Tampilkan postingan dengan label JoRay. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label JoRay. Tampilkan semua postingan

Pejuang Dalam Sepi

Ada isak lirih namun masih cukup terdengar di situasi hiruk pikuk pada hari yang dicemas-cemaskan, hari yang dinantikan untuk sebuah kabar kepastian penempatan menyusul tuntasnya masa pendidikan selama tiga tahun terakhir ini.

"Yang sabar mas, banyak temannya kok," hiburku kepada teman yang sejak dibacakan nama-nama beserta kota penempatannya langsung memutar kursi, membalikkan badan, meluapkan sesuatu untuk beban yang datangnya sangat tiba-tiba.

Jawabannya hanya terlihat sebagai mata yang berkaca-kaca tanpa sepatah kata apapun. Aku harus mengalihkan ke hal lain sebelum tahu pernyataanku betul-betul menambah kerisauan yang menimpanya.
Pasti ada sesuatu yang tidak sekedar jarak kota penempatan yang jauh, disebabkan teman-teman lain yang setempatan kotanya terlihat baik-baik saja, bahkan masih bisa menyelipkan canda di tengah kegalauan sebagian besar para alumni yang memang sejak awal perkuliahan sudah diwanti-wanti harus siap untuk ditugaskan di mana saja. Tetapi pada hari pengumuman, tetap saja menjadi sesuatu yang tidak mudah diterima. Merantau ke tempat asing yang jauh untuk sebuah tugas yang belum tahu kapan ujungnya, bagi sebagian orang sangat menakutkan.

Apa yang aku rasakan sebetulnya juga tidak kalah hebatnya, ketika secara pelan-pelan aku eja nama kota yang mau tidak mau aku harus akrab dengannya untuk waktu entah berapa lama. Ujung Pandang.

Sepuluh orang akan menjadi teman seperantauan di kota yang sama dan hanya satu orang yang ditugaskan di kantor yang berbeda denganku.
Aku sendiri merasa belum perlu menumpahkan perasaanku di sini, harus aku simpan untuk aku bagikan di rumah nanti. Sejak hari aku menerima limpahan keseluruhan tanggung jawab seorang gadis yang akan menemani suka dukaku dari jarak yang paling dekat dibanding siapapun, aku merasa harus membagi setiap ada sesuatu yang menimpaku. Entah ini kabar gembira atau sebaliknya, aku sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah.
Ya, aku menikah sebelum tahu harus pergi ke tempat yang belum pernah dan bahkan tidak sedikitpun terbayang akan ke sana. Tempat yang asing. 

***

“Bener nih satu porsi ?” tanyaku kepada teman-teman ketika menerima sepiring nasi goreng dengan porsi yang sangat tidak biasa bahkan terlihat dua kali lipat dari yang biasa aku temui selama kuliah di Jakarta. Ini kekagetan di malam pertama memulai perantauanku di Ujung Pandang, makan malam paling kenyang sepanjang sejarah.

Aku dan teman-teman diperbolehkan menempati rumah dinas pejabat untuk sementara agar ada cukup waktu mencari rumah kontrakan atau kosan yang sesuai keinginan masing-masing. Ini adalah sambutan yang sangat indah sekaligus semakin menguatkan keyakinanku bahwa di setiap tempat pasti banyak orang baik yang akan membantu tanpa mengharapkan balasan apa-apa.

“Istri kok belum ikut ?” tanya salah seorang teman di tengah-tengah penyusunan jadwal masak menyusul keputusan aklamasi bahwa atas dasar pertimbangan penghematan maka untuk urusan makan lebih baik dilakukan dengan memasak sendiri, terutama untuk sarapan pagi dan makan malam, dua waktu makan yang paling merepotkan kalau kita harus jauh-jauh keluar rumah, sementara seluk beluk kota baruku ini masih jauh dari kata tahu.

“Masih menyelesaikan tugas akhir, mudah-mudahan empat bulan dari sekarang akan segera menyusul ke sini.” Aku tidak tahu apakah jawaban ini sampai selesai aku ucapkan atau tidak. Ada cekat yang menghalangi suara di tenggorokanku. Berpisah setelah beberapa hari bersama pada awal-awal pernikahan tentu bukan keputusan yang mudah. Dan keyakinanku mengatakan apa yang dirasakan istriku sama beratnya dengan yang aku rasakan saat ini. Aku jadi rindu istriku.
Sayup-sayup suara sekeliling semakin tak terdengar bersama lelapnya aku di istirahat malam ini.

***

"Kamu ke tempat Bu Neni ya," jelas Pak Robert, pria berkacamata penuh wibawa yang belakangan aku ketahui sebagai kepala seksiku, dengan sangat ramah sambil mengajak ke bagian di mana aku ditempatkan. Bu Neni, perempuan paruh baya yang murah senyum ini juga tak kalah ramah menerimaku. Keramahan Pak Robert dan Bu Neny, dua atasanku ini sudah cukup menjadi alasan bahwa aku akan menikmati suasana bekerja yang menyenangkan. Ini hari pertamaku bekerja setelah sekian tahun bergelut bersama buku-buku dengan segala keindahan teorinya.

“Sejak lima bulan yang lalu.” Bu Neni buru-buru memberi tahu setelah aku memperhatikan banyak tumpukan dokumen pembayaran yang belum diverifikasi, masih dalam ikatan tali setengah rapi. Penjelasan ini menjawab sebagian rasa ingin tahuku sebelumnya, mengapa harus sepuluh orang yang ditugaskan dalam satu kantor, sementara di tempat lain cukup dua atau tiga saja bahkan satu orang.

Kami bersepuluh seperti membawa misi khusus untuk menuntaskan sesuatu yang lama terbengkalai. Sambutan yang hangat semakin menguatkan mental dan keyakinanku bahwa aku akan betah di sini, ditambah lagi dengan tak segan-segannya para pegawai memberitahu cara kami harus bekerja. Keragaman lingkungan dari segi usia, suku dan keyakinan sama sekali tidak mengurangi rasa nyaman untuk saling membantu dan menghargai. Ini laboratorium kehidupan yang ideal yang akan menempaku menjadi lebih tangguh dan dewasa.

Hari-hari yang aku lewati terasa seperti tidak ada kendala yang berarti. Kesibukan di kantor dan keceriaan di rumah bersama teman-teman menjadi pengalih perhatian paling sukses agar aku tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan kerinduan pada istriku. Empat bulan yang berlalu aku merasakan diriku belum sepenuh seperti biasanya. Separuh jiwaku masih tertinggal. Dan perasaan ini semakin menjadi-jadi menjelang hari di mana aku harus menjemputnya.

***

Aku sudah di bandara beberapa jam sebelum perkiraan waktu kedatangan penerbangan yang membawa penggalan setengah jiwaku. Sudah aku buang jauh-jauh sesuatu yang aku kenal sebagai kesabaran. Tepat pada saat yang ditunggu-tunggu, tidaklah sulit untuk mengenali sesosok beraut ceria penuh kerinduan menghampiriku. Luapan kebahagiaan pada siang ini berujung pada tangis penuh haru. Ya Tuhan, terima kasih sudah mengumpulkan kami kembali.

Tidak ada pilihan lain kecuali aku harus memisahkan diri dari teman-teman untuk kemudian menyewa rumah kontrakan sederhana di pinggiran kota yang berjarak kurang lebih setengah jam perjalanan menuju kantor.
Dan sebentar lagi rumah itu akan menjadi saksi peresmian bertemunya pecahan-pecahan diri menjadi sesuatu yang sempurna. Rindu-rindu kami telah menemukan muaranya.

***

Pagi ini, sebagaimana biasa sejak ada istriku, aku berangkat ke kantor dengan suasana penuh keceriaan. Ucapan pamitku yang dibalas senyum indah dengan pesan untuk hati-hati menjadi bahan bakar penyemangat yang baru.
Di dalam angkutan umum sepanjang perjalanan, aku hanya ditemani lamunan betapa indahnya makan malam berdua nanti. Beruntung tidak ada kaca yang mampu memantulkan semua bayangan di depannya, sehingga aku terbebas dari rasa malu atas ulahku,  tersenyum-senyum sendiri.

Sesampai di kantor, seperti biasa aku berusaha menyapa siapa saja dengan ramah. Yang selalu menjadi harapanku adalah bahwa kehadiranku harus membuat semua orang merasa senyaman mungkin. Aku tidak mau ada orang yang sedih, tersinggung, dan bahkan marah disebabkan oleh sesuatu yang aku lakukan.
Sebelum aku duduk, pandanganku dipaksa untuk tertuju pada map merah mencolok yang ada di mejaku. Aku merasa ada yang sengaja meninggalkan map merah ini sebelum kemudian Bu Neni dengan senyum khasnya meyakinkan kebenaran dugaanku tadi. “Tinggal kamu yang belum”.

“Belum apa Bu?” sesuatu yang aku perlu tahu karena ucapan yang tidak utuh itu. Belum sempat aku mendapatkan jawaban, Bu Neni memberi isyarat aku untuk membuka map merah ini.
Penglihatanku tak sulit untuk segera tertuju pada ruang kosong pada kolom tanda tangan tepat di sebelah kanan namaku yang diketik dengan rapi. Ternyata aku belum tanda tangan, batinku sekaligus menjawab sendiri pertanyaanku tadi, sambil melihat-lihat lembaran berikutnya yang tidak berbeda dari yang pertama kecuali hanya hari dan tanggal saja.

Tiba-tiba hatiku merasa terusik ketika mengetahui rupanya ini daftar hadir untuk sesuatu yang tidak aku lakukan. Mungkin ini yang dikatakan orang-orang bahwa di dunia kerja akan banyak tantangan yang tidak pernah ada di bangku kuliah. Aku seperti di persimpangan jalan, belum tahu harus memilih jalan yang mana. Tetap menandatangani atau tidak. Hatiku seperti berbisik, “menandatangani adalah pilihan paling sulit untuk diterima nurani,” tetapi tidak menandatangani juga bukan perkara yang mudah dipahami oleh teman-teman lainnya. Menuruti hatiku atau menjaga hati teman-teman kantorku, dua hal yang sedang bertarung berebut pengaruh untuk dipilih sebagai keputusan akhirku.
“Apakah boleh tidak tanda tangan Bu?” tanyaku bernada meminta kepada Bu Neni. Hal ini perlu  aku sampaikan dengan hati-hati, khawatir muncul prasangka beragam atas alasan dari sikapku ini. Dari mulai sok suci atau sudah tidak butuh uang lagi atau yang lain.

“Ya, nanti saya sampaikan ke Pak Robert,” jawaban Bu Neni ini menghapus bersih kerisauanku. Masalah selesai, pikirku.

Beberapa menit sebelum waktunya pulang, aku diminta menghadap Pak Robert yang dari sejak aku masuk ke ruangannya map merah tidak terlepas dari genggamannya. Aku hanya menunggu apa yang akan disampaikan, tanpa harus bersusah payah menebak-nebak yang akan terjadi.

“Kenapa tidak mau tanda tangan?” tanya Pak Robert datar. Aku masih diam saja karena merasa kesulitan menyampaikan alasan yang sebenarnya.

“Kalian sudah bekerja keras menyelesaikan pekerjaan yang lama terbengkalai, dan ini bentuk perhatian kami kepada kalian.” Sebuah penjelasan yang masuk akal, tapi belum cukup untuk memberikan ketenangan hatiku.

“Tidak tanda tangan tidak apa-apa kan pak?” tanyaku menyusul ucapan rasa terima kasih tak terbilang atas perhatian dan penghargaan yang diberikan. Kalimat ini aku ucapkan dengan sangat hati-hati, supaya tidak ada kesan meninggikan diri atau sesuatu yang disalahpahmi sebagai kesan tidak baik lainnya dengan sambil tetap menjaga raut muka senyum tanda menaruh hormat kepadanya.

Mungkin merasa jawabanku tidak memuaskan, Pak Robert berdiri lalu membanting pelan map merah sambil berkata dengan suara agak meninggi, “Saya tidak mau tahu, harus tanda tangan!” Pak Robert bergegas keluar ruangan sementara aku masih diliputi perasaan campur aduk tidak karuan. Ada rasa bersalah karena sudah membuat atasanku marah, ada rasa tidak tenang untuk sesuatu yang hatiku tidak bisa menerimanya. Di waktu sempit ini, aku seperti dipaksa untuk tidak punya pilihan lain kecuali harus menuruti perintah atasanku. Sore ini aku pulang ditemani sesuatu yang sangat membebani pikiranku. Perjalanan pulangku menjadi terasa sangat jauh.

***

Sejak peristiwa aku menandatangani isi map merah itu, aku tak pernah benar-benar merasa tenang. Bahkan uang yang harus aku terima masih aku simpan rapi, belum terpikirkan akan digunakan untuk hal apapun, sambil mencari cara yang bisa aku lakukan untuk menebus ketidaknyataan dalam daftar itu.

Pernah aku coba untuk pulang lebih lambat selama kurun waktu yang tertuang dalam daftar itu, namun upaya ini tidak bertahan lama. Aku merasa bersalah kepada Pak Alex, petugas yang membuka dan mengunci kantor,  yang harus menungguku menyelesaikan misi tebusanku. Pekerjaan kantor memang selalu ada, tetapi melakukan sesuatu dengan membebani orang lain bukan pilihan yang bijak, pikirku.

Aku masih merasa belum tenang, sampai pada keputusanku untuk membawa pekerjaan kantor ke rumah, sebagai pembuktian bahwa apa yang ada dalam daftar itu betul-betul aku lakukan. Kelihatannya ini agak rumit, namun ini cara yang menurutku paling membuatku tenang. Ini bukanlah yang ideal, tidak sebagaimana yang seharusnya aku sudah tolak dari sejak awal. Aku lemah dari sisi ini, tapi aku masih bersyukur diberi perasaan yang tidak pernah tenang untuk hal yang mengganggu pikiran ini.

“Ini mas, mumpung masih hangat,” istriku sambil menyodorkan cangkir berisi teh yang khusus dibawa dari kampung halaman, sementara aku masih mencari satu per satu angka yang menyebabkan selisih antara penjumlahan oleh aplikasi komputer dan penjumlahan oleh mesin struk yang sepenuhnya dilakukan secara manual. Dalam beberapa malam ini, aku memarng selalu ditemani istriku, manusia yang dikirim Tuhan membantuku mendapatkan ketenangan dengan caraku sendiri.

***

Siang ini, di sela-sela waktu istirahat aku menyempatkan untuk mengunjungi salah satu teman yang aku kenal di tempat kerja yang tidak jauh dari kantorku, namanya Tegar. Meski membicarakan hal-hal ringan, tetapi hampir selalu terasa menarik selama aku berteman dengan dia. Ada kertas lusuh yang terlipat tak rapi di meja Tegar. Aku pikir tak ada salahnya untuk membuka lipatan dan mengetahui isinya sebelum aku buang ke tempat sampah. Rupanya kertas itu adalah bukti setor salah satu bank pemerintah yang tak jauh dari kantorku. “Penerimaan lainnya.” Itu bunyi tulisan yang aku baca di bukti setor itu.

“Ini punya siapa mas?” selidikku.

“Tidak tahu,” Tegar menjawab sekenanya. Tetapi aku yakin dialah pemiliknya, aku sudah mengenal dengan baik tulisan tangannya yang sekarang ada di bukti setor itu.

Aku tahu Tegar tidak mau menerima segala jenis uang yang tak jelas terdefinisikan.  Tetapi ketika uang yang sudah terlanjur atau terpaksa dia terimapun akan disetor ke kas negara, ini yang aku baru tahu dengan mata kepalaku sendiri. Aku beruntung memiliki teman yang sanggup berjuang untuk sesuatu yang membuat lebih tenang. Ya, dia memang setegar namanya.

***

Pertemuanku dengan Tegar siang ini, betul-betul menjadi pelajaran yang paling berharga yang pernah aku temukan sepanjang pengalaman bekerjaku. Meski yang aku lakukan masih jauh dari apa yang dilakukan Tegar, tetapi setidaknya aku punya teman untuk sebuah perjuangan yang berawal dari bagaimana menjadi pendengar yang baik ketika nurani sedang menyampaikan pendapatnya. Mintalah fatwa kepada hatimu, begitu kira-kira pesan yang pernah aku dengar dan aku bisa merasakan langsung sekarang ini. Kekhawatiranku tentu ketika hatiku sudah tak sanggup menangkap sinyal-sinyal peringatan dari Tuhan. Ini musibah yang paling takutkan, hilangnya kepekaan hatiku.

Ini adalah perjuangan dalam sepi, karena hanya diri kita yang tahu dan merasakan gejolaknya. Tegar hanya satu dari sekian banyak orang yang mampu membentengi diri dengan nurani hatinya. Para pejuang seperti ini tidak pernah menghiraukan apapun karena mereka akan tetap melakukan sesuatu yang berharga meski tidak di atas panggung-panggung yang akan dilihat banyak orang.

Aku yakin pasti banyak pejuang yang serupa ini, tetapi tetap saja jika gejolak datang, akan terasa sepi, seperti merasa sendiri, sesuatu yang harus aku lawan semampu yang aku bisa. Aku berjalan pulang dengan dihantui rasa khawatir dan penuh harap, sambil lirih berucap, "Ya Tuhanku, aku tidak mau jauh-jauh dari hatiku"

Tamat

***

Oleh: JoRay

Berhentilah Sejenak

Berhentilah sejenak teman,
mungkin perjalananmu sudah terlalu jauh
penuh peluh

Bahkan engkau akan tertawa mengenang masa sedihmu yang dulu
di sini, di tempat yang akan membuatmu mudah untuk menguras ingatanmu
tentang banyak hal

Duduklah bersama teman masa lalumu
‎yang akan selalu hadir menemani tawamu

Tetaplah bersama
melawan rasa takut yang terlalu berani menghadangmu


Bogor, 21 Juni 2020

Pecahan-pecahan Kebaikan yang Tak Akan Terlupakan

"Fid... iso teko ngumpul-ngumpul ga bengi iki ?", begitu isi sms yang selalu datang beberapa hari setelah lebaran pertama. Tak ada tanda-tanda bosan mengirimkan sms seperti ini meski jawabanku tidak selalu bilang bisa. Pengirimnya bisa dipastikan bahwa teman alumni SMA-nya dan bahkan teman seangkatannya tak ada yang tak mengenalnya.
Acara kumpul-kumpul pra-reuni yang diperkirakan efektif mulai 2009 ini, seperti buah dari proses yang penuh dengan keringat dan usaha yang tak pernah mengenal lelah dan bosan.
Bagaikan mengumpulkan tulang-tulang berserakan, hanya yang bermental persaudaraan yang tinggi yang mampu melaksanakan, sementara media komunikasi belum secanggih seperti sekarang.
Tercatat, terbentuk group milist dengan kurang lebih 37 members (media komunikasi yang nge-hits waktu itu) pada April 2005, meski baru mulai rame postingan pada Januari 2006. Mungkin karena ada pilihan media komunikasi yang lebih menarik, denyut nadi 'kehidupan' terus mengalami penurunan sampai pada postingan terakhir pada April 2012.
Alhamdulillah, saya termasuk yang masuk dalam radar target misi yang tak terbantahkan kemuliaannya : menyambung silaturahim kembali.
Dari situ, beberapa kali ikut kumpul-kumpul super tipis di alun-alun dan di beberapa tempat lain yang nyaris tak terdokumentasikan. Tapi pahala untuk upaya ini insya Allah tidak akan terlewatkan sedikitpun.
Pemantik kecil yang tak pernah bosan, buahnya adalah bola salju yang tak berkesudahan putarannya. Semakin membesar, seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Djaliteng !

Iya, tidak salah lagi, Djaliteng tak mungkin bisa dipisahkan dari upaya-upaya ini, meski tentu bukan hanya dia yang ada dalam barisan ini. Kerja kerasnya selalu kita rasakan sepanjang tahun, sampai tiba kabar yang sayup-sayup seperti susah untuk dipercaya. Tapi keyakinan bahwa semua akan berhenti pada taqdir yang sudah ditentukan Allah SWT atas hamba-Nya, memastikan bahwa kabar itu memang benar adanya. Kabar yang mengagetkan itu tentu menghilangkan gelak tawa, tergantikan oleh kesedihan yang menyelimuti bermacam-macam perasaan.

Beruntung, punya kesempatan untuk mengantarkanmu diperistirahatan terakhir sahabatku. Pagi itu seperti ikut menyampaikan kesedihannya, prosesi yang sangat emosional itu diiringi oleh rintik-rintik hujan. Ini semakin menambah rasa kehilangan seorang sahabat yang tak pernah lelah dan bosan menyambung-nyambung tali saliturahim yang tercerai-berai.

Selamat jalan sahabat, seperti yang pernah aku ucapkan di hari ketentuanmu, dan kini aku ulangi lagi di sini, semoga selalu dalam naungan rahmat-Nya, mendapat balasan yang lebih baik dari kebaikan-kebaikan yang pernah kamu lakukan. Aamiin Ya Rabbal 'Alaamiin.

Semoga kita bisa melanjutkan upaya mulia ini : tetap bersemangat mengumpulkan, semakin mempererat tali silaturahim. Tentu ini tak mudah, karena kerikil-kerikil kecil akan selalu ada. Kedewasaan dan kerendahhatian membuat semuanya menjadi mudah insya Allah.


Ibu

Untukmu yang jauh di sana
yang hanya berteman rindu
dengan anakmu
yang hari-harimu penuh canda
dengan sepi

Mungkin
satu-satunya yang merisaukanmu
saat ini adalah jarak jauh
yang begitu mengganggu
setiap keinginanmu untuk memelukku

Tidak seperti dulu
yang hangat rangkulmu
tak pernah mengenal kata waktu

Dan waktu yang terus berlari
tanpa kau sadari
raga yang tak selamanya mampu
bahkan untukmu berdiri sendiri
kau tetap selalu mengkhawatirkanku

Sementara aku di sini
sibuk dengan riang tawa
tanpa menyadari
peran yang seharusnya berganti

Ibu
maafkan anakmu


*Selamat Hari Ibu 22 Desember 2017






Sweeping Tersukses

Secara formal, keikutsertaanku di diklat teknis komputer ketika itu menjadi titik awal karirku di bidang IT/Komputer, meskipun belajar pemrograman sudah aku mulai setahun sebelum ikut diklat. Waktu itu, diklat teknis komputer termasuk diklat paporit (sedikit penyesuaian dengan tempat aku tinggal sekarang : Bogor... hehe) bagi teman-teman. Wah, minat teman-teman ke dunia IT besar juga ya,  tapi tunggu dulu. :D
Hampir semua teman-teman yang ditempatkan di luar jawa, rajin cari info ada diklat apa saja yang bisa diikuti. Alasannya satu : biar bisa dekat dengan kampung halaman. Jadi tidak ada hubungannya dengan minat di dunia IT. Sssst... rahasia :P
Kebetulan diklat teknis komputer ini lamanya : 1 bulan plus 4 bulan. Lumayan bisa berkeliaran di jakarta dan kampung halaman selama total 5 bulan. Satu kesempatan yang harus diambil.


Ini jelas terlihat dari peserta yang lulus seleksi, lebih dari 80% dari luar jawa. Akibatnya hampir setiap akhir pekan, tempat penginapan selalu sepi, karena pada pulang kampung. Dan itu menjadi sesuatu banget pada waktu itu. 


Dan balik ke jakarta nya sebagian besar hari senin pagi. Tentu ada saja teman yang datang tidak tepat waktu, alias kesiangan. Ada yang masuk setelah coffee break pertama, atau bahkan setelah makan siang, kelakuan ya :D


Dari segi waktu, diklatnya cukup lama juga, tentu saja ini membuat  teman-teman semakin akrab, dan mulailah muncul aksi aneh-aneh yang bikin suasana makin meriah, dinamis dan tidak membosankan. Mulai dari ledekan yang kecil-kecil sampai ke aksi yang agak nekat, mengambil jatah makan teman lainnya, paling tidak buahnya sudah hilang duluan. Pisang menjadi buah yang paling sering hilang duluan. Kalau menjelang jam istirahat, ada yang pura-pura ke toilet, padahal sedang 'sweeping' buah di kotak nasi, hehe. Memang terkesan konyol, tapi justru ini yang membuat suasana tidak membosankan.


Adat istiadat atau keusilan yang dimaklumi ini makin lama makin menjadi, meskipun sebetulnya masih dalam batas yang wajar.


Sampai suatu saat teman kami, sebut saja nama samarannya Agung, ketika balik dari kampung terlambat datang. Alhasil dia tidak sempat mengikuti pelajaran sesi pagi. Karena datang kesiangan, tentu tidak enak kalau dipaksakan masuk kelas yang ketinggalan cukup lama.


Kebetulan senin pagi itu karena alasan teknis (sama seperti kalau ada penerbangan yang ditunda ya :D) kelas dipindah ke gedung utama, gedung B. Agung segera ke Gedung B untuk menunggu selesainya sesi pagi sambil melancarkan aksinya, 'sweeping' !!!


Yang agak mengherankan dalam benak Agung, kok tumben menunya tidak seperti biasanya. Keliatan lebih mewah. Maka sambil menunggu teman-teman istirahat, Agung tidak menyia-nyiakan waktunya untuk segera ber-'gerilya'. Ketika asyik melahap hasil 'sweeping' nya, mulailah yang ada di ruang belajar keluar satu per satu. Tapi ada yang aneh, "perasaan ada yang aneh dengan teman-temanku ya ?", batin Agung.


Setelah diperhatikan secara seksama, ternyata memang betul. Yang keluar dari ruang belajar bukan teman-temannya, tapi para pejabat yang sedang mengikuti diklat. Pantesan menunya tidak seperti biasanya. 


Yang sebelumnya merasa bangga karena bisa melakukan sweeping istimewa, ternyata justru menjadi sweeping yang paling memalukan karena salah tempat, hehe...

*makanya sms dulu donk, eh tapi waktu itu memang belum ada hp :D


***

Pindah Gigi

Ini kisah ketika saya kos waktu kelas 3 SMA dulu. Sebetulnya tidak ada halangan untuk tidak kos, tapi biar kelihatan serius dalam rangka menghadapi EBTANAS. Wah istilahnya kuno banget ya, beda ama sekarang : UN. Kalau kos kan biar bisa lebih fokus belajarnya, biar bisa lebih sering diskusi sama teman-teman untuk persiapan ujian, meskipun pada kenyataannya sama juga, bahkan malah lebih sering nongkrongnya daripada belajar. Ssst... 
Tapi memang benar apa kata orang (orang yang mana ya :P), "kos jauh lebih seru", selalu ada cerita, ada canda dan tawa, ada juga dukanya terutama kalau tanggal-tanggal tua. Hush... kok jadi curhat begini.
Saya masih ingat, malam pertama kos, semalaman diiringi lagu 'Hello'-nya Lionel Richiesangat menyentuh dan sekaligus menyedihkan. Menyentuh karena memang lagunya ok banget, dan menyedihkan karena aku gak enak mau matiin lagunya, itu tape recorder punya teman sekamarku.
Sekarang kalau dengar lagu itu, jadi ingat masa-masa itu, seakan-akan Lionel Richie pernah jadi teman kosku. Lebay dot com.
Satu hal yang selalu bikin seru adalah makanan.
Kapanpun dia ada, tidak perduli waktunya makan atau (apalagi) waktu-waktu lapar, selalu bikin heboh. Suasana rebutannya seperti bertahun-tahun tidak pernah lihat makanan. Seperti malam itu habis maghrib, ketika bapak kos dapat undangan kenduren atau dikenal dengan istilah bancak-an. Hanya ada satu kata kalau ada undangan kenduren  adalah : berkat (jatah nasi bungkus dari acara hajatan itu). Seperti layaknya anak kandungnya (kalau urusan makanan ngaku-ngaku anak kandung ya... :D), sambil menunggu bapak kos balik dari hajatan, kita ngobrol di ruang tengah, sambil membayangkan berkat beserta asesorisnya : nasi plus kentang goreng, sayur kacang, perkedel kentang, telur plus ayamnya. Hmmm... sambil mikir... dapat apa ya aku kalau rebutan nanti.
Rupanya ada salah satu teman yang belum sholat maghrib. Kebetulan kebiasaan dia kalau sholat di atas dipan, yang tentu saja setiap pergerakannya terdengar derit yang lumayan keras : krieet...
Di setiap jeda obrolan kami, tentu terdengar bunyi yang cukup keras dari dipan tempat temanku sholat.
Bunyi 'krieet' nya masih cukup teratur, menandakan khusyuknya sholat :
krieet... krieet... krieet...
krieet... krieet... krieet...
Ditengah 'irama' yang teratur itu, tiba-tiba bapak kos datang, "Assalamu'alaikum..." Kami menjawab salam dengan penuh semangat. 'Berkat' langsung ditaruh di meja, dan 'petualangan' anak kos pun dimulai. Suasana di ruang tengah menjadi gaduh dan tentu saja terdengar oleh temenku yang sedang sholat...
Ketika teman-teman mulai mendapatkan bagiannya, terdengar suara derit dipan yang berbeda dari yang tadi :
krieet.. krieet.. krieet.. krieet.. krieet.. krieet..
krieet.. krieet.. krieet.. krieet.. krieet.. krieet..
Ada yang nyeletuk, "wah sholatnya pindah gigi ya"
dengan disambut grrrrrrrrrrrrrr teman-teman lainnya...


* lain kali sholatnya di lantai aja, kalau pindah gigi tidak ketahuan :D

Mengapa Saya Ingin Menulis

Sering kali saya menjumpai tulisan yang membuat saya menangis, tertawa, sedih, menjadi bersemangat, dan berbagai ekspresi lainnya. Hal ini sudah cukup jadi bukti bahwa pengaruh tulisan itu sangat besar terhadap perasaan seseorang.

Dengan tulisan yang isinya sangat menyentuh, seseorang dapat terketuk hatinya untuk kemudian tersadar terhadap sesuatu. Tidak sedikit seseorang sulit untuk diingatkan secara lisan, tapi mudah tersentuh oleh nasihat-nasihat yang dikemas dalam bentuk tulisan yang baik.

Seseorang bisa juga menjadi terharu ketika membaca tulisan yang dikemas dalam bentuk kisah-kisah inspiratif. Kisah-kisah yang baik ini, tidak akan menginspirasi orang lain apabila tidak ditulis yang kemudian akan dibaca orang lain.

Tulisan bisa juga memotivasi seseorang yang pada saat sedang tidak memiliki semangat untuk maju dengan potensi yang sebenarnya sudah dimilikinya.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah ilmu-ilmu dari orang-orang sebelum kita, dapat kita pelajari dari tulisan yang dibuat oleh mereka. Sebagaimana ungkapan seorang ulama, "ikatlah ilmu dengan menuliskannya", maka ilmu tidak akan hilang begitu saja. Hal ini tentu untuk menjaga kesinambungan alih ilmu antar generasi. Jika tidak ada tulisan, rasanya proses pewarisan ilmu akan menjadi lebih sulit. Daya hafal manusia juga sangat terbatas.

Jangan sekali-kali melupakan sejarah, begitu ungkapan yang sudah tak asing bagi kita. Tapi sejarah tidak akan pernah ada, jika tidak disimpan dalam sarana-sarana yang baik, yang salah satunya adalah dalam bentuk tulisan. Generasi berikutnya akan dengan mudah mengakses informasi terhadap kegemilangan generasi sebelumnya. Meneladaninya dan mengambil pelajaran dari sejarah yang dibaca melalui tulisan-tulisan. Ini salah satu upaya memelihara peradaban agar tidak mudah punah.

Dengan menulis kita bisa menyampaikan ide-ide yang baik yang akan bermanfaat baik untuk kita sendiri maupun untuk orang lain. Kita bahkan bisa menumpahkan semua perasaan kita melalui tulisan.

Di lain pihak, ide-ide yang tidak baik juga berserakan melalui tulisan. Hal ini sangat membahayakan bagi generasi berikutnya. Kalau kita masih punya kepedulian terhadap kebaikan generasi berikutnya tentu hal ini tidak akan membuat kita tinggal diam, hanya mengeluh saja. Solusinya diantaranya adalah kita harus ikut beserta orang-orang yang menyebarkan pengaruh yang baik melalui tulisan.

Tulisan bisa memengaruhi perasaan, mental, pikiran dan karakter seseorang. Pada skala yang lebih luas, bisa mempengaruhi 'warna' masyarakat. Dan dalam kurun waktu yang cukup, hal ini akan mempengaruhi sebuah peradaban, bahkan bisa membentuk peradaban dengan warna yang baru. Karena itulah, mengapa saya ingin menulis.

Cita-cita Yang Tercapai

Malam beranjak menyepi ketika ditemani hujan yang terlihat sabar dengan rintik-rintiknya. Suara syahdu tetesan airnya membuaiku untuk tetap bermalas-malasan merebahkan punggung di tempat yang biasa aku menghabiskan malam istirahatku. Ini memang waktu yang ideal untuk segera melepaskan segala kepenatan dari hiruk pikuknya beban di sepanjang hari tadi.

Belum juga sempat mengawali petualangan 'hibernasi'-ku malam ini, kudengar rintihan kesakitan dari istriku. Rupanya sakit gigi yang dikeluhkan sejak pagi tadi, mencapai puncak sakitnya di saat orang-orang berangkat ke tempat peraduannya.

Baru kali ini aku tahu betapa sebegitunya orang mengeluh karena sakit gigi. Aku menjadi tidak heran beberapa tahun yang lalu ada seorang teman yang protes keras gara-gara mendengar lagu yang liriknya kurang lebih bermakna "lebih baik sakit gigi daripada sakit hati". Kata temanku itu, "penyanyinya tidak pernah sakit gigi sih, kalau aku ya mending sakit hati daripada sakit gigi". Aku pikir pernyataan temanku ini juga penuh spekulasi, mungkin karena belum merasakan betapa sakitnya kalau lagi sakit hati. Tapi bolehlah, sekali-kali protes terhadap lagu yang tadinya dimaksud untuk menghibur, tapi malah dirasa kontradiktif terhadap yang sedang dirasakan temanku. Wajah protesnya tidak bisa disembunyikan, sambil pegang pipi sebelah kirinya yang keliatan bengkak. Sabar ya friend :D

Malam ini mungkin menjadi malam yang akan dikenang istriku dengan rasa sakitnya yang tak kunjung berujung. Rintihannya cukup mewakili betapa sangat sakitnya yang sedang dirasakan. Aku tidak boleh tidur, harus berbuat sesuatu. Toh suami siaga tidak hanya dimonopoli oleh para istri yang hamil saja. Mendapat perhatian suami adalah hak segala bangsa, termasuk para istri yang sedang sakit gigi.

Tak berlama-lama lagi, aku tawarkan untuk aku bawa ke rumah sakit terdekat, tapi istri tidak mau. Cukup minta dibeliin obat sakit gigi saja untuk mengurangi rasa sakitnya. Segera aku ganti baju, aku ambil kaos sekenanya, warna putih berkerah dan tak lupa pakai jaket untuk melindungi diri dari udara yang tidak terlalu bersahabat karena dingin yang menyengat tulang.

Waktu sudah menjelang tengah malam ditambah hujan rintik, membuat jalanan begitu lengang. Tidak butuh waktu lama untuk sampai pada rumah sakit terdekat. Alhamdulillah tempat parkir juga tidak penuh, memudahkan aku memilih di mana aku memarkir kendaraanku dan segera ke apotek dan beli obat sakit gigi sesuai pesanan istri. Aku tidak boleh lama meninggalkan rumah, khawatir tetangga kiri kanan terbangun gara-gara istri sakit gigi.

Setelah antri beberapa saat, obat pereda nyeri sakit gigi itu sudah siap aku bawa pulang dengan sejuta harapan. Seperti biasa aku siapkan uang parkir, dan sebelum beranjak pergi, aku serahkan uang ke petugas parkir. Tapi anehnya tukang parkir memberi isyarat tidak mau menerima uang parkir tersebut. "Wah baik banget tukang parkirnya, bisa memahami cobaan yang sedang menimpa kami," pikirku. Tapi aku tidak boleh kalah, aku agak memaksa sedikit, "sudah, tidak apa-apa pak, ini ya", sambil aku sodorkan lagi uangnya. Dengan sopan dan hormat diterimalah uangku sambil berkata, "makasih dok..."

Langsung saja aku menyadari kenapa tadi tukang parkir tidak mau menerima pemberianku. Sambil berusaha mencari penyebabnya, aku perhatikan lagi apa yang ada pada diriku. Mungkin karena pakaian yang aku kenakan ditambah kacamata minus yang sudah lama menemani kemanapun aku pergi.

Tuhan Maha Adil, setiap kebaikan yang kita tanam, terkadang tanpa harus menunggu lama, kebaikan yang berikutnya akan dikaruniakan kepada kita. Jadi jangan ragu untuk berbuat baik kepada orang lain, terutama kepada istri dan orang-orang yang kita sayangi. Bersusah payahnya aku memberikan yang terbaik buat istri yang sedang menahan rasa sakitnya, dibayar lunas oleh Tuhan, cita-citaku sejak kecil tercapai : ingin menjadi dokter. Alhamdulillah.

Perguruan Tinggi dan Ambisi Orang Tua

Proses seleksi masuk perguruan tinggi pasca SMA sebetulnya siklus rutin yang akan kita jumpai setiap tahun, tapi selalu saja ada drama-drama yang mengharukan, ada kegembiraan dan ada juga kesedihan.

Suasana dramatisnya mirip-mirip pada final sepakbola level eropa atau dunia semisal liga champion atau piala dunia. Di akhir laganya selalu menyisakan dua pihak yang keharuannya sangat kontras. Meski sebagian dari dua pihak itu memiliki cara mengekspresikan yang kadang terlihat sama, katakanlah dengan menangis, tentu memiliki latar belakang emosional yang sangat berbeda. Para pendukungnyapun tak kalah seru dalam menyikapi hasil akhir laga fenomenal tersebut.

Sedramatis apapun itu, proses seleksi masuk perguruan tinggi dan final laga sepakbola yang sangat terkenal itu tentu harus dipahami sebagai sesuatu yang berbeda, minimal dalam konteks pendekatan filosofis. Final liga champion adalah hasil akhir, sementara proses seleksi masuk perguruan tinggi hanyalah titik awal dari sebuah perjalanan menempa kematangan dan kedewasaan yang sangat panjang.
Oleh karena itu, drama pasca pengumuman hasil seleksi perguruan tinggi mesti disikapi dengan kadar yang secukupnya, karena ketidakberhasilan lolos dalam seleksi ini bukanlah akhir dari segalanya.

Setidaknya ada tiga hal yang membuat proses seleksi ini menjadi begitu menguras emosional kita. Pertama, terlalu terburu-buru memaknai kesuksesan pada proses dini ini. Memang tidak salah apabila ketika lolos pada seleksi ini memberi harapan yang memadai untuk menggapai kesuksesan, tetapi ketika pada kondisi sebaliknya, tentu tidaklah bijak apabila ini kemudian kita sebut sebagai pertanda kegagalan kehidupan kita.

Kedua, keinginan anak-anak kita yang sangat tinggi. Hasil seleksi yang baru diketahui kemarin, tentu memberi efek yang ekstrim dari mulai kegembiraan sampai pada titik kesedihan pada skala tertinggi bahkan bisa jadi mengalami kekecewaan yang sangat dan frustasi. Di kalangan anak-anak, proses seleksi di samping sebagai sarana memilih perguruan tinggi terbaik untuk mencapai cita-citanya, bisa juga sebagai ajang adu gengsi, meski pada kenyataannya tidak selalu pilihan-pilihan itu bisa diadupadankan.

Ketiga, ambisi orang tua yang melebihi kemampuan dan bahkan kemauan anaknya. Atas dasar pengalaman yang diperoleh selama ini, kebanyakan orang tua mengarahkan atau paling tidak memberi masukan pada proses pemilihan jenjang pendidikan yang paling krusial ini. Pada proses pengarahan ini tidak jarang pula para orang tua 'menitipkan' sesuatu yang sedikit banyak dipengaruhi ambisinya. Ketidakmampuan orang tua membuat titik keseimbangan (tawazun) antara pengarahan karena latar belakang pengalaman-pengalaman yang berharga selama ini atau karena ambisi-ambisi yang tersembunyi, kemudian dipadukan dengan minat dan kemampuan anaknya, akan menjadi beban yang tidak ringan. Bahkan apabila hasilnya kemudian mengecewakan, beban ini bisa berakibat trauma yang berkepanjangan.

Hari pengumuman bukanlah hari penentuan seseorang akan sukses atau sebaliknya. Menerima kenyataan pahit pada fase ini tentu tidak mudah, dan ini harus dibersamai dengan upaya rekonsiliasi mental yang harus dilakukan secara cepat dan terukur.

Pada hari diketahui hasil jerih payah belajar dan selalu terlantunkannya do'a-do'a, tentu bukan waktu untuk menghakimi dan mengumbar segala kesalahan. Pada saat krusial ini, justru orang tua harusnya berperan menjadi penampung yang sangat luas sebanyak apapun kekecewaan yang akan dirasakan oleh anaknya menerima kenyataan yang tidak selalu sesuai harapannya.

Orang tua harus menjadi pendingin bagi jiwa-jiwa yang kecewa, menjadi penghangat bagi jiwa-jiwa yang lunglai tak bersemangat, menjadi pembesar bagi jiwa-jiwa yang mengkerut kecil. Orang tua juga harus bersedia menjadi terminal yang nyaman bagi jiwa-jiwa yang membutuhkan tempat istirahat sementara waktu.

Kepada anak-anak yang sedang membutuhkan segalanya mengumpulkan kembali semangat dan gairahnya, orang tua perlu melebarkan tangannya, melapangkan dadanya dan menyampaikan hakikat ambisi yang sebaik-baik ambisi orang tua kepada anaknya. Peluk dan kemudian berbisiklah, "Anakku, kamu jadi anak shaleh, itu sudah lebih dari cukup bagi ayah dan ibu..."

Es Kelapa Muda dari Langit

Beberapa menit menjelang waktu istirahat, telepon yang ada di ruang kerjaku berdering. Ada masalah aplikasi apa lagi nih. Pikirku ketika berjalan mendekat untuk mengangkatnya. Waktu itu satu-satunya alat komunikasi antara pengguna dan tim aplikasi hanya melalui telepon, tidak seperti sekarang yang bisa juga melalui SMS, WA atau layanan online lainnya.

"Yah, ada om Luki ke rumah", kabar yang aku terima dari istriku setelah sebelumnya kami saling berbalas salam.
Aku sudah lama tidak bertemu adikku meski jakarta dan bandung bukan jarak yang jauh untuk saling berkunjung mempererat tali silaturahim.
Tentu ini kabar yang sangat menggembirakan. Memang sejak senin tiga hari yang lalu adikku ada tugas kantor selama lima hari di Bandung, dan pada hari kamis ini sepertinya baru sempat main ke rumah.
Aku segera pulang ke rumah yang kebetulan jarak rumah kontrakan kami tidak jauh dari kantor. Jalan kaki kurang lebih sepuluh menit juga sudah sampai.
Tapi perjalanan pulang kali ini terasa lebih lama dari biasanya. Ah, mungkin hanya karena tak sabar ingin bertemu adikku.


"Maaf, sudah menunggu lama", pintaku sesaat setelah kami berangkulan dalam kehangatan rindu-rindu kami selama ini.
"Mba Alfi lagi jemput Muslimah, Mas," buru-buru Luki memberi informasi ketika tahu aku celingak-celinguk ke setiap ruang di rumah.
Sebetulnya Muslimah, anak sulung kami biasa pulang sendiri. Sekolahnya juga tidak jauh dari rumah. Mungkin khawatir main ke rumah temannya, isteri merasa perlu menjemputnya. Anak-anak juga harus bertemu pamannya.

Di tengah obrolan yang penuh semangat itu, tidak lengkap kalau tidak ada hidangan yang menemani. Segera aku ke penjual bakso Solo yang lokasinya persis di depan rumah. Rumah kontrakan kami bisa dibilang ada di tengah-tengah pasar. Tetangga-tetangga kami adalah para pedagang yang tak pernah sepi dengan segala hingar bingar transaksi dan celotehan iseng khas orang-orang pasar. Seru banget.

"Es kelapa muda dua ya mas, gak pakai lama," kataku sambil melontarkan candaan supaya aku tidak berlama-lama menunggu pesananku. Siang itu udara di Bandung memang sedang panas-panasnya.

Aku segera balik ke rumah untuk melanjutkan obrolan yang sempat terputus tadi. Mas Tarno, si penjual bakso Solo benar-benar memenuhi permintaanku. Es kelapa muda cepat terhidang di meja ruang tamu dan tentunya kami tak sabar untuk menikmatinya. Udara panas dan es kelapa muda memang pasangan yang sangat ideal, memberi efek kesegaran yang berlipat-lipat. Alhamdulillah.

"Assalamu'alaikum", isteriku bersama dua anak kami, Muslimah dan Aminah, menghentikan keseruan obrolan kami. Anak-anak langsung memburu cium tangan dengan pamannya ketika aku sedang asyik menikmati es kelapa muda di gelas yang hampir tak bersisa.
Sementara isteri memalingkan pandangannya ke arahku tanpa menyembunyikan keheranan dan sedikit menahan senyumannya.

"Loh, ayah kan lagi puasa", buru-buru isteri mengingatkanku meski gelas yang dari tadi aku pegang tak ada tanda-tanda masih ada isinya. Aku langsung mengucap istighfar, baru tersadar kalau hari itu memang sedang puasa. Meski tidak rutin, kadang-kadang kami puasa sunnah senin kamis.

Setelah diyakinkan isteri dan adikku, aku tetap melanjutkan puasaku. Hari itu menjadi hari yang berkesan, menjalani puasa paling ringan dalam sejarah.

"Coba kalau tadi sekalian beli bakso ya," selorohku yang kemudian diikuti tawa yang melengkapi kebahagiaan kami.

Lupa tidak selalu berkonotasi negatif. Adakalanya Tuhan memberi rezeki-Nya melalui cara yang unik ini, karena sampai saat ini belum ditemukan metode bagaimana merencanakan kapan dan dimana kita akan lupa.

Ramadhan

Wah, sebentar lagi Ramadhan tiba nih!

Ada yang kangen?

Rindu suasananya?

Atau jatuh cinta dengannya?


Yuk kita simak kisah kisah Ramadhan dari pegawai di lingkungan DJA. Bukan hanya bikin tambah kangen Ramadhan, tapi juga kangen ibadah tarawih dan keluarga di kampung halaman.


Check these out ! 😉😉😉


*****************************


Handojo, Direktorat PAPBN

Terkenang aku pada Romadhon masa kecilku. Teh manis hangat dan kolak pisang buatan Ibu menjadi menu spesial buka puasa. Saat kurasa belum puas kadang kuminum milik kakakku dan dia hanya tersenyum melihat tingkahku.
Setelah menyantap menu buka puasa, masjid menjadi lokasi favorit. Sholat berjamaah diiringi canda ria, dari maghrib hingga tarawih menjadi kegiatan rutin, diakhiri momen paling menyenangkan, pembagian 'jaburan'. Tak jarang aku dan kawan kawanku berebut sekedar mendapatkan jaburan. Saat sahur menjadi saat yang ditunggu tunggu bila Ibu menggoreng dendeng sapi, makanan favorit  yang hanya kutemui di kala bulan suci Romadhon. Siang hari kuhabiskan waktu untuk bermain sambil tak lupa menghitung detak jam menjelang maghrib.


Masa itu kini tlah berlalu, bahkan untuk bernostalgia menyeruput teh manis bikinan Ibu pun tak mungkin. Ibu tlah tak ada di sisiku. Kini ada wanita lain di sisiku, istriku. Dia bukan pengganti Ibu dan tak elok bila dibandingkan dengan Ibu. Dia adalah Ibu bagi anak-anakku, yang hari harinya disibukkan untuk menjadikan Romadhon menjadi momen terindah sepanjang tahun. Tentu bukan dengan teh manis dan kolak pisang tapi dengan menu kesukaan anak-anakku. Dijadikannya setoran hafalan Al Qur'an menjadi hal yang menyenangkan, sholat tarawih menjadi momen yang dinanti, shodaqoh menjadi gerakan hati dengan hadiah diakhir Romadhon menanti.

Aku memang tak bisa selalu menemani anak-anakku sebagaimana istriku. Buka puasaku tak jarang diperjalanan. Waktu sholat tarawih tiba aku pun baru tiba di  rumah. Tapi tak berarti komunikasiku dengan anak-anakku terhenti. Gadget menjadi penghubung kami, Kami saling bertanya apa yang menjadi menu buka puasa, sampai dimana hafalan Al Qur'an, seberapa banyak ayat suci yang tlah dibaca, atau apakah shodaqoh tlah dilakukan. Semua itu bukan untuk saling menyombongkan diri, tapi memotivasi ber-fastabiqul khoirot. Jarak dan kesibukan bukan menjadi alasan untuk tidak saling memotivasi diri agar khusyu' di Romadhon ini dan mengakhiri bulan suci ini dengan bertranformasi menjadi insan yang fitri.

Jaburan = makanan kecil yang dibagikan untuk anak-anak yang mengikuti sholat tarawih berjamaah sampai selesai.



****************************

Pujiastuti, Direktorat PNBP



Saat-saat pertama mengenalkan puasa Ramadhan selalu mendebarkan buat orang tua. Gimana ya, kalau anak ga kuat? Kalau dipaksa, takut trauma. Ditolerir, nanti terbiasa sampai besar. Kecemasan seperti itu selalu menghantui Ibu. “Najib ingin sepeda, jadi kusyaratkan dia puasa sebulan penuh kalau mau dapat,” Ibu menceritakan ikhtiarnya kepada oom Hasyim, saat adiknya yang selalu jadi rujukan agama itu silaturrahim ke rumah sebelum Ramadhan. “Wah, sebaiknya tidak perlu menjanjikan materi. Nanti dia terbiasa sampai besar, ibadah mengharap imbalan,” aku deg-degan mendengar saran Oom Hasyim. Wahh, gimana nasib sepeda ku ya??? “Kurasa tidak apa-apa, lah untuk anak kecil. Tohh, kita yang dewasa saja beribadah mengharap imbalan, yaa pahala, yaa surga. Manusiawi, toh?” Ahh … lega rasanya Ibu tidak berubah fikiran. Sepeda baru sudah terbayang di depan mata. Putar-putar lapangan badminton dikejar-kejar Fikri, Ardi, dan Pavel karena pasti mereka ingin bergantian. Ramadhaaaaaan, cepatlah datang.

Aduhh… aku masih mengantuk sekali saat ibu membangunkan sahur. Rasanya baru saja tidur, setelah sholat tarawih. Meski rakaatnya banyak, kalau tidak salah 23, dan pak ustaz lamaaa sekali ceramahnya, tapi aku senang-senang saja. Bahagia banget bisa sholat ramai-ramai. Kali ini Fikri menantang siapa yang ga bolong tarawihnya, dia menang. Tapi aku suka sebal kalau sahur, walau ibu menyuapi makan dengan paha ayam goreng kegemaranku. Setelah 6 suap, aku merengek minta sudahi saja menyuapiku. “Masya Allah, biasanya kamu makan sehari sampai 5 kali, lho Jib. Besok sudah ga boleh makan. Gimana kalau lapar?” Ibu kedengaran panik. Setelah tawar menawar, kami menyepakati 6 suap lagi. Tenaaanglah Ibu, sepeda akan meneguhkan tekadku, kata ku dalam hati.

Ya ampuuun… begini ya rasanya tidak makan. Jam 9 perutku rasanya periiiih sekali. Emak pengasuhku sabar banget membujuk.”Sabar, ya Jib. Masih jauh dari zuhur, ayo deh cuci muka biar sejuk”. Lalu, “ayo bobo yo, pasang ac, panggil temen2 nya ya tidur bareng,” atau “nanti mau buka makan apa deh biar sampe?” Nahhh kalo ditanya mau apa, aku lalu bilang: teh manis, es buah, es kelapa, ayam fretciken, bakwan, risol, pake sambel. Yahh minimal sebanyak itu. Sebenernya aku alergi es, pekan ketiga puasa sudah mulai terdengar aku batuk2 sesekali, dua kali. Ibu lalu menambah menu vitamin. Tapii, aduhh tenggorokanku rasanya tetap sakit, dadaku semakin lama terasa sesak dan gataal sekali. 3 hari menjelang lebaran badanku panas, dan Ibu panik membawaku ke dokter. Aku harus minum obat, badanku lemah, 3 hari lagi Ramadhan, dan aku terpaksa tidak berpuasa. Yahhh… sepeda kamu mungkin memang belum milikku. Setelah 3 x 2 hari minum obat, aku merasa baikan. Di hari terakhir ramadhan, aku minta puasa. “Kenapa, Jib? Kamu sudah kuat?” Ibu meyakinkan dengan menatap wajahku. “Iya, bu. Kalau puasa seru pas makan waktu buka. Rasanya nikmaaaaat sekali. Kalau kapan ajs bisa makan, jadinya biasa, bu”.

Seminggu setelah lebaran, ayah membawa sepeda kokoh di hadapanku. “Walau tidak penuh, ayah sama ibu senang banget kamu mau berjuang. Tahun-tahun depan, ayah dan ibu tidak bisa janji apa-apa. Puasa lah untuk melatih rasa syukur kita sama Allah. Seharian tidak bisa makan, tapi masih bisa berbuka. Bagaimana dengan orang yang tidak punya?” Alhamdulillah, terima kasih ayah, ibu. Sepeda ini in syaa Allah akan terus mengingatkan aku, puasa itu untuk berempati, melembutkan hati.



****************************


Eko Pandu, Direktorat PNBP



Beberapa tahun silam saat Gus Dur jadi pemimpin negeri ini, bulan Ramadhan jadi makin spesial untuk para pelajar. Kegiatan sekolah diliburkan sebulan penuh. Alhamdulillah saya masih sempat mencicipi masa-masa indah itu ketika duduk di bangku SMP. Libur belajar membuat saya dan teman-teman sebaya menjadwalkan kegiatan rutin selama ramadhan. Selepas sholat Subuh berjamaah di surau, kami berjalan pagi menyusuri jalan raya hingga ke sebuah stasiun kecil di sekitar perumahan. Tujuannya sederhana, hanya sekedar untuk membuat pedang-pedangan dari paku. Dengan sarung yang masih melintang di leher, kami secara kompak menaruh paku di rel kereta untuk kemudian menanti dilindas oleh kereta api yang melintas. Begitu senangnya kami waktu melihat paku menjadi gepeng dan membentuk pedang seperti di film Yoko yang populer ketika itu.

Kami kembali ke rumah biasanya setelah matahari mulai terasa hangat. Periode setelah itu, hingga adzan maghrib merupakan periode yang begitu menantang. Rasa haus karena jalan pagi sekitar tiga kilometer bolak balik memaksa saya menelan ludah sering-sering sambil melihat iklan sirup di televisi. Tapi begitu adzan maghrib berkumandang, rasa lega seketika mengemuka. Segelas sirup dingin yang tadinya hanya bisa dibayangkan, akhirnya benar-benar membasahi kerongkongan. Cacing-cacing di dalam perut pun bersorak ketika sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayur meluncur mulus ke dalam perut. Gizi mereka langsung tercukupi.

Kini saat-saat itu telah lama berlalu, meskipun kenangannya akan melekat selalu. Masa puasa sebelum akil baligh yang hanya memikirkan kapan waktu berbuka kini harus segera dirubah. Menahan lapar dan dahaga bukanlah yang utama, tetapi bertambahnya ketaqwaan dan keimanan lah tujuan yang sesungguhnya.


****************************

Ruly Ardiansyah, Direktorat PNBP



Jauh kembali ke masa lalu saat tahun 1985, saat itu masih kelas 4 SD, saya sebagai anak tertua menjalani puasa sama dengan anak-anak lain yang seusia. Banyak momen-momen konyol dan lucu. Setiap ramadhan tiba merupakan sebuah tantangan dan cobaan sekaligus kesenangan yang tiada tara.. Masa kecil saya dilalui di rumah nenek. Sejak TK hingga menuju tingkat SD besar di daerah rawamangun. Kelas 1 hingga kelas 1 SMP besar di daerah Kesehatan dekat RS Tarakan. Nah momen seru selama ramadhan terjadi di daerah ini.

Setiap ramadhan tiba, merupakan momen tantangan karena bagaimana mana cara agar selesai puasa hingga sore. Dari 30 hari puasa, hanya selesai dijalani sebanyak 25 kali. Karena setiap puasa, selalu ada momen di siang hari saya minum air secara diam-diam. Karena saat itu masih anak-anak belum mengetahui bahwa kecurangan pasti diketahui malaikat dan Allah. Itu soal puasanya.

Saat berbuka pun juga ada momen tantangan. Karena selama sekolah, ada teman sekolah yang saya suka. Biasalah namanya anak-anak, cuma suka- suka gak jelas. Karena rumah nya deket masjid yang jaraknya sekitar 2 km dari rumah saya, maka setiap shalat tarawih sejak kelas 3 SD, shalat tarawih saya jalankan until bisa melewati rumah sang idola. Padahal di sekolah juga lihat dan di rumah juga ada masjid. Maka berangkatlah shalat tarawih dengan motif melihat idola. Saat tarawih pun dilalui dengan becandaan. Karena sering ditegur jamaah masjid, maka kami yang beberapa anak-anak yang punya motif yang sama, kami selalu berdoa di barisan belakang. Saat ceramah pun, kami bermain di taman deket masjid hingga ceramah pun selesai.

Saat berangkat mengaji pun di ramadhan, mencari lokasi deket rumah sang idola. Karena SD kami berada di antara rumah sang idola, yang dekat masjid dan tempat ngaji, jadi merupakan jalan tengah yang menguntungkan. Di sekolah, di tempat mengaji dan di masjid selalu bertemu. Padahal ramadhan harus dijalani dengan kegiatan yang banyak unsur religinya saat itu.

Memang momen indah bagi saya saat itu. Tetapi setelah saya aqil baligh, saya mengingat kembali momen itu dan beberapa kekonyolan dan kenakalan telah membuat saya sadar untuk lebih baik di kemudian hari. Ingin rasanya momen indah itu kembali dengan ibadah yang lebih baik. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi dan kejadian itu biarlah menjadi bagian dari buku perjalanan saya. Teringat juga bagaimana almarhum bunda yang selalu mengingatkan saya agar menjadi contoh yang baik bagi adik-adik saya. Ayah juga sering mengingatkan juga kepada saya bahwa saya akan menjadi kepala keluarga yang menjadi contoh bagi istri dan anak-anak.

Saya bersyukur bahwa saya bisa jalani kehidupan hingga di momen ini. Banyak yang harus dibenahi terutama dari dalam diri kita masing-masing. Momen ramadhan menjadi refleksi setiap diri until menjadi manusia yang sempurna. Alhamdulillah saya masih bisa bersyukur dan siap menghadapi momen ramadhan ini.



***************************

Gunawan, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN


Bagi saya Ramadhan adalah bulan kebahagiaan. Banyak kenangan indah disetiap tahunnya, sehingga ketika ingin dituangkan dalam sebuah cerita yang utuh, saya harus membaginya menjadi tiga masa. Pertama ketika masa kanak-kanak, kenangan yang tidak terlupakan saat itu adalah adanya tugas rutin mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa) kegiatan Ramadhan yang diberikan oleh pihak Sekolah, salah satunya adalah mengisi lembar tugas shalat Tarawih selama satu bulan. Setiap siswa di wajibkan meminta tanda tangan atau Paraf Imam shalat Tarawih di masjid yang berada dilingkungan masing-masing.

Kedua, adalah masa remaja. Dulu, saya dan kawan-kawan pengajian punya tradisi shalat Tarawih keliling yang di singkat dengan sebutan Tarling. Kegiatan tersebut memang tidak dilakukan setiap malam, hanya malam minggu saja. Dari kegiatan tersebut saya punya banyak kenalan dari berbagai komunitas remaja masjid.

Dan yang ketiga, adalah masa sekarang, dimana saya merupakan seorang suami dan juga ayah dari tiga orang anak. Sejak mereka hadir dalam kehidupan saya, Ramadhan menjadi lebih semarak. Ramadhan tahun lalu adalah momen spesial bagi saya, karena Malika dan Satrya mulai belajar berpuasa seharian. Meski puasa mereka belum satu bulan penuh ~ tercatat, Malika dan Satrya batal puasa sebanyak tiga hari ~ hal itu sudah sangat membahagiakan.

Semoga Allah Swt mengizinkan diri ini untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan, serta dapat beribadah lebih baik lagi dari bulan Ramadhan tahun lalu, Amiin...

***************************


Embun, Direktorat PNBP


Setiap bulan puasa, selalu ada yang namanya buka puasa bersama. Tradisi ini tidak hanya ada di keluarga, namun juga berkembang ke  teman-teman semasa sekolah atau rekan-rekan kerja. Hal yang dilematis, mengingat hanya ada 4 akhir pekan dalam 1 bulan Ramadhan ... artinya tidak semua undangan buka puasa bersama bisa dipenuhi karena seringnya terjadi bersamaan.

Di dalam keluarga besar kami, buka puasa bersama diadakan paling sedikit 1 kali. Biasanya bertempat di rumah PakDe di bilangan selatan Jakarta. Mesk sebagian besar dari Sumatra, aku bangga karena berkerabat dari Aceh sampai Sulawesi, hingga panggilan uda, uni, pakde, abang, mas, teteh, om, tante, amai, tuo, puang dan sebagainya semua laku di di sini. Selain itu, karena acaranya bertempat di rumah dan terdiri dari kerabat dekat, aku selalu merasa bahagia bisa buka puasa bersama saudara-saudara.

Jarak usia pesertanya jauh sekali, bisa dari usia 80 tahun sampai usia 8 bulan, he he. Di sanalah waktu kita bertukar cerita tentang keadaan masing-masing. Ada yang sambil mengunyah sate padang, es duren, atau semangkuk bakso. Ada yang duduk di sofa, di lantai, atau di pinggir kolam. Dan selalu tarawih bersama, diikuti dengan tausiyah dari salah satu Om atau keponakan.

Acara akan ditutup dengan foto bersama, dan makin hari makin susah bagi kami untuk muat dalam satu frame ... karena selalu saja ada anggota keluarga yang baru, karena oernikahan atau kelahiran. Setelah itu, ibu-ibu dengan senang hati akan membungkus sisa lauk pauk untuk bekal santap sahur di rumah kami masing-masing. Di situlah aku melihat PakDe dan Tante selalu sedih mengantar kami ke pintu untuk pamitan.


***************************

Suhardono Kusuma Mulia, Direktorat Polhukhankam dan BA BUN



SURAT UNTUK RAMADHAN

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. saat kurasakan hawa sejuk berlarian di sekelilingku. betapa melenakan. benar, matahari tlah semakin jauh di belahan bumi utara sana dan hangatnya semakin menguap. meninggalkanku disini hanya dengan riuhnya kemarau. dan retakan ranting ranting flamboyan yang semakin jelas di telinga. menambah kerinduanku akan dirimu.

tlah beberapa purnama kita tak bertemu. apa kabarmu umik. kuharap kau baik baik saja. ramadhan tlah mengetuk di depan pintu. seperti hendak mengajak kita berjalan jalan di sepanjang lorong malam ini. ah kembali romantisme antara kau dan aku tergambar jelas di langit langit kamar ini. sanggulmu yang sebesar kepalan tanganku hanya sekedar menutupi ubanmu, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. kebayamu yang sudah setia beberapa windu masih saja enggan dilepas, tapi tak menghilangkan kecantikanmu. dan senyummu yang dari waktu ke waktu terasa menjemukan, tapi tetap saja tak menghilangkan kecantikanmu. ah sudahlah, suratku ini tak membahas tentang dirimu, mik. tapi tentang ramadhan, jadi jangan terlalu ge er ya.

aku tau kau sudah tak mungkin berpuasa lagi. karena kau tlah semakin tua. jalanmu pun tak muda. apalagi matamu, gigimu, bahkan telingamu pun juga tak muda. tongkat berkaki empat itulah yang jadi sahabatmu sekarang. dan tak kan kuingatkan kau tentang fidyah. karena kau lebih ahli tentang fidyah. sebab jika kuingatkan pasti jawabanmu tentu akan lebih panjang bahkan mengalahkan jawaban pak kyai. lengkap dengan dalil2nya. tapi, kemaren, ya.... kurang lebih tiga puluh tahun lalu. aku masih saja tak lupa ketika tangan kecilmu tlah siapkan menu buka puasaku. ketika suaramu dengan riangnya bangunkan tidurku untuk shaur. ketika kau ajak aku ke kuburan bapak di awal ramadhan. eh tidak, kau ajak aku hampir setiap hari, setiap ada kesempatan. sampai terasa linu kaki ini karena jarak rumah ke kuburan bapak beberapa kilo dan harus kita tempuh kaki telanjang. sebab sepeda aja kita tak punya. pernah kutanya mengapa kita ke kuburan bapak tiap hari mik. jawabmu dengan ringannya, "bapakmu suka sekali berbuka puasa dengan melihat senyum istrinya". ah romantisme lain di hatimu mik.

ramadhan sebentar lagi mik. tlah beberapa purnama kita tak bertemu. semoga kau baik baik saja. juga tongkat berkaki empat sahabatmu. sehingga ia bisa menopangmu kekuburan bapakku. sehat selalu ya mik. maafkan anakmu yang tak bisa selalu menemanimu.
nb: jangan lupa fidyah ya....


***************************


Triana Lestari, Direktorat PAPBN



Bismillah..

Tahun tahun berselang,
Jatah hari semakin berkurang..
Dosa ga keitung..
Amal belum keruan diterima
Tapi kok ya gini gini aja yak kelakuannya..

------

Kata “Ramadhan” merupakan bentuk mashdar (infinitive) yang terambil dari kata ramidhayarmadhu yang pada mulanya berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas. Dinamakan demikian karena saat ditetapkan sebagai bulan wajib berpuasa, udara atau cuaca di Jazirah Arab sangat panas sehingga bisa membakar sesuatu yang kering.

Selain itu, Ramadhan juga berarti ‘mengasah’ karena masyarakat Jahiliyah pada bulan itu mengasah alat-alat perang (pedang, golok, dan sebagainya) untuk menghadapi perang pada bulan berikutnya. Dengan demikian, Ramadhan dapat dimaknai sebagai bulan untuk ‘mengasah’ jiwa, ‘mengasah’ ketajaman pikiran dan kejernihan hati, sehingga dapat ‘membakar’ sifat-sifat tercela dan ‘lemak-lemak dosa’ yang ada dalam diri kita (Muhbib AW*)

-------

Sampai saat ini saya selalu merasa kurang dengan hasil Ramadhan saya. Impiannya adalah, Ramadhan menjadi bulan tempaan, pembakaran dosa (kok serem?) sehingga di akhirnya output yang didapat adalah jiwa yang bersih dan yaa..semakin baik dalam seluruh aspek hidup. Jadi orang bertaqwa, gitu..#cieile prikitiew #aamiin

Namun sayangnya, meskipun saya usahakan memiliki target ibadah, berusaha tidak melakukan dosa..tetap saja hasilnya terasa gini gini aja. Dosa lagi dosa lagi...ibadah kendor lagi kendor lagi..
 Ya Allah, padahal kan jin qorin yang mengikuti kita dikurung ya kalau Ramadhan? Jadi ini kelakuan nafsu saya sendiri begini banget yaa..

Itulah, misalnya aja nih ya.. kesiangan bangun sahur kesiangan tahajud, sering mbelain tidur yang banyak daripada tilawah atau ngapain kek' yang memproduksi pahala.. (pabrik kali ah memproduksi...)..dan masih suka nurutin nafsu nafsu lainnya, misal nafsu ngumpulin makanan atau sekadar niat buat makan segala rupa buat berbuka yang pada akhirnya pun ga terlaksana karena kekenyangan? Tauk deh agh..

Jadi kemudian, saya optimis plus pesimis mode dalam menjalani bulan Ramadhan ini. Akhirnya ikut asumsi moderat deh... ini saya belom berani lagi ngetarget ngaji berapa kali khatam..padahal dulu mah iya, (iya target, realisasi mah belon tentu..hehe)
Padahal itu ngga seharusnya gitu juga kan ya?

Fastabiqul khairat /berlomba lomba dalam kebaikan..
Itu saya sering lupa..dan sering nyuekin..😭😞
Kayaknya belom termotivasi melakukan ibadah maksimal..seoptimal yang saya mampu..

Kenapa?
Mungkin karena tauhid saya belom kuat..

Kalo orang udah yakin bener yakin sama Allah..
Bener yakin soal surga neraka, pahala dan dosa..akhirat, kiamat??
Apa iya ngentengin Ramadhan gini.. itu kan namanya ngga begitu yakin yak? Tapi apa iya hanya sekedar menuhin target juga?
Ya Allah, smg saya diberi keyakinan yang lebih kuat deh..lebih kokoh..lebih lurus..

Biar apa? Biar amalan saya bener niatnya dan semangat terus buat perbaikan diri di bulan suci ini (dan seterusnya..Aamiin). Mudah mudahan Allah kasih kita niat yang bener bener lurus, tulus dan ikhlas beribadah, niat perbaiki diri emang karena mengharap ridhoNya..semoga Allah tambah sayang jadinya ama kita..


udah nih gitu aja? Iyakk gitu aja..

Aminin ya? Aamiin..

😭😭





*https://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/m7jp8n



***************************


M. Indra Haria Kurba, Direktorat HPP


Aku tak ingat di usia berapa mulai berpuasa, yang jelas masih belum bersekolah. Puasa saat itu bagiku tak lebih tradisi, bukan soal religi. Maklum masih anak-anak, puasanya puasa bedug kalo kata ibuku. Menginjak usia sekolah aku baru mengerti bahwa puasa itu tuntunan agama, sama seperti sholat, zakat dan naik haji. Puasaku pun tak lagi puasa bedug, setidaknya begitulah yang bapak ibuku tahu, karena sekali dua kali aku masih curi-curi makan dan minum. Duh nakalnya. Seandainya aku jujur mungkin bapak ibu tidak akan marah, maklum aku kan anak bungsu. Tapi aku tetap tidak mengaku. Hal lumrah mungkin untuk anak-anak sebaya.

Puasa di rumah selalu mengundang kenangan. Makanan dan minuman lezat terhidang. Buka puasa adalah ritual istimewa bagi kami yang 12 bersaudara. Hidangan panjang akan terbentang di lantai. Teh, kopi, es buah, dan berbagai makanan khas daerah pasti tersedia. Menu utama yang lezat seperti pindang patin, baung dan sesekali ayam, daging sapi selalu dinanti. Menjelang maghrib kami akan duduk melingkari hidangan. Si bungsu pasti di sebelah ibu yang selalu mengamankan hidangan dari serbuan kakak-kakakku. Tradisi "hidangan" tersebut perlahan hilang tatkala satu persatu kakak-kakak meninggalkan rumah.
Sholat maghrib selalu diimami bapak, biasanya di kamar bapak, karena biasanya tak banyak yang jadi makmum. Bapakpun maklum, karena ada yang masih berkutat dengan hidangan berbuka puasa. Saat ibu masih sehat, kami akan bersama-sama taraweh ke langgar dekat rumah. Berganti-ganti saja supaya semua langgar kebagian. Bapakpun kadang-kadang jadi imam dan selalu mendapat pesan "ayatnya pendek-pendek saja ya Pak". Layaknya anak sebaya, aku pun lebih banyak bermain-main di langgar, saat sholat maupun selesai sholat sambil menunggu bapak yang masih ngobrol dengan para tetua.

Sahur tak kalah dengan berbuka, tapi kami tidak memakai "hidangan". Cukup di meja makan, kan makannya bergantian. Sahur selalu dimulai jauh sebelum imsak. Setelah sahur masih ada teh, kopi, pempek, pisang goreng sebagai cemilan "anten-anten nunggu imsak". Biasanya bapak makan sambil mendengarkan ceramah agama dari radio. Seperti taraweh, subuh pun kami akan ke langgar dan aku baru pulang saat hari mulai terang setelah puas main dengan sebaya.

Puasa di rumah selalu membekas di hati. Saat ibu mulai sakit-sakitan, taraweh pun kami selenggarakan di rumah. Tetangga kiri kanan ikut sebagai jamaah. Rumah kami cukup menampung 20-30 jamaah. Taraweh di rumah selalu kunanti, karena saat itu si bungsu pasti jadi bilalnya. Membanggakan walaupun cadel hehehe.

Makin hari rumah makin sepi. Akupun sudah jauh dari rumah. Pulang puasa hanya sesekali saja, itupun tak bisa mengulang kenangan lama. Apalagi bapak ibu telah tiada, semakin tak ada yang tersisa, kecuali kenangan indah puasa bersama mereka.



***********************

Jauhar Rafid Yulianto, Direktorat Sistem Penganggaran


Ramadhan di Masa Kecilku


Bergembiralah menyambut bulan ramadhan. Ungkapan ini terasa tidak asing bagiku, karena seperti itu juga suasana yang aku rasakan setiap menjelang bulan ramadhan ketika aku masih kecil dulu, masih duduk di bangku sekolah dasar. Alasannya saja yang mungkin tidak sama. Ramadhan, bagi sebagian anak-anak seusiaku, berarti libur, tidak ada pekerjaan rumah, tidak harus belajar, dan bebas dari tugas-tugas sekolah lainnya selama waktu yang panjang, sepenuh selama bulan puasa ditambah beberapa hari setelah hari raya iedul fitri. Ramadhan betul-betul menjadi hiburan bagiku dan teman-temanku untuk sebuah kebebasan yang panjang.

Selama libur ramadhan, hampir sebagian besar waktuku,  aku habiskan beserta teman-teman bermain di masjid.  Masjid menjadi tempat yang ideal selama menahan rasa lapar dan haus yang waktu itu terasa sangat berat untuk anak seusiaku. Lantai dari keramik yang dingin menjadi tempat tidur favorit selepas shalat dhuhur. Tips berikutnya untuk mengatasi lapar dan haus yang berkepanjangan adalah “berwudhu” dengan seluruh rambut dan kepala dibasahi , yang kadang-kadang hampir membasahi seluruh bajuku. Jika ini masih belum memberi efek maksimal, pilihan selanjutnya adalah mandi. Hanya selama di bulan ramadhan lah, jadwal mandi menjadi berkali-kali lipat.  Kesemua ini dapat aku dan teman-temanku lakukan secara mudah selama di masjid.  Masjid membuat aku melewati beratnya puasa dengan lebih mudah.

Di minggu terakhir menjelang iedul fitri, ada tambahan kegiatanku selama ramadhan,  yaitu membantu ibu membuat kue lebaran. Selama membantu membuat kue lebaran, tentu bayangan-bayangan ramainya lebaran iedul fitri tidak bisa dihindari lagi. Baju baru, serunya pawai obor malam takbiran,  anjang sana-sini sehabis shalat ied, bisa mencicipi kue-kue lebaran di rumah-rumah tetangga kanan kiri, melengkapi keceriaan selama ramadhan dan iedul fitri. Aku jadi rindu ramadhan di masa kecilku.