Aku tertegun melihat dua garis pada alat
testpack yang berada dalam genggaman. Waw, ternyata aku hamil lagi, padahal
anakku yang pertama masih berusia lima bulan. Saat itu juga aku baru dua bulan
aktif kembali bekerja. Berbagai perasaan berkecamuk di hati.
“Kok bisa gue hamil?”
Waktunya nggak tepat,” aku hanya bisa garuk-garuk kepala yang emang gatel sih
karena udah seminggu nggak ketemu
shampoo.
Beberapa hari kemudian
kuulangi lagi tes nya, hasilnya tetap sama. Aduh, benar-benar surprise yang
nggak bikin bahagia. Kebayang kerepotan yang akan kualami punya dua anak bayi. Saat itu aku merasa malu dengan kondisiku. Yang
agak menolong, saat itu aku sedang menjalani tugas diluar kantorku. Aku
ditugaskan membantu konsultan, jadi aku bisa menyembunyikan kehamilan dari
teman-temanku.
Waktu itu, setiap ditanya
teman-teman kantor tentang badanku yang membesar, aku hanya menjawab kalau aku
memang gemuk karena banyak makan. Paling teman-teman berpikir, berapa banyak
makanan yang dikonsumsi sampai badanku
bengkak begitu. Namun seiring
berjalannya waktu aku mulai bisa menerima kehamilanku karena aku bagaimanapun
juga memilki anak ada sebuah amanah dari Sang Maha Kuasa yang harus kujaga.
Teman-temanku di kantor kaget ketika aku
datang ke tempat kerja yang semula untuk meminta kembali cuti melahirkan. Sebagian
menyesalkan kenapa aku tak memberitahu mereka, tapi ya mau bagaimana lagi, semua sudah terlanjur.
Yang kesal mungkin atasanku karena waktu itu harus mencari penggantiku sampai aku selesai menjalani
cuti melahirkan. Si konsultan masih ada waktu beberapa bulan untuk menyelesaikan
kontraknya.
Akhirnya tanpa ada yang
menunggui, aku bisa melahirkan anak yang kedua. Pada saat itu suamiku harus
menjadi narasumber di sebuah seminar. Untungnya seminar itu diadakan di kota Bandung,
jadi dia tak perlu
mondar-mandir dari Jakarta ke Bandung. Sampai sesaat sebelum
persalinan, suamiku masih menungguiku, sayangnya sampai waktu dia harus
berangkat ke tempat seminar. Aku merasa tak masalah menjalani proses persalinan
sendiri. Persalinan berjalan lancer tanpa kesulitan berarti. Tak lama setelah si kecil lahir, ibuku datang ke klinik
membuatku merasa lebih lega.
Saat-saat
selanjutnya adalah saat yang paling berat buatku, terlebih ketika suamiku harus
kembali ke Jakarta untuk bekerja. Aku memilih menjalani cutiku di Bandung
karena ada orang yang bisa mendampingi di Bandung. Itulah saat aku merasakan
kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa untuk mengurus kedua anakku yang
masih sangat kecil. Mencari pengasuh anak bukan hal mudah saat itu. Jadi,
selama dua bulan masa cuti, aku mengurus kedua anakku sendiri. Untunglah Bapak
dan Ibu masih sehat kala itu, jadi masih ada yang bisa menjaga anakku yang
sulung.
Sama
seperti anakku yang pertama, Anin, saat memiliki anak yang kedua, Cita aku
kesulitan mengeluarkan air susu ibu (ASI). Stres melanda terlebih pada saat itu
di media sedang digalakkan pemberian ASI kepada bayi. Berhari-hari kucoba
memberikan ASI tapi gagal. Segala makanan yang dianjurkan untuk memberi ASI
kulahap tanpa kecuali. Mulai dari daun katuk, susu, sampai makanan-makanan yang
kata orang adalah ASI booster. Sayang tak berhasil. Perasaan sedih melanda karena
banyak kudengar orang membicarakanku dan menyebutku malas memberi ASI kepada
anak-anakku. Segala rumor menakutkan tentang kondisi anak yang tidak
mendapatkan ASI diceritakan kepadaku sampai aku kesal. Kupikir tak seorang
ibupun yang tak ingin memberikan yang terbaik kepada anaknya.
Saat itu
aku merasa semua orang menudingku sebagai ibu yang jahat kepada anaknya karena
tidak memberikan ASI. Mereka tak tahu betapa tertekannya diriku setiap ada
tetangga yang datang menengok bayi. Setiap orang yang datang selalu memberi
saran apa yang harus kulakukan agar ASI ku keluar. Maksud mereka sebenarnya
baik, cuma saran mereka malah membuatku tambah tertekan. Akhirnya setelah
berusaha selama seminggu, aku memutuskan untuk memberi anakku susu formula
dengan penuh.
Rasa sedih
yang kualami semakin menghebat. Mungkin bagi orang lain mengurus dua anak
adalah hal yang biasa, tapi entah kenapa saat itu aku merasa mendapatkan beban
yang amat berat. Rasanya ingin selalu menangis. Itu kualami selama seminggu,
walaupun tak ada masalah serius menimpa anak-anakku, aku selalu bersedih, dan
itu terjadi setiap hari. Kupikir karena aku merasa bersalah karena tak bisa
memberikan ASI kepada anak-anakku, tapi lama-lama kok jadi melankolis yang tak
jelas penyebabnya. Perasaan itu membuatku tersiksa.
Belakangan
setelah kucari tahu aku baru tahu bahwa apa yang kurasakan itu adalah hal wajar
yang dialami seorang ibu yang baru melahirkan. Rupanya aku terkena sindrom baby
blues. Menurut apa yang kubaca di sebuah buku, sindrom baby blues adalah kondisi
gangguan mood yang dialami ibu setelah melahirkan. Baby blues merupakan bentuk
yang lebih ringan dari depresi post natal. Katanya sih ini hal yang normal dan
banyak ibu mengalami sindrom ini setelah melahirkan.
Akhirnya,
buat ibu-ibu yang akan melahirkan jangan merasa bersalah bila kedatangan
sindrom baby blues. Nanti akan berlalu juga kok seiring waktu, apalagi jika
kita memeluk bayi mungil yang lucu dan menggemaskan. Juga buat yang lain,
jangan suka membandingkan ibu melahirkan satu dengan yang lainnya karena proses
yang dialami setiap ibu akan berbeda-beda. Ketika menengok orang yang habis
melahirkan, berilah semangat dan hiburlah si ibu agar ibunya tetap ceria. Bagi
yang sulit mengeluarkan ASI, dicoba terus jangan putus asa. Kalau ada indikasi medis
tak dapat menyusui, jangan membandingkan dengan orang lain, semangati diri
sendiri bahwa apapun yang kita berikan, itulah yang terbaik untuk anak kita.
Jakarta, 1
Februari 2019