LELAKI INI DAN PEREMPUAN ITU DAN TENTANG HUJAN

"Hujaaann...!", teriak serempak Lelaki Ini dan Perempuan Itu. 

Sedetik, lalu mereka tertawa. Penuh arti. Mengeratkan jemari. Menikmati titik-titik air yang membasahi kaca depan Benzo, panggilan untuk mobil mereka. Hujan, bagi mereka bukan sekedar fenomena alam. Hujan itu sakral. Hujan itu kenangan, rasa. Hujan itu pesan rindu yang tertumpah.

"Mas tau gak?", Perempuan Itu merajuk. "Hujan itu kan pesan kangenku", lanjutnya. 

"Hahaha...gombillll..!!!", gelak Lelaki Ini. Sambil mencubiti gemas pipi gembil Perempuan Itu. Bibirnya manyun, menggemaskan. "Ya udah kalo Mas ga percaya", Perempuan Itu merajuk. "Biar rindu ini aku tahan sendiri". Alih-alih kesal, Lelaki Ini malah tambah gemas. Rindu mereka pun tumpah ruah. Bagai magnet yang saling menarik. Bergerak harmoni ditingkahi air hujan yang kian deras menjejaki bumi.

*

Hari ini, belum genap satu bulan dari hujan yang lalu. Lelaki Ini sendiri. Menyesap keheningan yang mulai menjadi biasa. Menatap orang-orang lalu lalang di bawah sana. Tergesa bahkan berlari. Lelaki Ini baru sadar. Mendung begitu pekat. Tak sampai hitungan detik, ribuan panah air terhunjam tanpa ampun. Bumi pasrah, pohon-pohon bergoyang. Entah suka atau tersiksa. Orang-orang tadi pun basah, tanpa sempat menghindar. Hanya berusaha agar segera mendapatkan pelindung untuk berteduh. Makian tak terdengar, tapi pasti ada. Lelaki Ini menghela nafas. Meraih gawai. Membuka aplikasi percakapan. Memilih satu nama, lalu mulai mengetik: hujan. Enter.  Menunggu. Lama.  Di seberang sana, Perempuan Itu menatap jendela berkabut di hadapannya. Hujan. Gawainya bergetar. Pesan dari Lelaki ini. Tersenyum. Getir. Hasratnya begitu kuat untuk membalas. Menumpahkan segala rasa yang ada. Tapi, hatinya bertahan. Luka itu belum sembuh benar. Perempuan Itu sangat mencintai Lelaki Ini. Seluruh hidupnya. Dengan segala ketidaksempurnaannya. Tapi, entah apa yang merasuki Lelaki Ini, hingga dia selalu salah. Lelaki Ini menuntut dari yang seharusnya. Tidak pernah mau mengerti keterbatasan yang ada. Perempuan Itu terluka. Jika ada kata di atas sedih, mungkin dia akan menggunakannya. Hanya diam yang dia bisa. Meski, dia tahu diamnya juga melukai Lelaki Ini.

Tutur batinku tak akan salah
Silakan pergi, ku tak rasa kalah
Namun, percayalah, sejauh mana kau mencari
Takkan kau temukan yang sebaik ini*

*

Hujan. Bukan basa-basi jika mereka percaya magisnya. Buktinya hari ini. Hujan selalu bisa meluruhkan amarah. Lelaki Ini dan Perempuan Itu kembali disini. Berdiam menikmati dinginnya hari. Diguyur tumpahan rasa yang tidak terbendung lagi. Luka itu masih ada. Berbekas, dan mungkin masih terasa. Mereka sadar, takdir belum dapat menyatukan mereka. Tapi, rasa mereka tak berubah, tak bergeming walau dihajar badai. 

*

Perempuan Itu terlelap. Penat jiwa dan raganya. Lelaki Ini mengeratkan pelukannya. Mencoba menghangatkan. Menatap kosong layar TV yang telah mati. Gelap. Sunyi. Hanya dengkur halus Perempuan Itu, dan derik kipas pendingin ruangan. Lelaki Ini mencium lembut Perempuan Itu. Hangat. Perempuan Itu terlalu lelah untuk meresponnya. Lelaki Ini tersenyum. Belum mampu memejamkan mata. Tidak mau, tepatnya. Menikmati keindahan dalam pelukannya. Menikmati cinta seutuhnya. Entah, sampai takdir menyatukan mereka, atau bahkan memisahkan mereka. Mereka hanya bisa pasrah, menikmati apa yang bisa dinikmati. 

Kuhentikan hujan. Kini matahari
merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan —
ada yang berdenyut
dalam diriku:
                menembus tanah basah;
dendam yang dihamilkan hujan
dan cahaya matahari.

Tak bisa kuhentikan matahari
memaksaku menciptakan bunga-bunga.**



Jakarta, 21022025


*Tutur Batin, Yura Yunita

**Kuhentikan Hujan, Sapardi Djoko Damono


Tidak ada komentar:

Posting Komentar