“Suka?”,
tanyamu. Saat itu kita sedang menepi di salah satu area parkir bandara. Dan kau
memintaku membuka bungkusan kecil yang langsung kau sodorkan ketika masuk ke
mobil sebelum beranjak pergi. “Oleh-oleh
cinta,” katamu.
“Banget”, aku
menjawab dengan wajah sumringah tanpa melepas pandang dari benda berupa orang-orangan
sawah berwarna merah setinggi penggaris 20 centi.
“Abis
bingung mau beliin apa, pas liat itu ya aku ambil aja. Awalnya sih karena
warnanya merah, kesukaan kamu. Begitu cek harga pas pulak sama sisa budget,
hahaha ...” , seperti biasa kamu selalu penuh canda.
Tidak ada yang istimewa dari
replika manusia yang terbuat dari kayu itu. Bukan juga sifatku yang suka
titip-titip oleh-oleh kalo ada saudara, teman atau kolega yang berpergian jauh.
Dibawain syukur, ngga juga ga pa-pa. Senang jika ada yang ngasih karena artinya
orang itu cukup merelakan ingatan dan waktunya untuk membelikan aku sesuatu.
Itu saja. Pun kali ini. Hanya saja perasaan senang bercampur bahagia yang aku
rasakan benar-benar diatas rata-rata. Mengalahkan sensasi kegembiraan seorang beneficiary yang mendapat Swift MT-103. Jika
diuraikan, rasa rindu setelah lebih dari 2 minggu tidak bertemu itulah yang
membangkitkan euforia ku.
“Makan
yuk, laper ...” ajakmu. “Bisa pulang
sedikit larut ga?, aku ingin nyulik
kamu sampe jam 12 teng, so you’ll be the first person by my side on my birthday”.
“Seriously?”, aku
memandangmu terbelalak, seperti tidak percaya dengan pendengaranku. Iya, besok
hari ulang tahun pertamamu bersamaku.
Kamu mengangguk, menatapku
dalam.
“Ah,
thank you ....”, aku memelukmu erat sebagai ungkapan rasa
terima kasihku.
‘Lucky
I’m in love with my best friend,
Lucky
to have been where I have been ....’***
Kita bernyanyi bersama
mengikuti lirik lagu dari CD player mobilmu menembus jalan yang tidak terlalu
padat.
Malam itu menjadi malam kita
berdua. Tidak juga ada yang istimewa sebenarnya. Makan di sebuah resto Jawa, lalu
berkeliling menikmati wajah Jakarta. “It’s
a kinda home-sick, you know ...?”, guraumu saat aku menolak diajak
memandangi Monas. Saat itu aku sangat bahagia sebelum akhirnya semua terjadi
begitu cepat.
*****
“Kak
... maaf kak, kita sudah mau tutup, “ samar aku mendengar suara
perempuan dan merasakan sentuhan halus pada lenganku.
Aku membuka mata, merasa sedikit
pusing, mengatur penglihatanku sesaat sebelum akhirnya menyapu pandang pada
ruangan yang sudah kosong dan benderang. Aku menggeliat, merapihkan posisi
dudukku, lalu tersenyum kepada perempuan itu sambil bertanya, ”Emang sudah jam berapa mb? Sudah mau tutup
aja?!”
“Iya
kak, sudah jam 02.35. Kita tutup sih jam 03.00 tapi mau beres-beres dan closing
bill”., jelasnya sambil menyodorkan sehelai kertas putih dalam
bill folder berwarna gelap ke arahku.
Sejurus kemudian aku
mengeluarkan beberapa lembar uang, meletakkannya diatas meja seraya berkata, “Kembaliannya ambil aja mb ...”
Setengah terhuyung aku
berdiri, berusaha mengatur posisi tegakku, memastikan tidak ada yang tertinggal
di meja dan sofa dudukku, dan berlalu.
“Terima
kasih ya kak, sisa wine nya ga dibawa aja kak?”,
sayup aku mendengar pertanyaan perempuan tadi yang kujawab dengan lambaian
tangan.
Sudah 2 malam berlalu sejak
janjimu melewati tengah malam itu bersamaku. Kehilanganmu, membuatku mati raga.
Aku kini membencimu, teramat sangat. Benci karena kau meninggalkanku di saat
aku baru akan kuat. “Semoga kau bahagia. Kembali ke fitrahmu. Jaga diri baik-baik disana, ya
... doa ini akan selalu ada sebagai kado ulang tahunmu”, nuraniku berkata. Hening, tidak ada jawabmu.
La
Tahzan, Innallaha Ma’ana ....., aku berbisik lalu tersenyum, menguatkan
hati, menyamarkan bayanganmu bersama suara adzan shubuh yang mulai
berkumandang.
***Lucky --- Jason Mraz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar