Perlahan aku menarik kursi
meja riasku, kemudian duduk menatap cermin. “Make-up minimalis aja ya, Neng ... ,” salah satu temanku berkata.
Aku mengangguk, menyapu pandang ke peralatan dandan yang berserak di muka cermin,
lalu mulai memoles wajahku dengan bedak padat berwarna ivory, mewarnai kelopak mataku dengan eye-shadow berwarna merah muda, memoles blush-on dengan warna senada, dan membubuhkan lipstik berwarna
merah menyala. Setelah itu, aku meraih spidol besar yang biasa aku gunakan
untuk menuliskan sesuatu di dinding kamarku sebagai pengganti pinsil alis,
menebalkan rambut halus diatas mataku,
kanan dan kiri. Kata teman-temanku, alisku terlihat lebih tebal dan
menarik. “Taraaaa ... selesai, sudah oke kan?”, tanyaku pada teman-temanku
tanpa melepas pandang dari cermin yang memantulkan wajah cantikku. “Perfecto ...,” teman-temanku menjawab.
“Rambutnya dikuncir aja, Neng ,,, biar keliatan lebih fresh”, salah satu temanku berkata. Dengan cekatan aku mulai
menguncir rambutku, satu .. dua ... tiga ... delapan kuncir selesai dengan
karet warna warni kesukaanku.
Aku berdiri, kembali melihat
pantulan wajahku pada cermin, memastikan bahwa riasanku sudah sempurna, lalu
bergegas meninggalkan kamarku. Ketika menuruni anak tangga, seperti biasa, aku
melihat ibu yang sudah berdiri di ambang pintu.
“Neng jalan ya bu,” ... aku mengambil
2 plastik besar berisi berbagai makanan yang sejak tadi ibu pegang. Ibu
mengangguk seraya berkata, “Sampaikan salam ibu untuk pak Usatdz, “Gute Reise ... kalau sudah selesai
langsung pulang. Jangan ladeni orang-orang yang mengusik kamu”. “Gute, mom ...,” aku mengangguk, mengucap
salam dan beranjak pergi.
Bismillahi
tawakkaltu ‘ala allahi laa hawla walaa quwwata illaa billaah ...
Perlahan ku dorong pagar
tinggi besar rumahku. Sesaat sebelum kulihat beberapa ibu kompleks yang setiap
sore berkumpul di depan rumah bu David, tetanggaku. Sudah kuduga, begitu mereka
melihatku, gelak mereka langsung pecah, ramai memekakkan telinga. “Wah si Eneng
sore ini mukanya kalerpul,” ujar ibu
berdaster biru dengan logat Sundanya
yang kental. “Kaya’ lenong ...”, timpal si ibu berkerudung coklat. “Dasar orang
gila,” ibu berbaju hijau mencibir ke arahku. Lalu mereka kembali tergelak.
“Orang-orang aneh, cuekkin
aja Neng ... ayo kita kemon,” teman-temanku berbisik. Aku tertawa, lalu
mengaitkan slot pagar yang sudah tertutup rapat. Baru beberapa langkah
berjalan, samar terdengar lagi suara dari salah seorang ibu-ibu itu berkata, “Dulu
almarhum bapaknya pesugihan kali, makanya anaknya kena tumbal”. Aku tak peduli.
Suara merekapun akhirnya hilang seiring langkahku yang semakin cepat. Aku harus
tiba di panti segera, anak-anak pasti sudah menanti kedatanganku.
Sepanjang jalan aku bersenda
gurau dengan teman-temanku. Mereka penghibur terbaikku, penghilang lelah
langkahku. Aku melewati kampung belakang dan hanya tertawa menanggapi berbagai
celotehan dan pandangan dari orang-orang yang berpapasan denganku. Suara
teman-temanku riuh rendah mengisi pendengaranku. Beberapa saat kemudian,
panti sudah terlihat. Dari kejauhan aku melihat anak-anak sudah berkumpul ramai
di teras, lalu bersorak meyambut kedatanganku. “Tante Neng datang, tante Neng
datang ....”, teriak mereka riang.
“Assalammu’alaikum
...”, salamku sambil meletakkan plastik yang kubawa, lalu
membiarkan anak-anak itu berebutan mengambil isinya; ada susu kotak kecil,
wafer, coklat, roti dan berbagai makanan lainnya. Aku menatap senang ke arah
mereka, melupakan sejenak teman-temanku.
Tiba-tiba aku mendengar
suara pak Ustadz memanggil,”Neng, sini ... bapak kenalkan dengan tamu bapak.”
Aku mendekat, memberi salam pada sepasang bapak ibu tamu pak Ustadz. Mereka
belum pernah aku lihat sebelumnya. Setelah itu, aku duduk di kursi berjarak
sekitar 1,5 M dari mereka. Aku masih ingin menikmati keceriaan anak-anak yang
belum selesai mengunyah sambil bercanda. Sesaat kemudian, jelas aku dengar pak
Ustadz berbicara pada tamunya, “ Almarhum ayahnya si Eneng dulu donatur tetap
panti asuhan ini. Beliau seorang pengusaha sukses, kaya raya, namun sangat
rendah hati. Dua tahun yang lalu pak Asep mengalami kecelakaan dan meninggal di
tempat. Kepergiannya yang mendadak menjadi pukulan berat bagi si Eneng. Eneng
ini anak tunggal dan sangat dekat dengan ayahnya. Awal-awal ditinggal almarhum,
si Eneng yang ceria mendadak mengurung diri dan tidak mau bertemu dengan orang.
Kata psikiater yang mengobati, dalam kesedihannya si Eneng mulai sering
berhalusinasi, dia mengidap schizophrenia.
Seperti mendengar suara-suara yang selalu menemani dan mengajaknya bicara. Sewaktu
masih ditangani psikiater, kondisinya seperti orang normal saja karena rutin
diberi obat penenang. Namun, sejak ibunya sakit-sakitan, si Eneng mulai menolak
terapi. Bosan minum obat alasannya begitu. Kasian, tapi jiwa dermawannya sama
seperti ayahnya. Setiap sore, hujan sekalipun, dia selalu datang membawa
berbagai makanan untuk anak-anak panti. Berjalan kaki sejauh hampir 3 kilo dari
rumahnya kesini.”
Tiba-tiba terlintas
kerinduanku pada ayah. Aku baru akan menangis ketika kudengar salah seorang
temanku mengingatkan, “Ayo pulang Neng, ibu pasti sudah menunggu ...”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar