Kelam shubuh perlahan berganti
terang, pertanda pagi kan menjelang. Jauh di ufuk timur, mentari tampak mendaki
cakrawala, menebar kehangatan. Cahaya kuning keemasan perlahan menembus jendela
kaca. Kerlap-kerlip terhalang dedaunan Mangga. Dari kejauhan, sayup-sayup
terdengar deru motor dan mobil silih berganti. Sesekali diselingi suara penjual
gorengan, berlalu lalang, menjajakan pisang memutari komplek Pandega
Marta.
Bagi sebagian orang, melanjutkan
tidur di pagi akhir pekan adalah kenikmatan yang tiada duanya. Apalagi kalau
hujan, bersembunyi di balik selimut tebal sungguhlah nikmat Tuhan paling
hakiki. Namun tidak bagi Izzam, Fattah, dan Ardi. Dua tahun mereka ditempa. Tak
hanya diajari aqidah, fiqih, dan tafsir, melainkan juga shiroh. Saban hari ditausiahi bagaimana Nabi dan para sahabat
memulai pagi, keutamaan berlama-lama di masjid sembari menunggu waktu syuruq, dan sebagainya. Tak heran ketika
mata begitu berat, selalu saja terngiang di benak mereka QS. Al Jumu’ah ayat 10
yang sering digaungkan asatidz (jamak
dari kata ustadz) saat mendapati beberapa santri tidur waktu kajian. Faidzaa
qudiyatis sholaatu fantasyiru fil ard. Tatkala telah kau tunaikan sholat,
maka bertebaranlah di muka bumi untuk mencari karunia Allah.
Izzam melirik pergelangan tangannya.
Jam sudah menunjukan pukul 06.10, 2 jam menjelang kepulangan. Awalnya pemuda
tanggung itu berencana pulang bersama teman-temannya Minggu malam, dan tiba di
Jakarta Senin pagi. Namun karena satu dan dua hal, Izzam terpaksa pulang lebih
awal. Hatinya tak karuan. Mei selalu saja memenuhi isi kepalanya. Sehingga
berlibur pun sepertinya sia-sia. Meski 2 malam, kerinduan yang sekian lama
bersemayan dalam relung hatinya pada kota penuh kenangan itu setidaknya
tersampaikan.
“Ga sarapan dulu, Zam?” ujar Fatah.
“kuy, aku kangen makan di
Palanta”, celetuk Izzam sembari memasukkan potongan terakhir celananya ke dalam
tas.
“rumah makan Padang itu? Emang udah buka?”, sahut Ardi dari kamar
sebelah.
---
“Gimana kerja di Ibu Kota, Zam?”, tanya Ardi mencomot sembarang
topik.
“Berat, orangnya pada gak ramah. Belum juga lampu ijo, udah pada tin tin”, jawab Izzam sembari menyantap potongan lontong sayur yang
Ia pesan.
“Yaudah tinggal resign toh”, usul Fattah.
“gila aja, ente kira gampang masuk kemenkeu?”, sanggah Ardi.
Fattah terkekeh.
Usai membayar sarapan, mereka
beringsut keluar menuju parkiran. Langit tampak redup. Cahaya mentari perlahan
ditutupi awan. Berganti wajah, menyisakan langit kelabu. Sesekali Izzam
mendongak langit. Beberapa tetes hujan jatuh membasahi lensa kacamatanya.
Padahal satu jam yang lalu, cerah langit begitu menjanjikan.
“Mau hujan nih, aku naik gocar aja
ya ke Lempuyangan?”
“Lah ga mau dianterin?”, tanya Fattah.
“Tau nih sok-sok an, biasanya dulu
juga nyusahin pas mondok”, ejek Ardi.
“Yaudah, tapi gue gak tanggung jawab ya kalo
lo pada kehujanan”, ujar Izzam dengan
gaya bicara anak kota.
“anjaay!”, sahut Fattah dan Ardi bersamaan.
Lempuyangan mulai tenggelam dalam
rutinitas. Kereta silih berganti berhenti. Seberapa banyak yang turun, sebanyak
itu pula yang naik. Dari kejauhan terlihat tukang parkir melambaikan tangan, ngode
kalau masih ada slot kosong. Satu dua mobil terlihat hanya menurunkan
penumpang, lantas tancap gas meninggalkan pintu masuk stasiun. Di kios-kios
seberang stasiun, beberapa anak terlihat antusias menatap langit. Sembari
memegang payung, berharap hujan segera turun.
Izzam melirik angka di jam digital
Fattah, sudah hampir pukul 8 pagi. Tak lama lagi kereta Mataram Premium yang
akan Ia tumpangi menuju Senen segera masuk. Setelah berbasa-basi, Izzam
melangkah, mengambil antrian mencetak tiket. Tadinya Fattah dan Ardi bersikukuh
menemani hingga Izzam naik kereta. Namun karena langit semakin padam, Izzam
memaksa mereka untuk kembali. Meski Ardi berdalih Ia punya 2 jas hujan yang
bisa dipake mereka pulang.
Pemuda berdarah Minang itu
langsung masuk ke ruang tunggu keberangkatan begitu selesai mencetak tiket.
Setelah menunjukkan KTP, penjaga loket check-in mempersilahkannya masuk.
Rintik hujan terdengar semakin keras dari langit-langit platform stasiun. Anak-anak yang sedari tadi memegang payung,
mencak-mencak tertawa, menendang air. Satu dua anak terlihat mengiringi Ibu-Ibu
umur 40an menuju pintu masuk, sesaat kemudian mendapat beberapa lembar uang
2000an. Sepertinya Fattah dan Ardi kehujanan, batin Izzam. Ia meluruskan kaki,
menaikan resleting jaket, menghalau dingin musim hujan bulan Maret, menunggu
jemputan.
Tepat pukul 8.10, kereta yang akan
ditumpangi Izzam merapat. Semenjak launching pertengahan tahun 2017
lalu, begitu sulit mendapatkan tiket KA Mataram Premium, apalagi weekend.
Wajar saja, meski tergolong kelas ekonomi, kereta ini layaknya eksekutif. Meski
rapat, setiap penumpang mendapatkan kursinya masing-masing. Sandaran kursi pun
bisa diatur sesuai selera. Izzam pun beranjak, bersama penumpang lainnya,
menuju gerbong masing-masing. Gerbong 9, nomor kursi 1B. Begitu tercetak di
tiket yang digenggam Izzam. Dekat toilet memang, tapi tidak ada pilihan lain.
Kursi satu-satunya yang tersisa untuk keberangkatan pagi ini.
Kereta melaju pelan. Perlahan
menambah kecepatan. Roda besi kereta terdengar merangkai irama setiap kali
melewati bantalan rel. Izzam mengeluarkan gawai dari saku dalam jaketnya.
Membuka kontak, lantas menelpon seseorang. Seseorang yang begitu Ia sayangi.
Seseorang yang bahkan tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di Bogor beberapa
waktu lalu.
“Assalamualaikum”, salam Izzam.
“Waalaikumussalam, Abang. Jadi
pulang hari ini?”, tanya wanita paruh baya di seberang telepon.
“Jadi Bunda, insyaAllah Maghrib nyampe
Jakarta”
“Yaudah, fii amanillah ya, Ayah Bunda selalu mendoakan”
Izzam menutup panggilan. Jendela
kereta terlihat semakin kabur, terhalang ratusan rintik hujan yang menerpa
kaca. Dinginnya AC membuat kaca bagian dalam menjadi berembun. Izzam sekali
lagi melihat gawai pintarnya. Mencari menu musik, memilih playlist. Mengotak atik, lantas memilih tilawah QS. Ar Rahman
Ustadz Hanan Attaki. Ia yakin, ketika ruhiyah terasa gersang, maka lantunan
ayat suci bagaikan oase di tengah padang pasir. Tak butuh waktu lama, pemuda
kelahiran Maret 23 tahun silam itu pun terlelap. Berharap mimpi bertemu Tuhan,
melepas gundah yang selama ini membebani hatinya.
