“siapa yang kamu
maksud sih, Meyr? Brent apa Amri?”
“Amri lah..”
“bohong. Dulu kau
juga tergila gila sama Brent kan.”
“Iya, tapi tidak
lagi sejak Amri datang. Haha, haduh bodohnya aku pernah menggilai Brent yang
kasar itu.”
“Apa kabar dia ya
Meyr?” Kim menelisik ke dalam matanya.
“Dasar kepo..”
Meyr menimpuk Kim dengan bantal. Kim mengomel karena bantal itu merusak masker
madunya.
Meyr mencari
seasalt yang dibelinya beberapa hari lalu. Sayangnya ia tidak mendapatkannya
dan malah menemukan sesuatu di laci.
“Kim...!
kemarilah..”
Yang dipanggil
cuek dan sibuk dengan body scrubnya. “Seminggu hanya boleh tiga kali Meyr.. dan
ini jadwalku..”
“Kim... ini milik
Brent..”
“Eh, Eine
Katastrophe?” Kim meledek Meyr yang memandang serius pada sesuatu di tangannya.
“Aku ingin
menjenguk Brent. Aku harus.”
Meyr bersegera mandi dan bersiap pergi. Ia lupa dengan sakit lambungnya.
Pemandangan di
kantor polisi tidaklah menyenangkan. Beberapa polisi memandang seakan akan Meyr
adalah pembawa barang yang menyamar menjadi gadis cantik.
Ia mengetuk
ngetuk jari di kursi kayu ruang tunggu. Sulit untuk menemui Brent saat ini.
Tapi ia merasa harus.
Ia membawa cincin
milik Ibu Brent yang pernah dipakainya dulu. Brent memberikannya kepadanya sebagai
tanda jadian. Ibu Brent telah lama meninggal.
Dipeluknya cincin
itu dalam genggaman. Degup jantungnya mengisyaratkan ia tak mampu
menyembunyikan rasa khawatirnya. Sampai seseorang setengah berteriak kepadanya.
“Meyyrr... Nona
Meyyr mana orangnya itu.”
“eh ya... iya ini
saya!”
Meyr berdiri
menuju ruang pemeriksaan bawaan. Ia tidak membawa apa-apa.
“Kok gak bawa apa
apa?” polisi bertanya
“Iya.. saya ga
sempat..”
Polisi melirik
blazernya. “Buka itu..!” diperiksa dulu
Meyr membuka
blazernya dan polisi segera mengecek kantong dan seluruh bagian blazer
hitamnya.
“Buruan ya,
waktunya 10 menit aja. Cadong udah dateng mau dibagiin.”
“Iya..” Meyr
segera menuju ruang tahanan sementara. Dilihatnya sesosok yang familiar duduk
di kegelapan. Kamar itu dihuni banyak orang dan Brent nyaris tak terlihat.
“Mau ketemu
siapa?” polisi di sampingnya bertanya
“Em..Brent...
Brent “
“Mana
Breeeeeeeeeennt....”
Banyak mata
memandangnya. Mata-mata para penghuni lapas yang penat dan gelap karena lampu
ada yang belum diganti sebagian.
“Brennt woi...ini
ada bidadari mau ketemu. HAHAHAHAHA...buruan keburu pergi ke kayangan nih.” Teriak
teman di dekat Brent, seorang kriminal yang ditangkap karena mabuk sambil
berkelahi.
Laki-laki tinggi
besar itu menuju pintu yang dikunci. Jeruji membuatnya tak bisa memeluk Meyr.
Padahal ia rindu berat. Ia butuh pelukan dan kasih sayang.
“Meyr...”
“Aku ... bagaimana
keadaanmu, Brent?”
“Baik... kenapa
kau kemari?”
“Aku mau .. “
Meyr menarik nafas mengaturnya agar lebih stabil.
“Ini...
cincinmu...” Meyr hendak melepas cincin yang dipakainya.
“Kau tak bisa
memberikan apa apa di sini kecuali makanan. Ada CCTV-nya.”
“Tapi dulu kau
bilang, pakailah selama kau jadi pacarku.”
“Haha.. Meyr..kau
terlalu serius. Ambillah buatmu.” Tak berguna bagiku. Lihatlah.. aku hanya
sampah busuk. Aku akan segera dipindah ke penjara kelas I, disidang, dan
membusuk di dalam jeruji.”
“Jangan katakan
itu. Kau sebaiknya berubah.”
Seseorang
berteriak teriak mengusir beberapa pengunjung termasuk Meyr.
“Waktu habis! Waktu
habis! Mau bagiin cadong, cadong sudah datang! Waktu habis!”
Meyr merasa ini masih terlalu singkat. Namun suara itu terus memekakkan telinganya.
Meyr merasa ini masih terlalu singkat. Namun suara itu terus memekakkan telinganya.
“apa perlu
kutelepon ayahmu dan minta pengacara?”
“Ayahku sudah
menjenguk. Sudah pergilah. Jangan urus aku!”
Pertama kalinya
Meyr melihat pemandangan itu. Brent yang gagah dan kaya akan makan nasi bungkusan
sederhana. “Apa isinya?” tanya Meyr pada petugas.
“nasi pake tahu
atau tempe. Kalo lagi ada yang ngasih ya bisa ayam.”
Meyr menatap
dengan sedih. Tapi ia tahu, Brent pasti lebih kuat darinya. Brent akan
menghadapi apapun dengan kuat, termasuk berada di tempat sempit dan
hanya menghabiskan waktu menunggu nasi cadong datang.
ajari aku bikin cerita sebagus ini, hehehe
BalasHapussa ae MasPan haha
HapusSaya mau komen ini sebenernya tapi melihat rentetan dialog langsung yang begitu panjang membuat saya hanya melihat sesaat karena membaca dialog buat saya lebih membutuhkan banyak fokus daripada membaca narasi. Seandainya setiap frame dipisahkan dengan jarak semacam spasi paragraph mungkin akan terlihat lebih nyaman di mata yang mulai tak muda lagi ini.. :D
BalasHapushehe.. makasih masukannya Pak..
Hapus