Berlatar belakang gambar 2
buah hati berwarna merah muda dan biru muda, tulisan pada pintu lift gedung ini
langsung mencuri perhatian saya. Awalnya, saya tidak terlalu mengerti
maksudnya, hanya yang saya perhatikan sejak pertama kali mengunjungi institusi
ini, semua pengunjung maupun pekerja di gedung ini selalu tertib antri ketika
ingin menggunakan lift tersebut.
Hingga pada suatu siang,
ketika saya dan beberapa teman ingin menikmati makan siang bersama di salah
satu plaza persis di samping gedung ini, yang saat itu sarat dengan pengunjung.
Kami sepakat ingin makan di salah satu kedai yang berada di lantai 3. Dari
lantai dasar kami menggunakan eskalator, lalu mengantri lift di lantai 1 untuk
menuju ke lantai 3.
Begitu sampai di depan
lift, kami yang sudah terbiasa mengantri seperti budaya di gedung sebelah, mengatur
barisan di belakang beberapa orang yang tiba lebih dahulu. Sejenak kemudian,
terdengar suara seorang ibu muda yang baru datang mengomel agak keras,” Duh,
rame lagi ini lift nya, mau pake eskalator gue males”. Sontak kami dan beberapa
orang yang sedang mengantri menoleh ke arah ibu itu, berdiri bersama dua orang
kerabatnya, menuntun seorang anak perempuan berusia sekitar 6 atau 7 tahun.
Nampak jelas jika dia sedang tergesa.
Tidak berselang lama,
suara penanda pintu lift terbuka berbunyi. Kami dan beberapa calon pengguna
yang berdiri di barisan depan beringsut pelan menggeser posisi berdiri untuk
memberi jalan pada pengguna yang akan keluar. Lalu tiba-tiba, terdengar keras
suara teriakan beberapa orang yang terdorong oleh si anak yang dituntun si ibu
muda tadi. Lebih tepatnya, si ibu mendorong anaknya menyerobot orang-orang di
depannya yang baru akan melangkah keluar dari lift diikuti oleh dia dan dua
kerabatnya.
Kejadian itu begitu cepat,
lalu terdengar suara perempuan yang sejak tadi berdiri di depan menghardik,”
Ibu gimana sih? Ga takut bahaya apa itu anaknya didorong-dorong, gimana kalo
pintu liftnya ketutup, bisa kejepit itu anak. Tunggu dulu pada keluar, baru
masuk dan harus antri.”
Si ibu terlihat
mengabaikan omelan itu dan tak mengacuhkan pandangan kesal dari beberapa orang.
Kami yang saat itu masih tercengang akhirnya memilih mengalah, pasrah jika
ruang pada lift tersebut lebih dulu terisi. Saya yang bersiap mengeluarkan
kata-kata ke arah ibu itupun segera ditarik oleh teman-teman untuk akhirnya
berpindah mencari eskalator.
Kejadian serobot
menyerobot lift ini sepertinya sudah dianggap lumrah di kehidupan kita.
Kadang-kadang, sudahlah berlama-lama antri berdiri, begitu pintu lift terbuka,
ada yang baru datang langsung nyelonong tanpa basa basi. Saya bukan pengamat
sosial, tidak juga terlalu suka mengurusi hal-hal semacam ini. Tapi untuk
urusan antri saya orang yang paling peduli. Entah itu antri di toilet, antri di
kasir, antri ketika hendak memesan makanan, dan antri-antri lainnya. Menurut
saya, slogan “first come, first served”, sangatlah adil. Artinya, jika
dimanifestasikan dalam kegiatan antri, yang mengantri duluan ya wajib
mendapatkan hak nya terlebih dahulu. Menyerobot berarti mengambil hak orang;
hak untuk mendapatkan pelayanan atau menggunakan fasilitas lebih dulu.
Hal ini pula yang saya
ajarkan baik-baik kepada anak-anak saya. Jika sedang berada di suatu antrian,
lalu kami diserobot dan merasa kesal, saya ingatkan mereka,” Ga enak kan
diserobot, jadi jangan ngelakuin hal yang sama.”
Akhirnya, sejak kejadian
siang itu, saya baru bisa memaknai arti dari tulisan di depan pintu lift di
gedung sebelah. Seperti hati, biarkan
dulu yang didalam pergi, baru mengisinya kembali ... Analogi yang sangat menarik
ya. Antrian pada lift yang diumpamakan seperti hati. Kebayang ‘kan bagaimana ruwetnya
kalau pengguna lift yang akan keluar dan masuk bergerak bersamaan. Belum lagi
bahaya yang mungkin terjadi karena rebutan itu; terjepit pintu lift misalnya.
Ya seperti hati, pasti repot sekali mengaturnya jika yang di dalam masih ada,
sudah terisi lagi dengan yang lain, hhehe ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar