Aku menemukan
keindahan di dalam ambiguitas. Ketika semua tergoda menjadi monokrom hitam dan
putih, adalah kelegaan untuk menemukan ruang yang menunggu untuk diberi nama
dan makna. Bagiku, Marstrand adalah fenomena yang dapat mewakili perasaan
tersebut. Masa perang dan waktu damai, dunia maju dengan kondisi ndeso, zaman resesi dan kemakmuran bangsa.
Apalah arti semua bualan manusia bila harus berhadapan dengan fananya kehidupan?
Norwegia. Denmark.
Swedia. Ketiga negara ini pernah memiliki Marstrand. Memiliki. Pada
masanya masing-masing, tentunya. Hal ini tergantung kepada batas ketiga negara
tersebut, yaitu sewaktu garis batas negara-negara tersebut di atas peta sedang
bergeser ke sebelah yang mana.
Pulau
ini kecil saja. Tidak bombastis penuh atraksi, namun kaya dari berbagai segi. Wisata kuliner, keindahan alam, atau khasanah budaya, adalah sebagian dari banyak rahasia yang bisa kita temukan di Marstrand. Alamnya asri, pantainya tenang, dan banyak bangunan bersejarah yang
bisa menginspirasi imanjinasi kita. Di penjuru pulau ini, tersebar
beberapa penjual makanan, kedai kopi, pedagang buah segar, dan tenda es krim untuk
melepas dahaga di bawah terik mentari musim panas. Bila beruntung, mudah
sekali untuk memdapatkan buah dan sayuran segar dengan harga murah dari petani.
Kota tua yang apik dengan deretan bangunan bersejarah ini akan membawa angan
dan hati para pengembara. Bagiku, Marstrand memberikan lebih dari
yang kita harapkan.
Kuno dan modern, ataukah klasik dan kontemporer, semuanya terpadu harmonis menjadi sesuatu yang indah. Seseorang bercerita
kepadaku bahwa sebagian besar penduduk Marstrand adalah kaya raya, namun anehnya sulit sekali menemukan kendaraaan roda empat di sepanjang
jalannya. Sebab, memang hampir tidak ada jalan raya di sini, kecuali jalan setapak lebar dari susunan bebatuan alami. Untuk melestarikan pulau
warisan sejarah ini, mobil dilarang beroperasi
di Marstrand. Jika sesekali melihat ada mobil melintas (dan biasanya mobil klasik), percayalah bahwa
mobil tersebut telah membayar pajak yang tinggi untuk bisa berkeliling di sini.
Perang dan perdamaian, transaksi
politik dan transaksi bisnis, atau sekadar titik singgah, Marstrand telah mengalami itu semua. Salah satu tempat bersejarahnya, Benteng Carlsten, telah menjadi saksi yang tabah atas pertempuran dan perselisihan berabad-abad antara leluhur bangsa Swedia, Norwegia, dan Denmark. Benteng ini tidak hanya menjadi saksi drama antar
negara, namun juga drama manusia. Konon, seorang tahanan seumur hidup, Lars
Larsson berhasil lolos dari penjara setelah menyamar menjadi koki wanita
bernama Lasse-Maja di benteng ini.
Bagaimanakah Marstrand berubah dari masa ke masa?
Semula, pulau ini merupakan tempat favorit untuk kaum berada pergi berlibur atau sekadar istirahat. Mereka
hendak menjauh sejenak dari polusi
udara dan polusi air pada Era Industri di awal abad
ke-19, beserta hingar-bingar kehidupan di pusat kota. Namun, hari ini kami sedang beruntung. Tidak banyak orang berlalu-lalang. Hanya ada sekelompok burung camar yang tampaknya juga suka bersantai di sekitar kami. Beberapa di antaranya berani mendekat,
ikut menemani, dan mencoba
mengambil potongan makan siang yang kami bahwa ke pantai. Lelah berbagi
makanan dengan burung camar, kami yang masih lapar pun singgah sebentar di Bergs Konditori, suatu kafe antik yang ternyata
memiliki
resep rahasia räksmörgås (sandwich udang) terlezat … dan sangat terjangkau sampai kami makan dua kali dalam satu hari. Jangankan sandwich udang, sehari-hari burger pun biasanya tak terbeli.
Melanjutkan perjalanan kaki, kami menemukan sebuah gereja berusia 900 tahun, Mastrand Kyrka, yang telah direnovasi setelah kebakaran besar pada Abad ke-17. Bangunannya berkapur putih, berdiri ditengah komunitas penduduk lokal, dikelilingi oleh rumah-rumah mungil yang cantik, jajaran taman bunga, dan trotoar dari batu sepanjang jalan naik dan turun.
Berjalan lebih jauh ke dalam pusat komunitas, kami menemukan bangunan sunyi di atas bukit, yang ternyata adalah museum yang terbuka dan gratis untuk umum. Aku memberanikan diri untuk masuk, dan disambut oleh seorang Ibu yang ramah dan sangat tenang. Ia bercerita tentang kisah-kisah yang menarik selama aku menyimak rangkaian foto tua hitam dan putih yang terpasang di dinding kayu. Kisah tentang Marstrand di masa lalu, sebelum ada jalan raya, sebelum ada jembatan. Terlihat di foto tua, ada pelabuhan kecil yang menghubungkan Pulau Marstrand dengan Kota Gothenburg. Berjajar barisan mobil Volvo tua dengan tangki bensin raksasa sebesar drum mirip toren air hujan, mengantri selama berjam-jam untuk dapat naik ke kapal ferry menyeberangi sungai dari pinggir kota ke Pulau Marstrand.
Di foto, beberapa wanita bergaun hitam berkumpul di
dekat dok kapal, dan sebagian ada juga yang bergaun putih. Semuanya mengenakan syal atau kerudung
sederhana. Pemandu bercerita, gaun putih mencerminkan status sosial kelas atas, karena dibutuhkan biaya dan pekerja yang tidak sedikit untuk menjaga
kebersihannya. Setelah itu aku pun beranjak ke ruang depan, lalu menemukan peti harta
karun tua yang kuncinya telah rusak. Sayang, isinya akan tetap menjadi misteri selamanya untuk siapapun yang datang ke museum ini. Namun, di ruang depan selalu tersedia kartu pos dan suvenir untuk
dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Sampai di penghujung hari, kami kembali ke peradaban kota industri
dengan menggunakan kapal ferry dan tram,. Seharian penuh kami berjalan kaki mengelilingi Marstrand, termasuk jalan setapak "lubang jarum", celah sempit di tengah bukit granit yang dipangkas oleh ledakan dinamit pada abad ke-19. Syukurlah tidak ada manusia yang tersangkut di
dalamnya. Ketika malam pun tiba dan
bersiap tidur, baru terasa badanku lelah
sekali. Namun, hari ini sangat membahagiakan.
Location : Marstrandsön
Tram
stop : Marstrands färjeläge,
Kungälvs
Entrance
Fee : 20 SEK (for ferry crossing the
river, but already included in the bus ticket)
Website : http://www.vastsverige.com/en/Marstrand/