Pukul 16.35, di suatu kafe ...
“Aku ribut
besar mba dengan suamiku semalem ...”, Novi menatap wajahku lesu. Novi adalah
staff baru di divisiku, baru kira-kira 4 bulan. Dia diterima dengan mulus di
institusi ini dengan membawa ‘surat sakti’ dari pucuk pimpinan. Kemampuan
berbahasa Inggrisnya sangat bagus, dan aku suka.
Saat ini, aku
melihat potret yang benar-benar berbeda dari sosok Novi . Mukanya terlihat
kusut tanpa polesan make-up, dengan
mata sembab karena habis menangis lama. Tatapan matanya yang biasanya tajam
penuh percaya diri kini terlihat seperti sangat tersiksa membutuhkan
pertolongan.
“Emang kenapa
say?”, aku bertanya pelan setelah sebelumnya menyodorkan sebotol air mineral
yang langsung dia minum beberapa teguk. “Be relax, okay? Just tell me everything
if you think it could make you released”, aku melanjutkan sambil menepuk
punggung tangannya pelan.
“Suamiku marah
karena dia buka-buka emailku trus ada ucapan ulang tahun dari Bryan, my boy
friend,” dia menjelaskan lalu terlihat panik dan sekuat tenaga berusaha menahan
tangisnya.
Deg!! Aku
begitu kaget mendengar pengakuan jujurnya. Lalu berusaha mengatur ekspresi
mukaku agar terlihat ‘biasa-biasa’ saja. Sejenak aku kehilangan kata-kata dan
mengatur cepat otakku untuk mengeluarkan kalimat berikutnya. “Bryan? Your boy
friend?”, huffttt .... kesal sekali aku karena hanya bisa mengeluarkan
pertanyaan yang terdengar bodoh.
“Iyaaa ... We’ve
been closed for almost 4 years. He stays in London. We knew each other from facebook,
trus berasa klik, lanjut telpon-telponan lewat Line atau WA. He also has
family, wife and 2 kids. But, we don’t take a shit on our status. He’s an
engineer and mostly travel around countries, far from his home. We support each
other. I need someone to talk, to share everything, about my happiness, my
sadness, my dreams, which I can’t get from my husband. Bryan also needs me since
he feels lonely all the time. He’s such a workaholic guy and he said I could
fill the empty space of his feelings. We rely on each other, Mba ... even we’ve
never met before. It is a very wonderful matured-love,” Novi melanjutkan sambil
sesekali menyeka air matanya. Aku menyapu ruangan kafe memastikan bahwa pembicaraan
kami tidak terlalu menarik perhatian pengunjung lain.
“And you know
what, Mba?”, my husband called Bryan last night using my phone and he got mad
at him. Pake bawa-bawa hadist dalam Islam pula, katanya walaupun belum pernah
ketemu tetep aja kita berdua tuh sudah selingkuh dan itu dosa besar. I know
Bryan very well, Mba ... Dia pasti shock dan marah banget ke aku. Then I really
hate my husband ..., can you imagine? Like a little girl who just got a doll
and she likes it very much trus tiba-tiba bonekanya dirampas gitu aja, kebayang
ga sih Mba ...?”, huhuhu .... Nada suara Novi meninggi, terdengar histeris dan
tergugu lagi.
“Ssstttt ...”,
aku memberi isyarat agar Novi meredam suara tangisnya. Sekarang aku benar-benar
tidak tau harus memberi nasihat atau komentar apa tepatnya. Aku sudah terbiasa
dengan cerita affair dan sejenisnya baik
di lingkungan teman-temanku maupun di lingkungan kerja. Akupun terlahir dan
besar dalam keluarga yang menghalalkan poligami. Bagiku, perselingkuhan sama
saja dengan ‘kejahatan’ lainnya, ini masalah pilihan yang setiap orang punya
alasan untuk melakukannya; karena berawal dari iseng, menemukan kenyamanan dari
berbagai sisi, dan atau karena memang ‘kebutuhan’; butuh akan pasangan yang
lebih klop, butuh akan perhatian, butuh akan seseorang yang terasa memiliki
‘kelebihan’, butuh karena tidak terpenuhinya kebutuhan biologis, butuh untuk
bikin semangat baru, butuh variasi, dan butuh-butuh lainnya. Salah seorang
teman lelakiku juga bilang kalau selingkuh itu bikin ketagihan. Entahlah.
Setelah melihat
Novi sedikit tenang, aku menggenggam tangan dinginnya lalu berkata, “Sorry kalo gw juga bingung harus kasih
komentar apa. Kalo gw boleh saran sih, lo gak usah pikirin Bryan dulu tapi
fokus selesaikan masalah ini baik-baik dengan suami lo. Ini masalah serius lho say.
Gw juga gak tau setidak nyaman apa lo hidup bareng dengan suami lo. Kalo bicara
tentang dosa itu sudah pasti. Sekarang pilihan ada di tangan lo, mau bertahan
dengan suami lo trus berusaha bicara dari hati ke hati tentang apa yang lo
harapin dari dia atau ambil sikap pisah dari pada bertahun-tahun cheating. Bryan
has family and he has no risk. And I bet, he won’t sacrifice his marriage only
to keep you as his affair. Give him time and space selagi lo tuntasin masalah
lo dengan laki lo”, bicaraku terhenti ketika kulihat perubahan muka Novi yang
seperti sedang menahan sakit. Kali ini
dia tidak mengeluarkan kata-kata, tidak juga menangis. Dia meraih tissue dengan
cepat lalu menutupi mulutnya yang akan mengeluarkan sesuatu. “I’ve been
throwing up several times since last night,” lalu dia berlari bergegas menuju
kamar kecil.
***
Hari ini sudah
seminggu sejak sore pertemuanku dengan Novi di kafe itu. Tidak ada komunikasi
baik hanya lewat saluran telpon atau chat. Akupun hanya bisa berdoa yang
terbaik untuk apapun keputusan yang diambil Novi dan suaminya. Hingga siang
ini, aku melihat kelebat tubuhnya yang muncul dari parkiran tepat di seberang
kantin. Aku yang sedang menikmati santap siangku melambaikan tangan ke arahnya.
Kali ini Novi terlihat sangat ceria, bahkan jauh lebih fresh dan cantik
sepanjang aku mengenalnya. Ah, aku ikut senang melihat ekspresi kebahagiannya.
“Haaiii ...
Good to see you come, tumben lo cantik banget”, aku menggodanya. “Ah bisa aja
lo, Mba ...,” dia menanggapi gurauanku dengan sumringah. “Then, how’s ...?, “
aku baru akan bertanya tentang kelanjutan masalahnya ketika Novi tiba-tiba
mengangkat tangan kirinya memberi sinyal agar aku tidak melanjutkan
kata-kataku. “Don’t ask me about my hubby nor my ex-boy friend,” dia berbisik
pelan.
“Ooopss, I’m so sorry ...,” akupun balas berbisik dan tersenyum ke
arahnya. Mungkin dia sedang tidak ingin membicarakan hal yang membuat suasana
hatinya menjadi tidak enak, tiba-tiba ada rasa sesal merambah di hatiku. “All
is good, Mba ..., I just want to share about my new boy friend,” tawa renyah Novi
membuatku tersedak. “My friend said, the only thing to heal a broken heart is
by finding another love, and it’s totally true,” aku menemukan ribuan binar cinta terpancar dari kedua bola
mata Novi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar