"Hidup ini baik-baik saja, sampai kita mulai membanding-bandingkan"
-unknown-
"Kak, nanti kalo ada pertanyaan: kamu punya saudara nggak yang pernah sekolah disini?, adik jawab apa?" tanya sang adik kepada sang kakak. Sang adik saat itu sedang persiapan tes masuk sekolah menengah pertama, sedangkan sang kakak adalah alumni sekolah tersebut, lulusan terbaik tahun kemarin. "Ya jawab aja punya" aku memotong jawab mendahului sang kakak yang masih bingung. "Adik takut nanti mereka expect me like kakak" lanjut sang adik. Sejenak aku terdiam. "Ya nggaklah dik, kan beda adik sama kakak" aku mencoba menenangkan. "ish adik mah...!!" sang kakak teriak. "nilai adik kan jelas-jelas lebih bagus dari kakak". Lalu mulailah perdebatan seru sang kakak dengan sang adik. Sang kakak merasa adiknya lebih pintar, sang adik bilang kakaknya yang terbaik. Dengan berbagai argumen kekanakan mereka. "girls...please" aku memotong. "still it cannot be compared. you have a different age, different grade and different school". "Adik pinter, kakak juga pinter. Papa-Mama kan nggak pernah minta kalian jadi juara 1?" lanjutku. "We accepted all of your results, as long as you got it fairly". Meskipun masih menggerutu, perdebatan itu sejenak terhenti. Tiba-tiba sang adik nyeletuk "soalnya di sekolah adik ada tuh Pa yang begitu. Bu guru selalu bilang kakak kamu dulu nggak bandel loh" Sang adik lalu menceritakan tentang Nayla, salah satu teman sekelasnya yang dulu juga mempunyai kakak alumni sekolah tersebut. "Ya nanti kalo ada guru yang bilang begitu nanti Papa datengin ke sekolah" Aku mencoba menenangkan lagi.
***
Perbincangan tadi terus terang mengesalkanku. Betapa tidak?. Di usia yang masih sangat belia, anak-anak sudah harus dihadapkan dengan rumitnya kehidupan orang dewasa. Investasiku menyekolahkan mereka ke sekolah dengan embel-embel agama rasanya sia-sia. Bukan karena mereka tidak bisa sholat atau mengaji, tapi karena mereka masih disuguhi pola laku yang sama sekali tidak sesuai ajaran agama. Mirisnya hal tersebut dilakukan oleh sang pendidik.
***
Persoalan ini bukan monopoli persoalanku sendiri. Secara umum banyak sekali keluhan serupa dari para orang tua jaman now terhadap pola pendidikan dan pergaulan di sekolah-sekolah. Aku sepakat bahwa pendidikan terbaik tetaplah dari keluarga, orang tua dan orang-orang terdekat di rumah. Tapi tidak salah juga jika mengharapkan adanya nilai tambah dari pendidikan di sekolah. Keprihatinan ini bahkan sudah sering kusampaikan langsung ke guru-guru bersangkutan, namun hanya jawaban normatif yang kuperoleh. Akhirnya ya menunggu anak sampai lulus saja kemudian cari lagi sekolah yang lebih nyaman pola pengajaran dan pendidikannya buat anak-anak.
***
Sudah banyak tulisan tentang hal ini, tapi tetap saja tidak terimplementasi dengan baik. Semua orang tahu bahwa Matematika atau IPA bukan segalanya, tapi tetap saja anak yang pintar Matematika/IPA lebih disayang. Semua orang tahu kesuksesan hidup tidak ditentukan oleh juara tidaknya semasa sekolah, tapi tetap saja selalu ada peringkat dan predikat di sekolah-sekolah. Anak secara sadar ataupun tidak sadar diajarkan dengan nilai kompetisi yang tidak sehat: menganggap orang lain adalah saingan. Padahal yang harus ditanamkan adalah bagaimana menjadi versi terbaik dirinya sendiri. Hidup bukanlah zero sum game. Kita tidak menjadi baik karena orang lain buruk. Kita tidak menjadi kaya karena orang lain miskin. Kita tidak menjadi pintar karena orang lain bodoh.
***
Manusia memang tidak selalu dalam kondisi terbaiknya. Kadar keimanan pun naik turun. Hati pun sangat mudah dibolak balik. Dalam kondisi seperti itu, menjadi depresi karena tidak mampu apa-apa, tidak punya apa-apa, seringkali terjadi. Membandingkan pencapaian pribadi dengan orang lain sangatlah melelahkan.
***
Kembali ke kegalauan sang adik. Aku pribadi berharap ketakutannya tidak terbukti; baik akibat harapan guru-gurunya kelak ataupun dari alam bawah sadarnya. Bagaimanapun sang kakak dan sang adik tetap dua orang yang berbeda, meskipun dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Tidak ada satu mengungguli yang lain, tidak ada persaingan karena senyatanya mereka tidak pernah diperbandingkan.
Jakarta, 13012020
Sudah banyak tulisan tentang hal ini, tapi tetap saja tidak terimplementasi dengan baik. Semua orang tahu bahwa Matematika atau IPA bukan segalanya, tapi tetap saja anak yang pintar Matematika/IPA lebih disayang. Semua orang tahu kesuksesan hidup tidak ditentukan oleh juara tidaknya semasa sekolah, tapi tetap saja selalu ada peringkat dan predikat di sekolah-sekolah. Anak secara sadar ataupun tidak sadar diajarkan dengan nilai kompetisi yang tidak sehat: menganggap orang lain adalah saingan. Padahal yang harus ditanamkan adalah bagaimana menjadi versi terbaik dirinya sendiri. Hidup bukanlah zero sum game. Kita tidak menjadi baik karena orang lain buruk. Kita tidak menjadi kaya karena orang lain miskin. Kita tidak menjadi pintar karena orang lain bodoh.
***
Manusia memang tidak selalu dalam kondisi terbaiknya. Kadar keimanan pun naik turun. Hati pun sangat mudah dibolak balik. Dalam kondisi seperti itu, menjadi depresi karena tidak mampu apa-apa, tidak punya apa-apa, seringkali terjadi. Membandingkan pencapaian pribadi dengan orang lain sangatlah melelahkan.
***
Kembali ke kegalauan sang adik. Aku pribadi berharap ketakutannya tidak terbukti; baik akibat harapan guru-gurunya kelak ataupun dari alam bawah sadarnya. Bagaimanapun sang kakak dan sang adik tetap dua orang yang berbeda, meskipun dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Tidak ada satu mengungguli yang lain, tidak ada persaingan karena senyatanya mereka tidak pernah diperbandingkan.
Jakarta, 13012020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar