Ada isak lirih namun masih cukup terdengar di situasi hiruk pikuk pada hari yang dicemas-cemaskan, hari yang dinantikan untuk sebuah kabar kepastian penempatan menyusul tuntasnya masa pendidikan selama tiga tahun terakhir ini.
Pejuang Dalam Sepi
CINTA RUBI
Malam itu, Pukul 20.30
“You want me to stay here this night?”
Rubi menatap laki-laki itu dalam, tersenyum, lalu menggeleng dan menjawab,”No, you gotta go home”.
Laki-laki itu membelai wajahnya lembut, mengecup keningnya sebelum kemudian merengkuh tubuh mungilnya. Pelukan hangat itu tidak pernah bisa Rubi lupakan.
Sisa hujan malam itu terasa amat dingin. Sosok laki-laki itu sudah menghilang ditelan tangga yang menuju lantai dasar kamar kost-nya. Namun Rubi masih mematung, berharap laki-laki itu menghentikan langkahnya dan kembali. Lalu, Rubi mendengar suara deru mesin kendaraan yang semakin menjauh dan menghilang. Dia menarik nafas dalam, beranjak membuka pintu kamar lalu bersandar pada dinding yang sejuk.
Sepengingat Rubi, ini adalah bulan ke 5 dia menjalani hari-harinya bersama laki-laki itu. Semakin hari, Rubi merasakan rasa cinta yang semakin luar biasa. Namun Rubi sadar, dia tidak akan pernah bisa memiliki laki-laki itu seutuhnya. Rubi sudah berusaha berkali-kali menguatkan hatinya, meyakinkan perasaannya bahwa hubungan mereka tidak baik-baik saja. Namun mimpi yang laki-laki itu bagikan dan hayal yang dia angankan selalu jauh lebih besar dari rasa takut akan kehilangan laki-laki itu suatu saat nanti.
Rubi gamang. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan bersama laki-laki itu berganti dengan rasa yang dia sendiri tidak dapat uraikan. Rubi bergegas membersihkan diri, tidur menjadi jalan keluar terbaik untuk melarikan apa yang ada dalam pikirannya saat ini.
Rubi baru akan memejamkan mata ketika dia mendengar ketukan halus di pintu. Dia melirik ke jam dinding sejenak, pukul 21.20. “Mba Mini ya?”, dia bertanya sambil berjalan menuju pintu. Cuma mba Mini, penjaga kost yang suka mengetuk pintu malam-malam sekedar mengantarkan pakaian dari laundry atau menawarkannya makanan.
“Hey, It’s too late to say good bye!”, laki-laki itu tersenyum. Rubi terpana sejenak lalu memeluknya erat.
Azan shubuh baru saja terdengar, Rubi membangunkan laki-laki itu pelan, lalu berbisik: “It’s time to go home”. Sedikit tergesa laki-laki itu merapihkan pakaiannya, lalu menatap Rubi dalam. “I’m sorry. I can’t stay any longer. Kamu istirahat ya, kalo mau jalan, gak papa jalan aja, ntr kalo bisa, aku pasti telp.”
Rubi mengangguk, tersenyum. Kali ini, dia menguatkan dirinya bahwa laki-laki itu telah dinanti oleh orang-orang yang juga mencintainya. Dia mengecup pipi laki-laki itu lembut lalu berbisik, “Thank you, for being here, and for all”. Laki-laki itu memeluknya hangat lalu menatapnya dengan penuh rasa sayang, “I’m gonna miss you soon”.
Rubi melepas laki-laki itu dalam kesejukan pagi yang masih menyisakan dingin, sedingin hatinya.
**There were nights of endless pleasure,
It was more than any law allows,
Baby,
If I kiss you like this,
And if you whisper like that,
It was lost long ago,
But it’s all coming back to me now
If you touch me like this,
And if I kiss you like that,
It was gone with the wind,
But it’s all coming back to me now
**It's all coming back to me now, Celine Dion
Udin dan Gelembung Sabun
Sengatan sinar matahari pada pukul dua belas siang terasa panas menyentuh kulit. Siapapun yang tidak mempunyai keperluan mendesak untuk keluar rumah, lebih memilih berdiam diri di dalam rumah sambil menikmati hembusan udara segar dari mesin pendingin udara/mesin kipas angin, kipas-kipas dengan kipas tradisional dari anyaman bambu, atau bahkan ada yang berteduh dibawah pepohonan yang berada di halaman rumah.
Bagi sebagian yang lain khususnya para Ibu, sinar matahari yang terang benderang menjadi kebahagiaan tersendiri, karena jemuran pakaian yang memenuhi seluruh tali jemuran bisa kering lebih cepat sehingga sebagian pekerjaan rumah bisa selesai lebih cepat dari biasanya. Di musim penghujan, pakaian yang dijemur lebih lama keringnya. Bahkan, jika telah selesai mencuci kemudian menjemur pakaian lebih pagi, menjelang sore atau malam bahkan esok harinya pakaian masih terasa lembab, sehingga apabila dipaksa untuk di angkat pakaian yang lembab tadi dan ditumpuk selama beberapa jam, pakaian-pakaian tersebut akan mengeluarkan aroma atau bau yang tidak menyenangkan.
Tidak hanya para ibu yang merasakan kebahagiaan, demikian juga dengan para penjual es keliling seperti es serut, es bon bon, es dawet ayu, es cincau dan aneka jajanan es lainnya, mereka berbahagia dengan cuaca saat itu, karena jualan es mereka laris manis diserbu para pembeli yang menginginkan kesejukan dan kesegaran didalam rongga mulutnya untuk melepaskan dahaga akibat udara panas.
Sementara itu, disebuah sekolah dasar negeri di kampung bulakan.
"Teeeeeeeetttttt" suara bel sekolah menggema diikuti oleh sorak sorai teriakan bahagia seluruh murid-murid yang telah menantikan bel pulang berbunyi.
Bagaikan air bah yang sulit dibendung, para murid berlarian keluar ruang kelas setelah mereka satu persatu menciuam tangan sang guru sambil mengucapkan salam perpisahan.
Sang guru membalas ucapan salam anak didiknya sambil tersenyum. Sesekali beliau berteriak mengingatkan anak didiknya untuk tidak saling dorong agar tidak ada yang terjatuh.
Udin terlihat berdiri di antrian paling belakang, ia selalu memilih masuk dalam barisan antrian paling belakang karena tidak ingin berdesakan apalagi terkena imbas ulah teman-temannya yang saling dorong. Bukan tanpa alasan Udin memilih antri paling belakang, itu karena ia pernah mengalami nasib buruk saat memaksakan diri ikut berdiri antri dalam barisan depan. Saat itu, tubuhnya yang kecil terjerembab hampir menabrak meja belajar akibat terdorong oleh teman-temannya.
Alhasil, tubuh Udin yang terjatuh dilantai menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Sang Guru pun hanya bisa membantu Udin untuk bangkit berdiri sambil memberi nasehat pada anak didiknya untuk tidak saling mendorong, karena hal tersebut dapat membahayakan diri sendiri dan juga orang lain.
Setelah berpamitan dengan gurunya, Udin melangkah keluar ruang kelas. Tempat tinggal Udin hanya berjarak puluhan meter dari Sekolah. Sesampainya di rumah, ia mengganti pakaian dengan pakaian sehari-hari. Kaos lengan pendek warna putih yang sudah mulai terlihat kecokelatan karena dimakan usia, serta celana pendek berbahan katun.
Selepas shalat dzuhur, Udin melangkah menuju meja makan. Ia membuka tudung saji yang didalamnya sudah tersedia bakul nasi yang terbuat dari anyaman bambu, sepiring telor goreng mata sapi yang diberi bumbu kecap, irisan cabai, irisan bawang merah dan irisan bawang putih, serta sambal terasi yang diberi perasan jeruk limo.
Udin makan dengan lahap, karena makanan yang masuk kedalam lambungnya terakhir berupa ketupat sayur adalah diwaktu pagi hari ketika bel masuk kelas belum berbunyi. Sedangkan pada saat bel istirahat, ia lebih memilih bermain bola di halaman sekolah yang sering dipakai untuk upacara bendera setiap hari Senin pagi atau baris berbaris dan berkumpul dalam kelompok-kelompok dalam ekstra kurikuler Pramuka. Selesai bermain bola, ia dan teman-temannya membeli jajanan es teh manis untuk melepas dahaga di sebuah warung sederhana yang berada tidak jauh dari bangunan utama sekolah.
Sewaktu sisa makan siangnya masih satu suapan lagi, terdengar suara teman-temannya memanggil namanya, “Uuudiiin…. Uuudiiin….”.
Emak Udin yang sedang menjahit bagian celana sekolah Udin yang robek, buru-buru buka pintu dan melangkah keluar, “Eeeh… Entong, Abdul, Soleh, sini masuk… tunggu sebentar ya… si Udin ngabisin makannya dulu. Eh iya… kalian udah pada makan?” tanya emak. “Udah Mak Udin. Iya dah…kita tungguin”. Jawab Entong, Abdul, dan Soleh hampir berbarengan. Ketiganya duduk di kursi bambu disudut halaman rumah berlantai keramik sederhana.
Tidak butuh waktu lama, Udin muncul dari balik pintu. “Maaf ya, tadi tanggung tinggal sesuap lagi…hehe“, ujar udin sambil tertawa kecil.
“Mak, Udin maen dulu ya…” ujar Udin meminta izin ke emaknya.
“diluar lagi panas, Din, jangan maen jauh-jauh ya, emak khawatir nanti Udin kesambet kalau tengari maen jauh-jauh”, ujar emak memberi peringatan ke Udin.
“Ya Mak, Udin udah janji ama temen-temen mau nyari daon kapuk”, jawab Udin.
“Emang buat apaan daon kapuknya?” tanya emak penasaran.
“Yaaah Emak kagak tau ya? Daon kapuk itu untuk bikin gelembung sabun dan air gelembung sabunnya bakal kita jual keliling kampung, kan lumayan buat duit jajan, gak minta ama emak..ha…ha…ha…” Jawab Udin sambil tertawa.
Sebelum Emak Udin bertanya lagi, Udin melanjutkan penjelasannya, “jadi gini Mak, cara bikinnya; beberapa lembar daon kapuk ditumbuk sampe halus, nah daon yang ditumbuk itu bakal ngeluarin semacam getah yang mirip minyak goreng tapi dia lebih kental, teruus…. daon kapuk yang udah ditumbuk tadi dimasukin kedalam air yang udah dituangin bubuk deterjen, terus daun kapuknya dibejek-bejek sampe kecampur sama air dan deterjen. Naaah….terakhir supaya hasilnya bersih… kagak ada ampas daon kapuknya, Udin dan temen-temen bakal saring pake bahan pakaian bekas. Setelah semua selesai disaring dan diperes, jadi dah gelembung sabun. Kalau gelembung sabunnya di celupin pake sedotan atau disedot sedikit dan ditiup perlahan, sedotannya bakal ngeluarin gelembung sabun yang buaaaaaanyaaaak banget, Mak”, ujar udin menjelaskan ke Emaknya dengan lengkap.
“Oo gitu, Din. Emang kagak beracun getah daon kapuk sama aer deterjennya kalau sampe ketelen?” tanya Emak lagi kerena khawatir anaknya bakal kena bahaya dari air gelembung sabun.
“hhmm…..yaa… jangan ampe ketelen dong Maaak. Udin pernah nyedot aer gelembung sabunnya kebanyakan, jadinya masuk ke mulut. Rasanya Paiiit, Mak… hahahaha” ujar udin sambil tertawa terbahak-bahak.
“Tuh kaaan…..baru aja emak kepikiran. Ya udah, ati-ati aja ya Din, Tong, Dul, Leh. Oh iya, Jangan ampe kesorean ya pulangnya…” pesan Mak Udin mengingatkan.
“Okey Mak…… Assalamuálaykum” ucap Udin pamit, disusul dengan ucapan dari Entong, Abdul, dan Soleh. Mereka pun bergegas menuju jalanan kampung yang mengarah ke sebuah lahan yang ditumbuhi oleh pohon singkong yang berbaris rapih, pohon pisang dipinggirnya dan sebuah pohon Kapuk yang menjulang tinggi namun sebagian batang pohonnya ada yang menjuntai pada posisi yang cukup pendek sehingga mudah untuk dipetik dengan menggunakan sebatang galah bambu. Pohon kapuk tersebut adalah satu-satunya yang berada disekitaran tempat tinggal Udin dan teman-temannya.
Udin dan teman-temannya tiba dibawah pohon kapuk. Dengan bermodalkan keberanian, salah satu dari mereka, yaitu Abdul, yang terkenal pemberani dalam urusan panjat memanjat pohon, mulai memanjat dan berhasil memetik sekantong kresek kecil daun kapuk.
Selesai mendapatkan daun kapuk yang diinginkan, merekapun bergegas menuju rumah Entong untuk mengolah daun kapuk menjadi air gelembung sabun. Ditengah perjalanan, mereka mampir sebentar di warung kelontong Mak Enoh. Dengan bermodalkan uang hasil patungan dari uang jajan masing-masing, mereka membeli sebungkus deterjen merk Rindu, sebungkus sedotan plastik, dan kantong plastik bening ukuran seperempat.
Sesampaikanya di rumah Entong, Udin dan teman-temannya mulai mengolah bahan-bahan yang telah mereka kumpulkan untuk membuat gelembung sabun. Mereka pun berbagi tugas, karena sebelumnya Abdul telah melakukan tugas memetik daun kapuk, maka tugas menumbuk daun jatuh kepada Udin, yang memeras daun kapuk yang telah ditumbuk adalah Entong, sedangkan yang memasukan deterjen dan mengaduk-aduk air gelembung serta melakukan penyaringan air gelembung sabun supaya tidak ada ampas daun yang tertinggal, jatuh pada Soleh.
Hanya butuh waktu kurang dari setengah jam, air gelembung sabun akhirnya jadi dan telah dilakukan uji coba dengan hasil memuaskan. Air gelembung sabun tersebut menghasilkan gelembung yang banyak ketika dicelup kedalam sedotan plastik dan ditiup perlahan. Udin dan teman-temannya terlihat kegirangan.
Selanjutnya, merekapun mengatur strategi penjualan. Hasil kesepakatan, Udin dan teman-temannya akan menjual gelembung sabun di beberapa lokasi yang telah ditentukan dengan pembagian tugas sebagai berikut; yang membawa kaleng biskuit berisi air gelembung sabun jatuh pada Entong karena memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari yang lain. Yang bertugas teriak-teriak seperti layaknya penjual kredit panci atau penggorengan jatuh pada Abdul dan Soleh, karena keduanya dikenal memiliki suara yang bagus ketika mengumandankan adzan, sedangkan Udin mendapat tugas meniup gelembung sabun agar bisa menarik perhatian anak-anak yang mereka temui sepanjang perjalanan menjual gelembung sabun serta mendapat kepercayaan untuk menyimpan uang hasil penjualan gelembung sabun kedalam kantong plastik yang telah disiapkan.
Udin dan teman-temannya siap melakukan perjalanan. Namun sebelumnya, Soleh mengingatkan teman-temannya untuk membaca doa terlebih dahulu dengan harapan gelembung sabunnya dapat habis terjual. Akhirnya, setelah mereka berdoa bersama, Udin, Abdul, Entong, dan Soleh memulai perjalanan untuk menjual gelembung sabun.
“Gelembung Saboooon….. Gelembung Sabooon….. lima ratus perak…”, teriak Abdul dan Soleh saling bersahutan. Beberapa anak yang sedang bermain kelereng tak ayal menghentikan permainannya karena perhatian mereka beralih pada teriakan Abdul dan Soleh. Salah seorang dari anak=anak tersebut memanggil Udin dan teman-teman untuk membeli gelembung sabun. Penjualan pertama gelembung sabun berhasil meraup pundi-pundi uang jajan sebesar dua ribu lima ratus rupiah. Anak-anak itupun terlihat sangat bahagia ketika mereka meniup air gelembung sabun dari sedotan plastik. Salah satu diantara merekapun sempat bertanya cara membuat gelembung sabun tersebut. Tentu saja Udin dan teman-temannya tidak bersedia memberitahu karena hal itu adalah rahasia “perusahaan”.
Selanjutnya, Udin dan teman-temannya melanjutkan perjalanan menuju lokasi-lokasi yang telah mereka sepakati. Dalam perjalanan, mereka menjumpai beberapa anak yang sedang asik bermain layang-layang, beberapa anak perempuan seusia Udin yang sedang berkumpul bermain permainan congklak, yang kemudian tertarik untuk membeli air gelembung sabun.
Sang waktupun beranjak sore. Suara kumandang adzan Ashar mulai terdengar bersahutan dari pengeras suara Masjid dan Mushola. Udin dan teman-temannya sepakat untuk menghentikan perjalanan dan bersepakat untuk beristirahat disebuah Pos Kamling yang lokasinya tidak jauh dari rumah mereka berempat. Sambil menyenderkan badan dan meluruskan kaki, Udin dan teman-temannya mulai menghitung hasil penjualan gelembung sabun. Dengan disaksikan Abdul, Entong, dan Soleh, Udin mulai mengeluarkan plastik kresek didalam kantong celananya, mengeluarkan uang dari kantong plastik dan mulai menghitung. “lima ratus, seribu……dua ribu…..lima ribu….sepuluh ribu….dua belas ribu, lima belas ribu lima ratus….”, suara Udin dan teman-temannya kompak menghitung uang hasil penjualan gelembung sabun. Setelah dilakukan pengecekan didalam kantong plastik penyimpan uang dan tidak ditemukan lagi uang yang terselip, akhirnya Udin melipat kantong plastik tersebut dan menyimpannya kembali kedalam saku celananya.
“Alhamdulillaah…. Hasil penjualan hari ini sebesar lima belas ribu lima ratus rupiah, selanjutnya…uang ini mau dibagi rata jadi berapa-berapa untuk kita berempat?” Tanya Udin kepada Abdul, Entong, dan Soleh.
“gimana kalau masing-masing kita mendapat tiga ribu rupiah? Sisanya, kita simpan sebagai modal untuk bikin gelembung sabun lagi. Gimana, setuju gak?”, jawab Soleh yang disambut persetujuan dari Udin, Abdul dan Entong.
Akhirnya, setelah uang hasil penjualan gelembung sabun telah dibagi rata, Udin dan teman-temannya kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan bahagia karena sore itu mereka mendapatkan uang jajan dari hasil keringat atau kerja keras mereka, bukan dari meminta uang jajan ke orang tua. Udin dan teman-temannya membuat jadwal rutin berjualan gelembung sabun, hingga pada suatu hari mereka tidak melakukannya karena pohon Kapuk yang menjadi bahan utama dalam pembuatan gelembung sabun rata dengan tanah dan berubah menjadi sebuah gerbang perumahan mewah.
