Selepas Isya, usai santap malam yang mengenyangkan, Dirum mendaratkan tubuh di sofa kesayangannya seraya mengambil remote TV yang rebah di atas meja. Belum sempat tangan Dirum meraih remote, hape yang juga tergeletak di meja menyala. Nama Durim terpampang di layar hape yang sedang memanggil itu. Lalu, sambil menyandarkan diri, Dirum segera mengangkat panggilan dari Durim.
‘Halo, Assalammualaikum Rum!’, suara Durim
terdengar keras dan antusias membuka percakapan.
‘Waalaikum salam, Sepupu!’ jawab Dirum dengan gembira.
Sudah lama Durim, sepupu jauh Dirum yang tinggal di Desa Kononda tidak menelepon. Terakhir Durim menelepon seingat Dirum adalah tahun lalu saat mengabarkan undangan pernikahannya sekaligus menyampaikan soal kebun durian dan rambutannya yang tengah berbuah lebat. Maka yang terlintas pertama dibenak Dirum usai menjawab salam dari Durim adalah, ‘Apakah Durim kali ini akan mengabarkan tentang kelahiran anak atau waktu panen durian dan rambutan yang segera datang?’
Dan ternyata bukan itu yang dikabarkan Durim. Bukan soal hasil cocok tanam bersama istrinya dan bukan pula hasil cocok tanam di kebunnya. Bukan soal musim buah-buahan. Yang Durim kabarkan adalah saat ini di Desa Kononda sedang musim yang lebih seru dan menarik dari sekedar musim buah-buahan. Durim punya istilah unik untuk musim yang sedang berlangsung di Desanya itu, musim hiperbola.
Dirum awalnya bingung dengan istilah itu. Setelah Durim menjelaskan dan menceritakan banyak hal soal musim hiperbola. Barulah Dirum faham dan banyak terpingkal mendengar ocehan Durim sambil menanggapi sesekali. Saking asyiknya mengobrol dengan Durim, Dirum tidak menyadari kedatangan Urug yang tiba di rumah setelah mengikuti rapat entah tentang apa di rumah tetangga.
Urug, dengan wajah sedikit heran hanya menatap
Dirum sambil mengambil duduk di samping Dirum lalu menjawilnya. ‘Telepon dari
siapa Rum? Asyik sekali kelihatannya!’
Dirum yang baru menyadari kehadiran orang lain di sebelahnya setengah kaget menoleh dan mendapati wajah Urug dengan rona ingin tahunya. Sambil menjauhkan sedikit hapenya kemudian ia berkata, ‘Eh, Urug. Sudah di rumah toh. Kapan sampainya?’
‘Kamu itu, ditanya malah balik bertanya’,
semprot Urug.
‘Hehehe, iya Urug maaf. Dari Durim, Rug’, sahut
Dirum.
‘Ada kabar apa anak itu, Rum?’ tanya Urug sambil coba meraih remote TV.
Dirum tidak langsung menjawab pertanyaan Urug karena tampaknya Durim tengah terburu-buru akan mengerjakan sesuatu. Terdengar suara perempuan yang memintanya untuk segera berangkat. Mungkin suara istrinya, pikir Dirum. Dan Durim, dari nada suaranya seperti ingin segera mengakhiri pembicaraan. Dan benar saja, Durim dengan nada tergesa dan permohonan maaf segera menyelesaikan panggilannya sambil tidak lupa menitipkan salam untuk Urug. Setelah Durim menutup telepon barulah Dirum berkata,’Itu, Durim menawarkan untuk liburan long weekend ini main ke Kononda. Katanya suasana desa sedang ramai meriah karena sedang musim hiperbola. Ia juga titip salam untuk Urug.’
Kalau sebelumnya Dirum yang bingung mendengar musim hiperbola, kali ini kejadian serupa berulang pada Urug. Remote TV yang sudah dipegangnya kemudian diletakkan kembali. Dengan wajah menuntut penjelasan, ia berucap, ‘Istilah apalagi ini Rum. Musim hiperbola?’
Dirum sambil tertawa berkata, ‘Mari sini Rug, Dirum ceritakan! Ini ada hubungannya dengan masa kampanye pemilihan Kepala Desa yang sedang berlangsung di Kononda.’
Dirum kemudian menceritakan soal musim hiperbola itu kepada Urug. Setiap kali selesai satu cerita, tawa Urug terdengar terbahak memenuhi ruang TV.
Cerita Dirum yang menceritakan cerita dari
Durim kepada Urug cukup panjang kalau dituliskan. Jadi saya coba menyajikan
cerita itu secara singkat dan yang inti-intinya saja :
1. Cerita pertama Si A, calon Kades petahana
yang selama ini sibuk memperkaya diri agar bisa masuk menjadi bagian dari 10%
orang kaya di desa saat kampanye bilang, ‘Saya siap untuk berjuang meningkatkan
kesejahteraan Saudara-Saudara semua!’
2. Cerita selanjutnya, sebut saja B, Calon
Kades yang sehari-hari sibuk pamer gaya hidup dan hartanya dengan entengnya
menebar kata, ‘Perhatian utama saya adalah kepentingan Anda semua!’
3. Lain lagi dengan Calon Kades C yang
sehari-hari mengumpulkan setoran dari anak-anak buahnya, baik dari pasar, proyek-proyek
desa atau pun dari acara-acara keramaian dengan gagahnya berkata, ‘Jika saya
menjadi Kepala Desa, keamanan desa saya jamin sepenuhnya!’
4. Ada juga Si D, Calon Kades yang
sering menipu dan gemar berbohong yang tahu persis bagaimana jalannya pemilihan
kepala desa akan dipengaruhi oleh petahana, dengan serius berkata,’Pemilihan
kades harus dilaksanakan dengan jujur dan benar, kita harus melawan kecurangan!’
5. Dan terakhir paling lucu Calon Kades E yang tidak populer dan pasti kalah dengan semangatnya menjanjikan kalau menang akan mentraktir semua warga desa untuk jalan-jalan ke kota.
Sebenarnya masih banyak lagi detil-detil yang diceritakan oleh Durim tapi Urug bilang cukup karena ia sudah keburu lapar karena rapat di rumah tetangga yang tadi dihadirinya tidak menyajikan makan malam. Jadilah cerita malam itu berhenti disitu.
Urug pun bergegas ke dapur dan menyantap makan malamnya sementara Dirum senyum-senyum sendiri di ruang TV sambil bergumam kecil, ‘Hiperbola ternyata tidak harus dengan kata-kata yang berlebihan. Penyampaian sesuatu yang normal dan wajar pun jadi terasa hiperbola jika kesenjangan dengan fakta dan kenyataannya lebar menganga.’
Tangan Dirum lalu meraih remote dan menyalakan TV. Layar menerang dan sebuah film terpampang, judulnya ditulis dengan huruf besar-besar, ‘DIRTY PLATE’. Dirum langsung teringat Urug yang sedang makan. Terbayang kalau sebentar lagi pasti ia disuruh mencuci piring kotor dan merapikan dapur. Film berjalan, terdengar suara kursi meja yang tampaknya sedang dirapikan dari belakang. Dirum melorotkan tubuhnya lalu pura-pura memejamkan mata.
Malam itu berakhir dengan Urug mencuci piring bekas makannya sendiri karena Dirum telah memasuki masa tenang di sofanya.
J,120224