Suatu masa dalam kehidupan saya, saya pernah tinggal di Kota Pangkalpinang selama 11 bulan. Itulah pengalaman pertama saya tinggal di luar Pulau Jawa. Banyak hal yang harus saya sesuaikan dengan kondisi-kondisi yang selama ini saya alami, misalnya saja masalah air dan ketersediaan listrik.
Pangkalpinang adalah salah satu pulau penghasil timah. Demikian banyaknya kandungan timah tersebut, sampai-sampai kami sulit menemukan air tanah yang tidak mengandung timah. Dampaknya, kami harus membeli bergalon-galon air untuk keperluan minum dan memasak. Selain itu, air tanah yang kami pergunakan untuk mandi dan mencuci baju serta peralatan makan minum pun tidak mudah didapat. Semuanya serba terbatas.
Demikian pula halnya dengan ketersediaan listrik, kami tidak pernah merasakan supply listrik full selama 24 jam sehari, selalu ada saja waktu tanpa aliran listrik. Kalau hari ini siang tersedia listrik, maka keesokan harinya malam hari yang mendapat giliran listrik padam. Setiap kali menanak nasi menggunakan rice cooker saya selalu berdoa semoga nasi yang saya masak bisa matang sebelum listrik mati lagi.
Ada lagi cerita tentang ketika timbul keinginan yang demikian intens untuk menikmati softdrink (padahal saya bukanlah seorang softdrink lover). Sekitar dua minggu menjelang hari Raya Iedul Fitri, Swalayan Puncak, satu-satunya swalayan di Pangkalpinang pada saat itu, dipenuhi oleh softdrink yang bahkan saking banyaknya sampai stock nya meluber ke luar toko. Sungguh pemandangan yang mengherankan bagi saya yang baru pertama kali melihat suasana seperti itu. Namun ternyata hanya dalam hitungan hari stock tersebut menipis dan akhirnya habis. Justru pada saat sudah habis itulah keinginan untuk minum softdrink dalam diri saya demikian kuat, sampai-sampai saya merasa perlu untuk mencarinya di warung-warung sekitar rumah saya yang biasanya menjual softdrink, namun apa daya ternyata habis juga, dan itu terjadi sampai berhari - hari. Akhirnya saya menyerah, ya sudah, saya pupus keinginan untuk minum softdrink tersebut dan berupaya melupakannya.
Sebagai ‘Urang Bandung” yang terbiasa melihat sayuran segar dengan kualitas baik tersedia sepanjang masa di tanah kelahiran, maka saya memiliki standar tersendiri ketika memilih dan membeli sayuran. Suatu hari saya bermaksud membeli kentang dan kol untuk keperluan memasak, namun ternyata kentang yang tersedia pada saat itu adalah kentang yang sudah bertunas di tiap umbinya juga kol yang banyak bolong-bolongnya, tidak mulus di tiap helai kelopaknya. Sampai kaki saya pegal berkeliling pasar untuk mendapatkan kentang dan kol yang sesuai dengan standar saya, akhirnya saya menyerah juga karena ternyata seluruh kios di pasar tersebut menjual barang dengan mutu yang sama karena memang sayuran tersebut berasal dari satu supplier saja dan ‘diimpor’ dari Jakarta / Palembang dan karena rentang waktu pengiriman yang lama, maka tak ada kentang yang tak bertunas ketika tiba di tangan konsumen.
Banyak kenangan yang saya peroleh selama di Pangkalpinang, walaupun durasi tinggal saya hanya 11 bulan saja, namun banyak pembelajaran yang saya dapatkan yang mungkin tidak akan saya peroleh bila saya tidak mengalaminya sendiri. Rasa syukur yang bertambah atas apapun, belajar mengendalikan keinginan, belajar menerima apa yang Tuhan tetapkan, dll adalah sebagian dari pembelajaran-pembelajaran yang saya peroleh. Kenangan manis dan pahit datang silih berganti, namun yang utama bisakah kita mengambil hikmah dari semua itu.
Jakarta, 13 Maret 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar