Suatu sore,
Awal bulan Mei 2022
“Ren, ih malah ngelamun, udah kerjaan kantor jangan dipikirin mulu ….”, Nina mengibaskan tangannya di depan mukaku.
“Maklum pejabat negara, udah bagus bisa juga akhirnya meet-up, jadi harap maklum kalo Rendra gak fokus, Nin …”, Siska berseloroh menimpali ucapan Nina.
Aku tergelak membalas ucapan mereka. Nina dan Yuli adalah temanku di SMP dan SMA yang juga sudah tinggal di ibu kota ini.
“Lu mau makan apa? Pesen dulu … ini ada ….. bla, bla, bla …” Nina menyodorkan buku menu sambil sibuk menjelaskan pilihan makanan yang menurutnya enak di kafe itu.
Aku memandangnya sekilas. Nina, seorang istri, ibu pekerja yang masih terlihat cantik dan menarik di usianya yang menjelang angka 50. Cara bicaranya ceplas ceplos dan agak sedikit manja. Dia pandai menjaga bentuk tubuhnya, sehingga masih terlihat seksi. Mungkin jika baru mengenalnya, aku akan termasuk salah satu laki-laki yang jatuh hati pada Nina.
“Ya udah lu pilihin deh, apa yang menurut lu oke pasti gw suka”, aku sedikit menggodanya.
“Bisa aja deh ….,” Nina melayangkan cubitan kecilnya ke tanganku dengan semburat wajahnya yang sedikit memerah.
Tuhan, tiba-tiba sosok Hani, kekasih gelapku beberapa tahun lalu melintas. “I wish you were here, hun …”hatiku berbisik.
“Han, nanti kalo Nina udah mulai nyubit-nyubit atau tiba-tiba pindah duduk ke samping aku trus nyender-nyender gitu, kamu jangan ngambek ya,” ujarku saat dalam perjalanan kami menuju tempat yang disepakati untuk reuni kecil-kecilan bersama Nina.
“Oya? Emang dia seagresif itu?”, Hani balik bertanya.
“Yaaa biasanya sih dulu-dulu gitu, aku gak tau ya apa masih gitu juga, makanya aku bilang dulu nih, daripada ntr kita yang berantem,” aku mengusap kepala Hani dengan sayang.
Seketika Hani diam. Aku melihat ekspresi tidak nyaman di raut wajahnya. Hani dan Nina dua sosok yang sangat berbeda. Hani sosok wanita yang bisa dibilang agak pendiam, kamipun berasal dari SMP dan SMA yang sama. Di SMA dulu, meskipun aku berteman juga dengan Hani, tapi kami tidak pernah akrab. Hani adalah sosok remaja berkecukupan, cantik, punya prestasi akademik yang cukup baik, aktif dalam berbagai kegiatan, dan terkesan menjaga jarak dan pilih-pilih dalam berteman.
“Hun … udah donk, kok jadi diem-dieman gini? Atau kita cancel aja ga usah ketemuan? Dari awal juga kan aku udah bilang gak usah pake acara ketemuan juga. Nina itu sudah berkali-kali ngajakin ketemu aku gak pernah mau. Tapi kamu yang kekeuh bilang sesekali jaga silaturahmi. Sekarang, kamu pasti punya pikiran yang nggak-nggak kan? Aku gak pernah ada hubungan apapun lho sama dia. Tapi dia kalo ke aku emang gitu, karena ngerasa deket kali, emang dari dulu ke aku tuh kaya manja banget …”, aku berusaha menenangkan Hani yang masih bergeming.
“Hey … look at me, I am yours, no doubt, ok?”, aku meraih tangan Hani lalu menggenggamnya penuh sayang. Ya, aku begitu mencintai wanita ini. Saat itu, aku seperti baru menemukan kembali bagaimana rasanya mencintai dan menyayangi seorang wanita padahal Hani bukanlah kekasih gelap pertamaku sejak aku menikah.
Pun beberapa bulan lalu ketika aku mencoba menyapa dia di salah satu akun media sosial, lalu mengajak makan siang, lebih karena aku ingin tau kehidupannya saat ini dan sedikit pamer dengan kehidupanku. Makan siang saat itu berlanjut dengan beberapa pertemuan untuk sekedar makan, ngopi atau ngobrol di mobil sambil berkeliling Jakarta. Aku menemukan banyak hal yang tidak pernah aku bayangkan dari sosok Hani beberapa puluh tahun yang lalu. Ada rasa nyaman yang membuatku betah berlama-lama ngobrol selepas kepenatanku di kantor atau suntuk karena sedang bertengkar dengan istri. Hani, teman masa remajaku dulu, memiliki cerita hidup jauh dari apa yang pernah aku bayangkan. Hingga suatu waktu, aku semakin tak mampu menahan rasa yang semakin kuat dan membiarkan Hani mengusik hatiku.
Hani membalas genggamanku, mengangguk pelan, lalu menyandarkan kepalanya di pundak kiriku. Aroma parfumnya yang khas menelisik hidungku. Hani bukan sosok yang banyak bicara, dia mengekspresikan setiap rasa lewat pandangan mata, belaian, pelukan atau sentuhan-sentuhan kecil tulus dan inilah membuatnya berbeda dengan wanita lain yang pernah dekat denganku.
“Jadi, gimana kabar lu? duh, gw tuh kangen banget pengen ketemu elu susahnya udah kaya apaan tau …”,tiba-tiba Nina sudah beranjak duduk disampingku, menyentuh tanganku dan memandang wajahku lekat dengan senyuman yang menggoda.
Di tempatnya, Hani sedang menatap lekat foto pertemuan kami bertiga sore ini, diam, dan bergumam dalam hati, “I wish I were there, hun …”, rasa sesak yang tiba-tiba dia rasakan menjadi terasa ringan ketika matanya basah.