“Serius
lo, Ka?”, aku sangat tidak percaya dengan apa yang baru saja diceritakan Tika
kepadaku.
“Sumpah mba ”, nada suaranya di ujung telpon sangat
pilu terdengar. “Ngapain juga gw bohong .... “Gw bener-bener kesel, marah juga
... semaleman gw nangis ... untung laki gw nanggepinnya ga emosi.
“Trus, laki
lu bilang apa?”, aku berharap ada luapan kemarahan yang dilontarkan Mas Danu,
suami Tika.
“Dia
bilang, udahlah ga usah terlalu kamu pikirin, anggap itu sebagai balas jasamu ke
ibu itu. Toh kalo nda dia yang kasih rekomendasi belum tentu kan kamu bisa jadi
pengajar tetap disana? Nda gampang lho dek sekarang ini masuk kerja dan dalam 2
bulan bisa langsung diangkat jadi karyawan tetap kalo nda ada orang dalam ...
KKN gitu lah”, Tika menirukan nada suara suaminya dengan logat Jawanya yang
khas.
Tika
Sukma Ayu. Pengajar di salah satu perguruan tinggi milik salah satu yayasan
besar di Indonesia. Aku mengenalnya ketika duduk berdampingan di pesawat 4
tahun yang lalu. Saat itu, aku dalam perjalanan dinasku ke Semarang dan Tika
akan menghadiri sebuah seminar pendidikan di sebuah institusi di Kudus.
“Alhamdulillah
syukur mba ... ibu boss ku itu sangat baik”, ceritanya saat itu yang memanggil ibu
pimpinan Fakultas tempat dia mengajar dengan sebutan ‘boss’. “Sejak awal aku
mengajar, aku langsung diminta beliau mengasisteninya. Lebih dari itu, bu boss
juga minta aku jadi asisten pribadinya, yah semacam PA gitu lho mba ....”,
jelasnya sambil tersenyum.
Oya?”,
aku tertarik dengan ceritanya. “Emang kalo PA tugasnya ngapain say?”, kali ini
aku benar-benar ingin tahu seperti apa tugas Personal Assisstant pimpinan sebuah Fakultas. “Udah kaya’ pejabat
BUMN aja pake PA segala”, batinku.
“Yah
macem-macemlah mba ... “Beliau itu kan jabatannya banyak. Ibu ketua organisasi
A, ketua bidang B, dan lain-lain, jadi sibuknya luar biasa. “Aku bikin agenda
kegiatannya, ikut kemana2 sebagai notulen rapat, kadang-kadang juga bantu
kerjaan personalnya seperti mengedit artikel yang harus publish, menyiapkan ppt
kalau beliau mau jadi pembicara di seminar juga,” gayanya ekspresif. Selama
bicara tangannya tak henti bergerak ikut bicara.
“Oo
gitu?,” wah seru dong ya sering jalan dan banyak ketemu orang?,” aku tersenyum
menanggapi.
Penerbangan
selama 70 menit waktu itu hampir sepenuhnya didominasi oleh kekaguman Tika
tentang si ibu boss-nya itu.
Sejak itu, kami sering berkomunikasi; sekedar saling sapa. Jika ada waktu
luang, kami juga beberapa kali ketemuan untuk makan siang atau nongkrong
bareng. Usia Tika jauh lebih muda 7 tahun dariku, seusia adik bungsuku. Tapi
aku suka dengan kepolosannya. Dia apa adanya. Pembawaanku yang agak sedikit
pendiam merasa terimbangi dengan sifatnya yang tidak pernah kehabisan cerita.
Hingga
ceritanya 2 tahun yang lalu ketika kami menghabiskan sisa waktu sore sehabis
pulang dari kerjaan masing-masing di sebuah kafe. Tika memperlihatkan kepadaku
draft buku ajar yang sudah dia tulis selama hampir 1 tahun dan akan rampung.
“Ih
kereeen ....,” komentarku saat itu, sambil membaca sekilas lembar demi
lembar narasi buku ajar tersebut dari laptopnya.
“Doain
ya mba begitu selesai ini mau gw kirim ke penerbit.” Sejak semakin akrab, kami merasa lebih nyaman
dengan sebutan “lo – gw” daripada “aku – kamu”. Mas Danu bilang ada temannya di
Jogja yang siap membantu, penerbit gitu .... Cita-cita gw itu salah satunya ya
mau jadi penulis buku ajar mba ... soalnya kesal kok ya mahasiswa sekarang
kalau dikasih tugas mesti jawabannya dari google semua, ya karena buku-buku
rujukannya banyak yang berbahasa Inggris, nda paham mereka.”.
“Cie, cie ...
ntr kalo lo udah jadi penulis terkenal bakal susah donk kita ketemu,’ godaku.
“Iyalaaah
... mba kalo mau ketemu gw harus by appoinment dulu, hahaha ... kami terbahak
bersama.
Lalu,
satu bulan kemudian, di Sabtu pagi, Tika menelponku dan terdengar suaranya
parau sehabis menangis ,”Mba .... masa buku gw mau diaku sama bu boss, gw ga
rela banget. Lo tau kan mba gw setahunan loh ngedraft, hampir tiap malem gw
ngetik, bolak balik baca-baca buku referensi, sampe gw juga sempet drop karna
begadang nyelesaiin bab akhir. Kan gw udah rencana buku itu terbit di semester
besok, 2 bulan lagi. Begitu selesai, beberapa hari yang lalu, gw bilang bu boss
minta tolong di proof-read maksudnya biar lebih ok. Karena waktu itu sedang sibuk,
dia minta soft-filenya gw kirim by email”, kali ini tidak ada sebutan “beliau”
untuk si bu boss. “Lha kemarin begitu sampe kampus, dia manggil gw donk. Trus
bilang kalo tulisan gw banyak salah dan dia sudah bantu edit. Trus dia bilang
lagi, kalo dia lagi perlu poin untuk pengusulan ke jenjang Professor dan masih
kurang persyaratan penerbitan buku. Jadi dia bilang nanti nama gw dicantumkan
sebagai editor. Gw juga disuruh bantu jualin buku-bukunya ke mahasiswa, disuruh
bilang ke mahasiswa yang lagi nulis skripsi untuk mengutip dari buku itu, jadi
nyantumin nama dia sebagai salah satu rujukan. Nanti katanya gw dikasih royalti
20% dari tiap buku yang kejual,” aku jelas mendengar suaranya yang mulai
menangis lagi.
Aku
benar-benar tidak tahu harus berkomentar apa. Geram dengan kepolosan Tika, tapi
lebih geram lagi dengan keculasan ibu Doktor pimpinannya. Rasanya banyak sekali
umpatan yang pantas aku keluarkan untuk si bu boss itu, tapi aku sadar itu
hanya akan menambah luka di hati Tika. Dengan hati-hati aku coba menguatkan dia,
“Lo yang sabar ya, Ka ... InsyaAllah selalu ada hikmah dibalik semua kejadian. Banyak-banyak
istighfar aja, jangan dibawa stress. Nanti, lo coba ...., belum sempat aku
menuntaskan kata-kataku, Tika sudah menyambar dan berteriak histeris, “Gilaaaa
.... Dia yang mau jadi Professor kenapa buku gw yang dibajak? Itu isi otak gw
mba, jerih payah gw, gw ga butuh 20% royalti, kalo dia mau biar gw yang kasih
dia 20%, kenapa jadi gw yang dia korbanin coba ...?”, kali ini emosi Tika tak
terbendung. Dalam hati aku membenarkan semua omongannya.
Klik,
saluran telpon diputus.
Aku
tergugu. Terbayang jelas kesumringahan wajah Tika saat dia membagi angannya
jika buku itu sudah terbit. Tiba-tiba aku pun merasa sangat marah dengan wanita yang selalu
dibanggakan Tika itu. Pelacuran akademik macam apa yang dia lakukan? Jika untuk
menjadi seorang Professor saja dia harus mencuri hasil karya orang, lalu
kebanggaan macam apa yang dia bisa bagikan? Hanya untuk prestise? Atau untuk menuai
pujian dan sanjungan?
Sabtu
2 tahun lalu itu, aku ikut berduka untuk Tika ....
Hari
Minggu, kami tidak saling berkabar. Aku membiarkan Tika meredakan amarahnya. Senin
keesokan harinya, sekitar pukul 11.25, Tika mengirimkan pesan teks beserta
beberapa gambar melalui WhatsApp. Aku memperhatikan satu per satu foto
tersebut. Foto pertama, foto sampul depan buku yang sudah tercetak elegan,
bersampul biru tua bercorak putih dengan nama penulis: Dr. Hj.
..................., MA, yang terpampang jelas dibawah judul. Foto kedua,
halaman muka yang persis sama dengan sampul buku hanya saja menambahkan nama
Tika sebagai editor dengan font-size 12. Foto ketiga, halaman kata pengantar
yang menyebutkan ucapan terima kasih kepada para pimpinan Universitas dan tidak
ada nama Tika disana. Foto keempat, halaman akhir buku berisi bibliografi si
ibu yang menyertakan fotonya seukuran 4x6 mengenakan toga. Foto kelima, foto beberapa
standing banner berjajar rapih pada salah satu pojok ruang memampang wajah si
ibu, tersenyum merekah juga dalam balutan toga sambil memegang buku yang sudah
tercetak tersebut. Sederet kalimat tertulis persis diatas fotonya: Alhamdulillah telah terbit buku berjudul
.......... oleh Dr. Hj. ......................, MA. Diakhiri dengan kalimat, “Semoga
ilmu yang dituangkan dalam buku ini dapat memberi manfaat bagi pendidikan di
Indonesia”.
Ada
sebaris kalimat yang Tika tuliskan setelah foto-foto itu,”Gw sudah buka setiap
Bab nya, dia bohong, nda ada yang dia edit kok mba, itu tulisan gw semua, hanya
lay-out nya aja yang agak beda”, diakhiri beberapa icon sedih, marah, dan
menangis.
Kali
ini, rasa geramku benar-benar melampaui batas, lalu dengan marah menanggapi pesan
teks Tika; “DASAR PELACUR PENDIDIKAN”!!!
"Allahummaghfirli dzanbi, wa adzhib ghaizha qalbi, wa ajirni minas syaithani", aku bermunajat agar amarah ini mereda.
"Allahummaghfirli dzanbi, wa adzhib ghaizha qalbi, wa ajirni minas syaithani", aku bermunajat agar amarah ini mereda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar