Ini adalah kisah para gladiator “tua” di sebuah kerajaan yang namanya
pernah terdengar sampai ujung-ujung dunia. Yang dahulu dikenal dengan negeri
yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo” yang artinya negeri
yang kekayaan alamnya berlimpah dan keadaannya tenteram. Di ibukota kerajaan
terdapat sebuah graha1 megah tempat Patih Arta2 dan
segenap tanda3nya bekerja. Sang patih memiliki beberapa arya4
sebagai pembantu utamanya. Setiap arya memiliki tugas masing-masing guna
menyukseskan kerja sang patih. Arya-arya tersebut juga memiliki tandanya
masing-masing. Sang patih mengharapkan sinergi di antara para arya dan
tanda-tandanya. Prestasi dan kinerja yang baik akan dihargai tuturnya.
Cerita ini terjadi ketika beberapa tanda kepercayaan dari salah seorang
arya telah mencapai usia pensiun, guna mencari penggantinya diadakanlah sebuah
pertandingan untuk menentukan siapa yang paling tepat untuk menggantikan para
tanda yang pensiun tadi. Gelanggangpun digelar bak sebuah arena gladiator.
Banyak tanda yang sudah berpengalaman dan berilmu tinggi bersiap-siap. Waktunya
telah tiba untuk berkarya lebih lagi dan menerima amanah tersebut.
Pembicaraanpun terjadi sampai ke pojok-pojok graha siapakah yang akan keluar
sebagai jawara5 dan ditampuk sebagai tanda kepercayaan sang arya.
Ada yang berharap, ada yang pasrah, ada yang dijagokan, ada juga yang
diunggulkan. Para tanda siap bertarung di arena dengan kekuatan dan senjata
masing-masing, semua menantikan panggilan bertarung. Walau beberapa menyatakan
bahwa mereka tidak ingin bertarung tetapi jika dipanggil maka mereka akan ikut
dan bertarung dengan sungguh. Ada beberapa kriteria agar seorang tanda bisa
ikut dalam pertarungan, yang pertama adalah telah mencapai tingkat keningratan
tertentu, yang ditentukan melalui tingkat keilmuan dan masa bakti sang tanda. Lalu
kecakapan sang tanda dalam bekerja menjadi penilaian selanjutnya apakah sang
tanda kinerjanya baik, bisa mengambil keputusan yang tepat dan cepat, punya
kemampuan bersinergi dengan pihak lain, dan tentu saja kemampuan memimpin
karena dalam jabatannya sang tanda akan mengambil keputusan sesuai dengan
bidang jabatannya, akan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan
dan tentu saja dibantu oleh tanda-tanda di bawahnya yang akan membutuhkan
bimbingan dan pimpinannya.
“Maaf arena sudah tutup”-Askara-
Peradaban negeri ini sendiri telah mencapai tingkatan yang cukup tinggi dalam
hal menggelar pertarunganpun kekuatan para “gladiator” diukur baik itu kekuatan
atma6 maupun huraga7nya melalui sebuah ujian dan tentu
saja untuk atma juga dinilai melalui tindak-tanduknya dalam mengabdi sesuai
hal-hal yang disebutkan untuk menilai kecakapan sang tanda dalam bekerja. Semua
itu akan dirangkum dalam selembar lontar8 dan dimusyawarahkan dalam
pareparat9 antara sang arya dengan tanda-tanda utamanya dan tanda
kepercayaannya tergantung dari tingkat jabatan yang akan dibicarakan.
Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba, pengumuman siapakah “gladiator” yang
dinyatakan keluar sebagai jawara, ditampuk sebagai tanda kepercayaan, dan akan
diangkat derajat keningratannya serta menerima amanat dari sang arya. Ternyata semua
yang didapuk sebagai pemenang adalah tanda-tanda yang masih muda baik dari usia
maupun pengabdian, keningratannyapun baru saja mencapai tingkatan cukup untuk
menjadi seorang tanda kepercayaan. Walau semua tanda tersebut sudah
menyeberangi lautan yang lebih jauh dari negeri Cina untuk mencari ilmu tetapi
tanda-tanda lain yang lebih tua baik dalam usia dan pengabdiannya pun tidak
kalah dalam hal jauh-jauhan mencari ilmu. Tentu saja tingkat keningratan mereka
lebih tinggi dari para tanda kepercayaan yang baru ini. Ada yang kecewa, banyak
yang terhenyak lalu bertanya apa yang menjadi dasar bagi kemenangan tersebut
apakah ada senjata rahasia atau atma yang tidak terangkum di daun lontar? Karena
semua sudah tertulis semua bisa membaca semua bisa menilai. Tinggal sejauh mana
penilaian itu benar dan berharga untuk didengar.
Terdengar sayup-sayup di pojokan bahwa gladiator-gladiator “tua” tersebut
bahkan tidak sempat naik ring, mereka tersingkir sebelum pertarungan karena
mereka sudah “terlalu” ningrat untuk jabatan tersebut. Keningratan yang
diperoleh karena pengabdian dan pendidikan ternyata menjauhkan mereka dari
arena pertarungan. Masa mereka sudah habis katanya, sudah tidak punya semangat
bertarung katanya, katanya.. katanya.. katanya.. dan lontar mereka kembali
kepojokan berdebu menjadi kumpulan kisah-kisah pengabdian yang tidak pernah
dibaca.
- graha: gedung, bangunan
- Patih Arta: menteri yang mengurusi harta
- tanda: pegawai
- arya: gelar bangsawan, ningrat
- jawara: juara
- atma: jiwa, ruh
- huraga: raga, badan, tubuh
- lontar: kertas
- parepatan: rapat, perundingan, musyawarah
keren Sam
BalasHapusmakasih bang. ini hasil merangkum harapan, rasa, dan logika di sekitar..
Hapusdalem banget, bagus mas Sam
BalasHapusmakasih mbak.
Hapusdalem banget, bagus mas Sam
BalasHapus