“Semua sudah tertulis di lauhul mahfuzh, neng ...”, terngiang kembali kata-kata itu.
Suatu sore, pukul 16.15
Aku menyesap gelas teh tawar hangatku yang kedua. Hujan sejak
siang masih menyisakan rintik bercampur aroma petrichor yang khas. Kafe ini berada di sudut deretan pertokoan
yang menjadi sangat sepi sejak pandemi. Pun sore ini. Sejak pukul 14.00 an
ketibaanku disini, hanya ada 2 abang pelayan jasa jemput antar makanan yang
terlihat mengambil pesanan dari pelanggan.
Aku baru akan melanjutkan ketikanku, ketika tiba-tiba
semburan angin menerpa dan membuatku merasa sangat kedinginan. Perlahan aku
mengencangkan balutan jaket jinsku, mengatupkan satu persatu kancing hingga
paling atas. Ya, dari sejak awal aku menemukan tempat ini, aku jatuh cinta pada
out-door venue kafe yang beralaskan
rumput, tak bersekat dengan alam.
Perlahan aku menggenggam erat gelas teh untuk menghangatkan kedua
tapak tanganku. Butiran air langit yang sudah reda kembali menderas.
“Pindah ke dalam aja, mba ... dingin banget kan di luar”, si
tante pemilik kafe melongokkan muka dari jendela kafe dalam.
Aku tersenyum lebar ke arahnya, “Masih kuat kok tante, hhaha
...Ntr kalo kira-kira bakal hipotermia, aku pindah,” balasku bercanda.
Beberapa saat kemudian, “Saya temenin ngobrol deh,” si tante
sudah menarik kursi di depanku, lalu mulai menyalakan rokok.
Aku menggeser laptopku,
menutup semua file, lalu menekan
tombol shut-down. Merapihkan lembaran
kertas dan block-note, lalu
mengembalikan mereka semua ke dalam tas ransel yang kuletakkan di kursi samping
tempat dudukku.
“Tante tau lauh mahfuz
kan?”, aku ikut menyalakan rokok.
“Suratan Tuhan?” Dulu saya gak pernah percaya hal-hal begituan
mba ... Menurut saya, Tuhan menciptakan manusia agar mengabdi kepada-NYA,
beribadah ... nah kalo kita sudah menjalankan hal itu, Tuhan pasti senang dan
akan memberikan kehidupan yang baik untuk kita; pekerjaan, usaha, duit, karir
... Ya kan? Tapi kita ‘kan seringnya ngeyel, berbuat dosa, maksiat, trus begitu
kesusahan bilang itu sudah takdir, sudah ditulis Tuhan di ... apa tadi mba?
Laul ...laul apa itu ....”, hahaha ... nyebutinnya suka lupa saya”. Aku ikut tertawa menanggapi.
“Mba lagi galau ya?”, si tante sontak bertanya dan menatap
lekat ke arahku sambil tersenyum.
“Aku cuma lagi kangen sama seseorang, tante ... si Emak,”
ucapku sambil berusaha mengatur nada suaraku agar terdengar ‘biasa’. Orang yang
pertama kali berkata tentang jalan hidup, sepertinya karena sudah banyak
melewati berbagai hal diluar harapan dan tiba pada satu titik ‘pasrah’ dengan
berusaha menerima kenyataan bahwa apapun yang kita jalani adalah ikhtiar namun endingnya sudah tercatat”, aku menggigit
pelan bibirku, menikmati rasa perih.
“Saya juga sering mengalami hal-hal begitu, mba ... Begitu
gagal, saya malah sering menyalahkan Tuhan, saya bilang Tuhan gak adil, gak
sayang, gak peduli .... malah pernah saya mau bunuh diri, tapi alhamdulillah
waktu itu saya inget anak-anak saya. Akhirnya kan saya pasrah, sudah
benar-benar di titik nadir, apa lagi yang bisa saya perbuat? Nah disitu saya
mulai berusaha berfikir jernih, saya instropeksi, saya evaluasi kelakuan saya,
ibadah saya. Saya gak pernah melibatkan Tuhan dalam bekerja, sombong ngerasa
paling hebat. Gimana Tuhan mau bantu saya?”, si tante berkata sejenak sebelum
melambaikan tangannya ke arah pekerjanya dan memberi tanda minta dibuatkan
kopi.
“Mba mau tambah minumnya?”, ujarnya ketika melihat gelas teh
tawar hangat keduaku sudah kosong.
“Hmmm ... mau milkshake
coklat hangat aja, mas ...”, aku berkata ke arah si pekerja yang berdiri di
jendela kafe dalam tadi. Lalu menyalakan rokok lagi. Hujan sudah benar-benar
reda. Udara sejuk masih sangat terasa menerpa permukaan wajahku. Kami sama-sama
terdiam beberapa saat, sama-sama mengingat masa-masa yang kami lalui dengan
cerita yang pasti berbeda namun dalam dua padanan kata; “sedih” dan “bahagia”.
Lagi-lagi, sosok Emak berkelebat. Aku menarik nafas dalam,
bergumam dalam hati, “Ya Allah hingga kapan aku bisa benar-benar terbebas dari
semua kenangan itu?” Hal yang selalu datang ketika aku sedih, lelah, kecewa
atau terzholimi. Bukankah sangat tidak adil juga, menghadirkan sosok Emak dalam
keadaan duka, hanya karena aku membutuhkan pelukannya? Atau sekedar
menginginkan belaian dan kecupan hangatnya sebagai ungkapan bahwa dia akan
selalu ada untuk menenangkanku. Akupun tak tau apakah Emak sudah benar-benar
bahagia disana, melupakan penggalan kisah yang saat itu harus berakhir dengan
luka.
“Mba ... minum dulu ya, saya mau beres-beres dulu,” si tante
menyodorkan minuman coklat pesananku, lalu berlalu sambil membawa gelas
kopinya. “Udah jangan ngelamun, ntr kesambet loh,” godanya sambil tersenyum
lebar mengerling menggodaku”. “Lagian kasian si Emak kalo diinget-inget mulu.”
“Makasih tan
..., hahaha ...”, aku hanya menimpali dengan tawa.
Sayup
kudengar suara musik dari dalam kafe.
**We’ve
been through this such a long long time ...
Just trying
to kill the pain,
Or I’ll just
end up walking ....
In the cold
November rain,
Nothing lasts
forever ...
**November Rain,
Guns N Roses
Tidak ada komentar:
Posting Komentar