Izzam tersentak. Di sebelahnya
berdiri 2 orang berpakaian resmi dan bertopi. Masih sedikit linglung. Sejenak kemudian
kesadarannya kembali, ternyata pemeriksaan tiket. Dan yang berada di sampingnya
adalah Masinis dan pihak keamanan kereta. Setelah memeriksa tiket, dengan
senyum ramah Masinis mengembalikan tiket Izzam, kemudian berlalu. Izzam
mengantongi kembali tiket yang sudah dilobangi tersebut. Melirik Alexandre
Christie di pergelangan kirinya. Pukul 12.40. Sudah waktunya Dzuhur.
Usai melaksanakan jamak-qoshor
dzuhur dan ashar, Izzam beranjak ke bagian restoran kereta. Memesan nasi goreng
dan air mineral. Biasanya ada pegawai kereta yang menawarkan makanan, minuman,
bahkan bantal dan selimut kepada para penumpang. Tapi tak mengapa. Sedikit
berjalan di gerbong kereta sepertinya tak begitu buruk, toh dari tadi kerjaannya cuma tidur, gumam Izzam. Selepas membayar pesanan,
Izzam kembali ke kursi. Meski tak begitu lapar, tapi metabolisme tubuhnya
menghendaki pemuda tersebut untuk makan. Apalagi nasi goreng di tangannya
kelihatan begitu enak. Begitu tutup kotak dibuka, kepulan asap menjalar keluar,
menggoda setiap hidung yang mencium sedapnya.
Tiba-tiba saja smartphone Izzam bergetar. Ragu-ragu Ia
mengeluarkan hp dari saku jaketnya. Dua hingga tiga pesan masuk dalam waktu
bersamaan, memenuhi layar depan telepon pintar Izzam. Mei. Pemuda tersebut
terdiam. Tangan kanannya masih memegang sendok plastik. Itu adalah suapan
terakhirnya. Naas, lahap makannya seketika kandas.
Assalamualaikum,
Zam
Mei
mau nelpon
Lagi
senggang kah?
“Waalaikumussalam, bisa, 5 menit
lagi ya”, tulis Izzam singkat.
Segera Ia rapikan kotak makan
siangnya, menempatkan di bawah kursi kereta, menenggak Le Minerale 600 ml. Sejenak kemudian, handphone Izzam kembali
bergetar. Panggilan masuk. Mei.
“Halo, Assalamualaikum”, sapa Mei
di seberang telepon.
“Waalaikumussalam”, jawab Izzam
ramah.
“Mei tidak mengganggu kan?”,
tanyanya berbasa-basi.
“Nggak, lagi di kereta juga, habis dari Jogja. Mei mau ngomong apa?”
“Masalah yang kemaren, waktu kita ketemu Bogor. Zam,
tau ga? Kenapa setiap kali Mei dan Ibu ke Jakarta, kita selalu bertemu?”
Izzam terdiam, membiarkan Mei
melanjutkan.
“Tiga kali kita bertemu, dan tidak
satupun yang kebetulan, Zam. Izzam tau siapa yang minta Mei dan Ibu ke Jakarta?
Tek Eni dan Tek Lis”
Pemuda tanggung itu beranjak meninggalkan kursi.
Beralih pada celah gerbong. Bersandar, menatap awan. Mentari di langit Purwokerto
mulai condong. Bayang kereta memanjang seiring tergelincirnya matahari ke arah Barat.
Hamparan sawah terlihat sejauh mata memandang. Satu dua petani asik menyiangi, sebagian yang lain melepas penat di pondok tengah sawah. Izzam
menarik napas panjang. Hatinya meringis, tak terima.
Ya Tuhan, benarkah? Kenapa?
------------------
Bersambung, InsyaAllah.