Menantu ibuku mengaduk tawarnya secangkir teh panas,
Memutar-mutar debar jantung menantu ibunya,
Siluetnya membayang di balik toples suvenir kondangan,
Pusara semut busung lapar yang mati mengenaskan.
Sambil menggendong perut melendung,
buah pertumpahan desah,
Dia berkata: sudah ribuan kali kuaduk, manisnya tetap tak turut,
Terang saja, manisnya sudah lama kugadaikan di KUA.
Dompetku yang kusuruh berangkat menebusnya,
Dicegat polisi, ditilang karena tak pakai masker,
Bukan apa-apa, maskernya sudah dikembalikan kepada pengupahnya.
Akhirnya dompetku masuk penjara,
Kasihan, tapi katanya malah dikasih makan,
agar tak mendobrak jeruji yang keras dan anyep,
Dijaga sipir bernama satire.
Ah sudahlah, lama-lama mereka juga jadi kawan lama.
Biarlah di sini kami berbulan madu,
Dengan secangkir teh manis tanpa gula bercumbu,
Dia merayu dengan puisi kekasih:
Tersenyumlah sayang, biar nanti bisa kusimpan
Untuk secangkir teh sebelum fajar.
Ah, dunia serasa milik mertua.
Memutar-mutar debar jantung menantu ibunya,
Siluetnya membayang di balik toples suvenir kondangan,
Pusara semut busung lapar yang mati mengenaskan.
Sambil menggendong perut melendung,
buah pertumpahan desah,
Dia berkata: sudah ribuan kali kuaduk, manisnya tetap tak turut,
Terang saja, manisnya sudah lama kugadaikan di KUA.
Dompetku yang kusuruh berangkat menebusnya,
Dicegat polisi, ditilang karena tak pakai masker,
Bukan apa-apa, maskernya sudah dikembalikan kepada pengupahnya.
Akhirnya dompetku masuk penjara,
Kasihan, tapi katanya malah dikasih makan,
agar tak mendobrak jeruji yang keras dan anyep,
Dijaga sipir bernama satire.
Ah sudahlah, lama-lama mereka juga jadi kawan lama.
Biarlah di sini kami berbulan madu,
Dengan secangkir teh manis tanpa gula bercumbu,
Dia merayu dengan puisi kekasih:
Tersenyumlah sayang, biar nanti bisa kusimpan
Untuk secangkir teh sebelum fajar.
Ah, dunia serasa milik mertua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar