kamu kasihani itu adalah dirimu sendiri, bukan Karenina. Menurutku sih Karenina
akan senang sekolah di mana pun. Yang penting baginya adalah memiliki teman
bermain ….”
“Kamu kok
menentang aku memberikan yang terbaik bagi anak kita sih!”
Suara Fitra
terdengar parau bercampur dengan tangisan yang tertahan di matanya. Ia merasa
Tommy tak menghargai upayanya untuk mencari sekolah yang bagus bagi Karenina.
Ia merasa telah mengorbankan waktu dan tenaganya demi mencari sekolah. Ia rela
mengambil cuti dari kantor padahal ia sebenarnya ditugaskan ke luar kota oleh
atasannya. Ia tolak semua itu demi Karenina.
“Gini deh, untuk
sekolah dasar, beri aku kesempatan untuk memilihkan sekolah untuk Karenina.
Kalau misalnya Karenina tidak senang dengan sekolahnya, maka bolehlah kamu
memindahkan Karenina ke sekolah yang bagus menurutmu,” ujar Tommy.
“Tom, kamu kok
ngotot sih?” tanya Fitra.
“Lha bukannya
kamu juga ngotot?” Tommy balik bertanya.
“Bukan gitu, apa
kamu nggak kepengen Karenina tumbuh cerdas dan pintar sehingga nanti dia nggak
kesulitan masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi,” terang Karenina. Ia
mencoba mempertahankan keinginannya.
“Pengen banget,
Fit. Pengen. Satu hal yang perlu kamu ketahui, aku punya alasan kuat
menyekolahkan Karenina di SDN Melati adalah biar Karenina punya pengalaman
hidup yang berwarna. Ia bisa melihat kehidupan lain. Bukan hanya kehidupan yang
didapatnya sekarang. Aku ingin Karenina jadi anak yang tangguh dan juga anak
yang peduli dengan sesamanya,” jelas Tommy.
Fitra terdiam
sejenak mendengar penjelasan Tommy. Ia tahu maksud Tommy baik tapi ia berpikir
apakah sekolah seperti itu tepat untuk Karenina.
“Kalau Karenina
di-bully gimana?”
“Di sekolah bagus
pun sering ada bullying juga, kok.”
“Tom, please!
“Kali ini aku
akan bertahan, Fit,” ujar Tommy ngotot.
“Mama, Papa, kok
bertengkar sih?”
Tiba-tiba Karenina
muncul di depan mereka berdua. Karenina mengucek-ngucek matanya. Kemudian ia
duduk diantara Fitra dan Tommy.
“Karenina kok
bangun, sih?” tanya Fitra.
“Karenina mimpi
buruk, Ma.”
“Mimpi apa?”
tanya Fitra sambil mengusap kepala Karenina.
“Mama dan Papa
bertengkar,” jawab Karenina polos.
“Karenina, Mama
dan Papa nggak bertengkar kok. Mama dan Papa sedang membicarakan tentang
sekolah Karenina setelah dari TK,” ujar Fitra lembut.
Tommy memberi
isyarat kepada Fitra agar tidak membicarakan masalah sekolah kepada Karenina.
Fitra merasa inilah kesempatan yang bagus untuk mengungkapkannya kepada Karenina.
“Karenina suka
kan sekolah yang gedungnya bagus, ruangannya bersih dan temannya yang
baik-baik?” tanya Fitra.
“Suka, Ma,” jawab
Karenina.
“Kalau sekolah
dekat, temannya lebih banyak suka ngga, Nak?” tanya Tommy.
“Karenina juga
suka, Pa.”
“Tommy!” bentak
Fitra.
“Biar Karenina
yang memilih, Fit. Dia pasti tahu lah yang baik untuknya,” balas Tommy.
“Karenina masih
kecil, Tom!” balas Fitra.
“Ma … Pa, kok
jadi ribut gara-gara Karenina sih?” tanya Karenina polos.
“Nggak kok. Mama
sama Papa nggak ribut,” ujar Fitra dengan lembut.
“Gini deh, Papa
mau tanya. Karenina mau sekolah di pilihannya Mama atau Papa?”
“Tom, masak Karenina
dibawa-bawa ke masalah ini sih. Harusnya kita yang menentukan untuk kebaikan Karenina,”
tukas Fitra.
“Ya nggak apa-apa
dong biar Karenina udah dibiasakan ngambil keputusan sejak dini,” balas Tommy.
“Karenina,
bagaimana jawabannya?” tanya Tommy lagi.
“Karenina
bingung, Pa.”
“Tuh kan anaknya
bingung. Kamu sih. Udah masuk sekolah yang kucari tadi siang aja!” pinta Fitra.
“Enggak dong! SDN
Melati dekat. Kita jadi nggak khawatir,” balas Tommy.
“Nggak bisa, aku
nggak mau anakku masuk sekolah negeri!” balas Fitra.
“Lha kamu juga
kan produk sekolah negeri, Fit.”
“Tapi aku nggak
mau anakku masuk sekolah negeri!”
“ … “
“ … “
Karenina hanya
bengong melihat perdebatan kedua orang tuanya. Ia juga tak mengerti apa masalah
perdebatannya. Ia pun tak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya ia
meninggalkan kedua orang tuanya yang terus berdebat dengan suara yang sama-sama
kerasnya. Karenina berpikir kalau mimpi buruknya itu ternyata menjadi kenyataan
malam ini.
Aku Harus Bahagia
“Wah
alhamdulillah anaknya sehat,” ujar seorang tetangga yang datang menemuiku
ketika aku baru saja pulang dari rumah sakit selepas melahirkan Sakina.
“Alhamdulillah,”
balasku dengan tersenyum
Sebenarnya kalau
aku ditanya terlebih dahulu sebelum ada orang yang ingin menjengukku dan
Sakina, aku lebih memilih tak ada seorang pun yang mendatangiku. Apalagi kalau
aku baru saja kembali dari rumah sakit.
Aku letih. Seluruh
badanku terasa pegal dan tak bertenaga. Aku malas sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan. Terlebih apabila mereka menceritakan pengalamannya ketika
melahirkan kepadaku.
“ASI-nya lancar,
Mbak?” tanya tetanggaku yang satunya lagi.
“Belum keluar dari
pertama lahiran. Sampai beberapa hari ini masih sedikit sekali air susu yang
keluar.” Tanpa diminta, ibuku menjelaskan jawaban yang membuatku kesal.
“Banyak makan daun
katuk, Mbak! Terus jangan banyak berpikir yang enggak-enggak, nanti jatuhnya
stres lho. Coba tenangin pikiran biar air susunya lancar.”
Aku hanya bisa tersenyum
tipis mendengar nasihat seperti ini. Memangnya gampang selepas lahiran, seorang
ibu yang baru mempunyai anak tak berpikir apa pun.
“Setiap hari saya
buatkan sayur daun katuk, kok. Nggak tahu juga kenapa air susunya sulit
keluar,” ujar Ibu.
“Terus bayinya
minum apa selama beberapa hari ini?” tanya yang lain membuatku semakin pusing.
Ibu diam tak
menjawab. Pikirku, tumben kali ini Ibu tak bersuara. Sepertinya Ibu malu
mendapati anaknya belum berhasil mengeluarkan air susunya.
“Anak saya udah
minum susu formula, ibu-ibu.” Akhirnya terpaksa aku menjawab pertanyaan yang
disampaikan tetanggaku itu.
“Aduh Mbak Feni,
jangan dikasih susu formula dong! Nanti anaknya jadi bodoh. ASI itu adalah
makanan terbaik bagi bayi. Selain itu juga akan menciptakan bonding yang kuat
antara anak dengan ibunya. Nanti imunnya nggak bagus lho kalau minum susu
formula.”
Duh Gusti, rasanya
aku tak sanggup menghadapi ibu-ibu ini. Bukannya aku jadi tenang dapat
nasihat-nasihat ini tapi malah membuatku jadi seperti seorang ibu yang jahat
kepada anaknya sendiri.
Saat itu,
perasaanku hancur sekali mendengar kalimat-kalimat yang pedas seperti itu.
Ingin rasanya kuusir semua orang itu dari hadapanku. Tangis Sakina
menyelamatkanku dari penghakiman para ibu-ibu super di hadapanku ini.
Aku berpamitan dan
masuk ke dalam kamar. Entah apa lagi yang dibisikkan para penjenguk itu kepada
ibuku karena kudengar masih ada percakapan yang terjadi tapi dengan suara yang
lebih pelan. Aku tak ingin mendengar apa yang mereka ucapkan.
***
Setelah seminggu
berlalu, aku tetap tak sanggup memproduksi ASI. Pikiranku semakin kalut apalagi
kalau mendengar kalimat miring dari orang tentang anak yang minum susu formula.
“Dicoba lagi,
Fen,” bujuk Ibu.
“Aku nggak bisa,
Bu. Aku sudah berusaha keras tapi tetap tak bisa.”
Rasanya aku ingin
menjerit mendapati kenyataan ini. Upaya apa lagi yang harus kulakukan agar aku
bisa mendapatkan pengakuan kalau aku adalah ibu yang sejati.
“Mungkin Ibu harus
terus membuatkanmu sayur daun katuk setiap hari,” ujar Ibu.
“Cukup, Bu. Aku
sudah capek tiap hari makananku itu-itu saja. Aku bosan.” Suaraku mulai berat
menahan tangis yang tertahan di tenggorokan.
“Sabar, Fen!”
“Maafkan aku, Bu.
Sepertinya usaha kita ini harus kita hentikan. Aku nggak mau konsentrasi jadi
terbelah karena aku sibuk mengupayakan agar ASI keluar tapi aku lupa
memperhatikan Sakina. Aku ingin ceria merawat Sakina, Bu. Bukan seperti
sekarang ini, aku sering merasa kecewa dengan diriku sendiri.”
Aku tak sanggup
lagi menahan tangis yang terpendam di dada. Kutumpahkan semuanya pada saat itu.
Andai saja Mas Dito ada di sampingku saat ini, pastilah aku akan lebih tegar
menghadapi masalah ini.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,”
jawab Ibu.
Aku menghapus air
mata yang bercucuran di pipi dengan ujung kemeja. Aku tak ingin orang lain
melihatku rapuh seperti ini.
“Masuk, Bu
Danang!” ujar Ibu.
“Eh Mbak Feni,
mana dede bayinya?” ujar Bu Danang sambil menyerahkan sebuah kotak yang
dibungkus dengan kertas warna-warni.
“Ayo lihat!” ajak
Ibu sambil berjalan menuju kamar.
“Sakina sedang
tidur, Bu,” ujarku.
“Sakina cantik.
Mirip mamanya,” puji Bu Danang.
“Terima kasih,”
balasku berbasa-basi.
“Bagaimana Mbak
Feni, apa ASI-nya lancar?”
Hal seperti inilah
yang aku tidak sukai ketika ada orang yang melihat Sakina. Pasti ujung-ujungnya
menanyakan soal ASI kepadaku.
“Nggak keluar,
Bu.”
Ibu selalu
mewakiliku untuk memberikan jawaban kepada siapa pun yang bertanya tentang ASI.
Aku sama sekali tidak meminta Ibu untuk menjawab pertanyaan yang sama dari
beberapa orang yang niat awalnya adalah melihat anak bayiku.
“Terus minumnya
gimana?” tanya Bu Danang lagi.
“Minum susu
formula,” jawab Bu Danang.
“Aduh sayang
sekali ya, anaknya tidak menyusu kepada mamanya. Biasanya sih kalau anak yang
tidak minum air susu ibunya, gampang sakit, Mbak.”
Entah apa yang
harus kuperbuat mendengar ucapan Bu Danang. Aku bisa depresi kalau setiap hari
mendengar kata-kata ASI ditanyakan kepadaku.
“Emang ada yang
salah ya dengan susu formula?” tanyaku ketus.
“Enggak sih, Mbak.
Bagus-bagus aja. Susunya merek apa? Kalau keponakan saya minumnya susu merek ST 13. Mahal itu,” ujar Bu Danang lagi.
“Kalau Sakina sih
saya kasih susu yang murah aja, Bu. Sama saja, yang penting anaknya mau dan
nggak alergi.”
“Ah masak sih Mbak
Feni nggak sanggup beli susu yang mahal.”
Aku semakin kesal
mendengar ucapan Bu Danang yang semakin melantur. Aku melirik ke arah Ibu dan
memberikan kode agar aku ditinggal sendiri.
“Ayo, Bu. Kita
ngobrol di luar aja. Feni ini kurang istirahat. Tadi malam begadang. Sakina
nggak mau tidur,” ajak Ibu.
“Mungkin dede bayi
pengen mimi air susu ibunya,” ujar Bu Danang dengan suara tanpa dosa. Ia tak
sadar kalau perkataannya sungguh menyakiti perasaanku.
Setelah Ibu dan Bu
Danang keluar dari kamar, aku membaringkan badan di samping Sakina yang
terlelap. Kupandangi wajah Sakina dalam-dalam. Betapa damainya Sakina. Kuelus
tangannya yang berlipat dengan lembut.
Tiba-tiba ponselku
berdering. Rupanya Mas Dito mengajakku mengobrol melalui videocall.
“Mas, aku kangen,”
rajukku setengah menangis.
“Sabar, ya.
Seminggu lagi kita akan ketemu.”
“Lama sekali, Mas.
Lain kali jangan ambil dinas yang kelamaan, ya!” pintaku manja.
“Iya. Mana
bidadari kecilku yang cantik?” tanya Mas Dito.
Aku mendekatkan
ponsel ke arah Sakina sehingga wajah Sakina terlihat di layar. Kulihat Mas Dito
mengusap air mata yang menetes di pipinya. Aku ikut terharu menyaksikan pertemuan
antara ayah dengan anak perempuannya.
“Sakina, ini
Papa.”
“Sakina tidur,
Mas.”
“Aku nggak sabar
deh nunggu seminggu lagi. Kangen kamu juga,” goda Mas Dito membuatku tersipu
malu.
“Tapi, Mas ….”
Aku ragu ketika
hendak menceritakan masalahku kepada Mas Dito. Aku tak ingin membebani
pikirannya dengan masalahku yang belum tentu dapat dipahaminya.
“Tapi apa? Mau
minta oleh-oleh?”
“Enggak kok, Mas.
Kamu pulang dengan selamat aja udah lebih dari sekedar oleh-oleh,” ujarku.
“Kamu tuh, ya.
Bakalan nggak bisa tidur nih aku kalau kamu gombalin begini.” Melihat wajah Mas
Dito yang ceria membuatku bahagia.
“Mas, jangan
marah, ya?”
“Feni, dari tadi
kamu tuh bikin kode-kode terus. Cerita aja, nggak apa-apa kok,” ujar Mas Dito
menenangkanku.
“Umm … air susuku
nggak keluar, jadinya Sakina kukasih susu formula. Seminggu ini aku udah
berusaha tapi gagal, Mas.” Akhirnya kuceritakan juga masalah yang kuhadapi.
“Ya ampun, Feni.
Kenapa kamu takut cerita soal itu? Bagiku nggak masalah, kok. Kamu fokus aja
mengurus Sakina dengan baik. Jangan sedih terus, nanti kamu sakit. Kasihan kan
Sakina … juga aku. Aku nggak mau mengurus Sakina sendirian, maunya berdua sama
kamu.”
Rasanya tenang
hatiku mendengar perkataan Mas Dito. Aku semakin yakin kalau anakku akan tumbuh
baik dengan kasih sayangku walaupun tanpa ASI.
“Fen, udah dulu
ya. Aku mau baca-baca materi seminar besok,” pamit Mas Dito.
“Iya, Mas. Daah.”
Aku membelai
tangan Sakina yang masih tidur. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku
akan selalu bahagia tanpa harus selalu memikirkan apa pendapat orang lain.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.
Silakan masuk, Bu Anna ….”
Aku tak ingin
terbebani dengan kewajiban untuk menemui orang saat aku lelah, makanya aku
memilih menutup pintu kamar. Aku tak tahu sejak kapan aku tertidur. Aku
terbangun ketika Ibu mengetuk-ngetuk kamarku mengingatkanku untuk makan sayur
daun katuk.
“Apa, Bu?”
“Makan sayur daun
katuk dulu, sebelum Sakina bangun!” perintah Ibu.
Aku bangun dan
duduk di pinggir tempat tidur. Aku melirik Sakina, ternyata dia masih tidur
dengan pulas.
“Boleh nggak aku
minta menu yang lain? Sayur yang lain. Aku bosan makan daun katuk melulu, Bu.
Sehari bisa sampai tiga kali.”
“Kamu nggak mau
berusaha lagi, Fen?” tanya ibu. Wajahnya terlihat sedih.
“Aku mau berusaha
menyayangi Sakina dengan caraku, Bu. Boleh ya? Ini hari terakhir ya menuku cuma
sayur daun katuk. Aku mau makanan yang bervariasi biar aku sehat, jadi aku bisa
merawat Sakina dengan baik. Maaf ya, Bu.”
“Feni ….”
Ibu memelukku. Ia
mengelus kepalaku. Sepertinya Ibu mulai menangis.
“Maafkan Ibu, Nak.
Selama ini Ibu nggak peka.”
Ada rasa hangat
menjalari hatiku ketika berada dalam pelukan Ibu. Aku semakin yakin, Sakina
akan tumbuh dalam lingkungan yang baik dengan orang-orang dewasa yang saling
memahami.
***