Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Pejuang Dalam Sepi

Ada isak lirih namun masih cukup terdengar di situasi hiruk pikuk pada hari yang dicemas-cemaskan, hari yang dinantikan untuk sebuah kabar kepastian penempatan menyusul tuntasnya masa pendidikan selama tiga tahun terakhir ini.

"Yang sabar mas, banyak temannya kok," hiburku kepada teman yang sejak dibacakan nama-nama beserta kota penempatannya langsung memutar kursi, membalikkan badan, meluapkan sesuatu untuk beban yang datangnya sangat tiba-tiba.

Jawabannya hanya terlihat sebagai mata yang berkaca-kaca tanpa sepatah kata apapun. Aku harus mengalihkan ke hal lain sebelum tahu pernyataanku betul-betul menambah kerisauan yang menimpanya.
Pasti ada sesuatu yang tidak sekedar jarak kota penempatan yang jauh, disebabkan teman-teman lain yang setempatan kotanya terlihat baik-baik saja, bahkan masih bisa menyelipkan canda di tengah kegalauan sebagian besar para alumni yang memang sejak awal perkuliahan sudah diwanti-wanti harus siap untuk ditugaskan di mana saja. Tetapi pada hari pengumuman, tetap saja menjadi sesuatu yang tidak mudah diterima. Merantau ke tempat asing yang jauh untuk sebuah tugas yang belum tahu kapan ujungnya, bagi sebagian orang sangat menakutkan.

Apa yang aku rasakan sebetulnya juga tidak kalah hebatnya, ketika secara pelan-pelan aku eja nama kota yang mau tidak mau aku harus akrab dengannya untuk waktu entah berapa lama. Ujung Pandang.

Sepuluh orang akan menjadi teman seperantauan di kota yang sama dan hanya satu orang yang ditugaskan di kantor yang berbeda denganku.
Aku sendiri merasa belum perlu menumpahkan perasaanku di sini, harus aku simpan untuk aku bagikan di rumah nanti. Sejak hari aku menerima limpahan keseluruhan tanggung jawab seorang gadis yang akan menemani suka dukaku dari jarak yang paling dekat dibanding siapapun, aku merasa harus membagi setiap ada sesuatu yang menimpaku. Entah ini kabar gembira atau sebaliknya, aku sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah.
Ya, aku menikah sebelum tahu harus pergi ke tempat yang belum pernah dan bahkan tidak sedikitpun terbayang akan ke sana. Tempat yang asing. 

***

“Bener nih satu porsi ?” tanyaku kepada teman-teman ketika menerima sepiring nasi goreng dengan porsi yang sangat tidak biasa bahkan terlihat dua kali lipat dari yang biasa aku temui selama kuliah di Jakarta. Ini kekagetan di malam pertama memulai perantauanku di Ujung Pandang, makan malam paling kenyang sepanjang sejarah.

Aku dan teman-teman diperbolehkan menempati rumah dinas pejabat untuk sementara agar ada cukup waktu mencari rumah kontrakan atau kosan yang sesuai keinginan masing-masing. Ini adalah sambutan yang sangat indah sekaligus semakin menguatkan keyakinanku bahwa di setiap tempat pasti banyak orang baik yang akan membantu tanpa mengharapkan balasan apa-apa.

“Istri kok belum ikut ?” tanya salah seorang teman di tengah-tengah penyusunan jadwal masak menyusul keputusan aklamasi bahwa atas dasar pertimbangan penghematan maka untuk urusan makan lebih baik dilakukan dengan memasak sendiri, terutama untuk sarapan pagi dan makan malam, dua waktu makan yang paling merepotkan kalau kita harus jauh-jauh keluar rumah, sementara seluk beluk kota baruku ini masih jauh dari kata tahu.

“Masih menyelesaikan tugas akhir, mudah-mudahan empat bulan dari sekarang akan segera menyusul ke sini.” Aku tidak tahu apakah jawaban ini sampai selesai aku ucapkan atau tidak. Ada cekat yang menghalangi suara di tenggorokanku. Berpisah setelah beberapa hari bersama pada awal-awal pernikahan tentu bukan keputusan yang mudah. Dan keyakinanku mengatakan apa yang dirasakan istriku sama beratnya dengan yang aku rasakan saat ini. Aku jadi rindu istriku.
Sayup-sayup suara sekeliling semakin tak terdengar bersama lelapnya aku di istirahat malam ini.

***

"Kamu ke tempat Bu Neni ya," jelas Pak Robert, pria berkacamata penuh wibawa yang belakangan aku ketahui sebagai kepala seksiku, dengan sangat ramah sambil mengajak ke bagian di mana aku ditempatkan. Bu Neni, perempuan paruh baya yang murah senyum ini juga tak kalah ramah menerimaku. Keramahan Pak Robert dan Bu Neny, dua atasanku ini sudah cukup menjadi alasan bahwa aku akan menikmati suasana bekerja yang menyenangkan. Ini hari pertamaku bekerja setelah sekian tahun bergelut bersama buku-buku dengan segala keindahan teorinya.

“Sejak lima bulan yang lalu.” Bu Neni buru-buru memberi tahu setelah aku memperhatikan banyak tumpukan dokumen pembayaran yang belum diverifikasi, masih dalam ikatan tali setengah rapi. Penjelasan ini menjawab sebagian rasa ingin tahuku sebelumnya, mengapa harus sepuluh orang yang ditugaskan dalam satu kantor, sementara di tempat lain cukup dua atau tiga saja bahkan satu orang.

Kami bersepuluh seperti membawa misi khusus untuk menuntaskan sesuatu yang lama terbengkalai. Sambutan yang hangat semakin menguatkan mental dan keyakinanku bahwa aku akan betah di sini, ditambah lagi dengan tak segan-segannya para pegawai memberitahu cara kami harus bekerja. Keragaman lingkungan dari segi usia, suku dan keyakinan sama sekali tidak mengurangi rasa nyaman untuk saling membantu dan menghargai. Ini laboratorium kehidupan yang ideal yang akan menempaku menjadi lebih tangguh dan dewasa.

Hari-hari yang aku lewati terasa seperti tidak ada kendala yang berarti. Kesibukan di kantor dan keceriaan di rumah bersama teman-teman menjadi pengalih perhatian paling sukses agar aku tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan kerinduan pada istriku. Empat bulan yang berlalu aku merasakan diriku belum sepenuh seperti biasanya. Separuh jiwaku masih tertinggal. Dan perasaan ini semakin menjadi-jadi menjelang hari di mana aku harus menjemputnya.

***

Aku sudah di bandara beberapa jam sebelum perkiraan waktu kedatangan penerbangan yang membawa penggalan setengah jiwaku. Sudah aku buang jauh-jauh sesuatu yang aku kenal sebagai kesabaran. Tepat pada saat yang ditunggu-tunggu, tidaklah sulit untuk mengenali sesosok beraut ceria penuh kerinduan menghampiriku. Luapan kebahagiaan pada siang ini berujung pada tangis penuh haru. Ya Tuhan, terima kasih sudah mengumpulkan kami kembali.

Tidak ada pilihan lain kecuali aku harus memisahkan diri dari teman-teman untuk kemudian menyewa rumah kontrakan sederhana di pinggiran kota yang berjarak kurang lebih setengah jam perjalanan menuju kantor.
Dan sebentar lagi rumah itu akan menjadi saksi peresmian bertemunya pecahan-pecahan diri menjadi sesuatu yang sempurna. Rindu-rindu kami telah menemukan muaranya.

***

Pagi ini, sebagaimana biasa sejak ada istriku, aku berangkat ke kantor dengan suasana penuh keceriaan. Ucapan pamitku yang dibalas senyum indah dengan pesan untuk hati-hati menjadi bahan bakar penyemangat yang baru.
Di dalam angkutan umum sepanjang perjalanan, aku hanya ditemani lamunan betapa indahnya makan malam berdua nanti. Beruntung tidak ada kaca yang mampu memantulkan semua bayangan di depannya, sehingga aku terbebas dari rasa malu atas ulahku,  tersenyum-senyum sendiri.

Sesampai di kantor, seperti biasa aku berusaha menyapa siapa saja dengan ramah. Yang selalu menjadi harapanku adalah bahwa kehadiranku harus membuat semua orang merasa senyaman mungkin. Aku tidak mau ada orang yang sedih, tersinggung, dan bahkan marah disebabkan oleh sesuatu yang aku lakukan.
Sebelum aku duduk, pandanganku dipaksa untuk tertuju pada map merah mencolok yang ada di mejaku. Aku merasa ada yang sengaja meninggalkan map merah ini sebelum kemudian Bu Neni dengan senyum khasnya meyakinkan kebenaran dugaanku tadi. “Tinggal kamu yang belum”.

“Belum apa Bu?” sesuatu yang aku perlu tahu karena ucapan yang tidak utuh itu. Belum sempat aku mendapatkan jawaban, Bu Neni memberi isyarat aku untuk membuka map merah ini.
Penglihatanku tak sulit untuk segera tertuju pada ruang kosong pada kolom tanda tangan tepat di sebelah kanan namaku yang diketik dengan rapi. Ternyata aku belum tanda tangan, batinku sekaligus menjawab sendiri pertanyaanku tadi, sambil melihat-lihat lembaran berikutnya yang tidak berbeda dari yang pertama kecuali hanya hari dan tanggal saja.

Tiba-tiba hatiku merasa terusik ketika mengetahui rupanya ini daftar hadir untuk sesuatu yang tidak aku lakukan. Mungkin ini yang dikatakan orang-orang bahwa di dunia kerja akan banyak tantangan yang tidak pernah ada di bangku kuliah. Aku seperti di persimpangan jalan, belum tahu harus memilih jalan yang mana. Tetap menandatangani atau tidak. Hatiku seperti berbisik, “menandatangani adalah pilihan paling sulit untuk diterima nurani,” tetapi tidak menandatangani juga bukan perkara yang mudah dipahami oleh teman-teman lainnya. Menuruti hatiku atau menjaga hati teman-teman kantorku, dua hal yang sedang bertarung berebut pengaruh untuk dipilih sebagai keputusan akhirku.
“Apakah boleh tidak tanda tangan Bu?” tanyaku bernada meminta kepada Bu Neni. Hal ini perlu  aku sampaikan dengan hati-hati, khawatir muncul prasangka beragam atas alasan dari sikapku ini. Dari mulai sok suci atau sudah tidak butuh uang lagi atau yang lain.

“Ya, nanti saya sampaikan ke Pak Robert,” jawaban Bu Neni ini menghapus bersih kerisauanku. Masalah selesai, pikirku.

Beberapa menit sebelum waktunya pulang, aku diminta menghadap Pak Robert yang dari sejak aku masuk ke ruangannya map merah tidak terlepas dari genggamannya. Aku hanya menunggu apa yang akan disampaikan, tanpa harus bersusah payah menebak-nebak yang akan terjadi.

“Kenapa tidak mau tanda tangan?” tanya Pak Robert datar. Aku masih diam saja karena merasa kesulitan menyampaikan alasan yang sebenarnya.

“Kalian sudah bekerja keras menyelesaikan pekerjaan yang lama terbengkalai, dan ini bentuk perhatian kami kepada kalian.” Sebuah penjelasan yang masuk akal, tapi belum cukup untuk memberikan ketenangan hatiku.

“Tidak tanda tangan tidak apa-apa kan pak?” tanyaku menyusul ucapan rasa terima kasih tak terbilang atas perhatian dan penghargaan yang diberikan. Kalimat ini aku ucapkan dengan sangat hati-hati, supaya tidak ada kesan meninggikan diri atau sesuatu yang disalahpahmi sebagai kesan tidak baik lainnya dengan sambil tetap menjaga raut muka senyum tanda menaruh hormat kepadanya.

Mungkin merasa jawabanku tidak memuaskan, Pak Robert berdiri lalu membanting pelan map merah sambil berkata dengan suara agak meninggi, “Saya tidak mau tahu, harus tanda tangan!” Pak Robert bergegas keluar ruangan sementara aku masih diliputi perasaan campur aduk tidak karuan. Ada rasa bersalah karena sudah membuat atasanku marah, ada rasa tidak tenang untuk sesuatu yang hatiku tidak bisa menerimanya. Di waktu sempit ini, aku seperti dipaksa untuk tidak punya pilihan lain kecuali harus menuruti perintah atasanku. Sore ini aku pulang ditemani sesuatu yang sangat membebani pikiranku. Perjalanan pulangku menjadi terasa sangat jauh.

***

Sejak peristiwa aku menandatangani isi map merah itu, aku tak pernah benar-benar merasa tenang. Bahkan uang yang harus aku terima masih aku simpan rapi, belum terpikirkan akan digunakan untuk hal apapun, sambil mencari cara yang bisa aku lakukan untuk menebus ketidaknyataan dalam daftar itu.

Pernah aku coba untuk pulang lebih lambat selama kurun waktu yang tertuang dalam daftar itu, namun upaya ini tidak bertahan lama. Aku merasa bersalah kepada Pak Alex, petugas yang membuka dan mengunci kantor,  yang harus menungguku menyelesaikan misi tebusanku. Pekerjaan kantor memang selalu ada, tetapi melakukan sesuatu dengan membebani orang lain bukan pilihan yang bijak, pikirku.

Aku masih merasa belum tenang, sampai pada keputusanku untuk membawa pekerjaan kantor ke rumah, sebagai pembuktian bahwa apa yang ada dalam daftar itu betul-betul aku lakukan. Kelihatannya ini agak rumit, namun ini cara yang menurutku paling membuatku tenang. Ini bukanlah yang ideal, tidak sebagaimana yang seharusnya aku sudah tolak dari sejak awal. Aku lemah dari sisi ini, tapi aku masih bersyukur diberi perasaan yang tidak pernah tenang untuk hal yang mengganggu pikiran ini.

“Ini mas, mumpung masih hangat,” istriku sambil menyodorkan cangkir berisi teh yang khusus dibawa dari kampung halaman, sementara aku masih mencari satu per satu angka yang menyebabkan selisih antara penjumlahan oleh aplikasi komputer dan penjumlahan oleh mesin struk yang sepenuhnya dilakukan secara manual. Dalam beberapa malam ini, aku memarng selalu ditemani istriku, manusia yang dikirim Tuhan membantuku mendapatkan ketenangan dengan caraku sendiri.

***

Siang ini, di sela-sela waktu istirahat aku menyempatkan untuk mengunjungi salah satu teman yang aku kenal di tempat kerja yang tidak jauh dari kantorku, namanya Tegar. Meski membicarakan hal-hal ringan, tetapi hampir selalu terasa menarik selama aku berteman dengan dia. Ada kertas lusuh yang terlipat tak rapi di meja Tegar. Aku pikir tak ada salahnya untuk membuka lipatan dan mengetahui isinya sebelum aku buang ke tempat sampah. Rupanya kertas itu adalah bukti setor salah satu bank pemerintah yang tak jauh dari kantorku. “Penerimaan lainnya.” Itu bunyi tulisan yang aku baca di bukti setor itu.

“Ini punya siapa mas?” selidikku.

“Tidak tahu,” Tegar menjawab sekenanya. Tetapi aku yakin dialah pemiliknya, aku sudah mengenal dengan baik tulisan tangannya yang sekarang ada di bukti setor itu.

Aku tahu Tegar tidak mau menerima segala jenis uang yang tak jelas terdefinisikan.  Tetapi ketika uang yang sudah terlanjur atau terpaksa dia terimapun akan disetor ke kas negara, ini yang aku baru tahu dengan mata kepalaku sendiri. Aku beruntung memiliki teman yang sanggup berjuang untuk sesuatu yang membuat lebih tenang. Ya, dia memang setegar namanya.

***

Pertemuanku dengan Tegar siang ini, betul-betul menjadi pelajaran yang paling berharga yang pernah aku temukan sepanjang pengalaman bekerjaku. Meski yang aku lakukan masih jauh dari apa yang dilakukan Tegar, tetapi setidaknya aku punya teman untuk sebuah perjuangan yang berawal dari bagaimana menjadi pendengar yang baik ketika nurani sedang menyampaikan pendapatnya. Mintalah fatwa kepada hatimu, begitu kira-kira pesan yang pernah aku dengar dan aku bisa merasakan langsung sekarang ini. Kekhawatiranku tentu ketika hatiku sudah tak sanggup menangkap sinyal-sinyal peringatan dari Tuhan. Ini musibah yang paling takutkan, hilangnya kepekaan hatiku.

Ini adalah perjuangan dalam sepi, karena hanya diri kita yang tahu dan merasakan gejolaknya. Tegar hanya satu dari sekian banyak orang yang mampu membentengi diri dengan nurani hatinya. Para pejuang seperti ini tidak pernah menghiraukan apapun karena mereka akan tetap melakukan sesuatu yang berharga meski tidak di atas panggung-panggung yang akan dilihat banyak orang.

Aku yakin pasti banyak pejuang yang serupa ini, tetapi tetap saja jika gejolak datang, akan terasa sepi, seperti merasa sendiri, sesuatu yang harus aku lawan semampu yang aku bisa. Aku berjalan pulang dengan dihantui rasa khawatir dan penuh harap, sambil lirih berucap, "Ya Tuhanku, aku tidak mau jauh-jauh dari hatiku"

Tamat

***

Oleh: JoRay

CINTA RUBI

Malam itu, Pukul 20.30

 

“You want me to stay here this night?”

Rubi menatap laki-laki itu dalam, tersenyum, lalu menggeleng dan menjawab,”No, you gotta go home”. 

 

Laki-laki itu membelai wajahnya lembut, mengecup keningnya sebelum kemudian merengkuh tubuh mungilnya. Pelukan hangat itu tidak pernah bisa Rubi lupakan. 

 

Sisa hujan malam itu terasa amat dingin. Sosok laki-laki itu sudah menghilang ditelan tangga yang menuju lantai dasar kamar kost-nya. Namun Rubi masih mematung, berharap laki-laki itu menghentikan langkahnya dan kembali. Lalu, Rubi mendengar suara deru mesin kendaraan yang semakin menjauh dan menghilang. Dia menarik nafas dalam, beranjak membuka pintu kamar lalu bersandar pada dinding yang sejuk. 

 

Sepengingat Rubi, ini adalah bulan ke 5 dia menjalani hari-harinya bersama laki-laki itu. Semakin hari, Rubi merasakan rasa cinta yang semakin luar biasa. Namun Rubi sadar, dia tidak akan pernah bisa memiliki laki-laki itu seutuhnya. Rubi sudah berusaha berkali-kali menguatkan hatinya, meyakinkan perasaannya bahwa hubungan mereka tidak baik-baik saja. Namun mimpi yang laki-laki itu bagikan dan hayal yang dia angankan selalu jauh lebih besar dari rasa takut akan kehilangan laki-laki itu suatu saat nanti. 

 

Rubi gamang. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan bersama laki-laki itu berganti dengan rasa yang dia sendiri tidak dapat uraikan. Rubi bergegas membersihkan diri, tidur menjadi jalan keluar terbaik untuk melarikan apa yang ada dalam pikirannya saat ini. 

 

Rubi baru akan memejamkan mata ketika dia mendengar ketukan halus di pintu. Dia melirik ke jam dinding sejenak, pukul 21.20. “Mba Mini ya?”, dia bertanya sambil berjalan menuju pintu. Cuma mba Mini, penjaga kost yang suka mengetuk pintu malam-malam sekedar mengantarkan pakaian dari laundry atau menawarkannya makanan. 

 

“Hey, It’s too late to say good bye!”, laki-laki itu tersenyum. Rubi terpana sejenak lalu memeluknya erat. 

 

Azan shubuh baru saja terdengar, Rubi membangunkan laki-laki itu pelan, lalu berbisik: “It’s time to go home”. Sedikit tergesa laki-laki itu merapihkan pakaiannya, lalu menatap Rubi dalam. “I’m sorry. I can’t stay any longer. Kamu istirahat ya, kalo mau jalan, gak papa jalan aja, ntr kalo bisa, aku pasti telp.”

 

Rubi mengangguk, tersenyum. Kali ini, dia menguatkan dirinya bahwa laki-laki itu telah dinanti oleh orang-orang yang juga mencintainya. Dia mengecup pipi laki-laki itu lembut lalu berbisik, “Thank you, for being here, and for all”. Laki-laki itu memeluknya hangat lalu menatapnya dengan penuh rasa sayang, “I’m gonna miss you soon”. 

 

Rubi melepas laki-laki itu dalam kesejukan pagi yang masih menyisakan dingin, sedingin hatinya. 

 

**There were nights of endless pleasure,

It was more than any law allows,

 

Baby,

 

If I kiss you like this,

And if you whisper like that,

It was lost long ago,

But it’s all coming back to me now

 

If you touch me like this,

And if I kiss you like that,

It was gone with the wind,

But it’s all coming back to me now 

 

 

**It's all coming back to me now, Celine Dion

Udin dan Gelembung Sabun

Sengatan sinar matahari pada pukul dua belas siang terasa panas menyentuh kulit. Siapapun yang tidak mempunyai keperluan mendesak untuk keluar rumah, lebih memilih berdiam diri di dalam rumah sambil menikmati hembusan udara segar dari mesin pendingin udara/mesin kipas angin, kipas-kipas dengan kipas tradisional dari anyaman bambu, atau bahkan ada yang berteduh dibawah pepohonan yang berada di halaman rumah.

Bagi sebagian yang lain khususnya para Ibu, sinar matahari yang terang benderang menjadi kebahagiaan tersendiri, karena jemuran pakaian yang memenuhi seluruh tali jemuran bisa kering lebih cepat sehingga sebagian pekerjaan rumah bisa selesai lebih cepat dari biasanya. Di musim penghujan, pakaian yang dijemur lebih lama keringnya. Bahkan, jika telah selesai mencuci kemudian menjemur pakaian lebih pagi, menjelang sore atau malam bahkan esok harinya pakaian masih terasa lembab, sehingga apabila dipaksa untuk di angkat pakaian yang lembab tadi dan ditumpuk selama beberapa jam, pakaian-pakaian tersebut akan mengeluarkan aroma atau bau yang tidak menyenangkan.

Tidak hanya para ibu yang merasakan kebahagiaan, demikian juga dengan para penjual es keliling seperti es serut, es bon bon, es dawet ayu, es cincau dan aneka jajanan es lainnya, mereka berbahagia dengan cuaca saat itu, karena jualan es mereka laris manis diserbu para pembeli yang menginginkan kesejukan dan kesegaran didalam rongga mulutnya untuk melepaskan dahaga akibat udara panas.

Sementara itu, disebuah sekolah dasar negeri di kampung bulakan.

"Teeeeeeeetttttt" suara bel sekolah menggema diikuti oleh sorak sorai teriakan bahagia seluruh murid-murid yang telah menantikan bel pulang berbunyi.

Bagaikan air bah yang sulit dibendung, para murid berlarian keluar ruang kelas setelah mereka satu persatu menciuam tangan sang guru sambil mengucapkan salam perpisahan.

Sang guru membalas ucapan salam anak didiknya sambil tersenyum. Sesekali beliau berteriak mengingatkan anak didiknya untuk tidak saling dorong agar tidak ada yang terjatuh.

Udin terlihat berdiri di antrian paling belakang, ia selalu memilih masuk dalam barisan antrian paling belakang karena tidak ingin berdesakan apalagi terkena imbas ulah teman-temannya yang saling dorong. Bukan tanpa alasan Udin memilih antri paling belakang, itu karena  ia pernah mengalami nasib buruk saat memaksakan diri ikut berdiri antri dalam barisan depan. Saat itu, tubuhnya yang kecil terjerembab hampir menabrak meja belajar akibat terdorong oleh teman-temannya.

Alhasil, tubuh Udin yang terjatuh dilantai menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Sang Guru pun hanya bisa membantu Udin untuk bangkit berdiri sambil memberi nasehat pada anak didiknya untuk tidak saling mendorong, karena hal tersebut dapat membahayakan diri sendiri dan juga orang lain.

Setelah berpamitan dengan gurunya, Udin melangkah keluar ruang kelas. Tempat tinggal Udin hanya berjarak puluhan meter dari Sekolah. Sesampainya di rumah, ia mengganti pakaian dengan pakaian sehari-hari. Kaos lengan pendek warna putih yang sudah mulai terlihat kecokelatan karena dimakan usia, serta celana pendek berbahan katun. 

Selepas shalat dzuhur, Udin melangkah menuju meja makan. Ia membuka tudung saji yang didalamnya sudah tersedia bakul nasi yang terbuat dari anyaman bambu, sepiring telor goreng mata sapi yang diberi bumbu kecap, irisan cabai, irisan bawang merah dan irisan bawang putih, serta sambal terasi yang diberi perasan jeruk limo.

