Pukul 08.30 Wib
“Tahu apa kamu tentang cinta?”, suara parauku sambil
menatap lekat laki-laki dalam kepungan asap rokok yang sedang sibuk dengan laptop dan berkas kerjanya. Aku sudah
terlalu lelah untuk meradang. Seminggu belakangan ini, waktu istirahatku sangat
minim. Pekerjaan kantor yang menumpuk di sela-sela tenggat waktu tugas akhir
studiku bukan hanya menyita energi tetapi juga memeras otak dan menurunkan
stamina. Dia menatapku sekilas, tersenyum sinis, lalu kembali tenggelam dalam
gelombang pikirannya, yang aku sudah sangat paham; pikiran negatif.
Pelan aku merasakan kepalaku berdenyut dan mataku panas.
“Tuhan, mohon sehatkan aku,” batinku. Sejurus kemudian aku kembali memusatkan
pikiranku pada gawai yang pagi ini memicu amarahku. Aku baru menyelesaikan
ketikan laporan kerja ketika azan Shubuh
berbunyi, lalu tertidur setelah sholat karena rasa kantuk yang luar biasa. Seperti
biasa, hal pertama yang aku lakukan ketika bangun tidur adalah mengecek berbagai
informasi maupun pesan pada akun media sosialku. Dan aku mendapati semua
pengaturan akun dan layanan pada seluler telponku telah berubah, bahkan lebih
dari itu, ada dua akun utama yang aku gunakan sebagai sarana komunikasi
berbagai pekerjaan tidak dapat dibuka sama sekali. Tidak butuh waktu lama untuk
mengetahui perbuatan siapa ini.
“Kamu apakan lagi HP ku?”, tanyaku kesal kepada suamiku.
Tanganku yamg sedang menggenggam benda elektronik itu mendadak gemetar menahan
amarah. “Maaf, niat awalnya iseng saja mau tahu kalau kamu itu selama ini suka chatting yang gimana? Semakin aku buka semakin penasaran, ya
jadinya kebablasan, ada pengaturannya yang terpaksa aku otak atik. Sudah ... santai
saja, nanti sore tinggal bawa ke counter-nya minta dikembalikan lagi ke pengaturan awal,” dia
menjelaskan dengan ringan, seolah-olah hal tersebut lumrah saja. Seperti
pembeli yang memecahkan gelas
dalam suatu swalayan, bilang maaf, tanya berapa harganya, lalu bayar.
Aku beristighfar berkali-kali dalam hati agar angkaraku
tak memuncak, namun
sia-sia. “Perbuatan kamu kali ini sudah sangat berlebihan. Kamu tahu sekali
bagaimana aku perlu berkomunikasi tentang berbagai hal. Jangan terus-terusan cari alasan ini
itu hanya untuk memuaskan pikiran-pikiran buruk kamu tentang aku. Kalau aku mau
macam-macam, ribuan caranya dan
tidak perlu menggunakan HP,” suaraku meradang.
“Sayaaang ...aku itu cinta kamu, kalau tidak, untuk apa aku
repot-repot mau tahu kamu setia atau tidak denganku? Harusnya kamu bangga,
sebagai suami aku sebegitu takutnya kehilangan kamu,” pembelaan suamiku kali
ini terdengar begitu memuakkan.
Deretan agenda kegiatan hari ini melesat dalam
bayanganku. Tiba-tiba aku merasakan aliran hangat keluar dari kedua sudut
mataku. Perasaan kesal, marah, dan sedih tumpang tindih. Adalah hal yang tidak
dapat aku terima jika dalam suatu hubungan, salah satu pasangan menunjukkan
rasa cintanya dengan kecurigaan
berlebih berdalih cemburu.
Dalam isak, diam-diam aku menatap nanar ke arah lelaki
yang kali ini terdengar serius membahas pekerjaan dengan koleganya di saluran
telpon. Aku hanya membatin, “Mengapa tidak kamu lihat pengorbananku saja?
Dengan menerima pinanganmu, aku bukan hanya mengorbankan tubuh, waktu dan
pikiran, namun lebih dari itu, aku mengorbankan kebebasanku. Ya, itu yang aku
rasakan. Hingga detik ini, aku tidak yakin bahwa aku mau kau jadikan istri karena
aku mencintaimu. Aku
menikah karena ibadah. Itu saja. Tidak pernah terlintas sedikitpun aku ingin
mengkhianatimu. Bukan karena aku takut kau tinggalkan, bukan ... aku hanya
takut Tuhan akan murka jika aku, wanita yang berlumur dosa ini, kembali
melakukan hal-hal yang Dia haramkan.”
Dengan gontai aku berdiri dari tempat tidur lalu akan keluar
kamar ketika terdengar suaranya, “Tolong
kopinya ya sayang,”. Aku menatapnya sekilas, masih dalam kecamuk, berlalu
sambil kembali membatin, “Jika Kau kirim dia untuk menguji kesabaranku, aku
ikhlas ya Rabb”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar