Suara kalian menggema penuhi
telinga,
Sayup terdengar dentingan
musik menambah berisik,
Sesekali toa menganga
memanggil nama,
atau sekedar menyemat serangkai
maklumat
sembari melontarkan persen harga
potongan,
Terus saja jejakku menjejak,
Menyusuri mengkilat ubin berkotak-kotak,
Menjadi pematang deretan kedai
beranak pinak,
Yang terkadang suaranya kompak
berpaduan:
“Silakan, Kakak!”
“Nyari apa, Kakak!”
“Mampir dulu, Kakak!”
Sungguh sosok adik yang
durhaka,
Seolah-olah ramah, tapi minta
uang di belakangnya,
Aku hanya menggelengkan
kepala,
Memasang senyuman dari logika,
Melangkah tanpa perlu petunjuk
arah,
Lalu memilih singgah pada segelas
kopi gula merah,
Duduk menyeruput dengan
pandangan tak luput,
Bergumam sendiri: “Wah,
sungguh gadis yang imut!”
Hingga tatapan beradu membuat
beringsut,
Dia menghampiri nyaliku yang
mulai menciut,
Perlahan mendekat dan makin
dekat,
Berdiri diam lima sentimer di
seberangku,
Lalu menuangkan segelas kopi
gula merah,
Keras menerpa kulit wajahku,
Aku hanya terdiam sambil
menyeka,
Mengatur nafas gelagapan,
Tak berani melirik matanya,
Dia sekejap membuyarkan: “Ngimpikno
Sopo?”
Hehehe kocak!
BalasHapus