“I miss you, so bad …”
Jemariku seketika begetar. Pesan teks yang telah kurangkai, seketika buyar. Aku bergeming. Aku tau kata-kata semacam ini gurauan yang biasa dia lontarkan kepada perempuan manapun jika dia suka. Tanpa tedeng aling-aling.
Wajah tengilnya berkelabat sesaat lalu aku merasakan semburat merah memenuhi parasku.
“Hey, kok diem? Kaget ya dikangenin?”, kalimatnya kembali menyerangku diakhiri dengan emoji terbahak.
Alih-alih mengetikkan beberapa kata-kata balasan, aku hanya mampu mengirimkan emoji tertawa membalas gurauannya.
Aku mencaci dalam hati. “Kemunafikan macam apa ini? Bukankah kata-kata itu yang selalu kau rindukan? Sejak 11, 10 atau 9 tahun yang lalu? Mengumpulkan potongan-potongan kenangan yang timbul tenggelam alurnya karena tergerus ingatan yang semakin lemah daya. Menikmati serpihan ‘hibat’ ketika membutuhkan kekuatan dan sandaran rasa. Mengunci rapat-rapat rongga hati dan berserah pada jalan takdir bagi asa yang tersisa.”
Aku mengusap permukaan gawaiku, menikmati ucapan tulismu. Aku tidak peduli jika hal ini tidak lagi boleh terjadi. Yang aku tau, rasa rinduku kini terobati.