Rabu, 17 januari 2018 kemarin seorang kawan, abang, dan juga senior yang
sedang menyelesaikan disertasi doktornya mengatakan kepada saya dan beberapa
kawan lainnya, “Sam, makanya kuliah
doktor, kalau ilmunya ga banyak nambah tapi ada satu yang gue rasa gue dapet di
situ. Wisdom, gw ngerasa betul gw
berubah....”. Kurang-lebih begitu ujarnya, kali ini saya tidak bisa
mengutip kata-perkata karena keterbatasan ingatan. Di hari Rabu seminggu
sebelumnya seorang kawan, “pak dosen”, mas, dan juga senior yang pergi
meninggalkan unit kerja kami untuk mengabdi menjadi Widyaiswara guna membagi
ilmunya lebih luas lagi memberikan kata perpisahan di WAG bukannotadinas, begini katanya “Terimakasih semuanya, semangat tetap menulis untuk kebaikan hidup:
minimal buat diri kita, atau yang paling minimalis, buat kewarasan pikiran
kita. Karena dalam tulisan itu, kita bisa protes, ngedumel, bahkan 'misuh'. Ini
pengalaman, bukan arahan, bukan pula pengajaran. Ojok1 dikomentari.”
Sedangkan tadi pagi seorang kawan, mas, dan juga senior bercerita tentang
seorang bos yang “sudah” Doktor yang mengeluhkan tingkat kedisiplinan pegawai
dalam kerapihan berpakaian padahal yang bersangkutan selalu terlihat dengan
kemeja yang dikeluarkan di hari-hari tertentu di setiap minggu. Yang terakhir
ini mengingatkan saya akan nasihat almarhum tulang2 saya ketika
liburan Natal-Tahun Baru ketika masih SD di rumah opung3 di Medan, “Kalian jangan merokok dan main kartu ya!”
katanya kepada kami bere-bere4nya sambil mengebulkan asap dari rokok
dua tiga empatnya dan beliau sedang istirahat ke toilet dalam permainan
kartunya.
Wisdom, menurut The Oxford English Dictionary artinya
"Capacity of judging rightly in
matters relating to life and conduct; soundness of judgement in the choice of
means and ends; sometimes, less strictly, sound sense, esp. in practical
affairs: opp. to folly”. Terjemahan bebasnya kurang-lebih menjadi "Kemampuan
untuk menilai dengan benar dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan dan
perilaku; kebijakan dalam menilai pilihan mengenai sarana dan tujuan;
kadang-kadang tidak terlalu kaku, masuk akal, terutama dalam hal-hal praktis: lawan
dari kebodohan”. Menurut KBBI daring maka Bijaksanaan artinya adalah “selalu
menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran;
2 pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi
kesulitan dan sebagainya”. Keduanya kurang lebih memberikan penjelasan yang
sama mengertai kata “Wisdom” atau “Bijaksana” yaitu kemampuan menilai dengan
benar dalam menghadapi sesuatu hal.
Merangkum ketiga ucapan kawan-kawan di atas, saya mencoba menuangkannya
dalam satu tulisan. Pertama-tama, saya “agak” pusing menggabungkan dua informasi
bahwa dengan menjadi Doktor maka saya akan menjadi lebih bijak di mana selang beberapa
hari ada seorang Doktor yang menurut kawan saya (dan saya sependapat dengannya) kurang bijaksana dalam penilaiannya
dan tuntutannya kepada bawahannya. Kedua, karena saya “agak” pusing maka saya
menulis, karena katanya pak dosen “minimal
buat kewarasan pikiran kita”. Saya pribadi masih suka terbawa emosi dalam
bersikap, sepertinya juga kurang bisa menahan diri untuk tidak menegur atau tidak
menjawab hal-hal yang tidak sesuai penilaian saya, walau sekarang saya sudah punya
kriteria baru untuk menjawab suatu pernyataan, yaitu “tidak usah ditanggapi”. Tiba-tiba timbul pertanyaan baru di kepala
“kapan saya bisa bijaksana ya?”.
Setelahnya muncul pula pertanyaan. Apakah yang sebenernya kita butuhkan
untuk menjadi bijaksana? Apakah pendidikan tinggi? Apakah pengalaman yang
banyak? Atau apa? Mengapa seseorang bisa dikatakan “bijaksana” dan orang lain
tidak padahal sekolahnya sama tinggi dan pengalamannya kurang-lebih sama
banyaknya, mungkin juga usianya sama tuanya. Keputusan atau sikap yang diambil
sendiri menjadi pertanyaan lanjutan, Benar dari sisi mana? Baik buat siapa? Arti
kata “kebijakan/ kebijaksanaan” dalam lingkup pekerjaan dan keseharian buat
saya sendiri sepertinya sudah berubah, kalau dulu menurut pengamatan saya
setiap “kebijakan” yang dikeluarkan seorang pejabat adalah untuk memecahkan
permasalahan yang tidak atau belum ada aturannya, terakhir-terakhir saya malah
melihatnya sebagai sebuah “pembenaran atas pelanggaran atau pembengkokan aturan”.
Kalimat “mohon kebijaksanaannya” sering keluar ketika seseorang meminta
dispensasi atas pelanggaran yang akan atau sudah dia lakukan.
Hufh, "banyak" banget sih pengertian dan turunan dari kata wisdom atau bijaksana dan saya kok
malah makin pusing. "Hmmm, sepertinya saya butuh daftar diklat ke gadog nih buat
minta penjelasan ke pak dosen sambil ditraktir di warung kopi yang katanya baru
buka bersamaan dengan beliau bertugas di gadog."
- Ojok1: jangan (Jawa Timuran)
- Tulang2: paman dari pihak ibu (Batak);
- Opung3: kakek/ nenek (Batak);
- Bere-bere4: ponakan(jamak) (Batak).
- kbbi.web.id
- en.wikipedia.org
Ya, inilah yang saya maksudkan: minimal buat kewarasan pikiran kita. Ketidakpahaman kita mengenai suatu hal bisa kita ungkapkan secara runut. Udah makin lancar aja lae, nulisnya. Lanjut bro.
BalasHapusSaya ada komentar soal penulisan, tapi di-japri aja. Soalnya, teknis banget. Itupun menurut pandangan dan pengalaman saya, kalau diterima.
Siap, ditunggu japrinya. Hehehe, tapi bener loh ternyata dapet jawaban dr kome teman2. Jadi tambah ngerti soal bijaksana.
Hapus