Sejak semalam istriku bilang ingin
mengajak anak-anak berbuka puasa di rumah eyang mereka. Pekerjaan kantor di
masa work from home saat ini begitu
menyita waktu, terkadang kami masih harus melanjutkan meeting online selepas Isya, sehingga istriku cukup paham untuk
tidak mengajakku menemaninya dan anak-anak bermalam di rumah orang tuanya.
Aku memandang malam sekilas melalui
pintu masuk yang sengaja aku buka lebar. Udara sejuk sisa hujan sore tadi tidak
juga mampu menggugah selera makanku. Kembali aku menatap penganan yang
disiapkan istriku sebelum dia pergi beberapa jam yang lalu. Sepiring kecil
kolak pisang dan segelas es buah sebagai takjil. Lalu beberapa potong nugget goreng, sepiring mie goreng yang
diberi bumbu seadanya, sepotong telur mata sapi, kecap manis dan sambal botol. Aku
menarik nafas pelan lalu menyeruput habis sisa teh manis yang sudah dingin.
Entahlah, beberapa hari belakangan ini aku merasakan hal yang membuat hatiku
gelisah, pun ketika azan berbunyi dan di saat berbuka puasa. Ketika istriku
menanyakan hal ini, aku cuma menggeleng karena aku benar-benar tidak tau
mengapa.
“Kamu kurang istirahat, mas ,,, mana
belakangan ini makanmu juga kurang sekali, awas nanti sakit lho, sayang kan
kalo sampe nda bisa puasa,” kata istriku dua hari yang lalu.
Aku merebahkan tubuhku pelan diatas sofa
yang semula aku dudukki dengan menggunakan bantal sofa sebagai pengganjal
kepala. Lelah sekali rasanya. Lalu aku memejamkan mata menikmati hembusan angin
yang terasa lembab tersiram gerimis yang mulai membelai malam.
*****
“Aku masakkin menu spesial untuk kamu,
lho sayang ...,” ucapmu dengan wajah sumringah menyambut kedatanganku sore itu.
“Oya? Emang kamu bisa masak?”, selorohku
sambil menatap lekat wajahmu, wanita yang selalu kurindukan sejak beberapa
bulan ini dan yang mampu menggairahkan hidupku.
“Bisalah ... cuma karena sibuk jadi
lebih suka beli lebih praktis .... nih aku masakkin sayur asem pake tetelan
daging, trus dendeng gepuk, sama tempe mendoan, sambelnya ini sambel terasi,” kau
membuka satu persatu tutup piring yang tersusun rapih di lantai kamar
kontrakkanmu. Belum sempat aku menaggapi, azan berbunyi. Dan malam itu menjadi
malam ramadhan terindahku sejak beberapa tahun pernikahanku. Aku sampai 2x
menambahkan nasi ke piringku, hal yang mungkin terjadi dulu sekali ketika masih
di bangku kuliah.
“Terima kasih ya sayang udah masakkin
aku luar biasa enaknya, aku kaya’nya bakal sering ngerepotin deh minta
dimasakkin lagi besok-besok,” aku mencium lembut keningmu lalu memelukmu
hangat.
Sayup suara kumandang azan Isya
membangunkanku. Aku merasakan aliran hangat keluar dari sudut mataku. Hatiku
berbisik pelan, “aku rindu kamu, sayang ... rindu melewatkan ramadhan bersamamu”.
So sweet pak Irsan - semoga kita sama sama bisa melewatkan ramadhan yang sejuk dan khusyu
BalasHapusAmiin, Insya Allah kita masih diberi kesempatan bertemu dengan ramadhan tahun depan bapak Rumah Kaca, maaf baru liat komentarnya pas, hhehehe ...
Hapus