Hujan. Lelaki Ini selalu suka hujan. Baginya, titik pertama air hujan bagaikan satu ketukan metronome. Mengorkestrasi titik-titik berikutnya. Dua, tiga, lima, tujuh, seribu sampai tak hingga ketukan. Lelaki Ini memejamkan mata, menajamkan telinga. Mencoba menangkap ketukan demi ketukan yang mencipta kata. Ketukan yang menciptakan jeda, hingga terangkai kalimat indah. Lelaki ini tersenyum. Sedikit pongah, sebagai indu - ra, sang penguasa hujan. Sampai akhirnya cambuk Zeus menyadarkannya. Dirinya tak lebih curahan awan yang lelah menahan gelisah. Menjadi genangan, lalu buyar oleh riak roda kereta besi. Hujan masih menyampaikan pesan. Satu satu lamat tersamar. Lelaki Ini mengumpulkan asa yang tersisa. Lalu kecewa. Ketika hujan tidak menyampaikan apa-apa. Hanya hening panjang penuh prasangka. Lelaki Ini terluka, laksana tanah dicecar pasukan tirta.
***
Hari itu harusnya mudah. Tidak beda dengan hari-hari lainnya. Semua tugas bisa tuntas. Hanya beberapa rapat ini itu. Mudah saja. Kemampuannya bahkan masih berlebih untuk sekedar menyempatkan membaca buku favoritnya, mendengarkan lagu atau sekedar menulis cerpen atau puisi. Just a daily routines. Tapi, terkadang dunia ini seperti bercanda. Hal-hal indah bisa berubah jadi air mata. Hati yang berbunga seketika layu meranggas mati tanpa sempat mengecap madu. Begitupun hari itu. Distance does matter. Lelaki Ini bagai kehilangan jiwanya. Tubuh tanpa rasa. Berbagai rasa tercampur, dan semua pikiran menyatu, meletupkan bara cemburu. Posesif. Terabaikan. Apakah ini akibat terlalu cinta?. Dimana rasa percaya?. Mereka sama-sama rapuh. Jangankan badai tsunami, gelombang biasa saja sudah mampu meluluhlantakkan. Lelaki Ini memang tak pernah berkisah, tentang luka dan dukanya. Perempuan Itu berprasangka, semua baik-baik saja. Lelaki Ini hanya tak ingin disangka alasan cintanya. Itu saja. Karena, baginya tak perlu ada alasan, tak butuh pelampiasan atau sekedar mengimpaskan. Semua terjadi begitu saja, dan bertahan sekian lama. Perempuan Itu pergi. Melukai diri sendiri dan tertatih. Perempuan Itu hanya butuh satu alasan untuk menurunkannya dari tahta. Tanpa tahu, betapa pamitnya sudah menghancurkan Lelaki Ini. Merenggut jiwa yang baru ada. Memberangus asa bagai semburan lava gunung purba.
***
Hari itu harusnya mudah. Lelaki Ini tergugu. Bagaimana dia menjalani hari setelah hari itu?. Hidup tanpa jiwa, mencinta tanpa rasa. Bumi basah oleh hujan sejak semalam. Indu-ra tak merasakan apa-apa. Tidak menangkap rasa yang selama ini dititipkan di setiap tetesannya. Hanya satu alasan, dan dia terlupakan. Hanya satu alasan, lalu ketukan rintik air hanya membentuk spasi panjang. Kosong. Alih-alih kalimat indah, bahkan ketukannya tidak mampu mencipta kata. Lelaki Ini sengaja berlama-lama. Menyesap petrikor yang menyergap. Menenangkan, namun perih. Hari itu menyadarkannya, mungkin dia memang tak pantas dipertahankan. Lelaki Ini tersenyum.
***
Hari itu memang tak mudah. Tapi, Lelaki Ini tahu dia hanya butuh satu alasan untuk tetap bertahan. Karena, cintanya tak seumur seikat mawar putih.
...
Jujur, aku tak sanggup, aku tak bisaAku tak mampu dan aku tertatihSemua yang pernah kita lewatiTak mungkin dapat kudustaiMeskipun harus tertatih*
...
Jakarta, 24022023
*Tertatih - Kerispatih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar