“Salah satu makna dari Surah
Al-Jumu’ah 9-10 adalah mengingatkan kita bahwa dalam bekerja kita hendaknya
selalu ingat kepada Allah, sehingga tidak terperosok ke dalam perbuatan yang
tidak diridhai NYA ...”, suara Pak As yang pagi ini mengisi tausyiah, menjelaskan
panjang lebar tentang keutamaan mengingat Allah dalam bekerja.
Sejak pak Asmuni menjabat,
beliau mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan staff dan jajaran pimpinan hadir
dalam pengajian rutin setiap Jum’at pagi yang dilanjutkan dengan tausyiah. Saat
itu, hanya aku yang berkomentar sinis di depan sesama kolega. “Aturan apalagi
ini? Masa’ ibadah aja harus dipaksa sih? Pake anceman SP pula, terus gimana
niatnya itu? Biar belajar agama, mendapat kebaikan atau biar ga kena SP?”,
sungutku yang hanya dibalas senyum beberapa kolega, senyum membenarkan namun
jelas pilih tidak menanggapi daripada cari penyakit.
“Waalaikummussalam
warrahmatullahi wabarakatuh ...”, lamunanku buyar seiring
jawaban salam penutup dari majelis.
Aku ikut berdiri bersama
yang lain, akan kembali ke ruangan kami masing-masing di lantai bawah ketika terdengar
suara bu Didi setengah berteriak dari bibir tangga atas. “Bu ... dipanggil
Bapak, katanya ada yang mau ditanyain itu berkas yang mau ditanda tangan”. Sebelum pengajian tadi aku memang menitipkan
beberapa berkas kepada salah seorang staff sekretariat.
Aku menoleh ke arah bu Didi,
menanggapi, “Nanya apa?, aku doank apa ada yang lain yang diminta menghadap?”,
tanyaku sambil berbalik kembali menaikki satu persatu anak tangga dengan sedikit
gontai karena agak pusing dan meriang. “Wah
saya ga tau bu, saya sih cuma diminta manggil ibu aja, mungkin ada yang
penting,” jawab bu Didi ketika aku sudah sampai kembali ke atas berdiri
bersejajar dengannya. “Yuk temenin,” ajakku menarik pelan tangannya, namun, dengan
cepat dia menepis,” Maaf bu, saya mau buru-buru ini, ada kerjaan,” tolaknya
halus sambil tersenyum.
Aku menyapu ruang rapat yang
tadi digunakan untuk pengajian. Lengang. Lalu menatap sekilas satu persatu
ruang 3 wakil pimpinan yang berjejer di sayap muka. Pintu ruang bu Asmah yang
terbuka setengah tak berpenghuni. Pintu ruang pak Sodikin tertutup rapat, tidak
jelas apakah beliau ada di ruangannya atau tidak. Lalu, tampak pak Ahmad yang sedang
mengetik duduk menghadap komputernya membelakangi pintu yang terbuka lebar.
Hufft, aku menarik nafas lega. Setidaknya ada orang di lantai ini, batinku.
Aku berjalan pelan ke
ruangan pak Asmuni yang letaknya berseberangan dengan ruangan para wakilnya,
agak di sudut. Ruangan yang cukup luas untuk seorang pimpinan di levelnya.
Interior ruangan itu juga cukup mewah dengan berbagai fasilitas; 2 unit AC, 1
set kursi tamu kulit seharga puluhan juta, 1 lemari pendingin yang penuh dengan
berbagai jenis minuman, vitamin, kudapan, lalu ada dispenser, TV berlayar datar
dan 1 rak pajang terisi berbagai plakat, foto-foto beliau bersama orang-orang
penting dalam beraneka kegiatan.
Pak Asmuni duduk relaks di
balik meja kerjanya, di pojok ruang dekat pintu masuk, dengan mata terpejam
menikmati pijatan dari kursi kerja berbusa tebal. Iya, kursi kerjanya pun kursi
pijat. “Biar ga perlu keluar kalau saya mau pijat,” selorohnya saat meminta
staff umum membelikan kursi tersebut sambil menyerahkan selembar brosur yang
dia dapat malam sebelumnya ketika sedang berbelanja di salah satu mall bersama
istrinya.
Salamku membuatnya membuka
mata, namun masih pada posisi yang sama. Aku menarik kursi di depan mejanya,
duduk berhadapan. Sudah kuduga, dia tersenyum genit, mengedipkan mata ke
arahku. Dan seperti biasa, aku tidak mengindahkan, mengalihkan pandang ke
tumpukan berkas di depannya. “Sudah ditanda tangan, pak?, kata bu Didi ada yang
bapak mau tanyakan, apa ya?”, aku mulai merasa tidak nyaman dengan pandangan
tajamnya ke arahku. “Dasar muka c*bu*,” gerutuku beberapa kali kepada Ratu,
jika kami sedang membahas si bapak pimpinan ini.
“Udah saya tanda tangan kok
... situ lagi sakit ya?,” dia bertanya dengan panggilan khususnya kepadaku jika
sedang tidak ada orang lain di dekat kami. Lalu mematikan kursi pijatnya,
mengatur posisi duduk, bertambah lekat memandangku.
Beugh ... muak sekali
rasanya. “Ga enak badan aja pak. Berkasnya saya bawa aja ya,” jawabku cepat
meraih tumpukan kertas-kertas itu ketika sejurus kemudian aku rasakan sentuhannya
pada salah satu tanganku. Reflek aku
menatap tajam ke arahnya, menunjukkan rasa tidak suka. Saat berdiri, kulihat
dia tersenyum lebih lebar, memainkan bibirnya menggodaku. “Maaf pak, kalo ga
ada yang ditanyakan, saya pamit, mau makan, lapar,” kataku sedikit ketus dengan
wajah dingin lalu berjalan ke arah pintu.
“Situ tambah cantik kalo
marah, hehehe ...,” suaranya terdengar sangat berbeda dengan ketika dia
memberikan tausyiah beberapa menit yang lalu. Aku tidak paham, apakah itu
suaranya atau suara setan yang bersemayam di tubuhnya.
Setengah berlari aku kembali
ke ruang kerjaku, meletakkan tumpukan berkas sekenanya di meja, meraih tas lalu
keluar kantor bergegas menuju mobil. Baru dalam hitungan detik aku menyalakan starter, telpon selulerku berbunyi; 1
kali, 2 kali, Video Call dari pak As tak
kujawab. Kepalaku terasa semakin berat, pelan aku melajukan kendaraan, ketika
tak beberapa lama kemudian terdengar nada pesan singkat pada WhatsApp ku. “Bu, nanti ba’da Jum’at
makan siang ke ruangan saya ya,” ajak pak As. Hanya kubaca. Saat itu aku hanya
ingin segera pulang. “One day, You’ll get
what you have done to me several times, Boss... ,” bisik hatiku penuh
dendam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar