Aku menatap nanar benda putih
yang terbuat dari plastik ABS bercampur isi granular tersebut, masih utuh
meskipun warna putihnya kini tak lagi bersih.
***
Pagi tadi,
“Kamu kenapa tidak pernah
memuji aku?”, rajukku padamu. Pagi ini, kamu menjemputku karena katamu kita
sudah lama tidak pergi kerja bersamaan, dan kebetulan jarak kantor kita cukup
berdekatan. Kemacetan Jakarta meski masih kurang 10 menit ke pukul 06.00, sudah
sangat padat oleh para komuter.
“Maksudnya memuji gimana?”,
kau balik bertanya. “Ya seperti layaknya laki-laki kepada pacarnyalah ...
bilang cantik seperti bunga, atau indah bagai kejora, atau apa saja ... “,
jelasku masih dengan nada merajuk.
Tiba-tiba tawamu berderai
keras memenuhi ruang mobil yang sejuk. Kau terpingkal sampai mengeluarkan air
mata. Lalu mengusap-usap kepalaku lembut sambil masih berusaha meredam gelak.
“Sayang ... aku itu bukan
lelaki alay yang bisa mengeluarkan kata-kata
bak pujangga. Rasa cinta yang aku punya tidak bisa diungkapkan hanya dengan
kiasan-kiasan yang menjiplak dari tulisan-tulisan di media. Kamu itu wanita
luar biasa, wanita yang sangat berbeda,” kau menatapku lekat. Di matamu aku
melihat cinta yang teramat dalam. “Tapiii ... kalau masih mau aku ibaratkan ya,
kamu itu seperti spoiler dalam hidupku”, lanjutmu dan kusambut dengan tatapan bingung.
“Iya, spoiler. Kamu penyeimbang hidupku, pengatur langkahku, penyelaras irama
nafasku”, kali ini wajahmu terlihat bersungguh-sungguh. Aku tersenyum
sumringah, bahagia sekali meskipun belum bisa sepenuhnya mencerna apa yang kau
maksud.
***
Aku tiba di ruang
kerjaku dengan kebahagiaan yang tak dapat kulukiskan. Rendra, lelaki yang sejak
3 tahun belakangan ini mengisi hari-hariku, memang berbeda dengan lelaki
kebanyakan. Bicaranya sedikit, dan katanya hanya denganku saja dia bisa
bersenda gurau tertawa lepas. Hobinya adalah otomotive, hobi yang pada awal
kedekatan kami merupakan hal yang sangat baru bagiku.
Aku menatap arlojiku. Sudah
hampir 1 jam berlalu sejak dia mengantarkanku di pintu lobi depan. Belum ada
telpon atau pesan singkat yang mengabari kalau dia sudah tiba juga di
kantornya. “Ah, mungkin macet.” Aku membuang perasaan gundah yang tiba-tiba
menghantui pikiranku. Ketika beberapa saat kemudian, telpon selulerku berbunyi
...
***
“Mba, maaf ... mba ikut
mobil petugas saja ya, kita ke rumah sakit terdekat dahulu,” terdengar suara
seorang perwira polisi yang berdiri tepat di sampingku. Aku menatap sekilas ke
arahnya dan mengangguk. Lalu menatap kembali ke ragamu yang kaku, terbujur
persis di sisi spoiler putih yang hampir separuhnya tersiram darah dari
beberapa bagian tubuhmu. “Innalillahi wainna ilaihi rojiun ... selamat jalan sayang, spoiler hidupmu kini sudah tak
berfungsi lagi ...”, aku berbisik sebelum semuanya menjadi gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar