Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu
tak mudah. Kebutuhan hidup sama dengan profesi lainnya, tapi kekayaan tidak
boleh sama. “Kalau mau kaya jangan jadi PNS!”, ujar seorang Menteri di Republik
ini dahulu kala. Aku mungkin masih terlalu muda saat memutuskan untuk
bersekolah di sekolah kedinasan yang menjadikanku berstatus PNS . Terlalu
muda juga untuk memahami bahwa hidup ini butuh banyak biaya sedangkan PNS tak
boleh kaya.
Aku bukan berasal dari keluarga berada,
meski ayahku seorang pedagang besar dulunya. Saat aku lahir sebagai bungsu dari
dua belas bersaudara, ayahku mulai kehilangan masa kejayaannya. Tapi beliau yakin dan
percaya bahwa banyak anak banyak rejeki, patah tumbuh hilang berganti.
Kewajiban membiayai hidup pun beralih ke anak-anaknya.
Tak banyak yang kuingat di masa kecil.
Biasa saja, cukup makan cukup pakaian. Ketika mulai sekolah, hanya satu pesan
ayah: dapat negeri atau tidak sekolah sama sekali. Aku merasa tidak ada masalah,
tidak merasa kekurangan walau sering menahan keinginan. Uang sekolah lancar,
buku pelajaran lengkap tersedia, juara kelas dapat hadiah. Tak pernah ada
beban, meski lambat laun aku sadar bahwa aku menanggung harapan yang besar. Aku
adalah si bungsu yang disayang, dimanja dan diharapkan jadi permata keluarga. Ketika
SMA nilaiku turun, jangankan jadi juara, masuk lima besarpun tak pernah.
Kakakku marah karena aku memilih ilmu sosial daripada eksakta. Meskipun
akhirnya aku bisa juara, tapi kekecewaan itu tetap terasa.
Kuputuskan meninggalkan tanah tumpah
darah, menuju ibukota. Cukup setahun pertama, lalu aku akan terbiasa. Tapi aku
tetap si bungsu, tak akan lepas dari keluarga, mereka tetap menjaga walaupun
harapan telah berubah.
“Pergilah, baik-baik di tempat kerja,
jangan sampai tak makan karena uang tak bersisa, berhutang dulu tak apa, tapi
jangan mencuri karena nanti
kau jadi terbiasa”.
Itulah pesan orang tua dan sanak saudara ketika aku pamit ke penempatan
pertama, Kantor Perwakilan di pelosok nusantara. Setahun tidak
terasa. Makan minum tidak masalah, tapi ada hati yang mulai mendua. Tak mungkin
menikah tanpa biaya, apalagi masih ada cita-cita. Akal sehat mulai terjaga,
amplop dari
mitra pun mulai diterima.
Kembali ke ibukota, mengejar
cita-cita. Hidup mulai berubah, PNS semakin jaya walau tetap tak boleh kaya.
Ibu tiada, hanya isak tersisa karena tidak sempat membuatnya bahagia. Hanya
ayah yang ada, namun beliau tetap tidak minta aku untuk jadi kaya. “Carilah
istri orang Jawa”, hanya itu pintanya. Akupun menikah dengan kondisi apa
adanya. Mertua bisa terima. Tak perlu kaya, jujur saja, semua rejeki dari
Allah.
Jadi PNS itu susah, saat ingin
berbeda, berbagai godaan datang menerpa. Honor, jalan dinas, fasilitas dan berbagai
harta benda sangat menggoda. “Jangan mencuri, nanti kau jadi terbiasa”,
terngiang lagi nasehat lama. “Kamu kan menerima, tidak meminta, sekali dua kali
boleh saja”, setan jahat mulai menyapa. Nasehat orang tua benar adanya, aku pun
mulai terbiasa. Tetap tidak meminta, tapi tak menolak untuk menerima dan mulai
berharap adanya.
PNS tidak boleh kaya tapi hidup kan
butuh banyak biaya. Saat rakus mulai meraja, mata hati mulai terjaga. Tetap
menerima tapi tidak mengharap adanya. Apa setan lalu berdiam saja?. “Bukan
curian itu yang kamu terima!”, demikian bisiknya. “Anakmu mulai sekolah,
istrimu perlu belanja, sedang gajimu tidak seberapa!”, demikianlah lanjutnya.
Nafsu mulai bicara. Sedikit saja takkan dipenjara. Dilema.
PNS ternyata ada yang kaya, meski
lebih banyak yang tidak kaya. Apa yang kaya selalu menerima dan meminta? Apakah
yang tidak kaya, tidak pernah menerima, tidak pernah meminta? Aku kembali
terjebak dalam dilema. Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa harusnya
menjadi mantera. Alhamdulillah doa diijabah, kerja berpindah, tak mungkin
meminta dan jarang sekali menerima meskipun sah. Mudah-mudahan jadi terbiasa.
Jadi PNS memang susah, tapi semua
hanya masalah terbiasa atau tak terbiasa. Kaya
bukan yang utama, tapi hidup jujur lebih berkah. Saat hidup banyak asa,
berserah diri kepada Allah sambil membaca mantera: “Jangan mencuri nanti kau jadi terbiasa!”.
Jakarta, 14012020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar