Lelaki
ini duduk gelisah di sudut gelap ruangannya. Hari masih dini. Mesin presensi
belum berfungsi. Tak terhitung kali lelaki ini menatap gawainya. Membaca lagi
pesan singkat petang kemarin “besok kita
jumpa ya, pengen ngobrol”. Pesan singkat yang membuat lelaki ini mengutuk
bulan menjadi mentari. Menggebah ayam untuk segera bernyanyi. Dikuatkan jarinya
memulai sapa. “hai, aku sudah di sini”.
Centang satu. Lama. Sementara, lift mulai bekerja. Mengangkut pekerja yang
datang dengan penuh asa. Derap langkah diiringi suara tawa dan canda mulai menggema.
Hari sudah memulai hitungannya. Masih centang satu. Lelaki ini hanya bisa
menghela; Mungkin benar, cinta itu tak
lagi berharga.[1].
Perempuan
itu bukanlah makhluk bumi paling indah. Tapi lelaki ini tergila-gila padanya. Baginya
perempuan itu sangat istimewa. Namun jangan ditanya mengapanya. Baik? banyak yang
lebih baik; Cantik? ah, semua perempuan juga cantik kalau kamu sedang jatuh
cinta. Lalu apa?. Lelaki ini dan Perempuan itu tidak pernah tahu. Awal mula,
tahun berapa, bagaimana dan setumpuk kata tanya takkan berjawab. Lelaki ini dan
perempuan itu tidak pernah berkomitmen cinta. Tidak pernah. Lelaki ini ada
ketika perempuan itu meminta. Perempuan itu pun bersedia tatkala lelaki ini
lelah. Tak mungkin menyalahkan waktu, tak
mungkin menyalahkan keadaan[2]
Masih
centang satu. Lelaki ini sedih tapi tak peduli. Tak mengapa, ini tak
hanya sekali dua. Lambat sang waktu berganti, endapkan laraku disini, coba tuk lupakan
bayangan dirimu yang selalu saja memaksa tuk merindumu[3]
Bertahun bersama membuat lelaki ini terbiasa. Bagai 4 musim yang silih
berganti; terkadang panas membara bagai mentari namun bisa membeku layaknya
salju, sejuk semilir angin berhembus namun tak jarang berguguran bagai
daun layu.
Sudah kukatakan, aku
ini tak sendiri[4] Perempuan itu berkata. Lelaki ini
hanya tertawa. Ini bukan cinta kan? Perempuan itu ganti terbahak. Mungkin ini memang jalan takdirku, mengagumi
tanpa dicintai[5]
batin lelaki ini. Sabarlah. Musim dingin akan berlalu, selalu begitu. Dia bilang “kau harus bisa seperti aku, yang
sudah biarlah sudah[6]
Lelaki ini kecut.
Centang
dua. Lelaki ini tak sadar meloncat gembira. Tak hirau tatap aneh rekan sekerja.
Tik tok tik tok tik tok. Hanya centang dua. Tidak berbalas sapa. Lelaki ini
mulai patah hatinya. Aku hanyalah manusia
biasa. Bisa merasakan sakit dan bahagia[7]
siang beranjak senja. Aku menyayangimu,
tapi lagi-lagi kau sakitiku[8].
Apa ini akhir kisah?
Lelaki
ini mengulang hari, berharap balas sapa walau telah lewat masa. Kuawali hariku dengan mendoakanmu, agar kau
selalu sehat dan bahagia disana. Sebelum kau melupakanku lebih jauh, sebelum kau
meninggalkanku lebih jauh[9]. Mengetik. Lelaki ini tersentak. “kamu
jadi pergi? Ini aku bawakan coklat dan kopi”. Lelaki ini tersenyum. Dipungutnya
serpihan hati yang terserak. Disatukannya lagi. Tak sempurna, tapi tetap bentuk
hati.
Jakarta, 20122019