Kalau ada yang tanya buah favorit, saya gampang jawabnya. Durian alias duren adalah buah favorit saya. Tapi, kalau ada yang tanya buah favorit saya di surga nanti, saya bingung harus jawab apa. Pertama, saya bukan orang yang dijamin akan masuk surga. Ke dua, guru mengaji saya waktu kecil enggak pernah cerita ada durian di surga.
Guru mengaji saya memang pernah bilang di surga nanti segala keinginan kita bisa dikabulkan. Ia juga bilang di sana bisa makan sepuasnya. Di surga, katanya, ada beragam buah-buahan. Di antaranya kurma dan anggur, seperti yang disebutkan dalam Surat Al Mu’minun ayat 23. Sedihnya, ia malah enggak pernah cerita di surga ada buah durian. Mungkin karena tidak ada ayat atau hadis yang bilang begitu. Tolong betulkan jika saya salah.
Berbicara soal durian dan surga, saya jadi ingat orang-orang bule. Mereka pernah bilang durian itu “smells like hell, but tastes like heaven”. Bagi pecinta durian kayak saya, rasa, aroma, dan tekstur durian memang ibarat surga dan tiada bandingannya. Namun, bagi orang yang tidak suka, jangankan mencicipinya, sekadar mencium baunya saja sudah membikin mual dan sewot.
Marshall Green adalah salah satu bule yang pernah bilang bau durian seperti neraka. Ia adalah Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di masa pemerintahan Sukarno. Green punya kenangan terakhir bersama presiden pertama Indonesia itu yang tak akan pernah terlupakan. Waktu itu, Sukarno mengundangnya bersama Albaran, Duta Besar Meksiko untuk Indonesia, ke acara peletakan batu pertama pembangunan kampus Universitas Indonesia.
Di acara itu, Sukarno menyilakan keduanya duduk bersama di atas panggung. Di hadapan ribuan orang, Sukarno mendesak Green untuk mencicipi durian. Green yakin ia dijebak. Sebab, Sukarno tahu Green sangat membenci durian. Bau buah itu, katanya, seperti keju busuk. “Saya terpaksa menelan makanan yang menjijikkan itu demi kehormatan negara saya. Rekan saya dari Meksiko terhindari dari cobaan berat ini.” kenang Green dalam memoarnya Dari Sukarno ke Soeharto.
Durian juga tidak lepas dari kontroversi. Durian sering disebut memiliki kandungan alkohol dan kadar kolesterol tinggi. Padahal, itu cuma mitos. Di postingan Galendo Ciamis dan Konspirasi Mamarika, saya pernah bilang kolesterol hanya ditemukan pada penganan hewani. Minyak goreng, santan, dan durian─yang sering dituduh sebagai sumber utama kolesterol─sama sekali tidak mengandung kolesterol.
Nutrisi yang terkandung dalam lemak tumbuhan atau lemak nabati bukan kolesterol, melainkan fitosterol. Memang struktur kimianya mirip dengan kolesterol, tapi beda dengan kolesterol. Cara kerja fitosterol malah berlawanan dengan kolesterol. Fitosterol menghambat penyerapan kolesterol di saluran pencernaan.
Dua tahun lalu, Kementerian Pertanian Amerika Serikat mengeluarkan kolesterol dari daftar nutrisi buruk. Menurutnya, tidak ada korelasi serius antara konsumsi makanan berkolesterol tinggi dan serangan jantung. Asupan maksimal kolesterol 300 miligram per hari pun tidak direkomendasikan lagi. Artinya, Amerika Serikat membantah sendiri propaganda kolesterol sebagai kampanye yang pernah mereka jalankan untuk menghancurkan industri kelapa nusantara.
Dari dalam negeri, Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, menyatakan tidak ada tanaman di dunia yang mengandung alkohol. Karena itu, meski ada istilah mabok duren, sejatinya buah durian tidak mengandung alkohol. Alkohol bisa ada dalam buah karena fermentasi gula atau karbohidrat yang dikandungnya. Misalnya, bila kita menyimpan durian lama di tempat tertutup. Semakin lama, bau alkohol yang tercium akan semakin menyengat. Ini juga berlaku pada tapai, baik singkong maupun ketan.
Durian malah termasuk buah kaya nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Durian bermanfaat untuk mencegah depresi, anemia, susah buang air besar, mengurangi risiko stroke, dan menyembuhkan luka. Laksamana Zheng He alias Cheng Ho bahkan percaya air yang diminum dari kulit durian mampu mengobati panas dalam. Selain obat panas dalam, air yang diminum dari kulit durian juga mampu menghilangkan bau durian dalam mulut.
Meski begitu, fakta-fakta baik soal durian tadi belum membikin saya tenang. Sebagai pecinta durian, saya masih harus berpikir lagi soal buah yang akan menjadi favorit saya di akhirat nanti. Namun, apapun pilihannya, kita tidak akan bisa memilih jika tidak punya bekal yang cukup. Karena itu, mulai detik ini kita harus lebih giat mengumpulkan bekal itu. Semoga kelak di surga kita masih bisa membelah durian.
Tulisan ini pernah dimuat di laman Fiscus Wannabe.