Pukul 17.00
“Tin, gue tunggu di kafe Mawar ya.”
“Iya Mas, segera meluncur,” Tina mengambil tasnya. Ia bercermin ke ponselnya sambil menambahkan gincu di bibirnya.
“Yup, aku udah cantik. Wait for me, Mas Agung sayang…..,” Tina beranjak dari tempat duduknya.
“Tina…..,”
“Ya, Pak?” Tina berbalik mendengar Adnan memanggil namanya.
“Kamu jangan pulang dulu ya. Bantu saya selesaikan laporan penjualan. Walau ini sudah agak terlambat, nggak apa-apa yang penting laporan selesai. Bahannya sudah saya email ya. Pak Charles udah marah-marah. Please.”
Kedua tangan Adnan dikatupkan di dada pertanda ia sangat membutuhkan bantuan. Tina merasa serba salah. Sudah sering ia membatalkan janji dengan Agung, kekasihnya karena banyaknya tugas yang diberikan Adnan kepadanya. Sebagian besarnya adalah menyelesaikan pekerjaan yang ditinggalkan Ponco, teman kerjanya.
“Memangnya Ponco ke mana, Pak?” antara kesal dan bingung Tina bertanya kepada Adnan.
“Dia nggak masuk hari ini karena mengantar istrinya ke kampung.”
“Hmmmm…..,”Tina menarik nafas panjang.
“Oya, saya sudah pesan makanan lewat ojol ya. Kopi kesukaanmu juga sekalian. Jadi kamu bisa konsentrasi ngerjain laporannya.”
“Aku nggak minta,” Tina bergumam pelan.
Dengan lunglai Tina duduk kembali. Tina menyalakan kembali komputernya. Tangannya gemetar menulis pesan kepada Agung. Ia tak berani menelpon langsung kepada Agung.
Mas, maaf ya aku nggak jadi ke kafe. Ada kerjaan mendadak yang harus selesai hari ini.
Tina membuka email dengan terpaksa. Jari-jarinya menari diatas keyboard dengan lincah. Sesekali matanya melirik ponselnya menunggu balasan pesan dari Agung. Sampai sejam tak ada balasan dari Agung. Tina tahu kalau Agung marah padanya. Akhirnya Tina pasrah dan tenggelam dengan laporannya.
Malam Hari, Pukul 23.00
“Perfect, Tin. Kamu memang luar biasa. Cepat dan teliti. Nggak ada kesalahan sekecil apapun. Terima kasih ya, kamu menyelematkan tim kerja kita.”
“Sama-sama, Pak,” jawab Tina tak bersemangat.
“Saya boleh pulang, Pak?”
“Iya. Sekali lagi terima kasih ya, Tin. Hati-hati di jalan. Ini udah larut.”
“Yaelah, anak TK juga tahu kalau jam sebelas itu udah larut. Mana besok tetep harus ngabsen pagi pula,” ujar Tina dalam hati dengan perasaan kesal.
“Permisi Pak,” Tina keluar dari ruangan Adnan dan berjalan menuju lift. Suasana sudah gelap dan sepi. Tak ada seorangpun yang berada di ruangan itu selain dirinya dan Adnan.
*****
“Tin….,”
Tina yang sedang bergegas dalam gelap malam, badannya. Ia kaget mendapati Agung berlari menyusulnya.
“Dari tadi kupanggil, nggak noleh. Serius amat sih, neng,” ujar Agung.
“Mas ngapain di sini malam-malam?” tanya Tina.
“Emangnya nggak boleh jemput pacar?” Agung balas bertanya.
“Bukan begitu, kupikir Mas marah karena dari sore nggak jawab pesanku.”
“Gue emang marah. Ngeselin tau, udah janji berulang-ulang selalu nggak ditepati,” Agung pura-pura marah sambil berjalan disamping Tina.
“Maaf, Mas. Ponco nggak masuk hari ini padahal laporan belum selesai……,”
“Nah kan lagi-lagi kamu ngerjain kerjaan orang. Kamu susah sendiri. Makanya jangan terlalu rajin jadi orang, akhirnya kan kamu selalu kebagian cuci piring,” Adnan memotong perkataan Tina.
“Bukan gitu, Mas. Kan kalo laporan penjualan nggak selesai nama baik timku tercemar. Tetep aja yang kena semprot Pak Charles semuanya bukan cuma si Ponco,” jawab Tina.
“Bilangin sama bosmu, harus tegas apalagi ngadepin pegawak yang kayak Ponco. Jangan juga karena kamu nggak pernah nolak kerjaan jadinya kamu yang dikerjain terus. Emang yang punya urusan si Ponco doang?” ujar Agung.
“Iya, iya lain kali aku bilangin ke Pak Adnan. Bawel banget sih, Mas,” balas Tina sambil tertawa.
Di malam yang gelap itu mereka berjalan meninggalkan kawasan kantor. Tak berapa lama mereka menaiki taksi yang akan mengantarkan pulang.
*****
Beberapa Hari Kemudian, Pukul 7.30
“Tin, lu dapet transferan berapa?”
Ponco mencegat Tina di pintu ruangan kerjanya. Saat itu Tina baru saja datang.
“Apaan sih? Belum duduk udah nanya yang aneh-aneh aja.”
Tina mendorong Ponco yang menghalangi jalannya. Ia meletakkan tas di kursinya, kemudian pergi ke luar ruangan.
“Mau ke mana, Tin?” tanya Ponco.
“Toilet, mau ikut?” Tina berlalu dari hadapan Ponco.
“Jangan lama-lama ya,” ujar Ponco sambil nyengir.
*****
“Jadi berapa, Tin?”
Tina menghela nafas. Ia membuka buku agendanya, mengecek apa yang harus dikerjakannya hari ini.
“Tin!”
“Ni orang ya, pagi-pagi udah ganggu orang. Bukannya kerja,” ujar Tina kesal.
“Nih jumlah transferan gue,” Ponco memperlihatkan pesan singkat di ponsel yang diterimanya dari bank. Jumlah yang tertera di pesan itu membuat mata Tina terbelalak. Seketika, ia mengecek ponselnya. Tina berusaha menahan diri sejenak.
“Wow, ternyata masih gedean gue. Tenang Tin, nanti gue beliin kopi susu dari kafe langganan lu,” ujar Ponco dengan gembira.
Tina menunduk. Betapa dunia tak adil baginya. Hanya karena Ponco lebih senior dia mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, padahal jumlah yang tertera di ponselnya Ponco adalah hasil kerja kerasnya.
Hatinya tambah kesal mendengar Ponco terus nyerocos di telpon menanyakan jumlah bonus kepada pegawai dari unit lain. Air mata menetes di pipinya.
“Astaghfirullah al adzim. Kenapa harus kecewa? Semua ada takarannya. Tenang Tin, ikhlasin aja. Rejeki nggak selalu datang dalam bentuk sms banking,” Tina mencoba menenangkan hati. Akhirnya ia memutuskan untuk bekerja kembali dan berusaha melupakan percakapannya dengan Ponco.
*****
Pukul 16.30
“Tin, gue email kerjaan. Nitip ya. Tolong selesaikan. Deadline besok. Sedikit lagi kok. Besok gue mau survey lapangan di luar kota hehehe. Pulangnya gue beliin kopi ya. Bye!,”
“Eh aku punya kerjaan lain….,” belum selesi Tina bicara, Ponco sudah pergi meninggalkannya.
“Ya Allah, cobaan kok nggak berhenti datang.”
Tina membuka email yang dikirim Ponco. Rasa kesal semakin memuncak karena ternyata apa yang dikerjakan Ponco baru sedikit bukan tinggal sedikit lagi.
“Tin, jangan lupa ya kerjaan si Ponco besok pagi sudah harus dikirim ke Pak Charles. Kopi otewe.”
Mendengar suara Adnan dari balik cubicle, Tina menangis sejadi-jadinya.
*Tokoh dan peristiwa hanyalah fiktif.
“Tin, gue tunggu di kafe Mawar ya.”
“Iya Mas, segera meluncur,” Tina mengambil tasnya. Ia bercermin ke ponselnya sambil menambahkan gincu di bibirnya.
“Yup, aku udah cantik. Wait for me, Mas Agung sayang…..,” Tina beranjak dari tempat duduknya.
“Tina…..,”
“Ya, Pak?” Tina berbalik mendengar Adnan memanggil namanya.
“Kamu jangan pulang dulu ya. Bantu saya selesaikan laporan penjualan. Walau ini sudah agak terlambat, nggak apa-apa yang penting laporan selesai. Bahannya sudah saya email ya. Pak Charles udah marah-marah. Please.”
Kedua tangan Adnan dikatupkan di dada pertanda ia sangat membutuhkan bantuan. Tina merasa serba salah. Sudah sering ia membatalkan janji dengan Agung, kekasihnya karena banyaknya tugas yang diberikan Adnan kepadanya. Sebagian besarnya adalah menyelesaikan pekerjaan yang ditinggalkan Ponco, teman kerjanya.
“Memangnya Ponco ke mana, Pak?” antara kesal dan bingung Tina bertanya kepada Adnan.
“Dia nggak masuk hari ini karena mengantar istrinya ke kampung.”
“Hmmmm…..,”Tina menarik nafas panjang.
“Oya, saya sudah pesan makanan lewat ojol ya. Kopi kesukaanmu juga sekalian. Jadi kamu bisa konsentrasi ngerjain laporannya.”
“Aku nggak minta,” Tina bergumam pelan.
Dengan lunglai Tina duduk kembali. Tina menyalakan kembali komputernya. Tangannya gemetar menulis pesan kepada Agung. Ia tak berani menelpon langsung kepada Agung.
Mas, maaf ya aku nggak jadi ke kafe. Ada kerjaan mendadak yang harus selesai hari ini.
Tina membuka email dengan terpaksa. Jari-jarinya menari diatas keyboard dengan lincah. Sesekali matanya melirik ponselnya menunggu balasan pesan dari Agung. Sampai sejam tak ada balasan dari Agung. Tina tahu kalau Agung marah padanya. Akhirnya Tina pasrah dan tenggelam dengan laporannya.
Malam Hari, Pukul 23.00
“Perfect, Tin. Kamu memang luar biasa. Cepat dan teliti. Nggak ada kesalahan sekecil apapun. Terima kasih ya, kamu menyelematkan tim kerja kita.”
“Sama-sama, Pak,” jawab Tina tak bersemangat.
“Saya boleh pulang, Pak?”
“Iya. Sekali lagi terima kasih ya, Tin. Hati-hati di jalan. Ini udah larut.”
“Yaelah, anak TK juga tahu kalau jam sebelas itu udah larut. Mana besok tetep harus ngabsen pagi pula,” ujar Tina dalam hati dengan perasaan kesal.
“Permisi Pak,” Tina keluar dari ruangan Adnan dan berjalan menuju lift. Suasana sudah gelap dan sepi. Tak ada seorangpun yang berada di ruangan itu selain dirinya dan Adnan.
*****
“Tin….,”
Tina yang sedang bergegas dalam gelap malam, badannya. Ia kaget mendapati Agung berlari menyusulnya.
“Dari tadi kupanggil, nggak noleh. Serius amat sih, neng,” ujar Agung.
“Mas ngapain di sini malam-malam?” tanya Tina.
“Emangnya nggak boleh jemput pacar?” Agung balas bertanya.
“Bukan begitu, kupikir Mas marah karena dari sore nggak jawab pesanku.”
“Gue emang marah. Ngeselin tau, udah janji berulang-ulang selalu nggak ditepati,” Agung pura-pura marah sambil berjalan disamping Tina.
“Maaf, Mas. Ponco nggak masuk hari ini padahal laporan belum selesai……,”
“Nah kan lagi-lagi kamu ngerjain kerjaan orang. Kamu susah sendiri. Makanya jangan terlalu rajin jadi orang, akhirnya kan kamu selalu kebagian cuci piring,” Adnan memotong perkataan Tina.
“Bukan gitu, Mas. Kan kalo laporan penjualan nggak selesai nama baik timku tercemar. Tetep aja yang kena semprot Pak Charles semuanya bukan cuma si Ponco,” jawab Tina.
“Bilangin sama bosmu, harus tegas apalagi ngadepin pegawak yang kayak Ponco. Jangan juga karena kamu nggak pernah nolak kerjaan jadinya kamu yang dikerjain terus. Emang yang punya urusan si Ponco doang?” ujar Agung.
“Iya, iya lain kali aku bilangin ke Pak Adnan. Bawel banget sih, Mas,” balas Tina sambil tertawa.
Di malam yang gelap itu mereka berjalan meninggalkan kawasan kantor. Tak berapa lama mereka menaiki taksi yang akan mengantarkan pulang.
*****
Beberapa Hari Kemudian, Pukul 7.30
“Tin, lu dapet transferan berapa?”
Ponco mencegat Tina di pintu ruangan kerjanya. Saat itu Tina baru saja datang.
“Apaan sih? Belum duduk udah nanya yang aneh-aneh aja.”
Tina mendorong Ponco yang menghalangi jalannya. Ia meletakkan tas di kursinya, kemudian pergi ke luar ruangan.
“Mau ke mana, Tin?” tanya Ponco.
“Toilet, mau ikut?” Tina berlalu dari hadapan Ponco.
“Jangan lama-lama ya,” ujar Ponco sambil nyengir.
*****
“Jadi berapa, Tin?”
Tina menghela nafas. Ia membuka buku agendanya, mengecek apa yang harus dikerjakannya hari ini.
“Tin!”
“Ni orang ya, pagi-pagi udah ganggu orang. Bukannya kerja,” ujar Tina kesal.
“Nih jumlah transferan gue,” Ponco memperlihatkan pesan singkat di ponsel yang diterimanya dari bank. Jumlah yang tertera di pesan itu membuat mata Tina terbelalak. Seketika, ia mengecek ponselnya. Tina berusaha menahan diri sejenak.
“Wow, ternyata masih gedean gue. Tenang Tin, nanti gue beliin kopi susu dari kafe langganan lu,” ujar Ponco dengan gembira.
Tina menunduk. Betapa dunia tak adil baginya. Hanya karena Ponco lebih senior dia mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, padahal jumlah yang tertera di ponselnya Ponco adalah hasil kerja kerasnya.
Hatinya tambah kesal mendengar Ponco terus nyerocos di telpon menanyakan jumlah bonus kepada pegawai dari unit lain. Air mata menetes di pipinya.
“Astaghfirullah al adzim. Kenapa harus kecewa? Semua ada takarannya. Tenang Tin, ikhlasin aja. Rejeki nggak selalu datang dalam bentuk sms banking,” Tina mencoba menenangkan hati. Akhirnya ia memutuskan untuk bekerja kembali dan berusaha melupakan percakapannya dengan Ponco.
*****
Pukul 16.30
“Tin, gue email kerjaan. Nitip ya. Tolong selesaikan. Deadline besok. Sedikit lagi kok. Besok gue mau survey lapangan di luar kota hehehe. Pulangnya gue beliin kopi ya. Bye!,”
“Eh aku punya kerjaan lain….,” belum selesi Tina bicara, Ponco sudah pergi meninggalkannya.
“Ya Allah, cobaan kok nggak berhenti datang.”
Tina membuka email yang dikirim Ponco. Rasa kesal semakin memuncak karena ternyata apa yang dikerjakan Ponco baru sedikit bukan tinggal sedikit lagi.
“Tin, jangan lupa ya kerjaan si Ponco besok pagi sudah harus dikirim ke Pak Charles. Kopi otewe.”
Mendengar suara Adnan dari balik cubicle, Tina menangis sejadi-jadinya.
*Tokoh dan peristiwa hanyalah fiktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar