Dalam satu sesi ghibah di kantin, tiba-tiba topik obrolan beralih tentang seorang pejabat yang terkenal alim dan aktif dalam komunitas keagamaan tapi juga terkenal "lincah" dalam mencari tambahan penghasilan. "Ada apa yaaaa...?" tanya gue menirukan Dian Sastro dalam film Aruna dan Lidahnya. Maksud gue, kok bisa sesuatu yang sangat berlawanan bisa berjalan seiring. Tidak terlihat tanda-tanda penurunan semangat beribadah, pun, tidak sedikitpun ada risih untuk tetap "lincah" dalam mencari peluang menambah tabungan. "Justru itu bro!" sergah temen gue. "Dengan ketaatan beliau beribadah, beliau tahu betul caranya untuk tobat, gak kayak lo". Sebuah pernyataan yang menyebabkan kami ngakak bareng.
Di tahun 80-90 an, Abang gue paling senang berkendara ke Jakarta saat liburan. Perjalanan dari Palembang ke Jakarta saat itu paling cepat dapat ditempuh dalam waktu 15-18 jam. Di Jakarta biasanya Abang gue itu berkeliling mengunjungi kerabat yang kebetulan tinggal di Jakarta atau bertandang ke rumah teman-teman kerjanya. Selain muter-muter Jakarta, biasanya juga kami ke Bandung atau Cirebon. Semua dilakukan dengan berkendara. Saat itu kami belum kenal teknologi GPS, handphone juga belum jamannya. Namun tanpa itu semua, Abang gue dengan pede-nya nyetir kesana-kemari hanya berbekal alamat ataupun rambu-rambu jalan. Abang gue seolah-seolah sangat hapal jalanan di Jakarta, Bandung ataupun Cirebon. Karena penasaran, gue sempet nanya gimana Abang gue bisa menghapal jalanan di Jakarta, yang menurut gue sangat banyak dan membingungkan. Sambil tertawa Abang gue menjawab "ya pokoknya ikutin jalan aja, kalo buntu atau salah jalan ya tinggal balik lagi". "Yang penting kita ingat jalan yang sudah kita lewati, jadi nggak bingung kalau mau pulang" lanjut Abang gue.
Sebuah pertanyaan yang paling sering gue terima ketika obrolan tentang kota kelahiran gue, Palembang, adalah "sering pulang ke Palembang?" atau "kapan terakhir pulang ke Palembang?". Sebuah pertanyaan yang lazim dan gue pun sering melontarkan pertanyaan yang sama ke lawan bicara gue. Sebuah pertanyaan yang mendefinisikan bahwa setiap orang yang merantau pasti akan pulang ke tempat dari mana dia berasal. Orang Palembang pasti pulang ke Palembang, orang Medan pasti pulang ke Medan, orang Kalimantan pasti pulang ke Kalimantan, dan seterusnya dan seterusnya. Dulu, pada saat awal gue akan merantau, Almarhum Bapak saya cuma berpesan "cari istri orang Jawa, kabari kalo udah nikah atau mau nikah, dan jangan lupa pulang".
Jangan lupa pulang. Sebuah pesan sederhana yang sarat akan makna. Setiap orang pasti punya tempat, orang, moment atau satu titik untuk pulang. Jangan lupa pulang. Sebuah pesan yang mengingatkan kita bahwa sejauh apapun kita pergi, kita tetap harus pulang. Entah secara harfiah ataupun bukan. Apakah kita sudah menuju ke arah yang benar, atau kita telah menyasar entah kemana, tetap jangan lupa pulang, jangan lupa jalan pulang. Perjalanan pulang tidak selamanya linier dengan perjalanan berangkat. Adakalanya lebih lama atau bahkan lebih cepat. Sebuah perjalanan yang tidak dapat kita pastikan waktunya, pun, tidak dapat kita pastikan apakah kita punya cukup waktu. Untuk pulang, kita hanya perlu kesadaran bahwa kita harus pulang. Kemanapun kita melangkah, apapun yang sudah kita kerjakan, ingatlah selalu untuk tetap pulang.
***
Jakarta, 01102018
Ngakak dengan satire ini,'Dengan ketaatan dia beribadah, beliau tahu betul caranya untuk tobat' :D. Sayangnya kenyamanan cenderung membuat orang enggan untuk pulang..
BalasHapushaha bener banget Mas, makasih komennya
BalasHapusAku ingin pulang - Ebiet G ade
BalasHapus