Udin makan dengan lahap, karena makanan yang masuk kedalam lambungnya terakhir berupa ketupat sayur adalah diwaktu pagi hari ketika bel masuk kelas belum berbunyi. Sedangkan pada saat bel istirahat, ia lebih memilih bermain bola di halaman sekolah yang sering dipakai untuk upacara bendera setiap hari Senin pagi atau baris berbaris dan berkumpul dalam kelompok-kelompok dalam ekstra kurikuler Pramuka. Selesai bermain bola, ia dan teman-temannya membeli jajanan es teh manis untuk melepas dahaga di sebuah warung sederhana yang berada tidak jauh dari bangunan utama sekolah.

Sewaktu sisa makan siangnya masih satu suapan lagi, terdengar suara teman-temannya memanggil namanya, “Uuudiiin…. Uuudiiin….”. 

Emak Udin yang sedang menjahit bagian celana sekolah Udin yang robek, buru-buru buka pintu dan melangkah keluar, “Eeeh… Entong, Abdul, Soleh, sini masuk… tunggu sebentar ya… si Udin ngabisin makannya dulu. Eh iya… kalian udah pada makan?” tanya emak. “Udah Mak Udin. Iya dah…kita tungguin”. Jawab Entong, Abdul, dan Soleh hampir berbarengan. Ketiganya duduk di kursi bambu disudut halaman rumah berlantai keramik sederhana. 

Tidak butuh waktu lama, Udin muncul dari balik pintu. “Maaf ya, tadi tanggung tinggal sesuap lagi…hehe“, ujar udin sambil tertawa kecil.

“Mak, Udin maen dulu ya…” ujar Udin meminta izin ke emaknya. 

“diluar lagi panas, Din, jangan maen jauh-jauh ya, emak khawatir nanti Udin kesambet kalau tengari maen jauh-jauh”, ujar emak memberi peringatan ke Udin.

“Ya Mak, Udin udah janji ama temen-temen mau nyari daon kapuk”, jawab Udin.

“Emang buat apaan daon kapuknya?” tanya emak penasaran.

“Yaaah Emak kagak tau ya? Daon kapuk itu untuk bikin gelembung sabun dan air gelembung sabunnya bakal kita jual keliling kampung, kan lumayan buat duit jajan, gak minta ama emak..ha…ha…ha…” Jawab Udin sambil tertawa.

Sebelum Emak Udin bertanya lagi, Udin melanjutkan penjelasannya, “jadi gini Mak, cara bikinnya; beberapa lembar daon kapuk ditumbuk sampe halus, nah daon yang ditumbuk itu bakal ngeluarin semacam getah yang mirip minyak goreng tapi dia lebih kental, teruus…. daon kapuk yang udah ditumbuk tadi dimasukin kedalam air yang udah dituangin bubuk deterjen, terus daun kapuknya dibejek-bejek sampe kecampur sama air dan deterjen. Naaah….terakhir supaya hasilnya bersih… kagak ada ampas daon kapuknya, Udin dan temen-temen bakal saring pake bahan pakaian bekas. Setelah semua selesai disaring dan diperes, jadi dah gelembung sabun. Kalau gelembung sabunnya di celupin pake sedotan atau disedot sedikit dan ditiup perlahan, sedotannya bakal ngeluarin gelembung sabun yang buaaaaaanyaaaak banget, Mak”, ujar udin menjelaskan ke Emaknya dengan lengkap.

“Oo gitu, Din. Emang kagak beracun getah daon kapuk sama aer deterjennya kalau sampe ketelen?” tanya Emak lagi kerena khawatir anaknya bakal kena bahaya dari air gelembung sabun.

“hhmm…..yaa… jangan ampe ketelen dong Maaak. Udin pernah nyedot aer gelembung sabunnya kebanyakan, jadinya masuk ke mulut. Rasanya Paiiit, Mak… hahahaha” ujar udin sambil tertawa terbahak-bahak.

“Tuh kaaan…..baru aja emak kepikiran. Ya udah, ati-ati aja ya Din, Tong, Dul, Leh. Oh iya, Jangan ampe kesorean ya pulangnya…” pesan Mak Udin mengingatkan.

“Okey Mak…… Assalamuálaykum” ucap Udin pamit, disusul dengan ucapan dari Entong, Abdul, dan Soleh. Mereka pun bergegas menuju jalanan kampung yang mengarah ke sebuah lahan yang ditumbuhi oleh pohon singkong yang berbaris rapih, pohon pisang dipinggirnya dan sebuah pohon Kapuk yang menjulang tinggi namun sebagian batang pohonnya ada yang menjuntai pada posisi yang cukup pendek sehingga mudah untuk dipetik dengan menggunakan sebatang galah bambu.  Pohon kapuk tersebut adalah satu-satunya yang berada disekitaran tempat tinggal Udin dan teman-temannya. 

Udin dan teman-temannya tiba dibawah pohon kapuk. Dengan bermodalkan keberanian, salah satu dari mereka, yaitu Abdul, yang terkenal pemberani dalam urusan panjat memanjat pohon, mulai memanjat dan berhasil memetik sekantong kresek kecil daun kapuk.

Selesai mendapatkan daun kapuk yang diinginkan, merekapun bergegas menuju rumah Entong untuk mengolah daun kapuk menjadi air gelembung sabun. Ditengah perjalanan, mereka mampir sebentar di warung kelontong Mak Enoh. Dengan bermodalkan uang hasil patungan dari uang jajan masing-masing, mereka membeli sebungkus deterjen merk Rindu, sebungkus sedotan plastik, dan kantong plastik bening ukuran seperempat.

Sesampaikanya di rumah Entong, Udin dan teman-temannya mulai mengolah bahan-bahan yang telah mereka kumpulkan untuk membuat gelembung sabun. Mereka pun berbagi tugas, karena sebelumnya Abdul telah melakukan tugas memetik daun kapuk, maka tugas menumbuk daun jatuh kepada Udin, yang memeras daun kapuk yang telah ditumbuk adalah Entong, sedangkan yang memasukan deterjen dan mengaduk-aduk air gelembung serta melakukan penyaringan air gelembung sabun supaya tidak ada ampas daun yang tertinggal, jatuh pada Soleh.

Hanya butuh waktu kurang dari setengah jam, air gelembung sabun akhirnya jadi dan telah dilakukan uji coba dengan hasil memuaskan. Air gelembung sabun tersebut menghasilkan gelembung yang banyak ketika dicelup kedalam sedotan plastik dan ditiup perlahan. Udin dan teman-temannya terlihat kegirangan.

Selanjutnya, merekapun mengatur strategi penjualan. Hasil kesepakatan, Udin dan teman-temannya akan menjual gelembung sabun di beberapa lokasi yang telah ditentukan dengan pembagian tugas sebagai berikut; yang membawa kaleng biskuit berisi air gelembung sabun jatuh pada Entong karena memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari yang lain. Yang bertugas teriak-teriak seperti layaknya penjual kredit panci atau penggorengan jatuh pada Abdul dan Soleh, karena keduanya dikenal memiliki suara yang bagus ketika mengumandankan adzan, sedangkan Udin mendapat tugas meniup gelembung sabun agar bisa menarik perhatian anak-anak yang mereka temui sepanjang perjalanan menjual gelembung sabun serta mendapat kepercayaan untuk menyimpan uang hasil penjualan gelembung sabun kedalam kantong plastik yang telah disiapkan.

Udin dan teman-temannya siap melakukan perjalanan. Namun sebelumnya, Soleh mengingatkan teman-temannya untuk membaca doa terlebih dahulu dengan harapan gelembung sabunnya dapat habis terjual. Akhirnya, setelah mereka berdoa bersama, Udin, Abdul, Entong, dan Soleh memulai perjalanan untuk menjual gelembung sabun.

“Gelembung Saboooon….. Gelembung Sabooon….. lima ratus perak…”, teriak Abdul dan Soleh saling bersahutan. Beberapa anak yang sedang bermain kelereng tak ayal menghentikan permainannya karena perhatian mereka beralih pada teriakan Abdul dan Soleh. Salah seorang dari anak=anak tersebut memanggil Udin dan teman-teman untuk membeli gelembung sabun. Penjualan pertama gelembung sabun berhasil meraup pundi-pundi uang jajan sebesar dua ribu lima ratus rupiah. Anak-anak itupun terlihat sangat bahagia ketika mereka meniup air gelembung sabun dari sedotan plastik. Salah satu diantara merekapun sempat bertanya cara membuat gelembung sabun tersebut. Tentu saja Udin dan teman-temannya tidak bersedia memberitahu karena hal itu adalah rahasia “perusahaan”.