Udin dan teman-temannya mempunyai kenangan masa kecil yang indah.
Aku, Si Kutu Buku, Dan Sunyi
Ku terduduk kaku di sudut ruangan sebuah
rumah tua yang berada di tengah perkebunan di daerah Pangalengan. Suasana
senyap membuatku semakin tak nyaman. Hanya terdengar suara jangkrik yang terus
bernyanyi menemani sunyiku. Di sudut lain seorang remaja pria yang kutaksir
seusiaku duduk bersila, asyik dengan buku yang sedang dibacanya.
Sedikit demi sedikit kugeser badanku,
mendekat ke arahnya. Kepalaku menunduk mengamati buku yang sedang dipegangnya,
memastikan posisinya tidak terbalik. Siapa tahu dia cuma pura-pura membaca
untuk memberi kesan pandai kepadaku.
“Hey ….”
Tak ada balasan kudengar. Remaja pria itu tak bergeming. Masih duduk dengan posisi yang
sama. Hanya matanya yang mondar mandir ke kiri dan kanan, seperti orang yang
sedang senam pagi di lapangan. Kuberanikan diri menggerakkan jari tanganku
untuk mencoleknya.
“Hey, kita kan cuma berdua di sini. Di
rumah yang luas ini, kita ngapain kek, ngobrol kek, main gaple gitu, atau main congklak kek, jangan saling diam gini. Aku takut.”
“Nggak ada yang perlu ditakutkan. Cari
kesibukan sendiri. Nih baca!” balas pria Itu sambil menyerahkan sebuah buku
tebal kepadaku.
Seketika dahiku mengernyit membaca judul
buku itu. Rasanya ingin sekali kupukulkan buku Itu ke kepala remaja pria Itu.
“Kau pikir kita datang ke sini mau try out
UMPTN?Gila aja, orang lagi piknik bawanya buku kumpulkan soal UMPTN,” ujarku
dengan suara cempreng dan membuat jangkrik yang sedang bernyanyi langsung
terdiam.
“Lha, daripada bengong nggak ngapa-ngapain,
mending belajar. Biar bisa masuk PTN,” ujarnya dan kembali asyik dengan
bukunya. Aku hanya bisa mengepalkan tangan tanda kesal kepadanya walaupun
percuma juga sih karena dia tak berniat melirikku walau cuma seujung sudut
maya. Sejak itu kunobatkan dia dengan julukan Si Kutu Kupret eh Kutu Buku.
Berkali kali kutengok pintu rumah, siapa
tahu orang-orang yang ikut kegiatan gathering muncul. Sudah dua setengah jam
berlalu sejak waktu yang dijanjikan Kang Alif, Ketua Karang Taruna Kompleks
Mawar Duri Lunak untuk memulai acara kebersamaan. Sayangnya tak nampak tanda remaja-remaja
Kompleks Mawar Duri Lunak muncul dari pintu. Begitu juga Kang Alif, aku tak
melihat keberadaannya.
“Kita berkumpul di tempat sejuk hari ini
adalah untuk mempererat silaturahmi diantara anggota Karang Taruna Kompleks
Mawar Duri Lunak. Tak ada lagi istilah “aku” tapi adanya “kita” ….” Terngiang kembali
di telingaku pidato Kang Alif tadi sore ketika kami para para peserta gathering
tiba di tempat ini. Tempat dimana saat ini aku terjebak diantara Si Kutu Buku
dan jangkrik yang bernyanyi dengan suara fals.
Tiba-tiba aku merasakan panggilan alam yang
untuk saat ini sangat sulit kuhindari. Aku mulai gelisah. Bingung karena kamar
mandi berada di luar rumah. Di dalam rumah saja aku sudah merasakan kengerian
apalagi di luar rumah.
“Hey ….”
Kusenggol tangan Si Kutu Buku agak keras hingga
buku yang sedang dipegangnya terjatuh. Ia melotot ke arahku. Mungkin merasa
terganggu oleh sikapku. Tapi menurutku tak pantas ia melotot karena matanya
tetap spit.
“Antar aku ke luar!”
“Ngapain?”
“Aku perlu ke kamar mandi. Takut sendiri.
Di luar gelap.”
Dengan enggan, Si Kutu Buku bangkit dari
duduknya. Ia mengikutiku dari belakang, kalau dari depan berarti mendahuluiku.
Tak penting juga sih mau mendahului atau mengikuti, aku hanya butuh teman untuk
melawan ketakutanku yang tak jelas takut apa.
“Awas ya, jangan ngintip!”
Si Kutu Buku hanya memandangku heran. Tak kata
pun keluar dari mulutnya. Mungkin ia mempunyai niat mengintip tapi ketahuan olehku
atau mungkin juga dia jijik mendengar celotehanku.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, Si Kutu
Buku masih berdiri dengan setia di depan pintu. Ia berjalan mendahuluiku menuju
ke dalam rumah tapi kucegah.
“Daripada kita balik ke rumah dan cuma
bengong, mending kita cari Kang Alif. Biar dia tanggung jawab sama kegiatan
ini,” ajakku.
Entah dia terpesona olehku atau biar aku
tak mengoceh terus, Si Kutu Buku menuruti kemauanku. Entah kenapa dia kembali
mengambil posisi di belakangku. Dasar pengekor!
Belum jauh kami berjalan terdengar olehku
suara mendesah dari balik tanaman teh di sekitar kebun . Aku menutup mulut Si
Kutu Buku yang hampir saja mengeluarkan bunyi. Aku mendekati asal suara.
Semakin dekat semakin aku hapal dengan
suara-suara Itu.
“Kang Alif … Teh Mimin, lagi ngapain di sini?
Mojok ya?” tanpa basa basi kuinterogasi mereka berdua hingga tanganku disikut
Si Kutu Buku.
“Eh Dinda, ngapain di sini?”
“Harusnya sih saya yang nanya, Akang sedang
apa, berbuat apa di sini, dua duaan, gelap gelapan dengan seseorang yang bukan muhrimnya
dan nama saya bukan Dinda!” bentakku lantang.
Menyebut namaku saja salah, berarti dia tak
mengenal anggotanya. Bagaimana mungkin dia bisa berpidato akan menyatukan
remaja-remaja dalam ikatan silaturahmi kalau dia sendiri saja tak mengenal
anggotanya dan tidak disiplin menjalankan kegiatan yang dirancangnya.
Karena malam gulita aku tak bisa melihat muka
Kang Alif dan Teh Yuni. Apakah dia malu atau bahagia kepergok olehku dan Si
Kutu Buku, aku tidak tahu. Biarlah bulan yang jadi saksi atas kejadian malam
ini.
Aku meninggalkan Kang Alif dan Teh Yuni
dengan perasaan kesal. Menyesal sekali ikut acara ini karena menuruti keinginan
Ibu agar aku berbaur dengan remaja-remaja Kompleks Mawar Duri Lunak. Waktuku
terbuang sia-sia. Rasa sesal memang datangnya terlambat karena kalau lebih dulu
namanya pendaftaran.
Si Kutu Buku kembali berjalan di
belakangku. Setelah lima langkah kudengar suara-suara berbisik dan mendesah lainnya.
Rupanya acara gathering ini hanyalah formalitas belaka agar izin orang tua bisa
keluar dan mereka bisa berpacaran di alam terbuka. Sebagai jomblo sejati aku
merasa acara seperti ini tak pantas buatku. Rasa marah membuatku mempercepat
langkahku menuju rumah. Tidur adalah jalan terbaik bagiku.
*****
Pagi-pagi buta aku bangun dan berkemas. Bergegas
keluar rumah besar Itu. Kulihat Si Kutu Buku mengikutiku dari belakang. Kami
berdua naik bis umum mendahului para remaja yang masih lelap karena semalam mereka
begadang.
Setelah sampai di Kompleks Mawar Duri Lunak,
aku dan Si Kutu Buku berpisah. Aku tak tahu siapa nama sebenarnya nama Si Kutu Buku
begitu juga sebaliknya. Kami berdua tak berniat mengetahui lebih dalam tentang
diri masing-masing.
Depok, 21 Desember 2020
Mimpi Buruk Karenina
Fitra membuka
sebuah amplop yang sedang dipegangnya. Matanya terpusat pada satu tulisan besar
yang berada di tengah kertas. Kekesalan tergurat jelas di wajahnya. Kemudian
kertas itu diremasnya.
Tak ingin
berlama-lama di bangunan sekolah bertingkat itu, Fitra melangkah keluar dari
sekolah itu. Langkahnya cepat karena menahan kekesalan.
Sesampainya di
tempat parkir Fitra masuk ke dalam mobilnya. Ia tidak langsung menyalakan mesin
mobilnya melainkan duduk di depan setir. Kemudian ia membuka tasnya dan
mengambil ponsel. Dicarinya sekolah-sekolah dasar yang dipikirnya bisa mendaftarkan
Karenina, anaknya.
Sudah setengah
jam lebih, Fitra berada di dalam mobilnya, namun belum ada satu pun sekolah
yang menurutnya cocok untuk Karenina. Dari mulai waktu pendaftaran yang sudah
selesai, lokasi yang jauh dari rumahnya sampai biaya yang terlalu mahal
baginya.
Perasaan stres
mulai menyerang pikiran Fitra. Ia bingung harus ke mana lagi mencari sekolah
untuk Karenina. Akhirnya Fitra memutuskan akan mendatangi sebuah sekolah swasta
yang letaknya agak jauh dari rumahnya. Ia menjalankan mobilnya meninggalkan
gedung megah sekolah itu.
“Selamat pagi,
Bu!” Fitra menyapa seorang perempuan
setengah baya yang sedang duduk di sebuah ruangan.
“Selamat pagi. Ada
yang bisa saya bantu?” jawab perempuan itu dengan ramah.
“Saya ingin
mencari informasi pendaftaran masuk ke sekolah ini, Bu,” ujar Fitra.
“Silakan duduk,
Bu!”
Fitra duduk di
depan perempuan itu. Ia mulai berbicara tentang kemungkinan anaknya bersekolah
di sekolah yang menurut banyak orang adalah sekolah yang paling bagus di daerah
tempat tinggalnya. Sayangnya semakin lama ia mendengarkan perkataan perempuan
dihadapannya, ia semakin pusing.
“Biaya masuknya
sekitar empat puluh juta dan SPP-nya adalah dua juta per bulan. Ibu bisa
mendaftarkan anaknya sekarang kemudian lusa bisa ikut tes masuk.”
Fitra tak tahan
lagi berada di situ. Ia tak membayangkan mengeluarkan uang segitu banyak untuk
pendidikan di sekolah dasar. Belum lagi biaya bulanannya. Gaji Fitra dan Tommy,
suaminya akan habis untuk biaya sekolah, transportasi dan cicilan-cicilan saja.
Tak akan tersisa untuk makan sehari-hari. Belum lagi tanggungan keluarga mereka
berdua. Fitra bergidik membayangkannya.
“Saya pikirkan
dulu ya, Bu,” ujar Fitra dengan lemas.
“Ini kesempatan
terakhir, lho. Besok pendaftaran sudah kami tutup,” jawab perempuan itu.
“Iya, Bu. Saya
permisi!” Fitra pamit setelah bersalaman dengan perempuan itu.
Sampai ia
mendatangi sekolah yang keempat, barulah Fitra merasa telah menemukan sekolah
yang cocok bagi Karenina. Sayangnya, ia tak dapat memutuskan sendiri. Fitra
harus melibatkan Tommy untuk mengambil keputusan. Baginya yang penting adalah
ia sudah menemukan calon sekolah bagi Karenina.Itu sudah membuatnya sedikit
lega.
***
“Tom, masak sih Karenina
bisa nggak lolos masuk sekolah negeri favorit,” ujar Fitra kesal.
“Ya nggak apa-apa
dong. Emang harus ya lolos masuk SD favorit?” tanya Tommy dengan tenang.
“Bukan begitu,
Tom. Aku nggak terima aja. Karenina itu cerdas lho. Bahkan waktu di TK, gurunya
sering memuji Karenina. Dia juga udah pinter baca,” timpal Fitra.
“Nggak boleh lho
masuk SD pake tes. Di TK juga seharusnya nggak perlu diajarin baca tulis,” ujar
Tommy.
“Iya sih, tapi
kan kita harus mempersiapkan pendidikan Karenina sejak dini, Tom. Biar nanti
dia bisa masuk sekolah lanjutan yang bagus.”
“Kali aku nggak
sependapat, Fit. Kupikir sih nggak perlu lah Karenina belajar di sekolah
favorit dulu. Aku malah pengen masukin Karenina ke sekolah negeri yang di
sekitar sini aja,” ujar Tommy.
“Maksudmu SD
Melati gitu? Ya ampun Tom, tega banget sih mau sekolahin Karenina di situ.
Bangunannya aja jelek gitu mana tempatnya kumuh pula,” tukas Fitra.
Fitra merasa
kaget mendengar usul Tommy untuk menyekolahkan anaknya di SDN Melati. Tak ada
seorang pun penduduk kompleks perumahan yang mereka tinggali bersekolah di SDN
Melati. Kebanyakan anak yang bersekolah di situ adalah penduduk perkampungan
yang berada di sekitar tempat tinggal mereka.
“Lho memangnya
kenapa?” tanya Tommy masih dengan suara yang datar dan tenang.
“Karenina, Tom.
Anak kita satu-satunya sekolah di tempat yang jorok. Kasihan dong,” jawab Fitra
dengan kesal.
“Ah menurutku
semua sekolah sama aja. Apalagi masih tingkat dasar, pelajarannya pasti sama.”
“Tom, aku nggak
setuju! Kasihan Karenina.”
“Kasihan Karenina
atau kasihan kamu sendiri?”
“Maksudmu apa,
Tom?”
“Sebenarnya yang
kamu kasihani itu adalah dirimu sendiri, bukan Karenina. Menurutku sih Karenina
akan senang sekolah di mana pun. Yang penting baginya adalah memiliki teman
bermain ….”
“Kamu kok
menentang aku memberikan yang terbaik bagi anak kita sih!”
Suara Fitra
terdengar parau bercampur dengan tangisan yang tertahan di matanya. Ia merasa
Tommy tak menghargai upayanya untuk mencari sekolah yang bagus bagi Karenina.
Ia merasa telah mengorbankan waktu dan tenaganya demi mencari sekolah. Ia rela
mengambil cuti dari kantor padahal ia sebenarnya ditugaskan ke luar kota oleh
atasannya. Ia tolak semua itu demi Karenina.
“Gini deh, untuk
sekolah dasar, beri aku kesempatan untuk memilihkan sekolah untuk Karenina.
Kalau misalnya Karenina tidak senang dengan sekolahnya, maka bolehlah kamu
memindahkan Karenina ke sekolah yang bagus menurutmu,” ujar Tommy.
“Tom, kamu kok
ngotot sih?” tanya Fitra.
“Lha bukannya
kamu juga ngotot?” Tommy balik bertanya.
“Bukan gitu, apa
kamu nggak kepengen Karenina tumbuh cerdas dan pintar sehingga nanti dia nggak
kesulitan masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi,” terang Karenina. Ia
mencoba mempertahankan keinginannya.
“Pengen banget,
Fit. Pengen. Satu hal yang perlu kamu ketahui, aku punya alasan kuat
menyekolahkan Karenina di SDN Melati adalah biar Karenina punya pengalaman
hidup yang berwarna. Ia bisa melihat kehidupan lain. Bukan hanya kehidupan yang
didapatnya sekarang. Aku ingin Karenina jadi anak yang tangguh dan juga anak
yang peduli dengan sesamanya,” jelas Tommy.
Fitra terdiam
sejenak mendengar penjelasan Tommy. Ia tahu maksud Tommy baik tapi ia berpikir
apakah sekolah seperti itu tepat untuk Karenina.
“Kalau Karenina
di-bully gimana?”
“Di sekolah bagus
pun sering ada bullying juga, kok.”
“Tom, please!
“Kali ini aku
akan bertahan, Fit,” ujar Tommy ngotot.
“Mama, Papa, kok
bertengkar sih?”
Tiba-tiba Karenina
muncul di depan mereka berdua. Karenina mengucek-ngucek matanya. Kemudian ia
duduk diantara Fitra dan Tommy.
“Karenina kok
bangun, sih?” tanya Fitra.
“Karenina mimpi
buruk, Ma.”
“Mimpi apa?”
tanya Fitra sambil mengusap kepala Karenina.
“Mama dan Papa
bertengkar,” jawab Karenina polos.
“Karenina, Mama
dan Papa nggak bertengkar kok. Mama dan Papa sedang membicarakan tentang
sekolah Karenina setelah dari TK,” ujar Fitra lembut.
Tommy memberi
isyarat kepada Fitra agar tidak membicarakan masalah sekolah kepada Karenina.
Fitra merasa inilah kesempatan yang bagus untuk mengungkapkannya kepada Karenina.
“Karenina suka
kan sekolah yang gedungnya bagus, ruangannya bersih dan temannya yang
baik-baik?” tanya Fitra.
“Suka, Ma,” jawab
Karenina.
“Kalau sekolah
dekat, temannya lebih banyak suka ngga, Nak?” tanya Tommy.
“Karenina juga
suka, Pa.”
“Tommy!” bentak
Fitra.
“Biar Karenina
yang memilih, Fit. Dia pasti tahu lah yang baik untuknya,” balas Tommy.
“Karenina masih
kecil, Tom!” balas Fitra.
“Ma … Pa, kok
jadi ribut gara-gara Karenina sih?” tanya Karenina polos.
“Nggak kok. Mama
sama Papa nggak ribut,” ujar Fitra dengan lembut.
“Gini deh, Papa
mau tanya. Karenina mau sekolah di pilihannya Mama atau Papa?”
“Tom, masak Karenina
dibawa-bawa ke masalah ini sih. Harusnya kita yang menentukan untuk kebaikan Karenina,”
tukas Fitra.
“Ya nggak apa-apa
dong biar Karenina udah dibiasakan ngambil keputusan sejak dini,” balas Tommy.
“Karenina,
bagaimana jawabannya?” tanya Tommy lagi.
“Karenina
bingung, Pa.”
“Tuh kan anaknya
bingung. Kamu sih. Udah masuk sekolah yang kucari tadi siang aja!” pinta Fitra.
“Enggak dong! SDN
Melati dekat. Kita jadi nggak khawatir,” balas Tommy.
“Nggak bisa, aku
nggak mau anakku masuk sekolah negeri!” balas Fitra.
“Lha kamu juga
kan produk sekolah negeri, Fit.”
“Tapi aku nggak
mau anakku masuk sekolah negeri!”
“ … “
“ … “
Karenina hanya
bengong melihat perdebatan kedua orang tuanya. Ia juga tak mengerti apa masalah
perdebatannya. Ia pun tak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya ia
meninggalkan kedua orang tuanya yang terus berdebat dengan suara yang sama-sama
kerasnya. Karenina berpikir kalau mimpi buruknya itu ternyata menjadi kenyataan
malam ini.
Aku Harus Bahagia
“Wah
alhamdulillah anaknya sehat,” ujar seorang tetangga yang datang menemuiku
ketika aku baru saja pulang dari rumah sakit selepas melahirkan Sakina.
“Alhamdulillah,”
balasku dengan tersenyum
Sebenarnya kalau
aku ditanya terlebih dahulu sebelum ada orang yang ingin menjengukku dan
Sakina, aku lebih memilih tak ada seorang pun yang mendatangiku. Apalagi kalau
aku baru saja kembali dari rumah sakit.
Aku letih. Seluruh
badanku terasa pegal dan tak bertenaga. Aku malas sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan. Terlebih apabila mereka menceritakan pengalamannya ketika
melahirkan kepadaku.
“ASI-nya lancar,
Mbak?” tanya tetanggaku yang satunya lagi.
“Belum keluar dari
pertama lahiran. Sampai beberapa hari ini masih sedikit sekali air susu yang
keluar.” Tanpa diminta, ibuku menjelaskan jawaban yang membuatku kesal.
“Banyak makan daun
katuk, Mbak! Terus jangan banyak berpikir yang enggak-enggak, nanti jatuhnya
stres lho. Coba tenangin pikiran biar air susunya lancar.”
Aku hanya bisa tersenyum
tipis mendengar nasihat seperti ini. Memangnya gampang selepas lahiran, seorang
ibu yang baru mempunyai anak tak berpikir apa pun.
“Setiap hari saya
buatkan sayur daun katuk, kok. Nggak tahu juga kenapa air susunya sulit
keluar,” ujar Ibu.
“Terus bayinya
minum apa selama beberapa hari ini?” tanya yang lain membuatku semakin pusing.
Ibu diam tak
menjawab. Pikirku, tumben kali ini Ibu tak bersuara. Sepertinya Ibu malu
mendapati anaknya belum berhasil mengeluarkan air susunya.
“Anak saya udah
minum susu formula, ibu-ibu.” Akhirnya terpaksa aku menjawab pertanyaan yang
disampaikan tetanggaku itu.
“Aduh Mbak Feni,
jangan dikasih susu formula dong! Nanti anaknya jadi bodoh. ASI itu adalah
makanan terbaik bagi bayi. Selain itu juga akan menciptakan bonding yang kuat
antara anak dengan ibunya. Nanti imunnya nggak bagus lho kalau minum susu
formula.”
Duh Gusti, rasanya
aku tak sanggup menghadapi ibu-ibu ini. Bukannya aku jadi tenang dapat
nasihat-nasihat ini tapi malah membuatku jadi seperti seorang ibu yang jahat
kepada anaknya sendiri.
Saat itu,
perasaanku hancur sekali mendengar kalimat-kalimat yang pedas seperti itu.
Ingin rasanya kuusir semua orang itu dari hadapanku. Tangis Sakina
menyelamatkanku dari penghakiman para ibu-ibu super di hadapanku ini.
Aku berpamitan dan
masuk ke dalam kamar. Entah apa lagi yang dibisikkan para penjenguk itu kepada
ibuku karena kudengar masih ada percakapan yang terjadi tapi dengan suara yang
lebih pelan. Aku tak ingin mendengar apa yang mereka ucapkan.
***
Setelah seminggu
berlalu, aku tetap tak sanggup memproduksi ASI. Pikiranku semakin kalut apalagi
kalau mendengar kalimat miring dari orang tentang anak yang minum susu formula.
“Dicoba lagi,
Fen,” bujuk Ibu.
“Aku nggak bisa,
Bu. Aku sudah berusaha keras tapi tetap tak bisa.”
Rasanya aku ingin
menjerit mendapati kenyataan ini. Upaya apa lagi yang harus kulakukan agar aku
bisa mendapatkan pengakuan kalau aku adalah ibu yang sejati.
“Mungkin Ibu harus
terus membuatkanmu sayur daun katuk setiap hari,” ujar Ibu.
“Cukup, Bu. Aku
sudah capek tiap hari makananku itu-itu saja. Aku bosan.” Suaraku mulai berat
menahan tangis yang tertahan di tenggorokan.
“Sabar, Fen!”
“Maafkan aku, Bu.
Sepertinya usaha kita ini harus kita hentikan. Aku nggak mau konsentrasi jadi
terbelah karena aku sibuk mengupayakan agar ASI keluar tapi aku lupa
memperhatikan Sakina. Aku ingin ceria merawat Sakina, Bu. Bukan seperti
sekarang ini, aku sering merasa kecewa dengan diriku sendiri.”
Aku tak sanggup
lagi menahan tangis yang terpendam di dada. Kutumpahkan semuanya pada saat itu.
Andai saja Mas Dito ada di sampingku saat ini, pastilah aku akan lebih tegar
menghadapi masalah ini.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,”
jawab Ibu.
Aku menghapus air
mata yang bercucuran di pipi dengan ujung kemeja. Aku tak ingin orang lain
melihatku rapuh seperti ini.
“Masuk, Bu
Danang!” ujar Ibu.
“Eh Mbak Feni,
mana dede bayinya?” ujar Bu Danang sambil menyerahkan sebuah kotak yang
dibungkus dengan kertas warna-warni.
“Ayo lihat!” ajak
Ibu sambil berjalan menuju kamar.
“Sakina sedang
tidur, Bu,” ujarku.
“Sakina cantik.
Mirip mamanya,” puji Bu Danang.
“Terima kasih,”
balasku berbasa-basi.
“Bagaimana Mbak
Feni, apa ASI-nya lancar?”
Hal seperti inilah
yang aku tidak sukai ketika ada orang yang melihat Sakina. Pasti ujung-ujungnya
menanyakan soal ASI kepadaku.
“Nggak keluar,
Bu.”
Ibu selalu
mewakiliku untuk memberikan jawaban kepada siapa pun yang bertanya tentang ASI.
Aku sama sekali tidak meminta Ibu untuk menjawab pertanyaan yang sama dari
beberapa orang yang niat awalnya adalah melihat anak bayiku.
“Terus minumnya
gimana?” tanya Bu Danang lagi.
“Minum susu
formula,” jawab Bu Danang.
“Aduh sayang
sekali ya, anaknya tidak menyusu kepada mamanya. Biasanya sih kalau anak yang
tidak minum air susu ibunya, gampang sakit, Mbak.”
Entah apa yang
harus kuperbuat mendengar ucapan Bu Danang. Aku bisa depresi kalau setiap hari
mendengar kata-kata ASI ditanyakan kepadaku.
“Emang ada yang
salah ya dengan susu formula?” tanyaku ketus.
“Enggak sih, Mbak.
Bagus-bagus aja. Susunya merek apa? Kalau keponakan saya minumnya susu merek ST 13. Mahal itu,” ujar Bu Danang lagi.
“Kalau Sakina sih
saya kasih susu yang murah aja, Bu. Sama saja, yang penting anaknya mau dan
nggak alergi.”
“Ah masak sih Mbak
Feni nggak sanggup beli susu yang mahal.”
Aku semakin kesal
mendengar ucapan Bu Danang yang semakin melantur. Aku melirik ke arah Ibu dan
memberikan kode agar aku ditinggal sendiri.
“Ayo, Bu. Kita
ngobrol di luar aja. Feni ini kurang istirahat. Tadi malam begadang. Sakina
nggak mau tidur,” ajak Ibu.
“Mungkin dede bayi
pengen mimi air susu ibunya,” ujar Bu Danang dengan suara tanpa dosa. Ia tak
sadar kalau perkataannya sungguh menyakiti perasaanku.
Setelah Ibu dan Bu
Danang keluar dari kamar, aku membaringkan badan di samping Sakina yang
terlelap. Kupandangi wajah Sakina dalam-dalam. Betapa damainya Sakina. Kuelus
tangannya yang berlipat dengan lembut.
Tiba-tiba ponselku
berdering. Rupanya Mas Dito mengajakku mengobrol melalui videocall.
“Mas, aku kangen,”
rajukku setengah menangis.
“Sabar, ya.
Seminggu lagi kita akan ketemu.”
“Lama sekali, Mas.
Lain kali jangan ambil dinas yang kelamaan, ya!” pintaku manja.
“Iya. Mana
bidadari kecilku yang cantik?” tanya Mas Dito.
Aku mendekatkan
ponsel ke arah Sakina sehingga wajah Sakina terlihat di layar. Kulihat Mas Dito
mengusap air mata yang menetes di pipinya. Aku ikut terharu menyaksikan pertemuan
antara ayah dengan anak perempuannya.
“Sakina, ini
Papa.”
“Sakina tidur,
Mas.”
“Aku nggak sabar
deh nunggu seminggu lagi. Kangen kamu juga,” goda Mas Dito membuatku tersipu
malu.
“Tapi, Mas ….”
Aku ragu ketika
hendak menceritakan masalahku kepada Mas Dito. Aku tak ingin membebani
pikirannya dengan masalahku yang belum tentu dapat dipahaminya.
“Tapi apa? Mau
minta oleh-oleh?”
“Enggak kok, Mas.
Kamu pulang dengan selamat aja udah lebih dari sekedar oleh-oleh,” ujarku.
“Kamu tuh, ya.
Bakalan nggak bisa tidur nih aku kalau kamu gombalin begini.” Melihat wajah Mas
Dito yang ceria membuatku bahagia.
“Mas, jangan
marah, ya?”
“Feni, dari tadi
kamu tuh bikin kode-kode terus. Cerita aja, nggak apa-apa kok,” ujar Mas Dito
menenangkanku.
“Umm … air susuku
nggak keluar, jadinya Sakina kukasih susu formula. Seminggu ini aku udah
berusaha tapi gagal, Mas.” Akhirnya kuceritakan juga masalah yang kuhadapi.
“Ya ampun, Feni.
Kenapa kamu takut cerita soal itu? Bagiku nggak masalah, kok. Kamu fokus aja
mengurus Sakina dengan baik. Jangan sedih terus, nanti kamu sakit. Kasihan kan
Sakina … juga aku. Aku nggak mau mengurus Sakina sendirian, maunya berdua sama
kamu.”
Rasanya tenang
hatiku mendengar perkataan Mas Dito. Aku semakin yakin kalau anakku akan tumbuh
baik dengan kasih sayangku walaupun tanpa ASI.
“Fen, udah dulu
ya. Aku mau baca-baca materi seminar besok,” pamit Mas Dito.
“Iya, Mas. Daah.”
Aku membelai
tangan Sakina yang masih tidur. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku
akan selalu bahagia tanpa harus selalu memikirkan apa pendapat orang lain.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.
Silakan masuk, Bu Anna ….”
Aku tak ingin
terbebani dengan kewajiban untuk menemui orang saat aku lelah, makanya aku
memilih menutup pintu kamar. Aku tak tahu sejak kapan aku tertidur. Aku
terbangun ketika Ibu mengetuk-ngetuk kamarku mengingatkanku untuk makan sayur
daun katuk.
“Apa, Bu?”
“Makan sayur daun
katuk dulu, sebelum Sakina bangun!” perintah Ibu.
Aku bangun dan
duduk di pinggir tempat tidur. Aku melirik Sakina, ternyata dia masih tidur
dengan pulas.
“Boleh nggak aku
minta menu yang lain? Sayur yang lain. Aku bosan makan daun katuk melulu, Bu.
Sehari bisa sampai tiga kali.”
“Kamu nggak mau
berusaha lagi, Fen?” tanya ibu. Wajahnya terlihat sedih.
“Aku mau berusaha
menyayangi Sakina dengan caraku, Bu. Boleh ya? Ini hari terakhir ya menuku cuma
sayur daun katuk. Aku mau makanan yang bervariasi biar aku sehat, jadi aku bisa
merawat Sakina dengan baik. Maaf ya, Bu.”
“Feni ….”
Ibu memelukku. Ia
mengelus kepalaku. Sepertinya Ibu mulai menangis.
“Maafkan Ibu, Nak.
Selama ini Ibu nggak peka.”
Ada rasa hangat
menjalari hatiku ketika berada dalam pelukan Ibu. Aku semakin yakin, Sakina
akan tumbuh dalam lingkungan yang baik dengan orang-orang dewasa yang saling
memahami.
***