Di lobi penjemputan, Izzam duduk termenung menatap kosong ratusan rintik yang menghujani bumi. Pikirannya kalut, hatinya gundah. Seharusnya Ia bahagia, karena sekali lagi diberi kesempatan “pulang” ke Jogja. Namun sayang, tampaknya kejadian di Bogor beberapa hari lalu begitu membebani dirinya. Telepon pintarnya bergetar, terlihat whatsapp dari seseorang, “Zam, lagi senggang kah? Mei mau nanyain yang kemaren”. Izzam terdiam, lantas menyingkirkan pesan masuk tersebut dari layar utama ponselnya.
Smartphone Izzam kembali bergetar, ternyata panggilan dari Fatah, teman se-asramanya dulu.
“dimana Zam? Aku di dekat gerbang, make jaket kuning”, jelas Fatah.
“oke aku kesana, kamu bawa jas hujan kan?”, balas Izzam.
“ada, cuma satu, ntar kamu aja yang make”, balasnya.
“lah terus kamu gimana?”
“udah, buru sini” tutupnya dari seberang telepon.
Fatah adalah teman dekat Izzam sewaktu tinggal di Ponpes khusus mahasiswa milik yayasan saudagar kaya di kawasan elit Condongcatur. Awal mula kedekatan mereka karena kesamaan hobi, yaitu senang ikut lomba, hanya untuk satu tujuan, mendapatkan tambahan uang jajan. Selain lomba, mereka berdua juga senang berburu beasiswa. Bahkan Izzam pernah mendapat 3 beasiswa sekaligus dalam setahun. Sementara Fatah tak kalah keren, meski mendapatkan 1 beasiswa, tapi meliputi biaya kuliah dan uang saku setiap bulan hingga lulus. Jadilah mereka saudara se-perhedonan di antara seluruh mahasiswa yang nyantri di Ponpes tersebut.
Hari itu, setelah lama tak bersua, status mereka tak lagi mahasiswa. Izzam baru saja lulus seleksi CPNS di salah satu kementerian terbaik. Sedangkan Fatah memutuskan melanjutkan kuliah profesi dokter hewan, sebagai prasyarat izin praktek.
Sudah hampir setahun Fatah meninggalkan asrama. Setelah mengikuti wisuda pondok pesantren Ia memilih mengontrak rumah bersama Ardi dan rekan kuliahnya di daerah Pandega Marta. Rumahnya cukup nyaman, terdiri dari 4 kamar tidur, 1 kamar mandi untuk bersama, dan ruang tamu. Meski space parkir motor agak sempit karena terhalang pohon jambu dan garasi mobil tetangga, setidaknya rumah tersebut jauh dari suara bising kendaraan yang melintas, dan yang paling penting, dekat dengan masjid tentunya.
Setelah berkenalan dengan semua penghuni rumah, berbasa basi, Izzam dipersilahkan meletakkan barang bawaan di kamar Fatah, lantas membersihkan diri. Duduk di kursi dengan sudut siku-siku di kereta Senja Utama Yogya selama 9 jam begitu meletihkan. Jadilah setelah menjamak dan mengqoshor sholat Maghrib dan Isya, Izzam terlelap begitu saja di kasur tipis milik Fatah.
Setengah 3 dini hari Izzam terbangun, hawa dingin musim hujan awal Maret perlahan mengusik lelap tidurnya. Ruangan tampak gelap. Di langit-langit ruang tamu terlihat pendaran cahaya monitor Ardi yang masih berkutat dengan skripsi. Sesekali terdengar rintihan keletihan pada diri pejuang tugas akhir tersebut, puh. Izzam merogoh saku jaketnya. Memeriksa gawai. Tiga panggilan tak terjawab dari Mei.
Bulu remang Izzam seketika berdiri, seakan-akan menolak bersentuhan dengan air di pagi-pagi buta. Tapi Ia tak peduli. Hatinya gulana. Ia butuh bercerita, menumpahkan segala gundah, pada Sang Maha Indah. Tak sekalipun Ia berharap kisahnya akan menjadi seperti ini. Mei itu siapa? Apakah pertemuan di Bogor itu suatu kebetulan, atau skenario yang disusun apik oleh bibi dan pamannya? Ah. Sial.
Izzam termenung beralaskan sajadah. Memori-memori itu kembali terputar sendirinya, seakan enggan memberi waktu isitirahat barang sejenak. Pertemuan pertama di Parung saat kematian Mak Hen, adik kandung bibinya. Tradisi 40-harian di rumah almarhum, Depok, adalah pertemuan keduanya. Terakhir, saat jalan-jalan ke Tawang Mangu Bogor. Setiap kali Ia terhenti pada bagian isi percakapan mereka di telepon, selalu saja air mata membasahi pipi. Tak terbendung. Satu persatu bulir air mata mengalir, membasahi jenggotnya yang tak seberapa, jatuh, membasahi alas sujudnya. Kenapa Ia tidak menyadari sedari awal “kebetulan” itu?
Subuh menjelang. Dari kejauhan adzan sayup-sayup berkumandang, bersahut-sahutan. Satu persatu penghuni kos keluar dari kamarnya, mengenakan sarung, berganti pakaian, dan menyambar peci. “Ah, mana ada suasana seperti ini di kosan saya”, gumam Izzam. Meski menusuk tulang, udara subuh selalu menyejukan. Mungkin benar kalimat orang bijak, taukah kau kenapa udara subuh itu begitu murni dan menenteramkan? Karena tidak bercampur dengan napas orang munafik. Lantas bagaimana dengan Izzam? Entahlah, yang jelas Ia hanya selalu mencoba, meski sering tergelincir juga.
Masih tersisa 7 menit sebelum muadzin iqomah, memberi kesempatan pada setiap jamaah untuk mendulang pahala yang nilainya lebih baik dari bumi dan seisinya. Setelah menemukan bagian shaf yang kosong, dua pemuda tanggung itu mengangkat tangan, berniat sunna fajar. Allahu akbar.
“Memangnya kerja di Ibu Kota begitu berat ya, Zam?”, bisik Fatah.
Izzam melirik Fatah sejenak. Ia tahu semalam Fatah juga terjaga.
“Tah, kamu lebih prefer dijodohin, atau nyari sendiri?”, tanya Izzam sembari berbisik.
“Ya ampun Zam, kamu dijodohin?”, sergah Fatah.
Tiit..tiit..tiit, jam digital berbunyi, pertanda sholat segera dimulai.
(bersambung, mungkin setelah latsar)
Suka!
BalasHapusplease jangan lama-lama jeda tulisan cerita sambungannya...... :D