Selanjutnya, Udin dan teman-temannya melanjutkan perjalanan menuju lokasi-lokasi yang telah mereka sepakati. Dalam perjalanan, mereka menjumpai beberapa anak yang sedang asik bermain layang-layang, beberapa anak perempuan seusia Udin  yang sedang berkumpul bermain permainan congklak, yang kemudian tertarik untuk membeli air gelembung sabun.  

Sang waktupun beranjak sore. Suara kumandang adzan Ashar mulai terdengar bersahutan dari pengeras suara Masjid dan Mushola. Udin dan teman-temannya sepakat untuk menghentikan perjalanan dan bersepakat untuk beristirahat disebuah Pos Kamling yang lokasinya tidak jauh dari rumah mereka berempat. Sambil menyenderkan badan dan meluruskan kaki, Udin dan teman-temannya mulai menghitung hasil penjualan gelembung sabun. Dengan disaksikan Abdul, Entong, dan Soleh, Udin mulai mengeluarkan plastik kresek didalam kantong celananya, mengeluarkan uang dari kantong plastik dan mulai menghitung. “lima ratus, seribu……dua ribu…..lima ribu….sepuluh ribu….dua belas ribu, lima belas ribu lima ratus….”,  suara Udin dan teman-temannya kompak menghitung uang hasil penjualan gelembung sabun. Setelah dilakukan pengecekan didalam kantong plastik penyimpan uang dan tidak ditemukan lagi uang yang terselip, akhirnya Udin melipat kantong plastik tersebut dan menyimpannya kembali kedalam saku celananya.

“Alhamdulillaah…. Hasil penjualan hari ini sebesar lima belas ribu lima ratus rupiah, selanjutnya…uang ini mau dibagi rata jadi berapa-berapa untuk kita berempat?” Tanya Udin kepada Abdul, Entong, dan Soleh.

“gimana kalau masing-masing kita mendapat tiga ribu rupiah? Sisanya, kita simpan sebagai modal untuk bikin gelembung sabun lagi. Gimana, setuju gak?”, jawab Soleh yang disambut persetujuan dari Udin, Abdul dan Entong.

Akhirnya, setelah uang hasil penjualan gelembung sabun telah dibagi rata, Udin dan teman-temannya kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan bahagia karena sore itu mereka mendapatkan uang jajan dari hasil keringat atau kerja keras mereka, bukan dari meminta uang jajan ke orang tua. Udin dan teman-temannya membuat jadwal rutin berjualan gelembung sabun, hingga pada suatu hari mereka tidak melakukannya karena pohon Kapuk yang menjadi bahan utama dalam pembuatan gelembung sabun rata dengan tanah dan berubah menjadi sebuah gerbang perumahan mewah.

Udin dan teman-temannya mempunyai kenangan masa kecil yang indah.

Aku, Si Kutu Buku, Dan Sunyi

 

Ku terduduk kaku di sudut ruangan sebuah rumah tua yang berada di tengah perkebunan di daerah Pangalengan. Suasana senyap membuatku semakin tak nyaman. Hanya terdengar suara jangkrik yang terus bernyanyi menemani sunyiku. Di sudut lain seorang remaja pria yang kutaksir seusiaku duduk bersila, asyik dengan buku yang sedang dibacanya.

Sedikit demi sedikit kugeser badanku, mendekat ke arahnya. Kepalaku menunduk mengamati buku yang sedang dipegangnya, memastikan posisinya tidak terbalik. Siapa tahu dia cuma pura-pura membaca untuk memberi kesan pandai kepadaku.

“Hey ….”

Tak ada balasan kudengar. Remaja pria itu  tak bergeming. Masih duduk dengan posisi yang sama. Hanya matanya yang mondar mandir ke kiri dan kanan, seperti orang yang sedang senam pagi di lapangan. Kuberanikan diri menggerakkan jari tanganku untuk mencoleknya.

“Hey, kita kan cuma berdua di sini. Di rumah yang luas ini, kita ngapain kek, ngobrol kek, main  gaple gitu, atau main congklak kek,  jangan saling diam gini. Aku takut.”

“Nggak ada yang perlu ditakutkan. Cari kesibukan sendiri. Nih baca!” balas pria Itu sambil menyerahkan sebuah buku tebal kepadaku.

Seketika dahiku mengernyit membaca judul buku itu. Rasanya ingin sekali kupukulkan buku Itu ke kepala remaja pria Itu.

“Kau pikir kita datang ke sini mau try out UMPTN?Gila aja, orang lagi piknik bawanya buku kumpulkan soal UMPTN,” ujarku dengan suara cempreng dan membuat jangkrik yang sedang bernyanyi langsung terdiam.

“Lha, daripada bengong nggak ngapa-ngapain, mending belajar. Biar bisa masuk PTN,” ujarnya dan kembali asyik dengan bukunya. Aku hanya bisa mengepalkan tangan tanda kesal kepadanya walaupun percuma juga sih karena dia tak berniat melirikku walau cuma seujung sudut maya. Sejak itu kunobatkan dia dengan julukan Si Kutu Kupret eh Kutu Buku.

Berkali kali kutengok pintu rumah, siapa tahu orang-orang yang ikut kegiatan gathering muncul. Sudah dua setengah jam berlalu sejak waktu yang dijanjikan Kang Alif, Ketua Karang Taruna Kompleks Mawar Duri Lunak untuk memulai acara kebersamaan. Sayangnya tak nampak tanda remaja-remaja Kompleks Mawar Duri Lunak muncul dari pintu. Begitu juga Kang Alif, aku tak melihat keberadaannya.

“Kita berkumpul di tempat sejuk hari ini adalah untuk mempererat silaturahmi diantara anggota Karang Taruna Kompleks Mawar Duri Lunak. Tak ada lagi istilah “aku” tapi adanya “kita” ….” Terngiang kembali di telingaku pidato Kang Alif tadi sore ketika kami para para peserta gathering tiba di tempat ini. Tempat dimana saat ini aku terjebak diantara Si Kutu Buku dan jangkrik yang bernyanyi dengan suara fals.

Tiba-tiba aku merasakan panggilan alam yang untuk saat ini sangat sulit kuhindari. Aku mulai gelisah. Bingung karena kamar mandi berada di luar rumah. Di dalam rumah saja aku sudah merasakan kengerian apalagi di luar rumah.

“Hey ….”

Kusenggol tangan Si Kutu Buku agak keras hingga buku yang sedang dipegangnya terjatuh. Ia melotot ke arahku. Mungkin merasa terganggu oleh sikapku. Tapi menurutku tak pantas ia melotot karena matanya tetap spit.

“Antar aku ke luar!”

“Ngapain?”

“Aku perlu ke kamar mandi. Takut sendiri. Di luar gelap.”

Dengan enggan, Si Kutu Buku bangkit dari duduknya. Ia mengikutiku dari belakang, kalau dari depan berarti mendahuluiku. Tak penting juga sih mau mendahului atau mengikuti, aku hanya butuh teman untuk melawan ketakutanku yang tak jelas takut apa.

“Awas ya, jangan ngintip!”

Si Kutu Buku hanya memandangku heran. Tak kata pun keluar dari mulutnya. Mungkin ia mempunyai niat mengintip tapi ketahuan olehku atau mungkin juga dia jijik mendengar celotehanku.

 

Ketika aku keluar dari kamar mandi, Si Kutu Buku masih berdiri dengan setia di depan pintu. Ia berjalan mendahuluiku menuju ke dalam rumah tapi kucegah.

“Daripada kita balik ke rumah dan cuma bengong, mending kita cari Kang Alif. Biar dia tanggung jawab sama kegiatan ini,” ajakku.

Entah dia terpesona olehku atau biar aku tak mengoceh terus, Si Kutu Buku menuruti kemauanku. Entah kenapa dia kembali mengambil posisi di belakangku. Dasar pengekor!

Belum jauh kami berjalan terdengar olehku suara mendesah dari balik tanaman teh di sekitar kebun . Aku menutup mulut Si Kutu Buku yang hampir saja mengeluarkan bunyi. Aku mendekati asal suara. Semakin dekat semakin aku hapal  dengan suara-suara Itu.

“Kang Alif … Teh Mimin, lagi ngapain di sini? Mojok ya?” tanpa basa basi kuinterogasi mereka berdua hingga tanganku disikut Si Kutu Buku.

“Eh Dinda, ngapain di sini?”

“Harusnya sih saya yang nanya, Akang sedang apa, berbuat apa di sini, dua duaan, gelap gelapan dengan seseorang yang bukan muhrimnya dan nama saya bukan Dinda!” bentakku lantang.

Menyebut namaku saja salah, berarti dia tak mengenal anggotanya. Bagaimana mungkin dia bisa berpidato akan menyatukan remaja-remaja dalam ikatan silaturahmi kalau dia sendiri saja tak mengenal anggotanya dan tidak disiplin menjalankan kegiatan yang dirancangnya.

Karena malam gulita aku tak bisa melihat muka Kang Alif dan Teh Yuni. Apakah dia malu atau bahagia kepergok olehku dan Si Kutu Buku, aku tidak tahu. Biarlah bulan yang jadi saksi atas kejadian malam ini.

Aku meninggalkan Kang Alif dan Teh Yuni dengan perasaan kesal. Menyesal sekali ikut acara ini karena menuruti keinginan Ibu agar aku berbaur dengan remaja-remaja Kompleks Mawar Duri Lunak. Waktuku terbuang sia-sia. Rasa sesal memang datangnya terlambat karena kalau lebih dulu namanya pendaftaran.

Si Kutu Buku kembali berjalan di belakangku. Setelah lima langkah kudengar suara-suara berbisik dan mendesah lainnya. Rupanya acara gathering ini hanyalah formalitas belaka agar izin orang tua bisa keluar dan mereka bisa berpacaran di alam terbuka. Sebagai jomblo sejati aku merasa acara seperti ini tak pantas buatku. Rasa marah membuatku mempercepat langkahku menuju rumah. Tidur adalah jalan terbaik bagiku.

*****

Pagi-pagi buta aku bangun dan berkemas. Bergegas keluar rumah besar Itu. Kulihat Si Kutu Buku mengikutiku dari belakang. Kami berdua naik bis umum mendahului para remaja yang masih lelap karena semalam mereka begadang.

Setelah sampai di Kompleks Mawar Duri Lunak, aku dan Si Kutu Buku berpisah. Aku tak tahu siapa nama sebenarnya nama Si Kutu Buku begitu juga sebaliknya. Kami berdua tak berniat mengetahui lebih dalam tentang diri masing-masing.

Depok, 21 Desember 2020

Mimpi Buruk Karenina

 

Fitra membuka sebuah amplop yang sedang dipegangnya. Matanya terpusat pada satu tulisan besar yang berada di tengah kertas. Kekesalan tergurat jelas di wajahnya. Kemudian kertas itu diremasnya.

Tak ingin berlama-lama di bangunan sekolah bertingkat itu, Fitra melangkah keluar dari sekolah itu. Langkahnya cepat karena menahan kekesalan.

Sesampainya di tempat parkir Fitra masuk ke dalam mobilnya. Ia tidak langsung menyalakan mesin mobilnya melainkan duduk di depan setir. Kemudian ia membuka tasnya dan mengambil ponsel. Dicarinya sekolah-sekolah dasar yang dipikirnya bisa mendaftarkan Karenina, anaknya.

Sudah setengah jam lebih, Fitra berada di dalam mobilnya, namun belum ada satu pun sekolah yang menurutnya cocok untuk Karenina. Dari mulai waktu pendaftaran yang sudah selesai, lokasi yang jauh dari rumahnya sampai biaya yang terlalu mahal baginya.

Perasaan stres mulai menyerang pikiran Fitra. Ia bingung harus ke mana lagi mencari sekolah untuk Karenina. Akhirnya Fitra memutuskan akan mendatangi sebuah sekolah swasta yang letaknya agak jauh dari rumahnya. Ia menjalankan mobilnya meninggalkan gedung megah sekolah itu.

“Selamat pagi, Bu!”  Fitra menyapa seorang perempuan setengah baya yang sedang duduk di sebuah ruangan.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” jawab perempuan itu dengan ramah.

“Saya ingin mencari informasi pendaftaran masuk ke sekolah ini, Bu,” ujar Fitra.

“Silakan duduk, Bu!”

Fitra duduk di depan perempuan itu. Ia mulai berbicara tentang kemungkinan anaknya bersekolah di sekolah yang menurut banyak orang adalah sekolah yang paling bagus di daerah tempat tinggalnya. Sayangnya semakin lama ia mendengarkan perkataan perempuan dihadapannya, ia semakin pusing.

“Biaya masuknya sekitar empat puluh juta dan SPP-nya adalah dua juta per bulan. Ibu bisa mendaftarkan anaknya sekarang kemudian lusa bisa ikut tes masuk.”

Fitra tak tahan lagi berada di situ. Ia tak membayangkan mengeluarkan uang segitu banyak untuk pendidikan di sekolah dasar. Belum lagi biaya bulanannya. Gaji Fitra dan Tommy, suaminya akan habis untuk biaya sekolah, transportasi dan cicilan-cicilan saja. Tak akan tersisa untuk makan sehari-hari. Belum lagi tanggungan keluarga mereka berdua. Fitra bergidik membayangkannya.

“Saya pikirkan dulu ya, Bu,” ujar Fitra dengan lemas.

“Ini kesempatan terakhir, lho. Besok pendaftaran sudah kami tutup,” jawab perempuan itu.

“Iya, Bu. Saya permisi!” Fitra pamit setelah bersalaman dengan perempuan itu.

Sampai ia mendatangi sekolah yang keempat, barulah Fitra merasa telah menemukan sekolah yang cocok bagi Karenina. Sayangnya, ia tak dapat memutuskan sendiri. Fitra harus melibatkan Tommy untuk mengambil keputusan. Baginya yang penting adalah ia sudah menemukan calon sekolah bagi Karenina.Itu sudah membuatnya sedikit lega.

                                      ***

“Tom, masak sih Karenina bisa nggak lolos masuk sekolah negeri favorit,” ujar Fitra kesal.

“Ya nggak apa-apa dong. Emang harus ya lolos masuk SD favorit?” tanya Tommy dengan tenang.

“Bukan begitu, Tom. Aku nggak terima aja. Karenina itu cerdas lho. Bahkan waktu di TK, gurunya sering memuji Karenina. Dia juga udah pinter baca,” timpal Fitra.

“Nggak boleh lho masuk SD pake tes. Di TK juga seharusnya nggak perlu diajarin baca tulis,” ujar Tommy.

“Iya sih, tapi kan kita harus mempersiapkan pendidikan Karenina sejak dini, Tom. Biar nanti dia bisa masuk sekolah lanjutan yang bagus.”

“Kali aku nggak sependapat, Fit. Kupikir sih nggak perlu lah Karenina belajar di sekolah favorit dulu. Aku malah pengen masukin Karenina ke sekolah negeri yang di sekitar sini aja,” ujar Tommy.

“Maksudmu SD Melati gitu? Ya ampun Tom, tega banget sih mau sekolahin Karenina di situ. Bangunannya aja jelek gitu mana tempatnya kumuh pula,” tukas Fitra.

Fitra merasa kaget mendengar usul Tommy untuk menyekolahkan anaknya di SDN Melati. Tak ada seorang pun penduduk kompleks perumahan yang mereka tinggali bersekolah di SDN Melati. Kebanyakan anak yang bersekolah di situ adalah penduduk perkampungan yang berada di sekitar tempat tinggal mereka.

“Lho memangnya kenapa?” tanya Tommy masih dengan suara yang datar dan tenang.

“Karenina, Tom. Anak kita satu-satunya sekolah di tempat yang jorok. Kasihan dong,” jawab Fitra dengan kesal.

“Ah menurutku semua sekolah sama aja. Apalagi masih tingkat dasar, pelajarannya pasti sama.”

“Tom, aku nggak setuju! Kasihan Karenina.”

“Kasihan Karenina atau kasihan kamu sendiri?”

“Maksudmu apa, Tom?”

“Sebenarnya yang kamu kasihani itu adalah dirimu sendiri, bukan Karenina. Menurutku sih Karenina akan senang sekolah di mana pun. Yang penting baginya adalah memiliki teman bermain ….”

“Kamu kok menentang aku memberikan yang terbaik bagi anak kita sih!”

Suara Fitra terdengar parau bercampur dengan tangisan yang tertahan di matanya. Ia merasa Tommy tak menghargai upayanya untuk mencari sekolah yang bagus bagi Karenina. Ia merasa telah mengorbankan waktu dan tenaganya demi mencari sekolah. Ia rela mengambil cuti dari kantor padahal ia sebenarnya ditugaskan ke luar kota oleh atasannya. Ia tolak semua itu demi Karenina.

“Gini deh, untuk sekolah dasar, beri aku kesempatan untuk memilihkan sekolah untuk Karenina. Kalau misalnya Karenina tidak senang dengan sekolahnya, maka bolehlah kamu memindahkan Karenina ke sekolah yang bagus menurutmu,” ujar Tommy.

“Tom, kamu kok ngotot sih?” tanya Fitra.

“Lha bukannya kamu juga ngotot?” Tommy balik bertanya.

“Bukan gitu, apa kamu nggak kepengen Karenina tumbuh cerdas dan pintar sehingga nanti dia nggak kesulitan masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi,” terang Karenina. Ia mencoba mempertahankan keinginannya.

“Pengen banget, Fit. Pengen. Satu hal yang perlu kamu ketahui, aku punya alasan kuat menyekolahkan Karenina di SDN Melati adalah biar Karenina punya pengalaman hidup yang berwarna. Ia bisa melihat kehidupan lain. Bukan hanya kehidupan yang didapatnya sekarang. Aku ingin Karenina jadi anak yang tangguh dan juga anak yang peduli dengan sesamanya,” jelas Tommy.

Fitra terdiam sejenak mendengar penjelasan Tommy. Ia tahu maksud Tommy baik tapi ia berpikir apakah sekolah seperti itu tepat untuk Karenina.

“Kalau Karenina di-bully gimana?”

“Di sekolah bagus pun sering ada bullying juga, kok.”

“Tom, please!

“Kali ini aku akan bertahan, Fit,” ujar Tommy ngotot.

“Mama, Papa, kok bertengkar sih?”

Tiba-tiba Karenina muncul di depan mereka berdua. Karenina mengucek-ngucek matanya. Kemudian ia duduk diantara Fitra dan Tommy.

“Karenina kok bangun, sih?” tanya Fitra.

“Karenina mimpi buruk, Ma.”

“Mimpi apa?” tanya Fitra sambil mengusap kepala Karenina.

“Mama dan Papa bertengkar,” jawab Karenina polos.

“Karenina, Mama dan Papa nggak bertengkar kok. Mama dan Papa sedang membicarakan tentang sekolah Karenina setelah dari TK,” ujar Fitra lembut.

Tommy memberi isyarat kepada Fitra agar tidak membicarakan masalah sekolah kepada Karenina. Fitra merasa inilah kesempatan yang bagus untuk mengungkapkannya kepada Karenina.

“Karenina suka kan sekolah yang gedungnya bagus, ruangannya bersih dan temannya yang baik-baik?” tanya Fitra.

“Suka, Ma,” jawab Karenina.

“Kalau sekolah dekat, temannya lebih banyak suka ngga, Nak?” tanya Tommy.

“Karenina juga suka, Pa.”

“Tommy!” bentak Fitra.

“Biar Karenina yang memilih, Fit. Dia pasti tahu lah yang baik untuknya,” balas Tommy.

“Karenina masih kecil, Tom!” balas Fitra.

“Ma … Pa, kok jadi ribut gara-gara Karenina sih?” tanya Karenina polos.

“Nggak kok. Mama sama Papa nggak ribut,” ujar Fitra dengan lembut.

“Gini deh, Papa mau tanya. Karenina mau sekolah di pilihannya Mama atau Papa?”

“Tom, masak Karenina dibawa-bawa ke masalah ini sih. Harusnya kita yang menentukan untuk kebaikan Karenina,” tukas Fitra.

“Ya nggak apa-apa dong biar Karenina udah dibiasakan ngambil keputusan sejak dini,” balas Tommy.

“Karenina, bagaimana jawabannya?” tanya Tommy lagi.

“Karenina bingung, Pa.”

“Tuh kan anaknya bingung. Kamu sih. Udah masuk sekolah yang kucari tadi siang aja!” pinta Fitra.

“Enggak dong! SDN Melati dekat. Kita jadi nggak khawatir,” balas Tommy.

“Nggak bisa, aku nggak mau anakku masuk sekolah negeri!” balas Fitra.

“Lha kamu juga kan produk sekolah negeri, Fit.”

“Tapi aku nggak mau anakku masuk sekolah negeri!”

“ … “

“ … “

Karenina hanya bengong melihat perdebatan kedua orang tuanya. Ia juga tak mengerti apa masalah perdebatannya. Ia pun tak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya ia meninggalkan kedua orang tuanya yang terus berdebat dengan suara yang sama-sama kerasnya. Karenina berpikir kalau mimpi buruknya itu ternyata menjadi kenyataan malam ini.

Kangen Emak ...

 

Aku Harus Bahagia

 

        “Wah alhamdulillah anaknya sehat,” ujar seorang tetangga yang datang menemuiku ketika aku baru saja pulang dari rumah sakit selepas melahirkan Sakina.

“Alhamdulillah,” balasku dengan tersenyum

Sebenarnya kalau aku ditanya terlebih dahulu sebelum ada orang yang ingin menjengukku dan Sakina, aku lebih memilih tak ada seorang pun yang mendatangiku. Apalagi kalau aku baru saja kembali dari rumah sakit.

Aku letih. Seluruh badanku terasa pegal dan tak bertenaga. Aku malas sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Terlebih apabila mereka menceritakan pengalamannya ketika melahirkan kepadaku.

“ASI-nya lancar, Mbak?” tanya tetanggaku yang satunya lagi.

“Belum keluar dari pertama lahiran. Sampai beberapa hari ini masih sedikit sekali air susu yang keluar.” Tanpa diminta, ibuku menjelaskan jawaban yang membuatku kesal.

“Banyak makan daun katuk, Mbak! Terus jangan banyak berpikir yang enggak-enggak, nanti jatuhnya stres lho. Coba tenangin pikiran biar air susunya lancar.”

Aku hanya bisa tersenyum tipis mendengar nasihat seperti ini. Memangnya gampang selepas lahiran, seorang ibu yang baru mempunyai anak tak berpikir apa pun.

“Setiap hari saya buatkan sayur daun katuk, kok. Nggak tahu juga kenapa air susunya sulit keluar,” ujar Ibu.

“Terus bayinya minum apa selama beberapa hari ini?” tanya yang lain membuatku semakin pusing.

Ibu diam tak menjawab. Pikirku, tumben kali ini Ibu tak bersuara. Sepertinya Ibu malu mendapati anaknya belum berhasil mengeluarkan air susunya.

“Anak saya udah minum susu formula, ibu-ibu.” Akhirnya terpaksa aku menjawab pertanyaan yang disampaikan tetanggaku itu.

“Aduh Mbak Feni, jangan dikasih susu formula dong! Nanti anaknya jadi bodoh. ASI itu adalah makanan terbaik bagi bayi. Selain itu juga akan menciptakan bonding yang kuat antara anak dengan ibunya. Nanti imunnya nggak bagus lho kalau minum susu formula.”

Duh Gusti, rasanya aku tak sanggup menghadapi ibu-ibu ini. Bukannya aku jadi tenang dapat nasihat-nasihat ini tapi malah membuatku jadi seperti seorang ibu yang jahat kepada anaknya sendiri.

Saat itu, perasaanku hancur sekali mendengar kalimat-kalimat yang pedas seperti itu. Ingin rasanya kuusir semua orang itu dari hadapanku. Tangis Sakina menyelamatkanku dari penghakiman para ibu-ibu super di hadapanku ini.

Aku berpamitan dan masuk ke dalam kamar. Entah apa lagi yang dibisikkan para penjenguk itu kepada ibuku karena kudengar masih ada percakapan yang terjadi tapi dengan suara yang lebih pelan. Aku tak ingin mendengar apa yang mereka ucapkan.

                                ***

Setelah seminggu berlalu, aku tetap tak sanggup memproduksi ASI. Pikiranku semakin kalut apalagi kalau mendengar kalimat miring dari orang tentang anak yang minum susu formula.

“Dicoba lagi, Fen,” bujuk Ibu.

“Aku nggak bisa, Bu. Aku sudah berusaha keras tapi tetap tak bisa.”

Rasanya aku ingin menjerit mendapati kenyataan ini. Upaya apa lagi yang harus kulakukan agar aku bisa mendapatkan pengakuan kalau aku adalah ibu yang sejati.

“Mungkin Ibu harus terus membuatkanmu sayur daun katuk setiap hari,” ujar Ibu.

“Cukup, Bu. Aku sudah capek tiap hari makananku itu-itu saja. Aku bosan.” Suaraku mulai berat menahan tangis yang tertahan di tenggorokan.

“Sabar, Fen!”

“Maafkan aku, Bu. Sepertinya usaha kita ini harus kita hentikan. Aku nggak mau konsentrasi jadi terbelah karena aku sibuk mengupayakan agar ASI keluar tapi aku lupa memperhatikan Sakina. Aku ingin ceria merawat Sakina, Bu. Bukan seperti sekarang ini, aku sering merasa kecewa dengan diriku sendiri.”

Aku tak sanggup lagi menahan tangis yang terpendam di dada. Kutumpahkan semuanya pada saat itu. Andai saja Mas Dito ada di sampingku saat ini, pastilah aku akan lebih tegar menghadapi masalah ini.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam,” jawab Ibu.

Aku menghapus air mata yang bercucuran di pipi dengan ujung kemeja. Aku tak ingin orang lain melihatku rapuh seperti ini.

“Masuk, Bu Danang!” ujar Ibu.

“Eh Mbak Feni, mana dede bayinya?” ujar Bu Danang sambil menyerahkan sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas warna-warni.

“Ayo lihat!” ajak Ibu sambil berjalan menuju kamar.

“Sakina sedang tidur, Bu,” ujarku.

“Sakina cantik. Mirip mamanya,” puji Bu Danang.

“Terima kasih,” balasku berbasa-basi.

“Bagaimana Mbak Feni, apa ASI-nya lancar?”

Hal seperti inilah yang aku tidak sukai ketika ada orang yang melihat Sakina. Pasti ujung-ujungnya menanyakan soal ASI kepadaku.

“Nggak keluar, Bu.”

Ibu selalu mewakiliku untuk memberikan jawaban kepada siapa pun yang bertanya tentang ASI. Aku sama sekali tidak meminta Ibu untuk menjawab pertanyaan yang sama dari beberapa orang yang niat awalnya adalah melihat anak bayiku.

“Terus minumnya gimana?” tanya Bu Danang lagi.

“Minum susu formula,” jawab Bu Danang.

“Aduh sayang sekali ya, anaknya tidak menyusu kepada mamanya. Biasanya sih kalau anak yang tidak minum air susu ibunya, gampang sakit, Mbak.”

Entah apa yang harus kuperbuat mendengar ucapan Bu Danang. Aku bisa depresi kalau setiap hari mendengar kata-kata ASI ditanyakan kepadaku.

“Emang ada yang salah ya dengan susu formula?” tanyaku ketus.

“Enggak sih, Mbak. Bagus-bagus aja. Susunya merek apa? Kalau keponakan saya minumnya susu  merek ST 13. Mahal itu,” ujar Bu Danang lagi.

“Kalau Sakina sih saya kasih susu yang murah aja, Bu. Sama saja, yang penting anaknya mau dan nggak alergi.”

“Ah masak sih Mbak Feni nggak sanggup beli susu yang mahal.”

Aku semakin kesal mendengar ucapan Bu Danang yang semakin melantur. Aku melirik ke arah Ibu dan memberikan kode agar aku ditinggal sendiri.

“Ayo, Bu. Kita ngobrol di luar aja. Feni ini kurang istirahat. Tadi malam begadang. Sakina nggak mau tidur,” ajak Ibu.

“Mungkin dede bayi pengen mimi air susu ibunya,” ujar Bu Danang dengan suara tanpa dosa. Ia tak sadar kalau perkataannya sungguh menyakiti perasaanku.

Setelah Ibu dan Bu Danang keluar dari kamar, aku membaringkan badan di samping Sakina yang terlelap. Kupandangi wajah Sakina dalam-dalam. Betapa damainya Sakina. Kuelus tangannya yang berlipat dengan lembut.

Tiba-tiba ponselku berdering. Rupanya Mas Dito mengajakku mengobrol melalui videocall.

“Mas, aku kangen,” rajukku setengah menangis.

“Sabar, ya. Seminggu lagi kita akan ketemu.”

“Lama sekali, Mas. Lain kali jangan ambil dinas yang kelamaan, ya!” pintaku manja.

“Iya. Mana bidadari kecilku yang cantik?” tanya Mas Dito.

Aku mendekatkan ponsel ke arah Sakina sehingga wajah Sakina terlihat di layar. Kulihat Mas Dito mengusap air mata yang menetes di pipinya. Aku ikut terharu menyaksikan pertemuan antara ayah dengan anak perempuannya.

“Sakina, ini Papa.”

“Sakina tidur, Mas.”

“Aku nggak sabar deh nunggu seminggu lagi. Kangen kamu juga,” goda Mas Dito membuatku tersipu malu.

“Tapi, Mas ….”

Aku ragu ketika hendak menceritakan masalahku kepada Mas Dito. Aku tak ingin membebani pikirannya dengan masalahku yang belum tentu dapat dipahaminya.

“Tapi apa? Mau minta oleh-oleh?”

“Enggak kok, Mas. Kamu pulang dengan selamat aja udah lebih dari sekedar oleh-oleh,” ujarku.

“Kamu tuh, ya. Bakalan nggak bisa tidur nih aku kalau kamu gombalin begini.” Melihat wajah Mas Dito yang ceria membuatku bahagia.

“Mas, jangan marah, ya?”

“Feni, dari tadi kamu tuh bikin kode-kode terus. Cerita aja, nggak apa-apa kok,” ujar Mas Dito menenangkanku.

“Umm … air susuku nggak keluar, jadinya Sakina kukasih susu formula. Seminggu ini aku udah berusaha tapi gagal, Mas.” Akhirnya kuceritakan juga masalah yang kuhadapi.

“Ya ampun, Feni. Kenapa kamu takut cerita soal itu? Bagiku nggak masalah, kok. Kamu fokus aja mengurus Sakina dengan baik. Jangan sedih terus, nanti kamu sakit. Kasihan kan Sakina … juga aku. Aku nggak mau mengurus Sakina sendirian, maunya berdua sama kamu.”

Rasanya tenang hatiku mendengar perkataan Mas Dito. Aku semakin yakin kalau anakku akan tumbuh baik dengan kasih sayangku walaupun tanpa ASI.

“Fen, udah dulu ya. Aku mau baca-baca materi seminar besok,” pamit Mas Dito.

“Iya, Mas. Daah.”

Aku membelai tangan Sakina yang masih tidur. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku akan selalu bahagia tanpa harus selalu memikirkan apa pendapat orang lain.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam. Silakan masuk, Bu Anna ….”

Aku tak ingin terbebani dengan kewajiban untuk menemui orang saat aku lelah, makanya aku memilih menutup pintu kamar. Aku tak tahu sejak kapan aku tertidur. Aku terbangun ketika Ibu mengetuk-ngetuk kamarku mengingatkanku untuk makan sayur daun katuk.

“Apa, Bu?”

“Makan sayur daun katuk dulu, sebelum Sakina bangun!” perintah Ibu.

Aku bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Aku melirik Sakina, ternyata dia masih tidur dengan pulas.

“Boleh nggak aku minta menu yang lain? Sayur yang lain. Aku bosan makan daun katuk melulu, Bu. Sehari bisa sampai tiga kali.”

“Kamu nggak mau berusaha lagi, Fen?” tanya ibu. Wajahnya terlihat sedih.

“Aku mau berusaha menyayangi Sakina dengan caraku, Bu. Boleh ya? Ini hari terakhir ya menuku cuma sayur daun katuk. Aku mau makanan yang bervariasi biar aku sehat, jadi aku bisa merawat Sakina dengan baik. Maaf ya, Bu.”

“Feni ….”

Ibu memelukku. Ia mengelus kepalaku. Sepertinya Ibu mulai menangis.

“Maafkan Ibu, Nak. Selama ini Ibu nggak peka.”

Ada rasa hangat menjalari hatiku ketika berada dalam pelukan Ibu. Aku semakin yakin, Sakina akan tumbuh dalam lingkungan yang baik dengan orang-orang dewasa yang saling memahami.

                                            ***